hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Melenggang dari satu ke satu tempat hiburan malam, Alex kebingungan. Hampir satu bulan berjalan dia belum pernah mencoba. Ini adalah kali pertama menjadi saksi mata betapa liar kawula muda. Namun tujuan Alex bukan untuk mengisi nafsu dan kekosongan.

Alex mencari Henry, sedikit menyesal karena punya firasat buruk tentang lelaki itu hingga membuatnya susah tidur. Di atas ranjangnya, memandang tinggi langit-langit hanya ada wajah sayu Henry dan debaran tak enak dari jantungnya.

That night surely brought so much changes to his life. Especially about Henry and their connection.

Alex itu pria keras but a simple and common man's behavior. Alex itu hidupnya lurus, lebih memilih menjalani hidupnya yang begini. Jarang ada hambatan selain dari sisi pekerjaannya yang sulit, jarang ada kesedihan sebab menurutnya hidup terlalu menyenangkan untuk bersedih.

Tetapi belakangan ini Alex merasakan dirinya sedikit melakonis. Ada beberapa kali waktu dia bersedih entah karena apa. Perasaan itu tiba-tiba menyerang kala Alex hanya duduk sendiri, menikmati capuccino hangat dan pemandangan yang tak berubah sejak dia tinggal di pondok. He feels like he walks on miserable life.

Pada satu tempat lagi yang Alex masuki begitu kacau di dalamnya. Seolah terserang badai barang pecah belah habis berantakan.

“Omega gila, bisa bisanya dia keluar waktu heat begitu.” Maka Alex berdiri pada tempat yang tepat.

Lo dimana? Gue ada di tempat yang lo maksud.

Saya ada di kamar. Salah satu kamar, di sini ada banyak kamar.

Kala dia mendengar namanya diserukan Alex berhenti. Dia memanggil sekali lagi sembari mengetuk pintu yang menghalangi. Rasa lega menyelimuti ketika pintu terbuka menghadirkan sosok lelaki. Dia adalah Henry, takdirnya yang dicari.

Alex menutup rapat lagi daun pintu agar aromanya terjebak dalam belenggu. Entah apa yang dialami lelaki dihadapannya hingga bisa terjebak di tempat yang tak seharusnya. Alex mengamati Henry, dari kepala hingga ujung kuku. Semuanya aman, hanya saja bajunya kotor dan ada bekas air mata.

“Oh for god sake, Hen. What do you think you did?” Alex melampiaskan kekhawatirannya bercampur perasaan lega. Sedangkan Henry mengangguk, bingung atas keputusan yang telah Ia buat.

“Fucking shit...” Cicit Alex lirih sembari membuang napasnya kasar. Refleks dia menarik Henry dalam pelukannya. “It's okay, you'll be fine with me.” Bisiknya tepat pada telinga Henry kala Alex bisa merasakan detak jantung lelaki dalam rengkuhannya berirama inkonsisten. Henry pasti bingung, kacau, dan amat ketakutan.

Henry beringsut dalam dekapan Alex, membiarkan seluruh beban yang dia bawa dilimpahkan sejenak pada bahu kokohnya. Daripada merasa bersalah telah membuat Alex terkena masalah karena dirinya, dia lebih merasa bersyukur dan aman. Nanti, mungkin setelah mereka keluar dari sini Henry akan mengucapkan beribu kata terima kasih dalam seluruh bahasa di dunia.

Hampir dia menangis lagi, sebab Henry tidak pernah ada di posisi ini. Dia hanyalah manusia putus asa yang tak punya pegangan apa-apa. Dia hanyalah lelaki rapuh yang butuh seseorang untuk mengasuh. Dia hanyalah pangeran penuh kesedihan yang terkadang butuh sebuah pelukan.

Jahatnya dia baru bisa merasakan. Kejamnya dia bukannya keluarganya. Kasarnya Alex hanyalah seseorang yang baru dia kenal yang tak sengaja menjadi takdirnya. Sedihnya Henry sendiri belum tau apakah Alex belum tahu, pura-pura tidak tahu, atau bahkan tidak ingin tahu. Pilunya Henry saat ini sangat menginginkan Alex untuk dirinya tanpa tahu apa Alex juga menginginkan dia.

“Alex, ada sesuatu yang ingin aku bagi sama kamu.”

“Tell me. Tell me everything about you, Henry.”

Alex menatap wajah Henry, lebih tepatnya pada iris biru sang lelaki. Kedua telapaknya dia letakkan sedikit meremas lengan berisi milik Henry. Tatapan Alex seolah menuntut sebuah janji. Henry seperti dikunci, dia tidak bisa lari, sebelum memuntahkan semua informasi tentang dirinya. Apapun, tidak boleh ada kebohongan.

“Tapi pertama-tama kita pergi dari sini. Let's get home!” Usulnya.

Alex melepaskan jaket kulitnya, menyisakan dia dan kaos tipis saja. Tanpa permisi, Alex memakaikan pada Henry. Dia teringat tentang bagaimana ayahnya memakaikan apapun yang berbau khas miliknya pada ibu presiden ketika terserang heat di waktu yang kurang tepat.

“Setahu gue cara ini bisa nyamarin bau feromon lo. Am I right? Gue juga gak yakin sih.” Alex ketawa renyah karena dia sendiri hanya melihat ayahnya tanpa bertanya teori fakta.

“Ntar kalo gak bener, tinggal gue tonjok aja alpha yang kurang ajar di luar satu-satu.” Dia bercanda sedikit mencairkan suasana. Well, sukses buat Henry ketawa geli.

“Alright, you ready?” “Sure.” “Let's get you home!”

“Tungguㅡ” Henry menghentikan Alex dari langkahnya. “Ya?” “Kamu bilang mau bawa saya pulang. Tapi saya baru saja kabur dari rumah. Saya gak punya rumah, Alex.”

Lelaki yang lebih tinggi beberapa sentimeter saya itu tersenyum, lagi-lagi mengunci manik Henry meyakinkan di bahwa Henry harus percaya dan ikut saja.

“I'm your home, Henry. Wherever place that I will take you there, it will always be your home. Because I'm your home.”


`hjkscripts.


Aku ini manusia yang lahir entah apa guna. Aku manusia tempat salah dan dosa. Aku ini manusia yang bersalah atas segalanya.

Bersama teh hangat yang mengalir dari teko menuju cangkir. Bersama pula kue kering yang tepat sebagai pendamping. Mempersembahkan seorang lelaki yang penuh beban dalam pikir. Serta perempuan ayu yang siap mendengarkan keluhan dengan kuping.

Henry menyesap air teh beberapa kali berharap tubuhnya menjadi rileks. Sayang sekali organ dan pusat kendali enggan berkontribusi. Otaknya terlalu bingung, acap kali salah mengirim sinyal menghadirkan reaksi yang tak berarti. Henry berbicara dalam hati, seolah memotivasi kinerja dalam diri bahwa dia harus berhasil menyampaikan informasi secara tertata dan rapi, mudah dipahami sehingga tak menimbulkan sakit hati.

“Bea... akuㅡ”

Huff... It's going to be long journey.

Kedua tangan Henry menghangat ketika Beatrice dengan lembut meletakkan miliknya di sana. Getaran yang terjadi sebab rasa gugup berhenti dengan sendirinya. Henry menutup mata, meyakinkan sekali lagi bahwa dia harus berani. Beatrice deserved to know everything.

Fakta Beatrice tertarik dengan Alex membuat ini semakin sulit. Sebab Henry tahu bagaimana adik perempuannya menabur senyum semanis serbuk madu kala mendeskripsikan parasnya. Henry bisa melihat binar matanya bergelimang berlian kala memandang sosoknya. Meskipun Beatrice sadar bahwa Alex bukan takdirnya.

“It's okay, Hen.” Henry semakin tercekat sesaat dia melihat wajah Beatrice. Belum siap dia menerima perubahan ekpresinya nanti. Dia selalu ingin Beatrice tersenyum bahagia secara leluasa, bukan terpaksa ketika harus memahami fakta.

“Beatrice aku minㅡ”

“HENRY!!!”

Suasana hangat yang susah payah dibangun runyam seketika. Entah berapa newton gaya yang digunakan hingga berhasil mematahkan salah satu engsel pintu. Itu Philip yang selalu berjalan dengan aura dingin.

Henry belum siap, meskipun begitu dia harus siap kala tubuhnya ditarik paksa berdiri satu lawan satu kakak tertuanya dengan dua tangan kuat Philip meremas sisi kerah pakaianya. Dia memasang wajah bingung, di satu sisi hanya amarah yang berkobar hebat mendapati yang menurutnya penyebab dari semakin kacaunya istana malah mengadakan pesta minum teh.

“You! Sudah berapa kali aku bilang jangan macam-macam.” Ujarnya dingin. Kata perkata diungkapkan dengan tekanan.

Henry bungkam, perasaan dalam dirinya campur aduk berantakan. Entah dia harus minta dikasihani atau menjawabnya pula dengan emosi. Henry muak dan takut secara bersamaan.

“DIAM KAMU? DIAM KAMU HENRY??? SEMUA YANG MEREKA TUDUHKAN BENAR KAN?! JAWAB!” Philip melepaskan genggamannya. Terhempas kuat tubuh Henry di atas ranjang.

Beatrice kosong, otaknya kopong melihat adegan emosional dihadapannya. Entah apa yang dia tahu, entah apa yang mereka maksud. Yang dia yakini adalah keluarga ini mungkin sedang berada di ujung tanduk.

“Kamu! Sudah berapa kali aku peringatkan jangan pernah keluar, jangan pernah terlihat! Kamu masih seorang pangeran, DAN PANGERAN HARUSㅡ”

“OH FOR GOD SAKE PHILIP I'M DYING!”

Malam ini Henry menyerah. Pangeran ini bukan manusia kuat melainkan manusia lemah yang berusaha mengais sisa-sisa tenaga untuk bertahan hidup ditengah susah. Pangeran ini lelah menjalani harinya tertatih. Maka malam hari ini pada detik ini dia mengibarkan bendera putih.

“I'm dying, Philip...” Lirihnya lemah. Air mata yang turun satu demi satu adalah representasi dari jutaan molekul emosi yang tertahan ribuan hari. “You never know how it's suffocating inside. Like they would killing me any day if i say i want to die.”

“Ini melelahkan, Philip. Hari demi hari hidup rasanya seperti mendekat menuju jalan masuk neraka. Mereka bakar aku, dari dalam menggerogoti organ hingga urat nadi hingga habis tak bersisa lalu dia akan membakar luarnya hingga habis menjadi abu. Dan kamu, orang-orang di dalam rumah ini, orang-orang di luar sana hanya akan menangis sejenak lalu lupa ingatan hari berikutnya.”

“Lalu bagaimana dengan rasa sakit yang aku alami? Dia akan ada terus menerus berjalan bersamaku seperti bayangan. Bahkan bayangan ikut menguburkan ku dengan dia di dalam tanah. DIA IKUT AKU KE DALAM TANAH, PHILIP!”

Malam ini seorang pangeran menyerah, memilih ikut emosi membalas segala sakit hati dengan menyakiti. Malam ini seorang pangeran menyerah, berlinang air mata sembari membela diri. Malam ini juga seorang pangeran menyerah, melenggang pergi membawa rapuh tubuhnya melarikan diri.


`hjkscripts.


Alex Point of View

Beginilah aslinya si anjing gila.

Gue bernama Alex yang sedang duduk memeluk dua kaki sembari bersandar memindai angkasa. Sesekali tangan bergerak mengambil camilan dan minuman pemanis suasana. Disinilah gue dan berbagai kacau jalan pikiran. Hanya ada gue, sahabat gue, dan kelemahan.

Gue bernama Alex lelaki dengan sejuta manusia. Sejak dini siapapun ingin dekat dengan dia. Namun apadaya benar kata pepatah. Waktu adalah alat yang paling tepat untuk menyaring siapa yang tulus.

Gue si lelaki 27 tahun ini memang bergelimang koneksi, tapi soal sahabat hanya satu nama yang ada dipikiran maupun hati. Katharina, ya si cewek ini.

Cewek ini yang temani hari-hari seorang Alex yang sibuk kesana-sini. Cewek ini yang selalu sabar kala Alex sedang dilalap emosi. Cewek ini yang banyak meninggalkan berbagai mimpi. Cewek ini juga orang yang paling gue sayangi.

Bicara soal rasa suka, gue jelas pernah suka sama dia. Well gak ada hubungan laki-laki dan perempuan yang hanya sebatas seorang sahabat. Salah satunya akan ada yang jatuh, dan itu terjadi sama gue. Gue jatuh sedangkan dia gak pernah ikut jatuh, dia malah mengulurkan tangannya buat bantu gue berdiri dan bilang, jangan jatuh lagi.

“Jadi lo mau mulai cerita darimana?” Katharina bergabung dengan tangan membawa dua lagi botol berembun. Dia berikan satu dan menegak yang lain.

Gue sebenernya juga bingung mau mulai darimana. Kejadian kemarin sampai tertampar fakta hari ini terlalu penuh bagi kapasitas otak gue yang tiap hari diisi masalah. Kejadian ini gak sesuai sama tujuan mom berangkatin gue kesini.

Di tempat ini gue bisa belajar mengontrol emosi.

Di tempat ini gue bisa bernapas dan menenangkan diri.

Di tempat ini gue akan keluar sebagai lelaki yang lebih baik lagi.

Tapi kenyataannya gue malah kacau. Tentang kerjaan yang harus gue jalani dari jauh, tentang Pak Lee dan kelasnya yang sampai sekarang gue belum naik ke tingkat selanjutnya, dan lagi ini tentang Henry. Henry Fox yang masih terlalu abu-abu buat gue yang ternyata mungkin adalah mate gue.

“Lo ingetkan tadi siang gue cerita tentang gue hooked up sama seseorang dari palace?” Gue memulai cerita dengan hati-hati.

Katharina mengangguk tanda paham konteks yang akan kita bahas. “Iya, terus?”

“Namanya Henry Fox, Kath. Cowok yang pernah gue cerita ikut kelas di Pak Lee juga. Gue sebenernya juga kaget, Kath. Satu karena dia cowok, dua karena dia omega male kayak apa yang gue anggap selama ini dongeng bukan lagi dongeng melainkan kenyataan.” Gue meneguk air dalam botol genggaman gue, mengatur napas sejenak sembari menata kosa kata yang akan gue keluarkan setelah ini.

Sedangkan Katharina belum saatnya berkomentar, matanya menatap ke depan sambil sesekali mengangguk. Tatapannya kosong namun telinganya bekerja keras seolah menelaah cerita gue.

“Tapi Kath, mengesampingkan dua alasan itu yang masih membuat gue bingung itu ini, ada banyak hal yang gue gak tau dari dia. Oke, gue tau butuh banyak waktu buat mengenal satu individu tapi Henry ini rasanya aneh, kayak semua tentang dia itu adalah sebuah pertanyaan sulit yang entah kapan ketemu jawabannya. Yang gue tau cuma dia yang selalu ketakutan, dia yang berhati-hati, dan dia yang penuh kesedihan.” Selesai gue mengungkapkan.

Kita diam, gue ya menunggu Katharina dan Katharina mungkin masih kesulitan mencari secerca solusi.

“Pertama,” Katharina bersuara. Mengalihkan pandang matanya dari sana menuju milik gue. “Lo nyesel ga waktu tau dia mate lo?” Tanya dia.

Jujur gue gak tau gimana jawabnya. “Gue suka sama dia as a person. Gue menikmati malam kemarin dan memutuskan untuk ambil inisiatif terlebih dahulu. Gue khawatir sama dia, tentang kejadian kemarin dan luka dipunggungnya. Gue sangat ketakutan atas cerita dari masa lalu tentang dia yang hampir mati mungkin karena kebodohan gue. Gue sangat mau ketemu lagi sama dia dan talked it out more. Dalam pikiran gue isinya cuma tentang Henry dan kebingungan. Tapi tentang menerima dia sebagi takdir gue seutuhnya, gue belum bisa pastiin.”

Katharina senyum hampir terkekeh geli, lalu dia mengangguk. Gue gak tau maksudnya apa.

“And I'll assume that as nope. Alex jawabannya cuma perkara waktu. Lo sama dia tuh punya hubungan baik, tinggal gimana lo sama dia figured out apa yang akan kalian lakuin setelah ini. Your story has begin. Kalo lo bingung tentang dia ya tinggal tanya, simple as that dan kalian akan mengerti satu sama lain karena yang punya hidup yang paling tau kenapa takdir jodohin lo sama dia. Kalo dari sumber yang gue baca ya gimana caranya sayang kalo gak mau saling kenal.”


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ; 18+ SENSUAL CONTENT🔞

THE BALL ㅡ 2023 SOUTHMINSTER PALACE, MAC

Selalu ada udang di balik sisi batu. Bukan cacing juga kaki seribu. Dipaksa pergi dulu berontak tak mau. Ternyata ini maksud takdir, akhirnya aku menemukan kamu.

Dia adalah lelaki yang tengah melangkah dengan amarah. Dia lelaki yang tengah bertarung dengan hati nurani. Dia lelaki yang tengah dilanda rasa kecewa. Pun dia lelaki yang tengah bersedih karena juga seorang lelaki.

Alex namanya beserta kaki jenjang dibalut pantofel berkilau kala beradu dengan lantai. Dia yang tak punya rasa lelah meskipun terus berjalan melalui hektar tanah. Dia dan dongkol dan juga beribu kalimat tanya. Ini semua karena lelaki itu, yang sekarang dia juga kurang yakin apakah nama yang disebut dari bibir merah muda lalu adalah benar.

Bibir itu yang membuat Alex penasaran setengah mati kala pertama bertemu. Bantalan kenyal sedikit basah yang sedang melengkung senyum membuat pemiliknya nampak lucu. Bahkan ketika dia menampilkan senyum paksa, berganti antara mengerucut dan senyum datar. Bibir itu yang membuat Alex ingin memiliki urusan antara dua bibir.

Bibir itu yang Alex ingin damba kala hubungannya mungkin berjalan lebih baik daripada sekedar nama. Bagaimana bisa mengeluarkan kata-kata penuh dusta.

Alex sampai di depan kamar berdekatan tangga. Menengok kanan kiri memastikan ruangan ini tepat sesuai. Alex bingung, mengapa jantungnya berdegup ragu ketika hanya bersekat pintu. Padahal sebelumnya amarah dalam diri meletup-letup layaknya lava Gunung Merapi. Dia tak siap, rangkaian tubuhnya belum diberi komando harus bagaimana akan bersikap nanti.

Tok Tok

“Henry?” Alex memanggil namanya. Lama jawaban dari dalam membuat keyakinan Alex naik satu tingkat bahwa nama itu bukan juga miliknya.

“HENRY?!” Alex menggertak sekarang. Ia meninggikan suara berharap lelaki di dalamnya tersudut dan berakhir menyambut kedatangannya.

Lagi hanya hening menjawab. Alex sungguh tak ada waktu dan kesabaran penuh untuk melakukan hal ini. Jadi dia meyakinkan diri, menggapai kenop pintu berlapis emas dan menggenggamnya erat sebelum suara menyapa gendang telinganya, “Alex” Katanya.

“Gue masuk sekarang.” Titahnya bukan sebuah pertanyaan.

“Sebelum kamu buka pintu,” Suara Henry terdengar lagi dari baliknya seolah mencegah Alex membuka lebih jauh. “Sebelum kamu buka pintu, kamu harus yakin bahwa kamu siap terima yang akan kamu dapat setelah ini.” Lanjutnya.

Alex dilema, semakin dibuat bingung dengan kalimat Henry. Namun Alex pantang mundur. Dia membuka pintu jati itu perlahan sembari menahan napasnya. “Henry?” Ucapnya menyebut lagi nama seseorang yang dia ragukan.

Dia melihatnya, sosok lelaki yang hanya itu dia bisa yakini. Lelaki yang sedang duduk di ujung kasur besar dengan posisi memunggungi.

Kala Alex melepaskan napasnya saat itulah dia menyesali kedatangannya.

BRAK!

“THE FUCK HENRY? LO LAGI RUT?” Teriaknya.

Sial! Tangan Alex gemetar melepaskan diri dari kenop pintu. Bukan hanya itu, kaki-kakinya lemah kala sisa aroma dari dalam kamar terhirup lagi dalam indra penciumannya, merasuk perlahan pada urat syarafnya. Celakanya aroma itu mampu membangkitkan birahi alphanya.

“Shit! Shit!Jangan sekarang.” Alex mendesis, berbicara pada dirinya sendiri mencegah alphanya memberontak keluar.

“Alex, are you okay?” Suara Henry khawatir. “Alex, look im so sorry saya bukan bermaksud menipu atau bagaimana. Saya bisa jelaskan semuanya sama kamu tapi saya butuh waktu, sebab ini bukan masalah kecil yang bisa kamu genggam sendiri. Kenyataan ini juga cukup sulit bagi saya.”

Alex tentu mendengarkan ditengah kesulitan menahan diri. Penjelasan Henry tutur demi tutur yang entah mengapa dia tangkap bernada sedih. Ada emosi tersendiri, marah, kesal, pasrah menjadi satu. Alex seolah diikat kuat dengan tali sepanjang kalimat persuasif penuh janji. Jika Henry berjanji maka Alex akan percaya dan menunggu untuk ditepati.

Alex menghembuskan napasnya berat. “Oke,” Ujarnya lirih. “Gue akan tunggu. Tapi gue punya satu pertanyaan.”

“Saya akan jawab.” “Tapi gue mau lo lihat mata gue ketika menjawabnya.”

Inilah si anjing gila hobinya adalah terjun mencari lubang neraka. Padahal dia sendiri paham, sedikit saja feromon Henry bisa menghapus sisa kewarasan. Sekali lagi, inilah si anjing gila yang suka berkelana dengan insting daripada norma. Dia sudah disini bersama Henry dan bayangan.

Pintu terbuka mempersembahkan seorang pria. Pria itu kini menatap berani tepat pada maniknya. Henry itu bahaya, hanya berdiri berselimut feromon beserta mata sayu sudah membuatnya gila.

“Tentang nama lo,” Alex berhenti sejenak untuk meneguk air ludahnya. “Apa juga termasuk sandiwara yang lo buat?”

Henry menggeleng, matanya masih bergeming menatap garis pandang yang sama. “Henry Fox. Itu benar nama saya.”

“So...” Alex satu langkah mendekat pada Henry yang masih berdiri diambang pintu. “Henry Fox, huh?” Satu lagi langkah hingga dia berdiri hanya berjarak jengkal.

Nakal tangannya terangkat dan bertengger pada pinggang Henry yang berisi. Kelima jari itu bergerilya, bergerak abstrak di atas permukaan kulit berlapis katun. Dia mendorong, menuntun Henry semakin masuk membawa Henry pada remang cahaya di dalamnya. Dia juga menutup pintu, meninggalkan keramaian dunia.

“Jadi ini alasan lo nggak mau kasih tau merek parfum yang lo pakai? Jawabannya tentu gak ada karena lo gak pakai apapun. Bau feromon lo, gue suka.”

Alex lemah, menempatkan sebagian berat beban kepalanya di atas pundak milik Henry. Dihirup banyak-banyak feromon yang semakin gencar menguar hingga kepalanya pusing tak karuan.

Henry menjengit kala lehernya bergesekan dengan dingin ujung hidung bangir milik Alex. Namun dia menikmati bagaimana inkonsisten napas lelaki itu. Bagaimana tubuhnya merespon dengan perasaan geli, terkadang hangat hingga membangkitkan nafsu birahi.

“Alex...” Henry mendesis memanggil nama pria yang tanpa permisi mulai mengecup lehernya. Dia pria yang lupa akan ajaran tata krama yang semakin berani menginvasi cuping hingga tengkuknya.

Henry itu benci pria tak beretika, tetapi dalam keadaan lemah seperti hari ini yang dia butuhkan hanya sebuah sentuhan.

Henry kini melayang tak terlihat menembus awan kala punggungnya menyatu dengan tilam. Dia dan ketidakwarasannya hanya mampu bergerak gelisah berharap lebih dari sebuah kecup cium. Alex ini siapa? Hingga akal sehatnya dibuat hilang. Wangi tubuhnya harum serta menenangkan.

Dialah si pria alpha dengan bentuk kepemimpinan sempurna.

Lelaki ini yang tengah menanggalkan satu persatu kancing dengan sabar. Bukan lelaki beringas meskipun diselimuti nafsu liar. Lelaki ini yang tengah menatap Henry dari atas lemah tubuh pasrahnya. Menikmati paras frustasinya dengan padangan memuja. Lelaki ini yang tengah tersenyum kala Henry membuka mata. Yang akhirnya bertanya apakah kegiatan yang semakin tak senonoh ini patut untuk dilanjutkan, dan Henry tentu menjawab Iya.

Dunia disekitar mereka mendadak berputar suka-suka. Menyaksikan betapa gila dua lelaki bercumbu di atas ranjang saling menyerukan nama. Menanggalkan status sosial hanya untuk memuaskan nafsu birahinya.

Alex mengecup dada sekokoh bidang. Berhenti sejenak mengambil alih dua puting yang sudah menegang. Dia tersenyum sebab rancau suara Henry adalah tanda kemenangan.

Henry kelabakan, pusing tujuh keliling menikmati tiap sentuhan. Bagaimana komando pria di atasnya absolut tanpa celah. Seluruh tubuhnya dijamah hingga tak ada yang bisa Henry lakukan selain mendesah. Alex itu luar biasa besar, menggerakkan miliknya perlahan konstan hingga semakin brutal saat mendekati ujung garis kenikmatan. Tubuh keduanya semakin bersatu dalam guyur keringat jutaan afeksi, merancau dengan suara-suara kacau seolah memberi pujian betapa hebat keduanya, hingga lenguhan panjang dan getaran tubuh kenikmatan menjadi tanda bahwa keduanya telah sampai di atas nirwana.

Bukan Alex yang terlalu profesional, hanya saja Henry adalah pangeran yang belum mengerti beringasnya dunia luar. Henry memang tak sepolos itu menjadi manusia, namun Henry belum sepenuhnya mengerti rasa aslinya. Bagaimana unik tubuh manusia menyuarakan aspirasi atas sentuhan yang diterima. Bagaimana seluruh organ tubuh bekerja amat cepat pun jantung berdebar memompa darah sekencang mungkin seiring berkurangnya oksigen dalam tubuh. Bersetubuh itu melelahkan, namun euforianya menakjubkan.

Alex mengubah posisinya, membuat Henry kini berada di atas. Dia bangun dari posisi terlentang, memangku Henry di atas pahanya.

“The fuck Henry, you're so fucking tempting yet beautiful from every angle.” Bisiknya sensual sembari memberi sebuah lumatan panjang pada bibir prianya yang terbuka.

Tangan Henry dia letakkan pada dada berhias rambut yang menjadi tanda kematangannya. Merasakan bagaimana dada itu bergerak naik turun dan bergetar akibat debaran jantung. It's so overwhelming for Henry dan dia baru menyadari bahwa Alex adalah yang ditakdirkan untuknya.

Adalah dia yang selama ini Henry cari. Sosok yang begitu dia damba meskipun terperangkap di dalam penjara istana. Setidaknya dia tau dia punya Alex, entah bagaimana dunia mengatur jalan hidupnya kelak.


`hjkscripts.


THE BALL ㅡ 2023 SOUTHMINSTER PALACE, MAC

Alex menapaki karpet merah langkah demi langkah. Menebar senyum seindah bunga dahlia, meskipun dalam diri gugup melanda. Dia lelaki berhasil mencuri seluruh atensi hanya dengan gestur membenarkan tata letak kerah. Menjadikan ruangan riuh kata pujian dan cahaya kamera.

Dia Alex yang dengan senang hati mendedikasikan hidupnya berada di depan media. Menerima sorotan dari berbagai penjuru mata angin adalah makanan sehari-hari. Hingar bingar pesta sudah layaknya sahabat lama. Kelap-kelip warna menjadi kain yang melekat pada diri.

“Your Majesty...” “Your Royal Highness...” “Princess Beatrice...”

Alex menyapa satu persatu anggota kerjaan. Memberi jabat tangan yang disambut suka cita. Alex itu pandai berbicara dan mencari muka. Terlihat dari ekspresi Your Majesty Arthur yang tengah tertawa berbincang ringan dengan dirinya. Seolah pesan Alex tentang keluarganya tidak bisa hadir bukan masalah selama ada Alex di sana.

“Sir Alex maaf saya lancang bertanya. Apakah anda datang ke sini dengan pasangan dansa anda?” King Arthur bertanya.

Alex tersenyum miring, senyum andalan yang bisa memikat manusia dalam satu detik. “Tidak Your Majesty. Saya hanya bersama tangan kanan saya.”

“Well... dear,” King Arthur menanggapi informasi Alex dengan ekspresi lega. “Bagaimana kalau malam ini putri saya Beatrice yang akan menemani anda turun ke lantai dansa.” Lanjutnya.

“Dengan senang hati, Your Majesty.”

Melayang kanan maupun kiri, bergerak maju juga mundur. Terakhir, badan berputar hingga gaun mekar seperti angin berhembus menggerakkan kincir. Beatrice mana hilang senyum nampak giginya, kala menjadi pemenang diantara banyak wajah perempuan nestapa mengharapkan perhatian seorang pria.

“Princess Beatrice kamu terlihat sangat indah malam ini.” Cakap rayunya buat tersipu.

Pun jahatnya bibir hanyalah sekedar alat untuk tutur kata, menyuarakan banyak kalimat kosong tak bermakna. Bibir memang boleh berbahana namun hati dan pusat tubuh manusia yang tau dimana dua netra mengincar sebuah cahaya.

Dialah mata setajam anjing penjaga gila. Dua buah yang dapat menggoda sekaligus banyak wanita. Dari yang muda hingga permaisuri milik raja. Semua terkapar di atas awan melalang buana.

Dia adalah mata si anjing gila yang berpendar mencari daging buruan.

“Princess Beatrice boleh saya bertanya sesuatu?” Tanya Alex setelah berhasil menangkap pinggang Beatrice sempurna. Beatrice mengangguk tanpa syarat curiga. “Tentu.” “Apa kamu kenal pria maid istana bernama Henry Fox?”

Beatrice berhenti, seketika mematung membuat Alex makin penasaran. “Jadi?” Dia menuntut jawaban.

“Oh.. ya- henry...” Perempuan itu berbicara gagap masih mempertahankan senyumnya. “Henry fox maid kami.” Suaranya semakin kecil, takut-takut salah kata.

“Dimana dia? Saya tidak melihatnya disekitar sini.” “Henry ya? Dimana henry... mungkin ada disekitar- saya juga kurang yakin.” “Kalau boleh Princess Beatrice saya pamit dahulu.” “Oh.. huh? Tapi Sirㅡ”

Belum selesai Beatrice mencegah karena panik, Alex sudah lebih dahulu mencium punggung tangannya dan melepaskan saat itu juga. Detik demi detik Beatrice menatap punggung tegap Alex hilang ditelan khalayak ramai.


`hjkscripts.


THE BALL ㅡ 2023 SOUTHMINSTER PALACE, MAC

Henry melihatnya dari jauh pelupuk mata memandang ke arah lantai di bawahnya. Bak surga dan dan alam baka, dia tentu berada di alam yang berbeda. Di bawah hingar bingar penuh suara dan warna. Sedangkan lelaki ini hanya berdiri pada satu saja unsur warna.

Dia adalah lelaki yang berdiri pada satu lantai tanpa lampu.

Dia adalah lelaki yang ada pula tak ada.

Dia adalah lelaki yang tersembunyi dalam kopong cahaya remang.

Henry tahu berdirinya dia di lantai tiga istana juga sebuah larangan. Meskipun tubuhnya hilang dilalap gelap. Namun mereka masih khawatir dia berhasil ditangkap. Beginilah nasib pangeran yang ada ditiadakan.

Dia tersenyum kala menemukan Beatrice dengan gaunnya yang menawan. Berwarna emas dengan hiasan kupu dan bulu kapas selembut awan. Semakin lebar ketika binarnya saling bertemu pada garis yang sama. Beatrice akan selalu menjadi pusat dunia.

Ahh! Itu dia si anak presiden amerika. Tujuh detik waktu Henry terbuang hanya untuk menelusur garis wajahnya dari jauh.

Dia terlihat berbeda, bukan seorang pria kekanakan dengan senyum konyol menggoda. Dia adalah lelaki dewasa dengan sejuta pesona. Dia terlihat berbeda, bukan seorang pria minus tata krama. Dia adalah lelaki dengan paras bak seorang dewa.

“Gila!” Henry buang muka. Menyesali pikiran kotor dengan beribu kalimat pujaan untuk Alex semata.

Henry berpaling, memutuskan beranjak dari tempatnya bergeming. Entah mengapa ada perasaan tak nyaman melanda tubuhnya. Dia harus pergi secepatnya dari sana.

Setidaknya, kepergian Henry dari tempatnya dapat mematahkan sebuah berita tentang misteri lelaki istana yang berdiri berselimut bayangan.


`hjkscripts.


LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC

Henry Point of View.

Tertutup kelopak mata, jatuh aku di lubang tanpa cahaya. Menarik napas lalu dihembuskan hingga tenang melanda. Dua daun telinga diam tanpa gerak menangkap kosong suara. Di atas alas anyaman bambu duduk bersila aku di sana.

Aku memutuskan pergi lagi dari istana. Pengalaman pertama kembali datang kemari membuat aku tak berhenti terpesona. Bisa-bisanya aku tidak fokus dalam membaca. Malah terpikir bunyi damai di pondok meskipun tidak berbuat apa-apa.

Hari ini tepat Main Castle berumur 177 tahun, begitu juga umurku yang bertambah satu menjadi genap seperempat abad aku telah hidup. Sejak jam 12 dini hari aku menetapkan lomba, siapa juara ucapan ulang tahun paling banyak. Apakah aku atau negara? Jawabnya tepat bisa ditebak bahkan sebelum menuju hari selanjutnya.

Pertama yaitu Beatrice dan yang kedua adalah Uncle Lee ketika aku sampai di sini. Hadiah? Ayolah, aku cukup bersyukur ada dua orang yang mengucapkan. Jangan berharap lebih sebab hidup sekarang bukan lagi tentang mengharap melainkan jalani saja apa yang ada.

Tap Tap

Telingaku bergerak, terusik akan suara langkah kaki beradu dengan lantai bambu. Suaranya cukup mengganggu, mereka bergerak gelisah tak tentu arah.

“Pak Lee?!”

Uggh! Aku benci siapapun pemilik suara ini. Seseorang yang juga minim tata krama seolah tak peduli di dalam ruangan ini ada manusia yang mencoba mencari ketenangan.

“Pak Lee!!!”

God Lord!

Aku membuka mata akhirnya. Mengakhiri sesi meditasi sesaat guna menanggapi orang tak tahu diri agar cepat pergi dari sini. Dia yang masih berlalu lalang mengelilingi ruangan utama dari pondok bambu, yaitu rumah Uncle Lee seperti seorang pemilik.

“Uncle Lee sedang keluar sebentar.” Aku menyahuti.

Dia berhenti tepat di hadapanku, bergeming sebentar dengan ekspresi bingung mungkin dilengkapi kaget dan dua tangan berkacak pinggang.

“Lo siapa? Kenapa di sini?” Dia malah bertanya dengan suara angkuh. Aku bungkam malas menanggapi.

“Kamu butuh apa? Bilang aja nanti kalau Uncle Lee sudah datang akan saya sampaikan.” Putusku begitu. Lelaki itu bukannya menjawab pada posisinya, melainkan maju mendekat beberapa langkah. Dia menjelaskan, “Keran air panas di kamar gue macet lagi.” Begitu katanya. “Noted.” Aku mengangguk mengerti.

Dan entah kenapa kita berdua malah terjebak pada situasi canggung. Aku yang gak mengerti harus bagaimana menjawab lagi, sedangkan dia yang kalang kabut sendiri mencari jalan untuk mengakhiri percakapan singkat dan bagaimana tata cara berpamitan pergi.

“Oke.. iya, gitu. Kalo gitu gue keluar sekarang dan biarin lo sendiri di sini.” Kalimatnya gugup. Begitu pula dengan gerak tubuhnya. Kaki yang gak mau sinkron dengan pengendali pusat, buat dia tampak bodoh di depanku. “Hmm.” “Lo beneran gak apa kan gue tinggal sendiri?” “Sure.” “Oke.. right, sorry gue pergi.” Pamitnya entah keberapa kali, namun kakinya membawa tubuh jangkung itu ke arah dalam rumah bukan pintu keluar. “Pintu keluarnya ke arah sana.” Aku memperingatkan dan dia senyum malu sebelum benar-benar keluar.

Kupastikan dia hilang dari pelupuk mata sebelum aku kembali menarik napas kuat dan menghembuskannya sembari menutup mata. Akuㅡ

“Hei, maaf mengganggu lagi,” Sosok itu kembali muncul. “Uhh, jangan lupa sampaikan juga yang membuat laporan bernama Alex dari kamar nomor lima.” Aku terpaksa senyum, berusaha mengontrol emosi. “Alex nomor lima. Done and done.” “Thanks.”

Aku mengulang kembali kegiatanku dari awal. Menarik napas daㅡ

“Kayaknya gue nunggu Pak Lee di sini aja deh sama lo. Bosen banget di kamar gak bisa mandi.”

OH MY GODNESS PLEASE HELP ME.

Kalau begini caranya apa beda riuh lantang di jalan dan di sini. Sama-sama kacau, bahkan parahnya lagi pengacau di tempat ini hanya satu orang. Dan orang itu yang sekarang malah duduk di sampingku seolah kita berada di suatu bilik sempit sesak tanpa ruang sisa.

“So, kalau gak salah liat lo cowok yang kapan hari ke sini kan? Muridnya Pak Lee juga? Sejak kapan?” Terlalu banyak bukan? Ayo sabar, ini adalah ujian. “Yes.” Aku membalas singkat.

“Lo ke sini masuk kelas apa? Setiap hari apa? Kok gue baru ngeliat lo kemarin?” “Meditasi. Kalau kamu mau tau kelasnya, kamu sedang ada di sana. Tepat di atas alas bambu ini khusus untuk meditasi dan berbicara panjang lebar adalah hal utama yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang mengikuti kelasnya.”

“Oh, wow haha,” Dia malah tertawa geli. “Peace, okay? Gue cuma lagi excited akhirnya ketemu orang selain Pak Lee yang bisa diajak ngobrol secara langsung. Abis negara lo aneh bro, gue dateng ke sini ngajak temen cewek ya at least gue ada temen ngobrol, ternyata kita gak bisa satu lokasi rumah. Lagi, dibeberapa tempat ada pembedaan secondary gender. Demi mengurangi kejahatan apalah-apalah, di Amerika rumah gue santai aja tuh.” Aku kira dia sudah selesai bicaranya, tapi dia melanjutkan, “Oh iya nama gue Alex. Alex Claremont-diaz. Kalo lo tipe yang rajin nonton berita pasti tau gue siapa.” Tambahnya dengan menyodorkan tangan.

That is so annoying of him. Aku hanya melirik tangan dan rupanya bergantian, memberikan seulas senyum semata. “Nice to meet you.” Aku menjawab singkat.

“Man, you're playing hard to get for what? Look, gue ini lawyer dan anak orang nomor satu di Amerika. Gue bisa jamin gue bukan orang jahat danㅡ”

“Hey... hey- Alex? Right?” Aku potong kalimatnya sebelum dia membual tentang hal diluar nalar. “Kamu mau apa dari saya?” Tanyaku pasrah. “Nggak ada... gue kan cuma mau nunggu Pak Lee di sini.” “Oke baik. Tapi bisa nggak kamu beri saya ruang sedikit. Kita punya tujuan yang berbeda di sini. Kamu bisa tunggu Uncle Lee di meja sebrang sana dan saya harus melakukan yang saya harus lakukan di sini, mengerti?” “Sorry.” Cicitnya.

Lega rasanya dia paham apa yang aku maksud sehingga dia langsung beranjak, menduduki bangku di sisi lain ruangan. Setelah ini siapapun yang akan mengganggu harus siap-siap mati terbunuh.

“What's your name anyㅡ” “SHUSSH!!” Belum ada lima detik, bibir juga belum kering dari liur. “Kalo boleh tau lo tinggal diㅡ”

“OH GOD LORD PLEASE I CAN'T DO THIS AGAIN!” Aku menyerah. Lebih baik pergi dari sini dan pulang melanjutkan chapter buku tersisa.

Pergerakan serta langkahku terburu sepertinya membuat Alex panik. Dia mengayunkan kaki panjangnya, berjalan sama cepatnya mengejar diriku yang hampir mencapai setengah lorong arah keluar.

“Hei! Hei! God, dude gue minta maaf.” Ungkapnya setelah berhasil menahan lenganku. Aku sudah tidak butuh kalimat maafnya. Alex terlalu menyebalkan sebagai seorang manusia. Bahkan telah hilang perasaan sungkan untuk menunjukkan raut kurang bersahabat ketika berbicara menatap wajahnya.

“Sekali lagi, kamu mau apa dari saya, huh?” Suaraku tegas dengan nada suara dibuat sedikit lebih tinggi.

Namun, Alex seperti tidak mengindahkan suasana kaku yang tengah aku bangun. Dia dan wajah menyebalkan dan senyum seolah menggoda. “Nama, gue cuma mau nama lo.” “Henry.” “Henry?” “Fox.” “Beautiful. Henry Fox.” “Rumah lo?” “Palace.” “Secondary gender?” “Pardon?” “Nomor telfon lo berapa?” Gerak tangannya mengeluarkan gawai dari saku, jemarinya siap sedia menangkap angka yang akan keluar dari mulutku.

Belum terdengar apapun, pandangan Alex mendongak memeriksa ekspresi wajahku. Aku bisa melihat bulu matanya yang panjang bergerak mengikuti terbuka-tutup kelopak matanya.

Dan aku tertegun dengan ekspresi yang aku sendiri tak bisa deskripsikan tatkala senyum jahilnya merekah lengkap dengan terbentuk lesung pipit di samping wajahnya.

“I..i am- i'm leaving.” Berpaling, aku ingin cepat pergi dari posisi ini. “Tunggu!” Alex menahan sekali lagi. Merogoh saku lain mengeluarkan kertas persegi panjang kaku dengan beberapa informasi di dalamnya. “Karena lo gak mau ngasih nomor lo sendiri, biar gue yang dengan senang hati ngasih nomor gue buat lo. In case lo butuh temen ngobrol atau temen ya sekedar mungkin ngajak gue jalan-jalan di sekitar sini.”

Dia berhenti sejenak, mengambil napas dan dihembuskan cepat sebelum melanjutkan lagi, “Please, call me Henry.”

Aku buru-buru melanjutkan langkah yang sempat banyak tertunda sebelum Alex menghentikanku lagi. “Anyway Hen!” Teriaknya dari jauh dan bodohnya otak pintarku memerintahkan kerja kedua kaki untuk berhenti. Kedua, dia juga memerintahkan leher untuk menengok dimana Alex berdiri.

“I love your scent by the way. Text me the brand!”


`hjkscripts.


LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC

Henry Point of View.

Aku bebas meskipun hanya sementara. Setidaknya ide Beatrice menyarankan aku pergi sejenak dari istana tidak buruk juga. Melalui lubang kecil di tembok bagian belakang yang tertutup rimbun tanaman. Lubang yang menjadi saksi frustasi dan kelemahan seorang pangeran.

Philip muda yang pertama kali memulai dengan tekad. Mencuri alat berat dari tukang kebun di malam hari. Kala itu aku ketakutan sebab menjadi saksi. Naas dia gagal karena kuat tekad belum sekuat tenaga.

Dua tahun setelah palace mengumumkan kematianku. Hanya trauma yang terus menerus menemani hariku. Berada dalam luas kamar rasa belenggu. Aku tidak puas hanya menikmati waktu kian berlalu.

Sama seperti Philip, aku memulai satu langkah dengan tekad. Namun aku yakin kemauanku lebih kuat. Tukang kebun tidak pernah belajar, masih sama meletakkan berbagai alat berat di tempat serupa.

Aku berjalan ditengah kacau gemericik hujan. Tetesan besar tak terasa sakit walau mereka berlomba saling menampar wajah.

Aku tak gentar, walau tau apa yang nanti harus aku bayar. Malam itu aku berhasil keluar, berlari, menari diiringi irama musik gemuruh yang hampir membuat bumi bergetar. Terakhir aku terkapar, di atas permukaan tanah kotor dan basah sembari menikmati bulan yang bersinar.

Kali ini jelas berbeda. Aku pergi karena butuh sebuah kedamaian. Berjalan menunduk dengan cukup pakaian yang setidaknya menutup identitas. Memasuki kerumunan senatural mungkin sembari mengingat jalan samar. Sudah lama aku belum keluar lagi sejak malam itu.

Pondok Uncle Lee. Hanya beberapa kali aku pernah bertandang selebihnya beliau yang datang.

Siapa yang tidak kenal Uncle Lee, si saudagar china yang memutuskan untuk menua di negara ini. Dia yang menghabiskan masa emasnya dengan berjualan barang-barang hasil kekayaan luar negeri.

Sekarang hanya ada beliau, jenggot putih, tongkat, dan pondok bambu bergaya tradisional yang berhasil beliau bangun sendiri sebagai penginapan turis juga sebagai kelas refleksi diri. Hanya dia dan kemampuan spiritualnya yang terkenal hingga penjuru negeri.

Kaki ini pertama kali menapak pada tangga bambu paling ujung pertanda beberapa langkah lagi kita memasuki rumah tujuan. Dejavu melanda kala dua kaki bergerak bergantian menitih langkah demi langkah hingga sampai pada gapura kokoh meskipun umur pemiliknya terus dimakan jaman.

Hal pertama terasa ketika berada di pondok ini adalah sunyi, mungkin tak begitu sunyi sebab masih ada suara daun bambu saling bergesek dihembus angin konstan serta gemericik aliran air dari miniatur air terjun yang beliau buat untuk tempat hidup ikan koi.

“Permisi! Uncle Lee!” Sapaku terlebih dahulu.

Nihil tak ada sahutan. Aku memutuskan untuk masuk lebih dalam. Menelusuri pondok sederhana mengikuti tiap lika-liku lorong yang ada hingga mendapati lirih suara.

Itu Uncle Lee sedang mondar-mandir dengan tongkatnya di tengah pendopo yang terletak di bagian belakang pondok bersama sosok jangkung lelaki yang jauh lebih tinggi dan muda dari beliau.

“Kuda-kudamu kurang kokoh anak muda!” “Lebih turun lagi! Lagi!” Beliau dan aksen lantangnya. Tak lupa tangan bebasnya menggenggam tujuh buah daun pandan untuk dipukulkan pada bagian tubuh yang menurutnya kurang sesuai dengan gerakan.

“Aku bilang kurang turun, kakimu masih terlalu panjang!” Teriaknya lagi. Yang lebih muda wajahnya tergambar frustasi seolah ingin cepat kabur dari rumah ini. “Lagi!” “Jangan salahkan kakiku pak tua! Mereka memang sudah panjang sejak lahir!” “Kamu harus berhenti mengoceh dan perbaiki kuda kudamu kalau mau sesi hari ini cepat berakhir! Dasar anak amerika liar.”

Well aku rasa membantunya sedikit bukan masalah. “Uncle Lee!” Aku memanggil beliau, menghentikan sejenak sesi entah kelas refleksi yang berubah jadi kelas debat.

Uncle Lee mendapati diriku berdiri beberapa meter dihadapannya seolah kaget tak percaya.

“Hen-Henry?” “Apa kabarmu, Uncle?” “Henry! God Lord, how do you get here?” Beliau memelukku erat seperti seorang kakek yang lama belum bertemu dengan cucunya dari jauh. “Escaping.” Balasku berbisik sambil bercanda. “Boy, C'mon! Ikuti aku ke dalam sini!” Ajaknya.

“Dan kamu, Alex!” Beliau berhenti sejenak menghadap pemuda yang beliau panggil Alex. “Istirahat sampai aku kembali!” Putusnya. “Great job, old man!”

Ketika kembali melanjutkan langkah, dua pasang mata tak sengaja beradu tatap. Ketika mata tengah bertatap, sang bibir refleks melengkung melempar senyum. TERIMA KASIH aku berhasil membaca gerak bibirnya. Aku pun mengangguk seraya beranjak memutus kontak akhirnya.


`hjkscripts.


LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC

Henry Point of View.

Aku bebas meskipun hanya sementara. Setidaknya ide Beatrice menyarankan aku pergi sejenak dari istana tidak buruk juga. Melalui lubang kecil di tembok bagian belakang yang tertutup rimbun tanaman. Lubang yang menjadi saksi frustasi dan kelemahan seorang pangeran.

Philip muda yang pertama kali memulai dengan tekad. Mencuri alat berat dari tukang kebun di malam hari. Kala itu aku ketakutan sebab menjadi saksi. Naas dia gagal karena kuat tekad belum sekuat tenaga.

Dua tahun setelah palace mengumumkan kematianku. Hanya trauma yang terus menerus menemani hariku. Berada dalam luas kamar rasa belenggu. Aku tidak puas hanya menikmati waktu kian berlalu.

Sama seperti Philip, aku memulai satu langkah dengan tekad. Namun aku yakin kemauanku lebih kuat. Tukang kebun tidak pernah belajar, masih sama meletakkan berbagai alat berat di tempat serupa.

Aku berjalan ditengah kacau gemericik hujan. Tetesan besar tak terasa sakit walau mereka berlomba saling menampar wajah.

Aku tak gentar, walau tau apa yang nanti harus aku bayar. Malam itu aku berhasil keluar, berlari, menari diiringi irama musik gemuruh yang hampir membuat bumi bergetar. Terakhir aku terkapar, di atas permukaan tanah kotor dan basah sembari menikmati bulan yang bersinar.

Kali ini jelas berbeda. Aku pergi karena butuh sebuah kedamaian. Berjalan menunduk dengan cukup pakaian yang setidaknya menutup identitas. Memasuki kerumunan senatural mungkin sembari mengingat jalan samar. Sudah lama aku belum keluar lagi sejak malam itu.

Pondok Uncle Lee. Hanya beberapa kali aku pernah bertandang selebihnya beliau yang datang.

Siapa yang tidak kenal Uncle Lee, si saudagar china yang memutuskan untuk menua di negara ini. Dia yang menghabiskan masa emasnya dengan berjualan barang-barang hasil kekayaan luar negeri.

Sekarang hanya ada beliau, jenggot putih, tongkat, dan pondok bambu bergaya tradisional yang berhasil beliau bangun sendiri sebagai penginapan turis juga sebagai kelas refleksi diri. Hanya dia dan kemampuan spiritualnya yang terkenal hingga penjuru negeri.

Kaki ini pertama kali menapak pada tangga bambu paling ujung pertanda beberapa langkah lagi kita memasuki rumah tujuan. Dejavu melanda kala dua kaki bergerak bergantian menitih langkah demi langkah hingga sampai pada gapura kokoh meskipun umur pemiliknya terus dimakan jaman.

Hal pertama terasa ketika berada di pondok ini adalah sunyi, mungkin tak begitu sunyi sebab masih ada suara daun bambu saling bergesek dihembus angin konstan serta gemericik aliran air dari miniatur air terjun yang beliau buat untuk tempat hidup ikan koi.

“Permisi! Uncle Lee!” Sapaku terlebih dahulu.

Nihil tak ada sahutan. Aku memutuskan untuk masuk lebih dalam. Menelusuri pondok sederhana mengikuti tiap lika-liku lorong yang ada hingga mendapati lirih suara.

Itu Uncle Lee sedang mondar-mandir dengan tongkatnya di tengah pendopo yang terletak di bagian belakang pondok bersama sosok jangkung lelaki yang jauh lebih tinggi dan muda dari beliau.

“Kuda-kudamu kurang kokoh anak muda!” “Lebih turun lagi! Lagi!” Beliau dan aksen lantangnya. Tak lupa tangan bebasnya menggenggam tujuh buah daun pandan untuk dipukulkan pada bagian tubuh yang menurutnya kurang sesuai dengan gerakan.

“Aku bilang kurang turun, kakimu masih terlalu panjang!” Teriaknya lagi. Yang lebih muda wajahnya tergambar frustasi seolah ingin cepat kabur dari rumah ini. “Lagi!” “Jangan salahkan kakiku pak tua! Mereka memang sudah panjang sejak lahir!” “Kamu harus berhenti mengoceh dan perbaiki kuda kudamu kalau mau sesi hari ini cepat berakhir! Dasar anak amerika liar.”

Well aku rasa membantunya sedikit bukan masalah. “Uncle Lee!” Aku memanggil beliau, menghentikan sejenak sesi entah kelas refleksi yang berubah jadi kelas debat.

Uncle Lee mendapati diriku berdiri beberapa meter dihadapannya seolah kaget tak percaya.

“Hen-Henry?” “Apa kabarmu, Uncle?” “Henry! God Lord, how do you get here?” Beliau memelukku erat seperti seorang kakek yang lama belum bertemu dengan cucunya dari jauh. “Escaping.” Balasku berbisik sambil bercanda. “Boy, C'mon! Ikuti aku ke dalam sini.” Ajaknya.

“Dan kamu, Alex!” Beliau berhenti sejenak menghadap pemuda yang beliau panggil Alex. “Istirahat sampai aku kembali!” Putusnya. “Great job, old man!”

Ketika kembali melanjutkan langkah, dua pasang mata tak sengaja beradu tatap. Ketika mata tengah bertatap, sang bibir refleks melengkung melempar senyum. TERIMA KASIH aku berhasil membaca gerak bibirnya. Aku pun mengangguk seraya beranjak memutus kontak akhirnya.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Aku menutup lembar usang buku yang sering kali kubaca. Beberapa halaman telah lepas sebab benang pemersatu kurang kuat adanya. Aku selalu tersenyum akan cerita yang tertulis di dalamnya. Inilah kisah tentang pangeran kedua yang mati akibat malaria.

Pangeran itu lucunya tak pergi seperti di cerita, dia tak lari kemana-mana pula tak bermain dengan bidadari dan ibunya di surga.

Pangeran itu adalah diriku yang masih ada di dunia.

Aku suka kala membaca buku ini, buku biografi milikku sendiri yang telah resmi berhenti ditulis sejak kerajaan menyatakan tanggal kematianku sepuluh tahun lalu. Sebab Henry ini sudah banyak tak mengingat masa lalu.

Henry fox adalah versi baru diriku. Jauh berbeda dari dahulu. Henry ini yang akhirnya memutuskan menanggalkan nama resmi anggota kerajaan dan mengubahnya dengan sebuah julukan.

Henry Arthur Hanover-Stuart si dia yang banyak perlu kasih sayang. Si dia ini yang dibesarkan dengan iba oleh kakek dari ibunya.

Little fox, begitu beliau memanggilku. Satu-satunya suara yang dapat membuatku tersenyum bahagia. Henry kecil yang tengah bermain dengan rubah liar di pekarangan belakang rumah sang kakek akan berlari sekencang mungkin karena dia tau bahwa makan siang telah siap.

See you later, little fox, adalah kalimat paling menyedihkan karena waktunya bersenang-senang di dunia sesungguhnya sudah habis dan akan kembali terkurung dalam istana.

Henry Fox dewasa ini merupakan versi terbaru yang berhasil keluar dari segala trauma masa kecilnya. Aku adalah versi terbaik yang berhasil menerima keadaan dengan lapang dada.

“Hen, look!” Aku menyesap sedikit teh manis dari cangkir sebelum memberikan perhatian pada Beatrice yang tengah tersenyum menatap layar gawainya.

“Hot isn't he?” Katanya sekali lagi. Kali ini matanya menatapku dengan binar centil khas remaja dan aku tersenyum kecil setuju.

“Siapa dia?” Tanyaku.

Beatrice fokus kembali berselancar pada gawainya. Jemari cantik itu dengan cepat menekan-tekan layar. “Alexander Gabriel Claremont-diaz. Orang-orang biasanya sebut dia ACD dan paling gilanya lagi ada yang sebut dia anjing liar.” Jelasnya.

“Ahh.” Aku mengangguk serta menjalankan memori untuk bekerja mencari berkas pada ingatan tentang nama tersebut. “That famous mad lawyer?” Timpalku saat menemukan.

“Yup! dan dia juga anak dari presiden amerika.” “Is he?” “Hmm,” “Dan dia lagi ada di sini. The White House kirim dia ke sini sebagai bentuk hukuman. He lacks of control sometimes.”

“Pity. But let's not talk about someone. How was the charity today?” “Henry, bisa gak kamu stop bahas sesuatu yang gak menyenangkan!”

Henry tertawa geli melihat ekspresi Beatrice yang berubah total kala dia merubah topik yang menyenangkan menjadi lebih serius.

Well ini adalah Henry Fox masa kini.


`hjkscripts.