hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


AUTUMN ㅡ 2023 SOUTHMINSTER PALACE, MAC

Aku adalah lelaki yang hidup bertarung dengan bayanganku sendiri.

Mereka memanggil bukan hanya Henry, melainkan menyebutnya diikuti kata-kata penuh pujaan. Henry pangeran yang dilahirkan untuk dicintai masyarakat negeri. Setidaknya begitu mereka menyoraki hadirnya ditengah-tengah kerumunan.

Bagi Ia sendiri Henry hanyalah lengkap sosoknya sendiri. Lelaki jangkung, rambut hampir pirang tertata rapi, lengkap dengan pipi gembil yang acap kali merah terkena sinar matahari, dan juga lesung pipi. Henry ini bukanlah pemilik seluruh hati. Pun, Henry hanya sosok putra yang setiap tahunnya semakin tergeser menuju sisi.

Hari lahirnya memang banyak ditunggu. Saat kali pertama mata menemukan warna dunia, disambut dia dengan penuh suka cita. Dibelai penuh kasih dan canda tawa dari keluarga. Henry kecil tumbuh bersama utuh orang tua, lengkap dengan saudara laki-laki juga adik perempuannya.

Tiba saatnya kala henry beranjak dewasa. Keadilan seolah meninggalkan bahu kanannya. Atensi pusat dunia juga berpaling dari bahu kirinya. Kala itu Henry seolah jatuh dari bangun tidur mimpi buruk belaka. Begitu semua terjadi adalah murni salah satu manusia.

Henry benci seorang dokter, Henry benci rumah sakit. Sebab kepulangannya dari sana membuat istana jadi sesuram hutan terlarang. Dingin udara bak turun salju meskipun baru memasuki musim panas.

Henry Arthur Hanover-Stuart dinyatakan seorang OMEGA.

Sejak kecil ayah dan kakeknya selalu menanamkan bahwa Philip dan Henry adalah masa depan tahta kerajaan dan pemimpin kerajaan adalah lelaki alpha yang kuat menahan benteng untuk melindungi rakyatnya. Philip memang yang pertama, namun Henry harus selalu siap sedia. Sebab masa depan belum tau bagaimana kalimat akhirnya.

Philip dahulu, Henry selalu mengingat ocehannya. Kakak tertuanya itu paling anti dalam pelajaran mengenai kerajaan. Dia dan akal liciknya selalu bisa kabur menghindari kelas tersedia. Namun Henry sebaliknya, dia mencintai Main Castle dan segala sejarah yang tertuai sejak dahulu. Beatrice pernah berkata, Henry adalah kamus sejarah berjalan. Tata kramanya lebih anggun dari pada dirinya yang perempuan.

“Kelas silsilah keluarga akan dimulai sepuluh menit lagi. Sampai kapan kamu mau bertengger di ranting pohon seperti itu?” Henry sepuluh tahun berbicara sembari mendongak. Napasnya masih memburu sebab dia berlari mengelilingi palace untuk mencari Philip yang lagi-lagi menghilang.

“Sampai mereka mencabut title dalam namaku dan dipindahkan saja untukmu. I don't want to be a king.”

Maka sejak saat itu Henry selalu bersiap. Mungkin suatu saat keinginan Philip dikabulkan dan tahta akan berpindah pada pangkuannya. Nyatanya, Henry harus mengubur mimpinya sedalam Palung Mariana.

Philip adalah masa depan satu-satunya. Seluruh civitas istana dikerahkan untuk melindungi dan menuruti kemauannya bak seorang raja. Termasuk cinta dan atensi dari kedua orang tua.

Henry memang nomor dua, pun semenjak surat resmi itu hadir keberadaan Henry terus bergeser seiring bertambahnya hari. Lambat laun Henry seolah hilang dari pelupuk mata.

Henry ada di depan manik mata, tetapi mereka seolah buta akan kehadirannya.

Dunia sang orang tua hanya tentang Philip yang menjadi raja, serta rasa khawatir berlebih tentang Beatrice yang seorang omega wanita.

Bagi negara omega wanita menjadi prioritas utama, sebab omega pria kecil jumlahnya pun setidaknya mereka masih seorang pria.

Tega sekali lagi kala istana membuat keputusan bahwa mereka setuju untuk sekali saja menipu rakyat. Mengumumkan dengan lantang bahwa Pangeran Henry tentunya sosok alpha yang sehat dan kuat. Guna menutupi kebohongannya istana dibuat seolah penjara dengan pintu terbuka.

“Mulai hari ini semua keperluan kamu ada yang memenuhi. Tinggal kamu sebutkan saja dan tunggu mereka datang di depan pintu kamar kamu karena mulai detik ini juga kamu tidak boleh keluar dari palace.”

“Tapi ayah..”

“Kerajaan sudah membuat protokol sendiri untuk menjaga kamu. Ini demi kebaikan kamu, Henry. Dunia luar terlalu bahaya untuk omega male seperti kamu.”

Ini adalah permainan petak umpet terbesar yang pernah dia lakukan, dengan rakyat jadi penjaganya, kerajaan menjadi pengadanya, dan dia yang akan terus menerus berlari bersembunyi dari satu lemari ke lemari lain berharap tiada satupun yang akan berhasil menemukan. Sebab dalam kaidah permainan tersebut, siapa yang bersembunyi paling lama dialah juaranya.

Apakah Henry atau rakyat yang berakhir menang dalam permainan tersebut? Jawabnya adalah tidak keduanya.

Kala rakyat telah lelah ikut bermain, mereka satu persatu mulai menyerah, mengambil jalan terakhir dengan bertanya pada sang pengada dimana Pangeran Henry selama ini berada?

Mereka tanpa tahu malu menjawab. Pangeran Henry dinyatakan meninggal dunia menyusul ibundanya Lady Catherine, akibat penyakit malaria.

Maka sejarah mengumumkan untuk berhenti menulis kisah hidup sosok pangeran. Menerbitkan lembar perkamen menjadi sebuah bacaan penuh kenangan.

RIP Prince Henry Arthur Hanover-Stuart🥀 May your young soul always found happiness beside your mother and God's love.


`hjkscripts.


AUTUMN ㅡ 2023 NEW ARSENE, MAC

“Welcome to New Arsene capital of Main Castle.” Ujar pria berkulit tan. Ia menyambut dua tamu kebesaran yang telah dijadwalkan datang hari ini meskipun tanpa mobil iring-iringan.

Dia pria dengan perawakan tinggi, ramping dari leher hingga mata kaki. Berpakaian jas hitam rapih, celana kain, dan juga bermandi minyak wangi. Perilakunya membuat kian detik seolah berhenti. Terpesona akan protokol tata krama yang diterapkan sesuai dan amat mumpuni.

“Shaan Srivastava. Royal family equerry.” Sebutnya memperkenalkan diri. Artikulasinya lugas, gerak geriknya tegas, genggam erat tangannya buat sedikit kebas.

Senyum canggung muncul dari kedua wajah asing di sana, “Alex Claremont-diaz, Sir. Putra Presiden Amerika Ellen Claremont.” Gilirannya memperkenalkan diri.

“I've heard so much about madam president. And you are?”

“Oh, yes.. hi, no.. i mean i am Katharina. Saya tidak yakin nama apa yang bisa menjelaskan hubungan saya dan Alex, but mari kita anggap saya adalah tangan kanannya.”

“Pleasure, Miss Kath.” “Jadi begini,” Shaan memberi sedikit ruang untuk Alex dan Kath berjalan mengikuti sembari dirinya menjelaskan lebih lanjut mengenai Main Castle dan segala protokol dalam lingkungan kerajaan.

“Saya mewakili keluarga kerajaan telah membuat kesepakatan dengan madam presiden tentang kelas tata krama dan pengaturan emosi yang akan anda berdua ikuti. Sebelum staf kerajaan mengantarkan anda pada kediaman tinggal selama di sini, izinkan saya memandu dan menjelaskan sedikit tentang negara kami tercinta dan segala protokol yang ada sehingga dapat dipatuhi dengan baik.”

Mereka berdua mengikuti setiap langkah Shaan. Mendengarkan seluruh penjelasannya tentang peraturan kerajaan yang sebenarnya sulit di pahami daripada mata kuliah hukum negara Amerika, imagine you being a lawyer here. Bahkan Alex, seolah pendengarannya hilang sejak peraturan nomor tiga dari dua puluh satu disebutkan. Ia lebih tertarik mengamati interior dalam palace yang begitu unik dengan penataan yang juga menakjubkan.

Istana kerajaan tempat paling luar biasa, dibanding rumah nomor satu di Amerika yaitu The White House yang mana dari luar nampak megah bagi kalangan umum. But this palace is just another level. Bahkan ini, kalau Alex tidak salah dengar baru satu sisi gedung istana dimana sisi ini bisa dikunjungi wisatawan.

“Hell, what a bucks to spend.” Gumamnya. “Ya, Sir Alex? Ada pertanyaan?” “Oh,” Alex terdiam canggung, tidak ingin persepsi aneh di kepalanya terdengar oleh orang kerajaan. “No...pe...” Balasnya dengan senyum konyol.

Shaan menghentikan langkahnya tepat di hadapan dinding berhias banyak pigura. Terdapat satu yang paling besar dan sisanya sebesar wajah satu individu. Mereka ditata serapi mungkin, mengambil pose terbaik sehingga pengunjung disuguhkan dengan pengalaman seolah berkeliling dalam museum Louvre di Perancis.

“Ini adalah silsilah keluarga kerajaan. Terlalu banyak memang, namun saya hanya meminta anda menghafal wajah yang akan sering ditemui nanti.”

“Sebelah sini ada Your Majesty King Arthur, pemimpin paling tinggi pada saat ini. Sadly, our queen consort has passed away years ago. Selanjutnya, Your Highness The Crown Prince Philip and his beloved spouse Lady Martha, and last Princess Beatrice.”

Ada yang aneh memang kala Shaan menyebutkan nama keturunan raja. Suaranya tidak lagi sama lantang layak sebelumnya. Nadanya tersirat keraguan dan penyesalan. Seperti anak sekolah yang menyesal sebab tak menyebutkan sesuatu informasi penting yang sudah ditulisnya dalam esai untuk dibacakan di depan kelas.

Shaan menggerakkan dua bola matanya bergantian, mengamati ekspresi Katharina dan Alex yang tengah memahat wajah manusia penting di negara ini. Bersama napas memburunya, buah adam yang bergerak cepat tak berirama, Ia berharap kedua pemuda dihadapannya tak bertanya sesuatu berarti.

Berdoalah dia semakin keras setelah ini, sebab salah satu pemuda di depannya bukan hanya remaja minus tata krama yang dikirim orang tua untuk dilatih sedemikian rupa. Tetapi, pria berpakaian terlalu santai dan kurang sopan ini adalah Alex Claremont-diaz, seorang anak orang nomor satu di negara pusat dunia dan lawyer ternama di Amerika.

Alexander Gabriel Claremont-diaz melihat dunia dengan mata serta mindset yang berbeda.

“Hei Shaan.” Alex bersuara setelah kian detik sibuk mengamati pigura. Dan rasanya dunia Shaan berhenti berputar saat ini juga. “Yes, Sir Alex?” Jawabnya hati-hati.

“Boleh saya bertanya sesuatu?” “Absolutely.” “Sepertinya anda lupa menyebutkan seseorang, am i right?”

What on earth do you mean, Alex

“Seseorang yang mana, yang anda maksud, Sir?” Alex tanpa ragu menunjuk, mengarahkan jemari panjangnya pada sebuah foto sosok pria kecil dengan senyum menawannya. “Siapa anak ini?” Tanyanya lagi.

“It is...” Shaan meneguk ludahnya berkali-kali sebelum kembali mengatur dirinya untuk menjawab seinformatif mungkin. “Prince Henry, Sir. Dia adalah putra kedua King Arthur dan mendiang Lady Catherine. Sebelum anda bertanya lebih jauh, saya dengan menyesal juga mengumumkan bahwa Prince Henry telah bahagia bersama sang ibunda akibat malaria.”

“Ohh, such a cutie little boi.” Katharina menanggapi dramatis.

“Yes, miss.” “So, saya rasa sudah cukup jauh sampai di sini dan sepertinya kendaraan pengantar juga sudah siap membawa anda berdua ke kediaman. Mari ikuti saya!”

Untill the end of the day, Alex still learn and understand this and that about his new home. Well, let's his journey begin.


`hjkscripts.


AUTUMN ㅡ 2038 BRIDGE HAMPTON, MAC

Happy birthday to you Happy birthday to you Happy birthday dear twins foxes

Bibir dua pemuda merekah hebat kala pasang mata mereka mulai membuka. Melalui ruang gulita secercah cahaya menerangi sosok pria yang tengah membawa tumpuk tiga kue manis pembawa bahagia. Bersama suara baritonnya dia berjalan mendekat, bersenandung lagu yang di dalamnya terdapat berbagai doa.

Happy birthday... to... you!

Selesai begitu, kue sederhana berhias bunga diletakkan dihadapan yang lebih muda. Lilin rupa angka satu dan tujuh berkobar konstan menambah kesan sakral.

“Now make a wish.” Suruhnya.

Dua pemuda saling menatap, menghantarkan juga senyum hangat pada sesama. Salah satunya mengangguk seolah mempercayakan kalimatnya diwakilkan saja. Selepasnya dia menatap pada pandangan dua lelaki paruh baya yang tengah dilanda beribu tanya.

“Sebelum kita minta sesuatu, aku mau bersyukur sebanyak-banyaknya kita akhirnya bersatu utuh sebagai keluarga. Satu pinta kita yaitu ingin diperdengarkan awal mula kisah kalian berdua. Sebab rasanya sulit untuk sayang kala belum saling mengenal.”

Maka di malam spesial dua pemuda beranjak dewasa, untuk pertama kalinya sang orang tua menggelar sebuah cerita tentang lika-liku takdir sebagai yang tak dianggap di tanah monarki.


`hjkscripts.

akhirnya aku dan kamu.


Gaipa Point of View.

Kita akhirnya di sini, berdiri menghadap sorak-sorai. Mana bisa aku bendung senyum tanpa menampilkan deretan gigi. Aku tersipu ketika akhirnya aku dapat melihat jelas paras tampanmu. Kamu genggam seluruh jemariku, membawa ragaku dalam pandu.

Hening semua ketika dua lututmu menyentuh tanah. Kamu haturkan berbagai kalimat cinta bertabur mutiara. Indah, aku semakin haru dibuatnya. Hingga beludru merah pembawa cincin permata yang keluar dari peraduan menjadi akhirnya.

Dengan ini disaksikan perwakilan insan di bumi beserta sinar cahaya mentari, bersediakah kamu menjadi pendamping hidupku?

Aku menangis, bukan karena bersedih. Aku menangis semata berucap syukur sekali lagi, berterima kasih telah dihadirkan sosok lelaki ini.

Maka jawaban apalagi yang mereka tunggu? Pastilah aku dengan tanpa ragu berkata.

Iya, aku mau.


`hjkscripts.


Gaipa Point of View

Hancur berantakan, yang semula utuh telah melebur. Harapan itu, asa yang masih tersisa habis tiada. Sombong diriku, percaya diri sekali aku, mengira terbukanya dua kelopak mata jadi tanda bahwa semua akan kembali baik-baik saja.

Ya Tuhan, belum cukupkah? Berapa banyak lagi yang akan Kau ambil? Berapa banyak lagi yang harus aku ikhlaskan? Berapa banyak lagi yang harus aku sediakan hingga memenuhi kata cukup dan menyudahi penderitaanku sampai disini.

Aku lelah, air mata hingga enggan meleleh. Pusat tubuhku malfungsi sehingga yang lain ikut mati. Apa arti makan? Berdiri pula susah bukan main. Aku jatuh, terperosok dalam lubang yang digali tanpa ada ujung dasar juga tanpa secercah sinar. Gulita ketika mataku tertutup maupun terbuka.

Seseorang raih ragaku. Sebab berhentinya pusat kendali mendatangkan banyak pikiran semudah menyudahi hidup ini. Aku masih mencari remahan sekecil debu sebagai motivasi. Namun bila tak ada mungkin jawabannya adalah mati.

“Gaipa?” Panggilnya.

Suara itu aku tahu milik siapa. Dari sekian hiruk pikuk sekitar hanya miliknya, yang tengah melantunkan namaku mampu aku dengar.

“Gaipa!” Lagi dendangnya.

Kini tubuhku terguncang, lemah ragaku ada yang menopang. Komponen dalam diri mulai kembali berfungsi dan dingin hawa menyelimuti kini terganti hangat sebab dekap dadanya erat.

“Gaipa...” Lirihnya frustasi.

Iya, aku mendengarmu sekarang. Jelas, amat jelas. Kini aku menatap wajahmu yang penuh kekhawatiran ketimbang milikku yang sudah pasi.

“Alan.” Aku menyebut namanya. Nama sosok yang selama ini sering berkeliaran mengitari dunia sempit milikku.

“Maaf saya terlambat.” Katanya penuh penyesalan.

Kenapa harus minta maaf jika kematian ini aku juga tak tahu siapa yang patut disalahkan.

“Maaf ya saya terlambat.” Kali ini dia berbisik sembari dua lengannya menarik tubuhku lebih dalam pada pelukannya.

Aku akhirnya menyerah, menangis meraung melampiaskan segalanya. Aku lemah, aku tak lagi sanggup jauh melangkah, aku hilang arah, dan entah siapa yang akan memapah.

“Sttt.. it's okay, gak apa nangis aja. Lepaskan semua, saya disini untuk kamu.”

“Bu... Gaipa sendirian, bu...”

“Nggak Gaipa, ada saya. Saya selalu ada di sisi kamu.”

“Bu... Gaipa di sini sendirian.”

“Kamu nggak akan sendirian. Saya yang akan jaga kamu.”

“Mulai sekarang saya yang akan jaga kamu, Gaipa.”


`hjkscripts.


Gaipa Point of View.

Aku mana pernah tau sejak kapan hubungan antara ibu dan pekerja bank ini bisa terjalin begitu erat. Pasalnya hidupku hanya tentang mengikuti kemana kaki paruh baya ini melangkah.

Mungkin sebab pikiranku banyak terbagi untuk memikirkan nasib cinta sepihak yang entah kapan akan bergerak. Mungkin sebab apa yang menjadi topik pembicaraan kita berdua selebihnya hanya tentang aku dan kekaguman akan pria itu. Pria yang bahkan sama sekali tak melihat diriku ada.

Aku pun menyadari bahwa ibu adalah pendengar yang baik namun aku bukan.

Iya ya... kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang dirinya sendiri. Kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang hari-hari saat aku tak ada disana. Kemana? Bertemu siapa? Bagaimana penampakannya? Apa yang mereka bicarakan?

Aku merasa berdosa jujur aja. Yang paling membuat aku terpukul ketika ada orang lain yang lebih dipercaya ibu untuk menjaga rahasianya ketimbang berbagi sama anaknya sendiri.

Itulah orangnya. Khun Alan si pekerja bank, yang saat ini tengah begurau layaknya sanak saudara ibu.

Ibu itu cerewet, tapi beliau bisa lebih cerewet kalau nemu orang yang tepat. Buktinya baru tadi siang dinyatakan siuman sekarang udah cerita ngalor ngidul kayak orang sehat. Khun Alan, aku bingung sih mau komen gimana tapi ya he's just perfect, tipe-tipe yang semua ibu-ibu mau jadiin dia mantu.

Senyumnya, binar matanya, ekpresinya. Padahal dia cuma diem sambil ngangguk dengerin cerita ibu tapi bikin ibu semakin nyaman, seolah semua rahasia juga bakal dibongkar sekarang juga. Dia cuma diem tetapi gelagatnya menunjukkan kalau dia penasaran, dia mau tau lebih banyak tentang cerita ibu.

Pendengar yang baik ternyata gak melulu jadi pendengar. Terkadang, mereka butuh seseorang yang mampu juga mendengarkan sedikit kisah mereka.


Aku duduk termenung diantara hiruk pikuk. Berselancar di atas gawai jari jadi begitu piawai. Aku beri sedikit ruang untuk yang bercakap tanpa ujung.

Tubuhku bersandar, rileks pada punggung bangku. Sedikit bersantai meskipun masih banyak nominal yang datang seolah ingin membantai. Setidaknya ada kabar baik ditengah buruk.

Lantas aku semakin mematung kala netra tanpa sengaja bersitatap dengan salah satu potret terpampang dalam media sosial.

Mereka semua bahagia meskipun tanpa diriku disana.

Wajah baru itu juga nampak nyaman meskipun baru habiskan beberapa waktu.

Sedangkan aku dan separuh hidupku hanya untuk sekedar mendambamu.

Kasihan... kasihan sekali si aku.

“Gaipa?”

“Huh?” Kepalaku bergerak berpaling pada sosok yang sudah menyamai posisinya dengan diriku.

“Khun Alan...” Dia tersenyum begitu aku sebut asmanya.

“Kenapa tidak menunggu di dalam saja?” Dia bertanya.

Aku terkekeh, “Saya sungkan sendiri lihat ibu dan Khun Alan ngobrol begitu semangat.”

“Ahh,” Dia ikut tertawa kecil. Aku suka bagaimana giginya nampak ketika dia begitu. Matanya menyipit diikuti kerutan disekitarnya. Dia tampan, dia lelaki tampan.

“Maafkan saya. Sudah lama sejak pertemuan saya dan Bu Hong. Saya rindu suaranya ketika bercerita di ruangan saya.” Lanjutnya.

“Oh ya?”

“Hmm.”

“Biasanya ibu cerita apa?” Kini aku penasaran. Seberapa dekat ibu dengan lelaki ini sampai begitu banyak yang beliau bisa ungkapkan.

Alan nampak menimbang, entah dia berlebihan atau memang sudah terlampau banyak tema yang mereka bicarakan. “Banyak. Paling banyak tentang putranya.”

Aduhh ibu...

“Lalu, Khun Alan nggak bosan memang mendengar cerita tentang putra Bu Hong?”

Kini aku menatapnya dengan senyuman jahil. Melemparkan pertanyaan main-main menggodanya. Ingin sekedar tau jawaban basa-basi apa yang akan dilemparkan lelaki ini.

Alan menghela napas, badannya semula tegak dibuat seluwes mungkin. Dia mensejajarkan wajahnya dengan milikku, balas tatap pula dengan dua manik hitamnya.

“Anehnya saya tidak bosan.” Dia berhenti sejenak. Bola matanya bergerak mengamati tiap jengkal struktur wajahku.

Bibir lelaki ini terangkat kecil seolah berbalik menggoda.

“Malah sekarang saya penasaran bagaimana putra Ibu Hong sebenarnya.”


`hjkscripts.


Gaipa Point of View.

Aku mana pernah tau sejak kapan hubungan antara ibu dan pekerja bank ini bisa terjalin begitu erat. Pasalnya hidupku hanya tentang mengikuti kemana kaki paruh baya ini melangkah.

Mungkin sebab pikiranku banyak terbagi untuk memikirkan nasib cinta sepihak yang entah kapan akan bergerak. Mungkin sebab apa yang menjadi topik pembicaraan kita berdua selebihnya hanya tentang aku dan kekaguman akan pria itu. Pria yang bahkan sama sekali tak melihat diriku ada.

Aku pun menyadari bahwa ibu adalah pendengar yang baik namun aku bukan.

Iya ya... kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang dirinya sendiri. Kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang hari-hari saat aku tak ada disana. Kemana? Bertemu siapa? Bagaimana penampakannya? Apa yang mereka bicarakan?

Aku merasa berdosa jujur aja. Yang paling membuat aku terpukul ketika ada orang lain yang lebih dipercaya ibu untuk menjaga rahasianya ketimbang berbagi sama anaknya sendiri.

Itulah orangnya. Khun Alan si pekerja bank, yang saat ini tengah begurau layaknya sanak saudara ibu.

Ibu itu cerewet, tapi beliau bisa lebih cerewet kalau nemu orang yang tepat. Buktinya baru tadi siang dinyatakan siuman sekarang udah cerita ngalor ngidul kayak orang sehat. Khun Alan, aku bingung sih mau komen gimana tapi ya he's just perfect, tipe-tipe yang semua ibu-ibu mau jadiin dia mantu.

Senyumnya, binar matanya, ekpresinya. Padahal dia cuma diem sambil ngangguk dengerin cerita ibu tapi bikin ibu semakin nyaman, seolah semua rahasia juga bakal dibongkar sekarang juga. Dia cuma diem tetapi gelagatnya menunjukkan kalau dia penasaran, dia mau tau lebih banyak tentang cerita ibu.

Pendengar yang baik ternyata gak melulu jadi pendengar. Terkadang, mereka butuh seseorang yang mampu juga mendengarkan sedikit kisah mereka.


Aku duduk ter


Khaotung Point of View

Dia yang dipanggil First adalah lelaki pertama dalam hidupku. Anak pertama daripada garis keturunan ayah dan ibu. Si pemilik absen nomor satu. Lelaki yang hampir selalu menang lomba juara satu.

First itu sempurna setidaknya bagi gue yang biasa aja. Pinter, rajin, segala social butterfly ada dalam dirinya. Gak kayak gue yang lurus aja. Kuliah hanya tentang datang, menyerap wawasan, dan pulang. Paling kenceng, kegiatan kampus yang gue ikutin, yang ada label wajib. Selain itu, waktu seharian habis di dalem kamar ini. Sang saksi bisu bagaimana Thanawat Rattanakitpaisan tumbuh sejak balita hingga remaja.

Dalam sudut pandang seseorang dimabuk cinta, First bagai pujangga. Gue kagum, bagaimana lelaki itu selalu punya banyak diksi tuk ditorehkan. Bagaimana rayunya dapat memenangkan perasaan. Bagaiman pula bibirnya menyusun manis kosa kata tuk diungkapkan demi sebuah senyuman. Dia adalah First, sosok hangat yang mampu melunturkan abu-abu dalam diriku. Dia adalah First Kanaphan, kekasihku.


`hjkscripts.


Bible Point of View

Ketika keponakan gue selesai diperiksa, dokter menyarankan si bayi rawat inap. Katanya demam berdarah dari hasil tes jadi butuh pantauan dari rumah sakit.

Maka gue masih harus terjebak di gedung dengan aroma khas cairan desinfektan. Kakak ipar gue konfirmasi bahwa gue harus menunggu lebih lama.

Wanita cantik berjalan mendekati. Paras menawannya bahkan gak hilang sama sekali meskipun air mukanya nampak pucat pasi.

“Bang Ping bilang ke gue kalo kafenya masih chaos.” Gue menyampaikan informasi setelah menerima pesan lanjutan dari manusia di luar sana.

“Iya, ini chatnya baru masuk di aku.”

“Si adek mana?” Gue bertanya.

Kakak kandung gue satu ini gak langsung jawab melainkan menghela napas lemas. “Tidur di UGD. Ini masih nunggu kamar ranapnya baru bisa dipindahin.” Lirihnya.

“Oh.” Gue paham.

Kita berdua berakhir cuma duduk menunggu sambil ngobrol ringan. Terus gak kerasa kalau udah menunjukan jam makan siang.

“Ke kanti yok! Makan dulu.” Ajak gue dibales gelengan. Jadi ibu itu gini ya, katakan anaknya belum nyaman ya dirinya juga gak bisa nyaman.

“Lo aja dek, gue entar gampang. Takut adek bangun kasihan susternya nyariin.”

“Oke.”

Berjalan, gue berjalan menyusuri lorong tanpa ujung. Aneh banget padahal kantin ada di belakang yang aksesnya cukup mudah di tempuh. Namun, gue memilih untuk berputar-putar sebentar sembari menghirup udara bercampur bau obat-obatan.

Daripada rasa lapar, penasaran ini lebih besar. Gue jarang sakit jadi kurang lebih minim ingatan gue akan rumah sakit. Kalau pilek ya tandanya minta istirahat lebih, cukup tidur satu dua hari. Pun, pas pileknya parah milih jalan cepetnya aja ke klinik terdekat, dikasih resep, nebus di apotek ya udah kelar.

Rumah sakit bagi gue adalah tempat untuk dikunjungi. Nengokin temen, saudara yang lagi sakit. Terakhir gue ke sini pas keponakan gue baru lahir. Intinya gue datang sebagai orang sehat, belum pernah sebagai wali maupun pasien yang harus di rawat.

Dua kaki gue mendadak berhenti seolah punya insting. Lalu dia juga seolah memerintahkan obsidian untuk melihat ke arah depan tepat di bangku tunggu sebuah ruang dokter.

“Biu?”

Gue dengan percaya diri mendekat. Beneran mana ada gue sotoy, jelas-jelas ada Job sama Nodt juga. Mereka lagi ngobrol dengan suara khas mereka. Gue hafal banget.

“Atas nama Build Sumettikul.”

Kayak kesamber petir dibarengi bunyi geluduk gue seketika berhenti. Seluruh tubuh dikeburungi perasaan gak enak.

Hah siapa yang sakit?

“Biu!” Panggil gue.

Empat kepala seketika noleh ke arah sumber suara. Satu raut bingung, sisanya jelas kaget. Oh, ini tuh skenarionya gue gak tau ya?

“Bib...”

“Siapa?” Gue memotong ucapan siapapun yang mau coba jelasin. Gue udah paham pasti mau ngelak dengan segala alasan. Tapi gue gak mau disela, gue mau tau jawabannya.

“Siapa yang sakit?” Meskipun kalimat itu diakhir tanda tanya tetapi suara gue menuntut.

Mereka diem gak ada yang mau jawab. Maka netra gue mengedarkan pandangan untuk cari petunjuk.

Dr. Nattawin Wattanagitiphat, SpKJ.

“Bib akuㅡ”

“Kamu yang sakit? Kamu sakit apa, hah?!”

“Bib, hei!” Suasanya makin hening.

“Dengerin aku. Kalau kamu mau tau aku kenapa ayo ikut aku ke dalam. Tapi, pertama kamu harus tenangin diri kamu dulu.”


Build Point of View

Setelah sesi konsultasi dan mendengarkan diagnosa awal serta segala macem solusi treatmentnya. Aku dan Bible bisa bernapas lega. Enggak, gue bukan langsung sembuh tapi udah gak sanggup nahan sesek pas ceritain kisah gue dari awal sampai akhir.

Sejak awal konsultasi sampai sekarang lagi nunggu obat dia cuma diem. Bengong, kosong, lemes. Sel-sel dalam tubuhnya seakan malfungsi.

Pun setelah obat diambil dan administrasi selesai dia ngajak balik ke rumah. Seberapa besar pun aku ngajak buat ngobrol dia tetep bisu.

Aku beneran gak bisa apa-apa. Wajar banget dia marah, emosi. Gimana ya, dia perannya jadi suami. Terus, pasangannya punya masalah mencoba cari jalan keluar sendiri enggan berbagi. Yaudah pasrah, didiemin sampai hari sudah masuk jam tidur ya pasrah.

Setelah mandi Bible merebahkan tubuhnya di sampingku. Rambutnya setengah basah tanda dia udah gak mood bahkan sekedar ngeringin rambut pakai hairdryer.

Aku masih mau berusaha, at least menjelaskan sedikit mumpung belum jadi masalah gede nantinya. Aku berbalik, mengamati wajah damainya yang sudah tertutup matanya.

“Bib?” Panggilku berbisik.

“Shush..”

Bible merapatkan tubuhnya, dibentangkan satu lengannya sehingga cukup menangkup utuh tubuhku. Aku pun balik memeluk dia. Setidaknya Bible gak mendorong aku menjauh.

“Bib?” Suaraku sekali lagi.

“Tidur, gak usah dibahas sekarang.” Sahutnya pelan.

“Aku lagi marah, aku takut nyakitin kamu kalau tetep mau dibahas. Besok ya, tunggu emosiku reda dulu.”


`hjkscripts.


TRIGGER WARNING ⚠️ MENTAL HEALTH DISORDER, ACCIDENT


Bagi Build menghadari sebuah pesta adalah kegemarannya. Bertemu dengan banyak orang, ngobrol sana sini. Ketawa berusaha mengisi kekosongan diri. Meskipun pulang nanti hati kembali hampa.

Build melatih dirinya sebelum membuka pintu mobil. Berkali-kali menatap figurnya dari cermin. Berapa banyak tipe senyum yang telah diperlihatkan.

“Sudah?” Bible bertanya. Lelaki itu dengan sabar menunggu Build yang tengah bersiap.

“Yuk!”

Kala memasuki taman, wajahnya mendadak masam. Harusnya dia sadar, ini bukan pesta anak muda melainkan sebuah perkumpulan orang tua. Tidak ada musik yang akan memimpin degup jantung. Hanya ada lagu berbahasa tionghoa dengan musik mendayu.

Bukan, bukannya dia sekarang jadi membenci pesta pun dia hanya membenci akan yang hadir di dalamnya.

“Kak Biu!”

Bagai tombol otomatis, senyum Build mengembang apik menyambut anak pemilik acara.

“Bas.”

“Berdua aja? Mama papa-nya Kak Biu sama Kak Bible mana?” Bas mengedarkan pandangannya terhadap sekitar. Nihil, sepasang lelaki hadir bersama bayangannya saja.

Bible menanggapi, “Maaf ya, Bas bunda sama ayah gak bisa dateng. Terus orang tuanya Biu juga sibuk.” Katanya sungkan.

“Oh,”

“Yuk, aku anter ketemu mama!”

Inilah momen paling tak disukai. Ketemu orang tua tuh kayak ketemu non player dalam game. Apa yang mereka ucapkan sudah sesuai setting pabrik. Sekali kalian bakal dengerin, kedua, ketiga, hingga seterusnya bikin kesel yang akhirnya memilih tombol skip.

“Ma, ini Kak Biu sama Kak Bible.” Bas memperkenalkan.

“Selamat ulang tahun ya, Ai. Semoga sehat selalu panjang umur.”

“Makasih loh udah mau dateng di acara sederhananya Ai.”

Pertama, beliau bakal senyum sambil memperhatikan paras si muda. Kedua, beliau bakal nanya pertanyaan dasar kayak umur, alamat, dan kerjaan. Terakhir, inilah saatnya.

“Biu sama Bible anaknya mana kok gak dibawa?”

Build senyum kagok, serba salah kalau udah terjebak di situasi demikian. Diam bukan solusi, jawab nanti balasannya nyakitin hati.

“Belum ada, Ai.” Bible menyahut pelan.

Ditanggapi begitu tentu menghasilkan raut wajah tak puas dari wanita yang kini menginjak 85 tahun.

“Loh kok belum? Kenapa? Ini cucunya Ai aja sudah ada yang menikah. Lihat itu Mark, harusnya anak kalian sudah sebesar itu.” Nah kan dibilang juga apa.

“Ma, gak boleh ngurusin hidup orang ah.” Bas nyoba menengahi, namun apa daya kalau orang tua sudah berbicara. Gak ada cela diantara kita.

“Punya anak itu penting loh. Sumber kebahagiaan, sumber berkah. Nanti siapa yang temani waktu udah tua kayak Ai kalau bukan anak.”

“Iya, Ai. Makasih wejangannya.”

“Nah gitu. Mulai dipikirkan terus ambil keputusan segera.” Keduanya mengangguk pasrah.

“Sudah sana sekarang dicobain resep masakan rumahnya Ai. Dijamin enak, yang masak kepercayaan Ai semua.”

“Sekali lagi makasih ya, Ai. Saya sama suami permisi kesana dulu.”


Menyendiri, kali ini Build memilih memisahkan diri dari kerumunan bersama minuman entah namanya. Ia harap ada alkohol di sini. Setidaknya ruwet di dalam pikiran bisa hilang teratasi.

Berkali-kali hembusan napas berat gak bisa dia tahan untuk lepas begitu saja. Pemandangan dihadapannya sungguh membahagiakan pula menyiksa. Kenapa ya manusia punya budaya mendandani anaknya segemerlap mungkin hanya untuk bertemu dengan seseorang yang asing bagi mereka.

Ketika di lokasi, yang mereka lakukan hanya cukup diam memasang senyum menawan. Sementara, dua pasang orang tua sedang beradu melempar bakat anaknya masing-masing dengan nada dibuat seramah mungkin meskipun dalam hati merapalkan banyak makian. Begitu menyebalkan.

“Kak Biu! Aku cariin di sini ternyata.” Build berbalik, menyerahkan seluruh atensi pada lelaki pemilik senyum terbaik.

“Kak Biu kok gak gabung sama Kak Bible di sana? Udah ngumpul tuh ada Kak Nodt sama suami aku.”

Bas, bas kok bisa malaikat secakep kamu jadi jodohnya Job. Batinnya dalam hati.

“Kak?”

“Ehㅡ”

“Iya... Iyaa nanti aku ikut gabung.”

Bas masih di sana, berdiri entah untuk apa. Bingung juga mau ngobrol apa sama temen baik suaminya ini. Dia belum pernah ada di situasi benar-benar sendiri dengan Build ataupun Nodt.

By the way kak?”

“Hm?” Build berdeham meski dua netranya melalang buana. Lebih tertarik memperhatikan balita yang tengah bermain balon.

“Aku minta maaf ya soal omongan mama tadi.” Cicitnya kecil, takut-takut Build begini akibat tersinggung.

Build nampaknya abai, well dia mendadak lupa aja lebih asyik mengisi memorinya dengan gerak-gerik lucu.

“Kak Biu, ayok main bola!”

Ia mendadak sendu. Kata-kata terakhirnya Build dengar ketika dia sebesar badan anak itu. Terakhir Build melihatnya dia masih sebesar itu.

Build kini bangkit dari alam sadar. Menyadari netranya telah kosong kehilangan objek penelihatan.

“Kemana?” Dirinya panik. Mengedarkan hanya dua miliknya seksama.

Sialan, hasilnya nihil. Anak itu entah ada dimana. Build tanpa sadar beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan panik menabrak apapun seperti orang mabuk.

Orang disekelilingnya memperhatikan Build aneh. Beberapa marah sebab setelan mahal berubah jadi basah tanpa sengaja. Namun, Build tak berhenti. Semakin panik kesetanan kala belum menemukan sosok kecil yang dia perhatikan.

Lalai, lagi-lagi Ia lalai. Menjaga satu anak kecil saja gak becus. Menjaga anak orang lain saja gak bisa, gimana mau rawat anak sendiri.

“MINGGIR! SEMUA MINGGIR!” Teriaknya kala akal sehat mulai hilang ditimpa emosi. Build menangis histeris sembari sibuk mencari. Bahkan Beberapa teman yang coba menahannya ditepis begitu saja.

“Dimana?! Kamu dimana? Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!”

“Biu!”

“Lepas! Lepas nanti dia mati!”

“Biu! Hei! Lihat aku!”

Nggak, Build menolak. Menggunakan sisa tenaganya keluar dari dekapan Bible.

TIN! TIN!

Lelaki kacau kini berlari, sekuat tenaga secepat yang dia bisa.

“MAMA!!!!!”

Adegan selanjutnya semua yang ada di sana bahkan tak ingin menyaksikan. Hingga mobil tak tau diri melintas dengan kecepatan tak terbatas lewat tanpa hambatan.

Bible jadi orang pertama yang berlari menuju sebrang. Membantu Build dan si anak berdiri serta meneliti bagian tubuh keduanya.

“Bib?” Build memanggil terbata. Ia kosong, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

“Gakpapa, udah gakpapa. Kamu tenang aja. Kita pulang, nanti aku obatin lukanya”

Hanya kalimat itu yang mampu Bible utarakan.


`hjkscripts.