oh my baby.
Kelambu di hadapanku, aku dekati dengan perasaan sendu. Dua penunjang hidup mengayun bergantian mendekat penasaran. Aku sentuh, lalu ku genggam kain berbahan beludru. Membuka celahnya, aku melangkah maju berakhir tersungkur pada penjara penuh penyesalan.
“Kak Biu ayo main bola!” Jeritan si kecil dari kejauhan. Ia melambai tangan gembira berusaha mencari perhatian.
Namun, aku hanyalah sosok manusia pemalas. Aku bergeming, enggan mengindahkan ajakannya bermandi panas. Ia pun bermain sendiri dengan raut memelas.
“Kak Biu-”
Harusnya aku membiarkan kalimatnya selesai.
Harusnya aku mendengarkan dia bukan menaikkan lebih besar volume radio.
Harusnya aku tak menghardiknya, meskipun tubuhku diguncang hebat.
“Kamu tuh bisa gak sih jangan ganggu kakak sehari aja? Punya tangan, punya kaki, punya banyak mainan ya sana mainin sendiri. Aku gak mau main sama kamu. Sana-sana pergi!”
Si kecil kini berjalan menjauh, sejauh hingga aku tak bisa melihat bayangannya. Bukan itu maksudku pergi. Aku maunya kamu tetap di sana, bermain dengan bola merah tua. Bukannya berlari keluar mencari yang telah hilang pasti.
Jahatnya kamu menghukum aku begini. Diperdengarkan suara dentuman keras dan jeritan pilu seorang diri. Kamu menang, kamu dapat semua perhatian, lihat aku sudah berdiri di sini. Tetapi, tubuh kecilmu kaku bersama bisik-bisik orang yang berkata kamu telah mati.
Aku terbangun selalu pada sepertiga malam berbaur peluh. Masih ada harapku bahwa dahulu hanyalah sekedar bunga tidur. Sayangnya, puluhan tahun aku telah hidup. Bertahan bersama derita masa lalu yang terus menggerogoti kewarasanku perlahan.
`hjkscripts.
Build Point of View
Sebagai orang biasa kehidupanku ya begini. Bangun tidur, cek jadwal apa harus pergi untuk ngisi kerjaan. Kalau gak ada diem di rumah, gangguin dua kucing yang udah aku anggep anak sendiri.
Moment yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah ketika bangun pagi dan menerima panggilan buat kerja. Ketemu sama orang baru dengan berbagai karakter, apalagi ada temen ngobrol sampe hangout bareng. Bisa dibilang gue paling suka sosialisasi. Menjalani hidup sebagai Build adalah mencari manusia untuk disimpan dalam buku catatannya.
Maka, ketika aku tidak bisa bergantung dengan satu orang, aku bisa bergantung dengan orang lain.
Keluarga lengkap, punya suami perhatian, dan dua sahabat dekat belum cukup untuk memenuhi dunia yang kubuat sendiri. Aku perlu banyak, kalau bisa seluruh dunia jadi temanku.
Kata orang-orang yang namanya Build itu dimana-mana. Muncul di banyak ekstrakulikuler sekolah atau organisasi ketika kuliah udah biasa.
“Lo lagi lo lagi.”
“Anjir lo, Biu lagi yang gue liat!”
Aku begini tentu bukan tanpa alasan. Banyak yang ngomongin di belakang he's pathetic dan gue gak bisa marah. Sebab, memang begitu faktanya.
Aku lah sang lelaki menyedihkan. Si beken namun juga kesepian. Bersahabat denga orang tua dibuat tertekan, Bergantung pada suami yang gila akan pekerjaan, serta mengandalkan dua sahabat untuk menemani saja banyak sungkan.
Aku si lelaki kesepian tak ada jalan lain untuk mengisi kehampaan dalam diri dengan belari dari satu ke lain teman.
Sore ini pun aku beruntung, dua sahabat terbaik sepanjang masa bisa kuambil sedikit waktunya untuk menemani si gundah gulana.
“Bapak, nasi goreng adek ada taugenya.”
“Terus bapak harus gimana, dek? Kan gak tau yak bukan bapak yang masak.”
Selalu, emang kalo ketemu Job sama anaknya meja makan udah jadi acara kuis debat. Kata kuncinya gak pernah ganti. Tauge, Mark anaknya Job paling ga suka tauge dan apapun makanan bapaknya, mau cocok atau gak disitulah tempat pembuangannya. Soalnya percuma itu tauge dikasih ke Bas, bisa-bisa meja makan jadi acara siraman rohani.
“Semua makanan yang ciptain Tuhan, dek. Kalau kamu gak makan bukan cuma yang masak sedih, Tuhan juga sedih liatnya. Sana dimakan, bikin sehat. Kamu harus bersyukur...” Berakhir Bas minimal bacain satu ayat sesuai situasi.
“Pap, udang goreng kamu kok enak ya?”
“Kak, stop ganggu aku makan! Itu makanan kamu masih ada.”
Kalo yang satu ini juga aneh. Semua yang ada dalam pandangan Nakunta; anaknya Pap Nodt enak. Maka dari itu ini bocah badannya bongsor. Makanan papnya sering diambil, sobat satu ini mau marah juga gak bisa.
Begitulah dinamikanya jadi orang tua. Makan gak pernah tenang, harus rela dijadiin tempat sampah, ngabisin, bahkan makanannya diambil.
Kata dua sobatku jadi orang tua gak melulu tentang ngalah dan pasrah. Sebab, bukan anak aja yang butuh kasih sayang dua orang tua, namun mereka juga berharap disayang sama anaknya.
Ditemenin di rumah, diajak ngobrol, diajarin pakai teknologi masa kini, diceritain tentang kehidupan muda sembari nostalgia, ada yang bakal nyicip masakannya, dan banyak lagi.
Testimoni tersebut buat aku termotivasi meskipun paham sendiri tubuh ini sedang gak baik-baik aja. Mungkin suatu saat, apakah akan ada kesempatan itu?
`hjkscripts.
Build menangis dalam tidurnya yang damai. Entah apa yang tengah terjadi di bawah alam sadar. Ia tergugu, gumamkan ratapan pilu, jangan... tolong jangan lagi. Mencoba bangun pun rasanya sukar.
Lelaki ini paling benci kala jatuh selalu disambut kelambu. Sekuat tenaga enggan membuka, seolah tubuh ditarik paksa. Hingga akhirnya, Build harus terima diperlihatkan masa lalu.
“Kak Biu, ayo main bola!”
“Biu?”
“BIU!”
Kelopak mata sembab kini terbuka. Terbelalak sejenak kemudian kembali kabur akibat banjir air mata. Malam ini dirinya selamat. Ditarik keluar sebelum ceritanya berakhir tamat.
“Kenapa?” Bible dengan suara lirih serak bertanya pada Build. Dua tangannya sibuk, menghapus bulir tersisa dan mengusap bahu tersayangnya.
Build menggeleng meskipun wajahnya masih tegang. “Nggak.” Jawabnya singkat.
“Aku gak apa-apa.” Lanjutnya.
Belum waktunya dia bercerita. Mungkin sampai akhir hayat pun dia tidak akan pernah membagi kenangan buruknya pada siapun selain untuk disimpan sendiri. Biarlah penderitaan ini nantinya terkubur bersama jasad dirinya ketika hilang sudah nyawa.
`hjkscripts.
Build Point of View.
Selamat datang kalian pada dunia masa lalu. Sepi sekali, sebab yang akan kalian sapa bukan wujud yang akan membalas sapa senyummu. Dia ada di dalam sana, tidur bak membeku. Temannya hanya beberapa, mungkin hanya tanah dan batu.
Aku bersimpuh, tatap kosong nisan pilu. Ku usap pelahan, bergerak dari satu huruf ke huruf lainnya. Memahat namanya, mengutarakan ribuan kalimat rindu.
“Hi, maaf kakak baru datang.” Aku menyapa.
Dua lelaki dewasa masih betah berdiri, tak berani mengungkap apa yang terganjal di nurani. Menahan diri untuk sekedar mencari informasi.
Kini aku mendongak, netra bersua dengan milik keduanya. “Sorry gue baru sempet ngajakin kalian kemari.” Ujarku.
Lantas, dua sahabatku ikut bersimpuh mengelilingi rumah terakhir bagi seluruh umat.
“Ini makam adek gue yang beberapa kali gue ceritain.”
Aku mulai membersihkan rumput kecil di atas tanah. Lalu, satu ikat bunga aku letakkan apik berdampingan dengan pusaranya.
Air mata meleleh tanpa siapapun bisa menahan. Tumpah ruah meluapkan beban derita. Bahkan banyak usapan yang aku terima belum cukup untuk kembali kuat bertahan. Aku jatuh sedalam-dalamnya pada sakitnya luka.
“Dia meninggal,” Ujarku sembari tergugu.
“Dia meninggal karena kakaknya gak becus jagain. Kakaknya goblok, dan kakaknya adalah gue.”
Kini aku bersujud, memohon ampun sebanyak-banyaknya. Aku memohon, minta untuk dilepaskan dari ikatan kasat mata yang begitu menyesakkan. Sebab aku masih ingin hidup, bertahan selama mungkin tanpa menanggung beban dalam jiwa.
`hjkscripts.
Bible Point of View
Malam ini untuk yang pertama; entah kapan kita terakhir kali makan bareng di meja makan rumah sendiri. Meja ini udah kayak pajangan doang, paling maksimal isinya satu set alat makan saking jarang makan di rumah.
Menunya adalah salad, bukan buatan tangan suami gue tetapi terpenting adalah momentnya. Tenang kok, kita berdua gak cuma makan jenis sayur dicampur potongan dada ayam yang udah dikasih dressing. Build pula inisiatif pan-grilled daging di kulkas.
Dari tempat gue duduk, gue bisa sepenuhnya perhatiin muka suami gue seksama. Oh, ternyata dia jauh terlihat berbeda tanpa gue sadari. Badannya lebih kurus, bawah matanya mulai menghitam, bibirnya agak pucat, dan sorot matanya sendu. Namun, gue cukup bisa lega sebab pipi gembilnya masih ada belum berubah tirus drastis.
Iya, juga ya gue jarang perhatiin Build secara langsung begini. Seringnya gue cuma kirim pesan nanya lagi apa? Baik nggak dia? Perasaannya lagi ditahap apa? Ketika dijawab tidak apa-apa atau baik-baik aja gue puas seketika. Ungkapan seseorang itu bisa dimanipulasi. Padahal kalau dilihat langsung begini gue bisa merasakan sendiri gimana hawa sebenarnya.
“Bib.” Dia manggil ditengah acara makan. Gue merespon cepat gak mau bikin dia nunggu
“Iya.”
“Aku resign dari management.” Mulainya.
Gue gak bisa menanggapi banyak, sebab diumur yang udah lumayan ini apalagi di bidang entertainment bukan kabar mengejutkan.
“Oh, oke. Terus mereka ada bilang sesuatu gak?”
“Not much, mungkin liat aku udah lama sama mereka dan mikirnya sudah saatnya buat mundur.”
“Kamunya sendiri gimana? Ikhlas gak?”
Build menimbang sebentar sebelum mengangguk. “Harus ikhlas soalnya kan mau sembuh. Harus pilih salah satu mau fokus yang mana, ya ini aku fokus berobat aja terus ngurangin beban pikiran sama badan. Mau banyak-banyak di rumah, belajar masak mungkin biar kita gak hidup bergantung sama makanan di jalan.”
Gue refleks ketawa dia pun begitu. Lucu emang fakta satu ini, sekecil goreng telur aja beli di warteg. Pengen mie nyetoknya yang tinggal diseduh pake air panas. Beruntung masih dikasih hidup sehat.
Setelah mendengar isi kepala dari sisi Build gue mulai ketampar. Dalam kurun waktu setelah kejadian rumah sakit dia bisa mikir dan ambil keputusan sejauh itu. Sedangkan gue yang posisinya kepala rumah tangga masih bingung kadang nyari tempat buat lari.
Kayaknya bener apa kata orang-orang yang telah berbaik hati kasih saran. Intinya masalah apapun yang lagi terjadi itu selalu ada momennya asal ada komunikasi. Komunikasi terbaik emang sembari duduk, berdua, tukar pikiran.
“Biu, aku minta maaf ya kalau jarang perhatian sama kamu. Setelah ini aku bakal berusaha. Kita berusaha bareng.”
Gue lega Build ikutan senyum tanda dia setuju.
“Bib, soal anakㅡ”
“Sayang, udah jangan dipikirin. Aku gak papa meskipun nunggu sampai kapan. Bahkan gak ada anak di antara kita juga gak masalah.”
“Hei, dengerin aku dulu.”
Build meraih jemari gue yang bebas di atas permukaan meja. Pula, gue mengeratkan tautan kita. Dia mengunci netra gue dengan miliknya. Ada binar indah terpancar di sana berhias senyum lembut dari belah bibirnya.
“We will have them in a little while. Your wait have been answered. Tapi pertama, bantu aku sembuh dulu dan aku janji ini nggak makan waktu yang lama.”
`hjkscripts.
Build Point of View
Dua hari sudah terhitung adek tinggal di rumahku. Rumah yang belum pernah ada bayi atau anak kecil. Meskipun bagi aku mengurus bayi bukan hal baru. Sebab sebelum ini sudah banyak belajar.
Aku tuh suka sama anak kecil, suka banget malah despite keadaanku yang kurang memungkinkan. Aku bukannya trauma berdekatan dengan anak kecil. Hanya saja ada sebuah ketakutan dan rasa protektif luar biasa akan anak di sekitarku.
Jadi orang tua memang membuat diri semakin awas akan anaknya. Namun, aku yakin segala sesuatu yang berlebihan akan berakhir tidak baik. Terkadang, sifat protektif berlebihan itu malah buat anak aku di masa depan jadi sakit.
Beruntungnya dalam dua hari ini kayak kita bekerjasama dengan baik. Bener kata Dokter Nattawin, penyakit yang sedang aku derita ya hanya aku yang bisa kontrol. Well, I thought imma doing good dan alam serta orang sekitar mendukung.
Awalnya satu keluarga gak ada yang percaya. Mereka bahkan convince kakak ipar buat panggil babysitter. Namun, dia percaya dan aku gak akan mengecewakan kepercayaannya.
“Sayang, aku berangkat kerja dulu.” Bible keluar dari kamar terburu. Dia mendekatiku, menggoda adek yang tengah terlentang menunggu didandani.
“Itu jangan lupa bekel dibawa.”
“Kamu yang masak?”
“Bunda yang masak, aku jadi asistennya doang.” Aku dan dia terkekeh geli.
“Makasih sayang. Nanti pasti aku abisin.”
Bible sempat menyematkan kecupan di dahi. Lalu, meninggalkanku untuk berpamitan dengan bunda. Terakhir, eksistensinya menghilangkan dari balik pintu.
Wow, what a beautiful day to start.
`hjkscripts.
Bible Point of View
Sebagai lelaki yang sudah menikah memang benar salah satu momen paling membahagiakan adalah ini. Ketika kita membuka pintu rumah disambut pemandangan pasangan kita tengah duduk santai di ruang tamu sedang berbicara dengan anak kita.
Well, setidaknya begitu testimoni dari Job dan Pak Peter. Setidaknya juga, gue saat ini sedang mengalami untuk yang pertama dalam hidup. Meskipun anak yang tengah tertawa khas bayi dalam dekapan Build bukan anak kita sendiri.
Sebentar lagi, Bible... Sebentar lagi. Gue bisa kembali senyum dan bersabar mengingat kalimat Build, Your wait has been answered.
“Biu.” Gue datang menginterupsi. Masih lengkap kemeja kerja duduk di sampingnya.
“Et! Kamu udah cuci tangan belum?”
Tawa bodoh menguar. Gue langsung berlari ke dapur buat cuci tangan. Build mengekor dari belakang sembari tangannya sibuk memegangi si bayi. Lucu banget, kayak induk panda lagi gendong anaknya.
“Tolong gendongin dulu dong adeknya. Aku mau angetin makanan.”
Gue menerima si adek, beberapa detik mengatur posisinya agar dia nyaman. Beneran ini anak udah berat banget padahal umurnya baru hampir masuk dua tahun. Pertama kali dia lahir kayaknya enteng banget gue gendong.
“Bunda daritadi sibuk banget di dapur. Yakali kita dimasakin banyak kayak mau ditinggal seminggu. Kulkas penuh kontainer nih liat!”
“Haha,” Gue cuma ketawa nanggepin Build lagi cerita. “Hemat duit makan seminggu kita.” Lanjut gue.
This is home
Inilah rumah sebenarnya. Gue semakin bersyukur mahal-mahal beli meja makan dan kursinya akhirnya kepake juga. Padahal dulu pernah mikir, meja makan mending di jual aja biar nambah space di rumah. Toh, jarang dipake. Kayaknya mulai hari ini kita bakal makan bareng gini terus.
“Sini adeknya, kamu makan dulu.”
Gak kerasa meja makan penuh sama beberapa lauk. Build mengulurkan tangan menyambut adek kembali.
“Kamu udah makan?” Tanya gue dibalas gelengan. Dia menjawab, “Kamu duluan, aku pegangin adek dulu.” sembari senyum ngalah.
Biasanya si adek udah tidur pas jam-jam segini dan bakal bangun lagi sekitar jam sembilan buat nagih dot susunya. Hari ini gak tau kenapa dia masih bangun dengan mata segernya. Mana kakak gue gak nitipin stroller, jadi mau gak mau dipangku gini.
Gue makan, menikmati banget soalnya udah jarang makan masakan rumah gini. Sesekali gue nyuapin Build meskipun dianya kadang nolak.
“Besok bunda ke batu kamu udah tau?” Build bersuara setelah menelan makanan di mulutnya.
“Tau. Kamu beneran gakpapa ngurus adek sendirian?”
“Sure.”
“Kalau gak yakin aku bisa cuti sehari.”
“Bib?” Panggilnya.
“Hm?”
“Kamu percaya sama aku gak?” Dia bertanya. Gue dengan yakin mengangguk dan membalas ucapannya, “Banget.”
“Kalau aku bilang aku bisa. Aku pasti bisa kok.”
Terakhir gue tersenyum lega. Beneran deh gue perlu mengurangi khawatir akan ini itu. Tugas gue hanya support dan percaya dia bisa.
“Ok. Tapi kalo ada apa-apa jangan panik terus segera hubungi aku.”
“Yup!”
`hjkscripts.
Bible Point of View
Bib, penantian kamu udah ada di depan mata.
Kalimat satu itu terus muncul, terngiang di dalam kepala gue. Apalagi, ketika gue tiba di rumah Build menyambut dengan gestur yang jarang gue temukan dalam dirinya.
Berdiri tepat di belakang pintu, menyambut gue dengan senyum yang sukar diuraikan dalam kalimat padu. Dia hanya menunggu, hingga atribut di badan tanggal, berganti kaus santai nampak bahu.
Kala gue keluar dari kamar, Build sudah menunggu di atas kursi makan. Dua kakinya bergerak berantakan, mendandakan dia tengah dilanda gugup.
“Sini! Duduk sini deh!” Pintanya sambil menepuk kursi kosong beberapa kali.
Gue pun menuruti, menaruh seluru atensi menunggu Build mulai bersuara.
Meja makan malam ini kosong, tapi gue bisa lihat mesin microwave bekerja menghangatkan makanan.
Oh, oke. We will talk first and have dinner later.
Merasa gue perhatikan, Build sepertinya enggan membuat gue menunggu lama. Dia geser satu amplop cokat yang gue gak tau kapan udah ada di situ.
“Apa ini?” Tanya gue penasaran.
Build senyum kecil sebelum menjawab, “Buka aja.”
Dengan tidak sabar gue membuka penutupnya, mengeluarkan begitu banyak kertas di dalamnya.
“Dua bulan terakhir ini aku gencar cari-cari informasi. Terus aku nemu tempat ini terus beberapa kali dateng buat sekedar berkunjung dan bagiin sedikit dari apa yang aku punya.” Build bercerita, lumayan panjang sebagai penjelasan awal dari dokumen yang sedang gue cermati isinya.
“Then, I see him. Terus, kayak baru jatuh cinta buat pertama kali sampai aku pengen milikin dia seutuhnya. Aku pengen jaga dia, sayangi dia, dan bahagiain dia.”
Dalam genggaman gue ada sebuah foto. Anak kecil lucu yang lagi senyum polos lagi makan jajan.
“Ketika aku pertama kali liat dia, kamu seketika lewat melintas dipikiran aku. Aku lihat kamu dalam mata polos bulatnya. Dan aku mulai mikir, apa ini ya takdir yang akan jawab permohonan kamu, doa-doa kamu, doa semua keluarga kita, dan mungkin jalan terang buat aku kedepannya.”
Gue semakin mengeratkan genggaman pada foto tersebut. Gemuruh emosional dalam diri gak bisa lagi gue bendung. Mereka berlomba, memerintahkan otak untuk membangunkan kelenjar air mata. Sebab, hari ini dia dibutuhkan.
Menangis, entah kapan terakhir kali mata ini basah akan air mata. Pun, gue bersyukur bahwa ini adalah air mata bahagia.
“Keputusan finalnya aku serahin ke kamu lengkap bersama seluruh consent yang aku punya.”
“Kamu bisa isi berkasnya kalau memang setuju. Cause you're the dad, and captain in our household.”
Maka, gue gak ada satu persen pun ragu. Gak ada jawaban yang paling meyakinkan selain.
Ya, aku setuju.
`hjkscripts.
Happy birthday to you Happy birthday to you Happy birthday dear Venice. Happy birthday to you~
Sorak-sorai telapak tangan beradu. Membangkitkan senyum dari si kecil yang semanis madu. Binar matanya berpendar luar biasa. Mengingat hari ini adalah momen paling bahagia.
“Venice, selamat ulang tahun ya. Semoga jadi anak pinter, baik, dan berbakti sama ayah papa.” Begitulah doa-doanya sembari menghaturkan beragam bentuk hadiah.
“Yah liat! Aku dapat ini gede banget.” Pekiknya bahagia meskipun tengah kepayahan menggenggam kado.
Sang ayah berjongkok, menyamaratakan tingginya dan sang anak. Dia turut senang, tersenyum kebapakan sambil mengusap kecil kepalanya.
“Venice?”
Keduanya sontak menoleh bebarengan pada sosok yang memanggil namanya.
Lelaki itu ikut berjongkok, mengapit dirinya ditengah-tengah.
“Yuk berdoa dulu. Nanti Venice juga bisa mohon apa aja.” Katanya.
Dia mengambil tangan kecil sang anak, menempatkan pada gestur ketika berdoa.
“Nih ikutin Pa Biu, tangannya gini.”
Papanya tersenyum bangga kala sang anak berhasil mengikuti percis gayanya.
“Sekarang Venice bisa mulai minta apa aja yang kamu mau.”
“Ya Tuhan, terima kasih sudah kasih Venice ayah sama papa yang baik. Venice bingung mau minta apa soalnya Venice udah punya semuanya. Jadi, Venice cuma mau minta jagain ayah sama papa Venice ya, biar bisa bareng lama-lama sampai Venice dewasa. Venice juga mau bilang, kalau Venice sayang banget sama ayah dan papa.”
Amen.
`hjkscripts.