hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Kelambu di hadapanku, aku dekati dengan perasaan sendu. Dua penunjang hidup mengayun bergantian mendekat penasaran. Aku sentuh, lalu ku genggam kain berbahan beludru. Membuka celahnya, aku melangkah maju berakhir tersungkur pada penjara penuh penyesalan.

“Kak Biu ayo main bola!” Jeritan si kecil dari kejauhan. Ia melambai tangan gembira berusaha mencari perhatian.

Namun, aku hanyalah sosok manusia pemalas. Aku bergeming, enggan mengindahkan ajakannya bermandi panas. Ia pun bermain sendiri dengan raut memelas.

“Kak Biu-”

Harusnya aku membiarkan kalimatnya selesai.

Harusnya aku mendengarkan dia bukan menaikkan lebih besar volume radio.

Harusnya aku tak menghardiknya, meskipun tubuhku diguncang hebat.

“Kamu tuh bisa gak sih jangan ganggu kakak sehari aja? Punya tangan, punya kaki, punya banyak mainan ya sana mainin sendiri. Aku gak mau main sama kamu. Sana-sana pergi!”

Si kecil kini berjalan menjauh, sejauh hingga aku tak bisa melihat bayangannya. Bukan itu maksudku pergi. Aku maunya kamu tetap di sana, bermain dengan bola merah tua. Bukannya berlari keluar mencari yang telah hilang pasti.

Jahatnya kamu menghukum aku begini. Diperdengarkan suara dentuman keras dan jeritan pilu seorang diri. Kamu menang, kamu dapat semua perhatian, lihat aku sudah berdiri di sini. Tetapi, tubuh kecilmu kaku bersama bisik-bisik orang yang berkata kamu telah mati.

Aku terbangun selalu pada sepertiga malam berbaur peluh. Masih ada harapku bahwa dahulu hanyalah sekedar bunga tidur. Sayangnya, puluhan tahun aku telah hidup. Bertahan bersama derita masa lalu yang terus menggerogoti kewarasanku perlahan.


`hjkscripts.


Build Point of View

Sebagai orang biasa kehidupanku ya begini. Bangun tidur, cek jadwal apa harus pergi untuk ngisi kerjaan. Kalau gak ada diem di rumah, gangguin dua kucing yang udah aku anggep anak sendiri.

Moment yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah ketika bangun pagi dan menerima panggilan buat kerja. Ketemu sama orang baru dengan berbagai karakter, apalagi ada temen ngobrol sampe hangout bareng. Bisa dibilang gue paling suka sosialisasi. Menjalani hidup sebagai Build adalah mencari manusia untuk disimpan dalam buku catatannya.

Maka, ketika aku tidak bisa bergantung dengan satu orang, aku bisa bergantung dengan orang lain.

Keluarga lengkap, punya suami perhatian, dan dua sahabat dekat belum cukup untuk memenuhi dunia yang kubuat sendiri. Aku perlu banyak, kalau bisa seluruh dunia jadi temanku.

Kata orang-orang yang namanya Build itu dimana-mana. Muncul di banyak ekstrakulikuler sekolah atau organisasi ketika kuliah udah biasa.

“Lo lagi lo lagi.”

“Anjir lo, Biu lagi yang gue liat!”

Aku begini tentu bukan tanpa alasan. Banyak yang ngomongin di belakang he's pathetic dan gue gak bisa marah. Sebab, memang begitu faktanya.

Aku lah sang lelaki menyedihkan. Si beken namun juga kesepian. Bersahabat denga orang tua dibuat tertekan, Bergantung pada suami yang gila akan pekerjaan, serta mengandalkan dua sahabat untuk menemani saja banyak sungkan.

Aku si lelaki kesepian tak ada jalan lain untuk mengisi kehampaan dalam diri dengan belari dari satu ke lain teman.

Sore ini pun aku beruntung, dua sahabat terbaik sepanjang masa bisa kuambil sedikit waktunya untuk menemani si gundah gulana.

“Bapak, nasi goreng adek ada taugenya.”

“Terus bapak harus gimana, dek? Kan gak tau yak bukan bapak yang masak.”

Selalu, emang kalo ketemu Job sama anaknya meja makan udah jadi acara kuis debat. Kata kuncinya gak pernah ganti. Tauge, Mark anaknya Job paling ga suka tauge dan apapun makanan bapaknya, mau cocok atau gak disitulah tempat pembuangannya. Soalnya percuma itu tauge dikasih ke Bas, bisa-bisa meja makan jadi acara siraman rohani.

“Semua makanan yang ciptain Tuhan, dek. Kalau kamu gak makan bukan cuma yang masak sedih, Tuhan juga sedih liatnya. Sana dimakan, bikin sehat. Kamu harus bersyukur...” Berakhir Bas minimal bacain satu ayat sesuai situasi.

“Pap, udang goreng kamu kok enak ya?”

“Kak, stop ganggu aku makan! Itu makanan kamu masih ada.”

Kalo yang satu ini juga aneh. Semua yang ada dalam pandangan Nakunta; anaknya Pap Nodt enak. Maka dari itu ini bocah badannya bongsor. Makanan papnya sering diambil, sobat satu ini mau marah juga gak bisa.

Begitulah dinamikanya jadi orang tua. Makan gak pernah tenang, harus rela dijadiin tempat sampah, ngabisin, bahkan makanannya diambil.

Kata dua sobatku jadi orang tua gak melulu tentang ngalah dan pasrah. Sebab, bukan anak aja yang butuh kasih sayang dua orang tua, namun mereka juga berharap disayang sama anaknya.

Ditemenin di rumah, diajak ngobrol, diajarin pakai teknologi masa kini, diceritain tentang kehidupan muda sembari nostalgia, ada yang bakal nyicip masakannya, dan banyak lagi.

Testimoni tersebut buat aku termotivasi meskipun paham sendiri tubuh ini sedang gak baik-baik aja. Mungkin suatu saat, apakah akan ada kesempatan itu?


`hjkscripts.


Build menangis dalam tidurnya yang damai. Entah apa yang tengah terjadi di bawah alam sadar. Ia tergugu, gumamkan ratapan pilu, jangan... tolong jangan lagi. Mencoba bangun pun rasanya sukar.

Lelaki ini paling benci kala jatuh selalu disambut kelambu. Sekuat tenaga enggan membuka, seolah tubuh ditarik paksa. Hingga akhirnya, Build harus terima diperlihatkan masa lalu.

“Kak Biu, ayo main bola!”

“Biu?”

“BIU!”

Kelopak mata sembab kini terbuka. Terbelalak sejenak kemudian kembali kabur akibat banjir air mata. Malam ini dirinya selamat. Ditarik keluar sebelum ceritanya berakhir tamat.

“Kenapa?” Bible dengan suara lirih serak bertanya pada Build. Dua tangannya sibuk, menghapus bulir tersisa dan mengusap bahu tersayangnya.

Build menggeleng meskipun wajahnya masih tegang. “Nggak.” Jawabnya singkat.

“Aku gak apa-apa.” Lanjutnya.

Belum waktunya dia bercerita. Mungkin sampai akhir hayat pun dia tidak akan pernah membagi kenangan buruknya pada siapun selain untuk disimpan sendiri. Biarlah penderitaan ini nantinya terkubur bersama jasad dirinya ketika hilang sudah nyawa.


`hjkscripts.


Build Point of View.

Selamat datang kalian pada dunia masa lalu. Sepi sekali, sebab yang akan kalian sapa bukan wujud yang akan membalas sapa senyummu. Dia ada di dalam sana, tidur bak membeku. Temannya hanya beberapa, mungkin hanya tanah dan batu.

Aku bersimpuh, tatap kosong nisan pilu. Ku usap pelahan, bergerak dari satu huruf ke huruf lainnya. Memahat namanya, mengutarakan ribuan kalimat rindu.

“Hi, maaf kakak baru datang.” Aku menyapa.

Dua lelaki dewasa masih betah berdiri, tak berani mengungkap apa yang terganjal di nurani. Menahan diri untuk sekedar mencari informasi.

Kini aku mendongak, netra bersua dengan milik keduanya. “Sorry gue baru sempet ngajakin kalian kemari.” Ujarku.

Lantas, dua sahabatku ikut bersimpuh mengelilingi rumah terakhir bagi seluruh umat.

“Ini makam adek gue yang beberapa kali gue ceritain.”

Aku mulai membersihkan rumput kecil di atas tanah. Lalu, satu ikat bunga aku letakkan apik berdampingan dengan pusaranya.

Air mata meleleh tanpa siapapun bisa menahan. Tumpah ruah meluapkan beban derita. Bahkan banyak usapan yang aku terima belum cukup untuk kembali kuat bertahan. Aku jatuh sedalam-dalamnya pada sakitnya luka.

“Dia meninggal,” Ujarku sembari tergugu.

“Dia meninggal karena kakaknya gak becus jagain. Kakaknya goblok, dan kakaknya adalah gue.”

Kini aku bersujud, memohon ampun sebanyak-banyaknya. Aku memohon, minta untuk dilepaskan dari ikatan kasat mata yang begitu menyesakkan. Sebab aku masih ingin hidup, bertahan selama mungkin tanpa menanggung beban dalam jiwa.


`hjkscripts.


Bible Point of View

Malam ini untuk yang pertama; entah kapan kita terakhir kali makan bareng di meja makan rumah sendiri. Meja ini udah kayak pajangan doang, paling maksimal isinya satu set alat makan saking jarang makan di rumah.

Menunya adalah salad, bukan buatan tangan suami gue tetapi terpenting adalah momentnya. Tenang kok, kita berdua gak cuma makan jenis sayur dicampur potongan dada ayam yang udah dikasih dressing. Build pula inisiatif pan-grilled daging di kulkas.

Dari tempat gue duduk, gue bisa sepenuhnya perhatiin muka suami gue seksama. Oh, ternyata dia jauh terlihat berbeda tanpa gue sadari. Badannya lebih kurus, bawah matanya mulai menghitam, bibirnya agak pucat, dan sorot matanya sendu. Namun, gue cukup bisa lega sebab pipi gembilnya masih ada belum berubah tirus drastis.

Iya, juga ya gue jarang perhatiin Build secara langsung begini. Seringnya gue cuma kirim pesan nanya lagi apa? Baik nggak dia? Perasaannya lagi ditahap apa? Ketika dijawab tidak apa-apa atau baik-baik aja gue puas seketika. Ungkapan seseorang itu bisa dimanipulasi. Padahal kalau dilihat langsung begini gue bisa merasakan sendiri gimana hawa sebenarnya.

“Bib.” Dia manggil ditengah acara makan. Gue merespon cepat gak mau bikin dia nunggu

“Iya.”

“Aku resign dari management.” Mulainya.

Gue gak bisa menanggapi banyak, sebab diumur yang udah lumayan ini apalagi di bidang entertainment bukan kabar mengejutkan.

“Oh, oke. Terus mereka ada bilang sesuatu gak?”

Not much, mungkin liat aku udah lama sama mereka dan mikirnya sudah saatnya buat mundur.”

“Kamunya sendiri gimana? Ikhlas gak?”

Build menimbang sebentar sebelum mengangguk. “Harus ikhlas soalnya kan mau sembuh. Harus pilih salah satu mau fokus yang mana, ya ini aku fokus berobat aja terus ngurangin beban pikiran sama badan. Mau banyak-banyak di rumah, belajar masak mungkin biar kita gak hidup bergantung sama makanan di jalan.”

Gue refleks ketawa dia pun begitu. Lucu emang fakta satu ini, sekecil goreng telur aja beli di warteg. Pengen mie nyetoknya yang tinggal diseduh pake air panas. Beruntung masih dikasih hidup sehat.

Setelah mendengar isi kepala dari sisi Build gue mulai ketampar. Dalam kurun waktu setelah kejadian rumah sakit dia bisa mikir dan ambil keputusan sejauh itu. Sedangkan gue yang posisinya kepala rumah tangga masih bingung kadang nyari tempat buat lari.

Kayaknya bener apa kata orang-orang yang telah berbaik hati kasih saran. Intinya masalah apapun yang lagi terjadi itu selalu ada momennya asal ada komunikasi. Komunikasi terbaik emang sembari duduk, berdua, tukar pikiran.

“Biu, aku minta maaf ya kalau jarang perhatian sama kamu. Setelah ini aku bakal berusaha. Kita berusaha bareng.”

Gue lega Build ikutan senyum tanda dia setuju.

“Bib, soal anakㅡ”

“Sayang, udah jangan dipikirin. Aku gak papa meskipun nunggu sampai kapan. Bahkan gak ada anak di antara kita juga gak masalah.”

“Hei, dengerin aku dulu.”

Build meraih jemari gue yang bebas di atas permukaan meja. Pula, gue mengeratkan tautan kita. Dia mengunci netra gue dengan miliknya. Ada binar indah terpancar di sana berhias senyum lembut dari belah bibirnya.

“We will have them in a little while. Your wait have been answered. Tapi pertama, bantu aku sembuh dulu dan aku janji ini nggak makan waktu yang lama.”


`hjkscripts.


Build Point of View

Dua hari sudah terhitung adek tinggal di rumahku. Rumah yang belum pernah ada bayi atau anak kecil. Meskipun bagi aku mengurus bayi bukan hal baru. Sebab sebelum ini sudah banyak belajar.

Aku tuh suka sama anak kecil, suka banget malah despite keadaanku yang kurang memungkinkan. Aku bukannya trauma berdekatan dengan anak kecil. Hanya saja ada sebuah ketakutan dan rasa protektif luar biasa akan anak di sekitarku.

Jadi orang tua memang membuat diri semakin awas akan anaknya. Namun, aku yakin segala sesuatu yang berlebihan akan berakhir tidak baik. Terkadang, sifat protektif berlebihan itu malah buat anak aku di masa depan jadi sakit.

Beruntungnya dalam dua hari ini kayak kita bekerjasama dengan baik. Bener kata Dokter Nattawin, penyakit yang sedang aku derita ya hanya aku yang bisa kontrol. Well, I thought imma doing good dan alam serta orang sekitar mendukung.

Awalnya satu keluarga gak ada yang percaya. Mereka bahkan convince kakak ipar buat panggil babysitter. Namun, dia percaya dan aku gak akan mengecewakan kepercayaannya.

“Sayang, aku berangkat kerja dulu.” Bible keluar dari kamar terburu. Dia mendekatiku, menggoda adek yang tengah terlentang menunggu didandani.

“Itu jangan lupa bekel dibawa.”

“Kamu yang masak?”

“Bunda yang masak, aku jadi asistennya doang.” Aku dan dia terkekeh geli.

“Makasih sayang. Nanti pasti aku abisin.”

Bible sempat menyematkan kecupan di dahi. Lalu, meninggalkanku untuk berpamitan dengan bunda. Terakhir, eksistensinya menghilangkan dari balik pintu.

Wow, what a beautiful day to start.


`hjkscripts.


Bible Point of View

Sebagai lelaki yang sudah menikah memang benar salah satu momen paling membahagiakan adalah ini. Ketika kita membuka pintu rumah disambut pemandangan pasangan kita tengah duduk santai di ruang tamu sedang berbicara dengan anak kita.

Well, setidaknya begitu testimoni dari Job dan Pak Peter. Setidaknya juga, gue saat ini sedang mengalami untuk yang pertama dalam hidup. Meskipun anak yang tengah tertawa khas bayi dalam dekapan Build bukan anak kita sendiri.

Sebentar lagi, Bible... Sebentar lagi. Gue bisa kembali senyum dan bersabar mengingat kalimat Build, Your wait has been answered.

“Biu.” Gue datang menginterupsi. Masih lengkap kemeja kerja duduk di sampingnya.

“Et! Kamu udah cuci tangan belum?”

Tawa bodoh menguar. Gue langsung berlari ke dapur buat cuci tangan. Build mengekor dari belakang sembari tangannya sibuk memegangi si bayi. Lucu banget, kayak induk panda lagi gendong anaknya.

“Tolong gendongin dulu dong adeknya. Aku mau angetin makanan.”

Gue menerima si adek, beberapa detik mengatur posisinya agar dia nyaman. Beneran ini anak udah berat banget padahal umurnya baru hampir masuk dua tahun. Pertama kali dia lahir kayaknya enteng banget gue gendong.

“Bunda daritadi sibuk banget di dapur. Yakali kita dimasakin banyak kayak mau ditinggal seminggu. Kulkas penuh kontainer nih liat!”

“Haha,” Gue cuma ketawa nanggepin Build lagi cerita. “Hemat duit makan seminggu kita.” Lanjut gue.

This is home

Inilah rumah sebenarnya. Gue semakin bersyukur mahal-mahal beli meja makan dan kursinya akhirnya kepake juga. Padahal dulu pernah mikir, meja makan mending di jual aja biar nambah space di rumah. Toh, jarang dipake. Kayaknya mulai hari ini kita bakal makan bareng gini terus.

“Sini adeknya, kamu makan dulu.”

Gak kerasa meja makan penuh sama beberapa lauk. Build mengulurkan tangan menyambut adek kembali.

“Kamu udah makan?” Tanya gue dibalas gelengan. Dia menjawab, “Kamu duluan, aku pegangin adek dulu.” sembari senyum ngalah.

Biasanya si adek udah tidur pas jam-jam segini dan bakal bangun lagi sekitar jam sembilan buat nagih dot susunya. Hari ini gak tau kenapa dia masih bangun dengan mata segernya. Mana kakak gue gak nitipin stroller, jadi mau gak mau dipangku gini.

Gue makan, menikmati banget soalnya udah jarang makan masakan rumah gini. Sesekali gue nyuapin Build meskipun dianya kadang nolak.

“Besok bunda ke batu kamu udah tau?” Build bersuara setelah menelan makanan di mulutnya.

“Tau. Kamu beneran gakpapa ngurus adek sendirian?”

“Sure.”

“Kalau gak yakin aku bisa cuti sehari.”

“Bib?” Panggilnya.

“Hm?”

“Kamu percaya sama aku gak?” Dia bertanya. Gue dengan yakin mengangguk dan membalas ucapannya, “Banget.”

“Kalau aku bilang aku bisa. Aku pasti bisa kok.”

Terakhir gue tersenyum lega. Beneran deh gue perlu mengurangi khawatir akan ini itu. Tugas gue hanya support dan percaya dia bisa.

“Ok. Tapi kalo ada apa-apa jangan panik terus segera hubungi aku.”

“Yup!”


`hjkscripts.


Bible Point of View

Bib, penantian kamu udah ada di depan mata.

Kalimat satu itu terus muncul, terngiang di dalam kepala gue. Apalagi, ketika gue tiba di rumah Build menyambut dengan gestur yang jarang gue temukan dalam dirinya.

Berdiri tepat di belakang pintu, menyambut gue dengan senyum yang sukar diuraikan dalam kalimat padu. Dia hanya menunggu, hingga atribut di badan tanggal, berganti kaus santai nampak bahu.

Kala gue keluar dari kamar, Build sudah menunggu di atas kursi makan. Dua kakinya bergerak berantakan, mendandakan dia tengah dilanda gugup.

“Sini! Duduk sini deh!” Pintanya sambil menepuk kursi kosong beberapa kali.

Gue pun menuruti, menaruh seluru atensi menunggu Build mulai bersuara.

Meja makan malam ini kosong, tapi gue bisa lihat mesin microwave bekerja menghangatkan makanan.

Oh, oke. We will talk first and have dinner later.

Merasa gue perhatikan, Build sepertinya enggan membuat gue menunggu lama. Dia geser satu amplop cokat yang gue gak tau kapan udah ada di situ.

“Apa ini?” Tanya gue penasaran.

Build senyum kecil sebelum menjawab, “Buka aja.”

Dengan tidak sabar gue membuka penutupnya, mengeluarkan begitu banyak kertas di dalamnya.

“Dua bulan terakhir ini aku gencar cari-cari informasi. Terus aku nemu tempat ini terus beberapa kali dateng buat sekedar berkunjung dan bagiin sedikit dari apa yang aku punya.” Build bercerita, lumayan panjang sebagai penjelasan awal dari dokumen yang sedang gue cermati isinya.

“Then, I see him. Terus, kayak baru jatuh cinta buat pertama kali sampai aku pengen milikin dia seutuhnya. Aku pengen jaga dia, sayangi dia, dan bahagiain dia.”

Dalam genggaman gue ada sebuah foto. Anak kecil lucu yang lagi senyum polos lagi makan jajan.

“Ketika aku pertama kali liat dia, kamu seketika lewat melintas dipikiran aku. Aku lihat kamu dalam mata polos bulatnya. Dan aku mulai mikir, apa ini ya takdir yang akan jawab permohonan kamu, doa-doa kamu, doa semua keluarga kita, dan mungkin jalan terang buat aku kedepannya.”

Gue semakin mengeratkan genggaman pada foto tersebut. Gemuruh emosional dalam diri gak bisa lagi gue bendung. Mereka berlomba, memerintahkan otak untuk membangunkan kelenjar air mata. Sebab, hari ini dia dibutuhkan.

Menangis, entah kapan terakhir kali mata ini basah akan air mata. Pun, gue bersyukur bahwa ini adalah air mata bahagia.

“Keputusan finalnya aku serahin ke kamu lengkap bersama seluruh consent yang aku punya.”

“Kamu bisa isi berkasnya kalau memang setuju. Cause you're the dad, and captain in our household.”

Maka, gue gak ada satu persen pun ragu. Gak ada jawaban yang paling meyakinkan selain.

Ya, aku setuju.


`hjkscripts.


Happy birthday to you Happy birthday to you Happy birthday dear Venice. Happy birthday to you~

Sorak-sorai telapak tangan beradu. Membangkitkan senyum dari si kecil yang semanis madu. Binar matanya berpendar luar biasa. Mengingat hari ini adalah momen paling bahagia.

“Venice, selamat ulang tahun ya. Semoga jadi anak pinter, baik, dan berbakti sama ayah papa.” Begitulah doa-doanya sembari menghaturkan beragam bentuk hadiah.

“Yah liat! Aku dapat ini gede banget.” Pekiknya bahagia meskipun tengah kepayahan menggenggam kado.

Sang ayah berjongkok, menyamaratakan tingginya dan sang anak. Dia turut senang, tersenyum kebapakan sambil mengusap kecil kepalanya.

“Venice?”

Keduanya sontak menoleh bebarengan pada sosok yang memanggil namanya.

Lelaki itu ikut berjongkok, mengapit dirinya ditengah-tengah.

“Yuk berdoa dulu. Nanti Venice juga bisa mohon apa aja.” Katanya.

Dia mengambil tangan kecil sang anak, menempatkan pada gestur ketika berdoa.

“Nih ikutin Pa Biu, tangannya gini.”

Papanya tersenyum bangga kala sang anak berhasil mengikuti percis gayanya.

“Sekarang Venice bisa mulai minta apa aja yang kamu mau.”

“Ya Tuhan, terima kasih sudah kasih Venice ayah sama papa yang baik. Venice bingung mau minta apa soalnya Venice udah punya semuanya. Jadi, Venice cuma mau minta jagain ayah sama papa Venice ya, biar bisa bareng lama-lama sampai Venice dewasa. Venice juga mau bilang, kalau Venice sayang banget sama ayah dan papa.”

Amen.


`hjkscripts.


NSFW CONTENT🔞


New York 31 Desember ; 23.45

Lelaki itu santai berdiri mempercayakan tubuhnya ditahan balkon terbuat dari besi. Dia memandangi, langit legam dihiasi bunga api. Tiupan lirih udara dingin tak menghentikan aksinya sama sekali. Dibalut kain tipis dan ulasan senyum manis, dia menikmati hari paling menenangkan hati.

Dia bergeming meskipun daun telinganya menangkap suara gerakan pintu dan derap kaki. Seolah dia sudah tau siapa yang telah kembali. Tegap tubuh sosok lelaki dewasa berjalan menghampiri setelah meletakkan seluruh bawaan diri. Dari belakang lengannya tanpa ragu merengkuh pinggang berisi.

“Nodt.” Panggilnya sebelum meletakkan dagu di pundak yang lebih pendek.

Sang pemilik asma berjengit sedikit kala dipanggil hanya nama. Sudah lama dia tak mendengar namanya dipanggil dengan artikulasi sempurna. Nodt Nutthasid benar itulah namanya.

Nodt berbalik, namun perangkap lengan besar di samping tubuhnya masih kokoh. Dia terhimpit antara balkon dan dada bidang yang tercetak begitu jelas meskipun ditutup dengan benar.

“Kenapa manggil aku gitu?” Dahinya mengernyit bingung, suaranya lebih tinggi sedikit sok sebal.

Lelaki dihadapannya tersenyum miring, mencuri kecup nakal dari bibir yang telah merah sebab hawa dingin.

“Hanya ingin.” Jawabnya singkat.

“You sneaky thief.”

“Well, I am.”

Nodt menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli. Detik kemudian tawanya pergi terganti tatapan sulit diartikan. Netranya tajam memindai detail paras tampan tersuguh di depannya. Senyuman puas terpatri kala tak menemukan sedikit pun cacat di sana. Tangan kanannya diangkat, telapak dingin itu kini bergerak lembut pada permukaan wajah si lelaki.

“You bought them, did you?” Ujarnya to the point.

“Sorry, too many people have joined this party. I bet we should go without wearing anything.”

Nodt memukul dada bidang lelakinya. Suaranya kenapa harus dibuat begitu menggoda.

“Kamu sih ga beli sebelum ke sini.”

“I did, sayang.”

“Terus mana buktinya?”

“They don't sell my size so...”

Nodt mendecak sebal. “You confident ass!”

Keduanya lagi-lagi terjebak dalam warna iris satu sama lain. Mereka jatuh tebuai akan kagum masing-masing. Lama dalam keadaan demikian sebab mereka menikmati euphoria menyenangkan dari saling berkomunikasi hanya melalui pancaran netra.

Kemudian, fase itu harus ditutup ketika beribu kembang api berlomba unjuk diri memperebutkan nominasi paling tinggi, paling besar, dan paling cantik. Dimulainya hiasan langit menandakan pula berakhirnya perjalanan manusia menempuh sebuah tahun menuju tahun selanjutnya.

Cukup melihat keindahan semata, Nodt kembali pada pemandangan favoritnya. Dia adalah Peter Knight, sosok lelaki dewasa yang dengan sabar membimbing dirinya.

“Happy new year, Mas Peter.”

Maka Nodt menciumnya, bukan sebatas kecupan ringan melainkan lumatan penuh nafsu. Dia bergerak, menuntut seolah menunjukkan bahwa dia yang berkuasa. Namun dia salah, suaminya itu adalah kasta tertinggi dari segala lelaki. Betapa keras Nodt berusaha mendominasi, aura tegasnya selalu bisa memukul mundur mengambil alih.

“You want me to fuck you here?” Tuturnya terbata karena sembari mengatur napas.

“It's cold here you jerk.”

Peter terkekeh tak percaya. Ibu jarinya menyusap bibir basah milik Nodt gemas. “Bagaimana bisa bibir manis ini bisa berkata buruk?” Dia menyesap daging kenyal itu kembali.

“Then what are you going to do, sir?”

“Just wait and see. Which punishment worth your filthy lips.”


Nodt dijatuhkan dari kewarasannya menuju dunia berjuta nafsu. Helai kain jatuh satu persatu menunjukkan lekuk tubuhnya tanpa ada rasa malu. Lalu, dia menyambut sosok tak pula berbaju yang menjanjikan hukuman syahdu. Seluruh tubuhnya dia serahkan tanpa ragu.

Peter menjamah merah muda ranum, dia mengecup, disesap erat hingga pemiliknya mendesis. Selanjutnya dia akan menggigit kecil, gemas sendiri dengan benda kenyal secandu butir ekstasi yang mampu membuatnya mabuk kepayang.

Yang lebih muda tak kalah kuat, menghadapi tentara perang yang menyerang peraduannya. Dia memanggut, menyesap daging merah muda yang sedari tadi menganggu miliknya. Tanpa ragu dia menelan entah saliva milik siapa bercampur jutaan rasa. Tapi inilah favoritnya, rasa alami dari manis, basah, bercampur sedikit darah akibat semangatnya permainan mereka.

Lalu, Nodt dengan tenaganya membalikkan posisi sehingga dirinya kini berada di atas sang suami memandu jalannya kisah panas di atas ranjang. Dia sudahi acara bersama bibir Peter, beralih mencicipi tiap jengkal tubuh besar suaminya. Bergerak perlahan namun pasti, memberikan sedikit tanda kepemilikan. Tubuhnya beringsut turun, bermain sebentar dengan dua puting yang sering dia lihat.

Sampailah pada tujuan utama. Bak pendaki gunung telah sampai pada puncaknya. Nodt menyentuhnya perlahan, lembut, memberikan stimulasi agar tegak terbangun.

“Shh... Shit!” Peter mendesis ketika satu tubuhnya merinding. Birahinya semakin menjadi, menjajah akal sehat dan hati nurani. Kini yang dia tau hanyalah kepuasan untuk dirinya dan suami.

“Pleased him, sayang.” Titahnya.

Nodt tersenyum ringan, bola matanya melirik Peter seduktif sembari meludahi telapak tangannya sendiri. Kemudian, tangan basahnya menyentuh permukaan kulit benda favoritnya. Nodt menggenggam, bergerak naik turun perlahan hingga semakin besar dan tegang.

Hhaahhh

Peter mendesah lega kala miliknya masuk dalam rumah pertama. Rasa basah dan hangat ini yang telah ditunggu sejak sekian lama. Bagaimana Nodt dengan telaten memanjakannya. Bagaimana bibir bengkak itu bergerak liar menghisap penis juga dua buah zakarnya. Hingga akhirnya datang sebuah kedutan tanda mani siap untuk ditembakkan.

Ahhhh Hmmm

“You good, babe.”

Peter bangkit, menarik Nodt agar duduk di atas pangkuannya. Dirinya menyambar bibir sang suami yang masih sibuk menelan sisa-sisa sperma. Jemari panjangnya tak tinggal diam, bergerak ke bawah tubuh pasangannya. Diraba dahulu, lalu diremas bantalan pantat empuk sumber bahagia.

Belahannya dibuka, memberikan jalan bagi Peter menjamah senggama.

hhgghn

Lelaki yang lebih tua senyum kemenangan. Dia memasukkan satu jari telunjuk ke dalam agar pemiliknya terbiasa. Tubuh suaminya tegang, genggaman pada otot bisepnya mengerat, serta kaki-kakinya bergerak gelisah.

“Aku boleh masuk ya?” Bisiknya sensual meminta izin.

“Hmm,” Anggukannya pasrah. “Tapi pelan-pelan ya mas.”

Berbekal sebuah perizinan dua raga individu kini bersatu. Berbagi suhu tubuh juga peluh. Berseru memanggil nama sang pemuas nafsu. Bergerak tanpa ritme, berlomba naik turun menyentak keluar masuk hingga mencapai langit ketujuh. Terakhir, mereka akan terjatuh dalam kenikmatan tiada tara bermandi cairan pejuh.


Keesokan pagi, dua tubuh lelah tanpa busana harus terbangun dari arena bertarung yang telah runtuh.

Ketika dua pasang obsidian terbuka yang tampak adalah dominan putih dari luar jendela.

“Salju turun semalam.” Gumam Nodt memperhatikan salju berjatuhan dengan cepat.

“Funny kita gak merasa kedinginan sama sekali.” Peter beringsut lebih rapat, memeluk suaminya dari belakang kala dingin mulai menyerang permukaan kulit.

Ting

Bunyi pesan masuk menginterupsi kegiatan pagi. Nodt memeriksa pesan masuk dari gawainya. Netra indah itu bergerak serius membaca runtutan kalimat pada layar.

Hingga pada akhir kalimat senyum yang terulas pada bibir manisnya.

“Kenapa?”

“Baca sendiri.” Menerima gawai tersebut kelopak matanya menyipit sebab faktor umur melanda.

“You...” Suaranya tercekat.

“Kamu serius resign dari kantor?”

“Iya. Aku sebenernya udah ngajuin lama tapi mereka mohon-mohon biar aku stay sampai akhir tahun. Dan ya, sepertinya mereka gak bohong.”

Peter bangun dari posisinya, dirinya ingin melihat wajah Nodt dengan seksama memastikan bahwa keputusannya diambil secara matang.

“Is it really ok for you?”

“Hmm,” Dia mengangguk semangat. “Aku kayaknya udah siap buat males-malesan di rumah deh. Nonton netflix, beres-beres, terus jadi welcome fairy buat kamu sama kakak.”

“Aku seneng dengernya.”

“Meskipun ini tandanya kamu harus kerja lebih keras?”

“Aku gak masalah. Buat kamu sama kakak aku bisa kerja lebih keras dari siapapun.”

Peter merentangkan tangannya, mau tak mau Nodt bangun kepayahan untuk membalas sebuah pelukan.

Pagi itu mereka berjalan satu langkah lebih jauh lagi. Berjanji menghadapi apapun yang akan mereka temui suatu hari nanti. Melayang tinggi bersama bagai kembang api di langit sepi, pun jatuh kembali bagai salju putih di pagi hari.


`hjkscripts.


Nodt Point of View

Setiap kisah yang kita jalani bagaikan mengikuti lomba estafet lari. Pertama, lo bakal berlari sendiri membawa beban yang lo ga tau dapet dari mana. Selanjutnya, lo akan terus berlari namun kali ini mencari insani yang dianggap bisa meringankan beban itu. Beban itu akan terus dipindahtangankan entah sampai berapa orang yang akan ikut terlibat. Hingga, ketika itu telah menemukan orang yang tepat, dia yang harus lari sekenceng mungkin menuju garis akhir.

Ya sama kayak keadaan gue. Kemunculan Pak Podd sebagai klien yang awalnya meminta bantuan untuk dekorasi acara amal, gue ga pernah tau asal-usulnya darimana. Serta, gue juga ga tau kenapa keberadaan Pak Podd bisa mengusik ketenangan seorang Peter Knight si sempurna.

Lantas dia mulai berlari untuk mencari yang ternyata ga jauh-jauh temen gue sendiri. Terakhir, tibalah saatnya giliran gue. Sampai saat ini pun dua kaki ini masih belum berhenti. Bergerak maju pun belum terlihat apakah diujung gue disambut orang lain lagi atau sebuah garis finish.

Jawabannya gue akan tau setelah ini.

Lucunya buat perlombaan satu ini gue ga ngerasa capek, malah makin semangat. Beban yang telah gue bawa semua hanya sedikit berat. Mungkin karena kini jemari-jemari gue digenggam begitu erat sama kesayangan gue.

Jujur gue takut buat dateng sekedar cari jawaban. Beruntungnya, orang yang berstatus sebagai pasangan sehidup semati mau menemani.

“Everything gonna be alright.” Ungkapnya. Meskipun kalimat demikian terdengar mainstream tapi untaian kata itu yang tengah gue harapkan.

Gue mau semuanya selesai. Gue harap semuanya baik-baik saja.

Ketika jemari gue dilepas, dia sematkan kecupan lembut di puncak kepala gue. Lalu, dia sempat berpesan, “Semangat ya sayangku. Kalau dia macam-macam I'll kick his ass real hard.”

Yuk, bisa yuk! Semoga ini cuma ajakan makan malam biasa tanpa intensi apapun.


Malam temaram diiringi suasana tentram. Kita bertiga tidur di atas bongkahan kapas empuk di bawah atap kuat. Iya, bertiga... ga tau kenapa tiba-tiba anak baru remaja yang badannya lebih tinggi dari dua orang tuanya merengek seolah balita dilanda mimpi buruk.

Nakunta telah bergabung, amblas bablas tak peduli datang hujan setelah mendung. Dia bergelung, mencari pelindung.

Emang dasar, harusnya kan gue yang ada dipelukan mas. Tau aja dia mana tempat paling anget di antara gue atau dad-nya.

Mas Peter tepuk-tepuk punggung Nakunta sedangkan gue mainin rambut panjang kebanggaanya. Udah sebulan lebih gue debat kusir nyuruh dia potong rambut biar rapih, tapi namanya juga melawan remaja.

Gue sama mas ga sengaja bertemu tatap dan kita senyum geli tanpa suara.

“Udah gede juga masih minta dikelonin.” Monolog gue pelan sembari nyubit pipinya gemes.

“Kamu malah tiap hari aku kelonin.” Sahut mas yang ternyata denger. Yah, pak jangan dibongkar gitu juga lah.

Kita lagi-lagi ketawa kecil. Terus perlahan pudar menyisakan dua obsidian saling menatap satu sama lain. “Go on.” Titahnya.

Gue menarik napas, bergerak mencari posisi nyaman. Gue diam sejenak, mengais kepingan memori beberapa jam lalu.

Awalnya acara tadi nampak seperti makan malam biasa penuh basa basi. Lalu, ketika keluar sebuah kotak dengan isi tujuannya tidak sama lagi.

“Dia kasih aku kotak berisi setel baju mahal dan undangan, ngajak aku dateng ke acaranya. Bukan sebagai partner penanggung jawab tapi sebagai partnernya.”

“Huh, that jerk.”

Gue menolak tentu saja, gimana gue bisa dateng kalo hari itu gue pasti udah ada di hotel amerika, lagi ngerasain jet lag sambil pelukan biar anget.

Di situ gue memberanikan diri bertanya alasan pasti kenapa dia segigih ini.

“Dia mau aku, dia mau milikin aku untuk dirinya sendiri. He loves me at first sight.”

Gue diem sebentar, mengingat ketika kalimat itu keluar semudah itu dari bibirnya gue sempet tremor ketakutan. Gue ngeblank, gue takut dikendalikan. Detik itu rasanya gue pengen berdiri, lari keluar minta dibawa pergi sejauh mungkin.

Tetapi gue ga boleh gitu. Masalah itu pantang bagi gue dibiarkan menggantung begitu saja. Sebab, mungkin keesokan harinya akan muncul sebagai petaka.

Kala tidak ada sama sekali suara tanggapan terdengar gue pun melanjutkan.

“Aku jawab kalo itu bukan cinta melainkan obsesi. Karena cinta itu artinya bukan ingin sekedar memiliki untuk penuhi hasrat diri. Love is a consent. Bukan kamu jaga hatiku ya, tetapi bersediakah kamu juga hatiku? Bukan kamu jangan pergi dari aku ya, tapi aku boleh minta tolong jangan pergi dari aku? Maka, ketika salah satunya sudah ga punya alasan untuk bertahan meskipun betapa sulitnya itu, mereka bisa saling melepaskan.”

Sebab mencintai seseorang itu bukan cuma tentang memiliki, tapi belajar bagaimana melepasnya pergi.


`hjkscripts.


Nodt Point of View

Segala kesusahan itu memang paling enak ya diobrolin. Ngobrol itu juga kalau ketemu orang yang bener, semua masalah akan gampang teratasi. Gue harus bersyukur sebab orang itu suami gue, Peter Knight udah ga ada duanya.

Sekarang ini kalau gue bisa ngomong, mau ditawarin sebanyak-banyaknya harta di dunia buat dituker sama keberadaan suami gue, tentu akan gue tolak.

He's just everything

Manusia itu ga ada yang sempurna. Tetapi manusia bisa merasakan segala sesuatunya jadi sempurna ketika bertemu orang yang tepat.

Kayak sore ini, setelah seharian dirundung badai dalam diri akhirnya gue bisa senyum lagi. Nyetir mobil sambil dengerin lagu jatuh hati.

Sampai di rumah gue dengan semangat, turun dari mobil sembari meraih satu ikat bunga cantik. Gue mau lihat lelaki mana yang berani memikat.

“Aku pulang!” Teriak gue menyapa orang rumah.

Seketika gue ketawa geli. Lo semua harus liat kelakuan dua kesayangan gue. Ralat, jadinya tiga ternyata mami udah ikut bergabung di rumah.

Mereka bertiga berdandan american winter style lengkap sama koper dan paper bag kosong udah kecium bau liburannya.

“Welcome to New York, sir.”

“Kalian ngapain deh?” Gue akhirnya masuk lebih dalam, taruh semua barang bawaan dan ga lupa menyapa mami.

“Hi Mami! Kapan nyampe?” Kita berdua pelukan kayak jarang ketemu. Padahal sebulan bisa ketemu 2-3 kali.

Mami lepasin pelukan lebih dulu, beliau nyubit pipi cucunya gemes. “Nih, tiba-tiba dijemput sama dia nih.”

“Pake motor?!” Gue kaget.

“Gila aja aku gonceng oma mami pake motor.”

“Dia bawa mobil aku, sayang.” Akhirnya dia bersuara. Suara mas tuh ibarat air pegunungan yang akan selalu adem. Cocok banget buat gue yang agak emosian apalagi kalau ketemu Nakunta yang lagi beranjak dewasa.

Mas melepas properti yang ada di badannya. Udah jelas ini idenya Nakunta. Dia merentangkan tangannya, dan gue paham maksudnya. Gue cukup diam, pasrah direngkuh erat, membiarkan wajah gue diinvasi sesuka hati.

“Oma mami aku juga mau dipeluk terus dicium gitu.” Rengek Nakunta.

Gue seneng banget, coba aja kalo perkara kemaren ga selesai apa gue bisa ngerasain hangatnya kumpul keluarga.

“Mas?”

“Hm?

By the way makasih ya bunganya. Cantik deh, aku suka.”

Dan ungkapan gue ga mendapatkan balasan yang seharusnya gue terima. Mas malah nunjukkin raut bingung. “Bunga apa?” Dia nanya balik.

“Itu bucket bunga dari kamu kan? Aku sampai cross check dua kali loh sama kurirnya. Beneran ditujukan buat aku.”

Oh shit

Nakunta angkat tangan ketika dia merasakan hawa hangat berubah jadi kurang mengenakkan. Dia menuntun mami yang juga lagi bingung ga paham situasi keluar dari ruang tamu yang akan berubah jadi arena tarung.

“Aku gak ngirim kamu bunga. Ini dari siapa?”

“Ya aku ga tau, aku kiranya dari kamu.”

“Ini dari CEO itu kan?”

Bangsat suaranya Mas Peter agak lebih tinggi. Gue benci banget dengernya.

“Aku udah bilang aku ga tau.” Gue menjawab juga menekankan tiap katanya.

“Shit”

“Ya udah, kalo bukan dari kamu tinggal dibuang. I don't mind kok.” Final gue. Soalnya emang mau gimana lagi coba.

Tetapi mas ga puas sampe di situ. Dia jalan ke arah kunci mobilnya dan gue lari buat nahan dia.

“Kamu tuh mau kemana?” Dia bergeming. Napasnya berantakan tanda emosi lagi di puncak.

“Katanya kamu percaya sama aku? Hum?” Dia nutup mata, berusaha kontrol gejolak panas di dalam dirinya.

“Sorry...” Gue membelai punggungnya sambil menenangkan, “Gapapa. Maaf juga aku asal bawa pulang ga konfirmasi ke kamu dulu.”

“Aku takut...” Suaranya lirih.

Ngga sayang, ga ada yang perlu kamu takutin.

“Aku takut dia ambil kamu. Aku takut kamu pergi ninggalin aku.”

“Ga ada yang mau ambil aku dari kamu selama aku maunya sama kamu.”

Terakhir, atas kejadian ga terduga malam ini gue berjanji bakal selesaiin masalah ini.


`hjkscripts.


Nodt Point of View

Entah apakah ini hanya perasaan gue aja atau pelukan Mas malam ini terasa erat begitu menyesakkan. Rasa ga nyaman ini buat gue beberapa kali sadar dan mengubah posisi. Bagaimana pun gue mencari posisi tidur nyaman, seolah dia masih terjaga lengan besarnya mengikuti.

Ga ini ga bener, ada yang ga beres. Setelah gue pulang ketemu klien, seperti yang anak gue adukan suami gue memang sedikit aneh.

Dia banyak diem, melakukan segala sesuatu tanpa suara. Namun, tubuh besarnya seakan enggan meninggalkan gue sendirian. Kalau ditanya jawabannya adalah sebuah template.

“Ya gak apa, emang gak boleh?” Nyebelin banget.

Gue memutuskan untuk kembali pada posisi awal dengan sedikit merengek, “Eungh... mas, sesek.” Pinta gue dengan suara serak.

Mas tetap bergeming. Dua bola matanya masih tetap bersembunyi dibalik pandunya. Tapi, gue bisa dengar suara napasnya berat dan debaran jantungnya berantakan.

Apa yang tengah dia hadapi? Apa yang membuatnya begitu takut?


`hjkscripts.



Peter Point of View.

Dia melempar ponselnya sembarangan ketika saya baru keluar dari kamar mandi. Saya bisa merasakan bahwa hawa di sini sedang buruk. Rasa kesal, jengkel menyelimuti.

Saya mengambil ponsel yang terlempar hingga berada di ujung kakinya. “Kamu kenapa, sayang?” Saya bertanya meskipun dia gunakan jurus tidur. Padahal kerutan wajahnya masih terpampang jelas.

Ponsel di atas nakas, lampu di matikan, saya pun bergabung masuk dalam selimut yang sama. Biasanya, saya akan memaksa diri untuk selesaikan beberapa pekerjaan kecil, ditemani dia bersama cerita tentang hari ini atau berandai tentang hari nanti. Namun, khusus malam ini mari sejenak lupakan pekerjaan untuk dia, saya kerahkan seluruh perhatian.

“Kalau memang mau tidur ya tidur, jangan sambil berpikir. Kasihan otaknya gak bisa istirahat.” Tutur saya sambil mengusap kerutan di dahi.

Inilah dia mata cantiknya terbuka kembali. Saya siaga di tempat, menyambut dengan senyuman terbaik. Dan dia akan menggeser tubuhnya lebih mendekat, menuntut sebuah dekapan lengkap dengan afeksi untuk membuat dirinya lebih baik lagi.

“Kayaknya planning liburan tahun baru bakal mundur jauh deh.” Mulainya cerita. Suaranya cukup kecil pula menggelitik sebab bibirnya tepat di depan tengkuk saya.

Saya tak menjawab, masih ingin mendengar kekhawatirannya lebih jauh. Napas berat pertanda putus asa membuat tangan ini terus menepuk punggungnya nyaman.

“Kok bisa ya orang limpahin tanggung jawab gitu aja. Ga nanya dulu. Padahal aku udah menuhin jadwal sampai tanggal 29 biar kita sampai sana tepat waktu.”

Saya berikan kecupan kilat pada puncak kepalanya. “Gak apa, tiketnya kan belum di beli. We lost nothing, sayang.”

“No!” Dia menjauh beri jarak di antara kita. Mata kami bersihtatap dengan pandangan berbeda. Dia bersama kekecewaan, dan saya dibuat kebingungan.

“We exactly lost everything. Kita kehilangannya kesempatan, waktu, dan paling penting kepercayaan kakak.”

“Kita kan udah janji mau liburan bareng yang jauh. Aku liat sendiri effort dia whole semester ini gimana, usahain nilainya lulus semua biar ga usah ikut semester antara yang akan ambil waktu libur. Dia semester depan udah mulai magang dan persiapin skripsi dimana liburan itu ga berarti buat dia. Terus kita juga udah janjiin mami.”

“Hei,” Saya menariknya kembali. Memeluknya lebih erat lagi. Tepukan punggung kini berganti dengan belaian lembut. Saya bisa merasakan debaran jantungnya perlahan jadi normal.

“It's ok, it will gonna be ok.”

“It isn't okay.” Cicitnya.

“Hei, kamu kan belum lihat proposal project-nya, atau aku salah?” Dia mengangguk membenarkan.

There you are. Besok kamu minta detailnya, belum tentu kerjaan ini akan ganggu planning liburan kan? Hari ini baru masuk tanggal 2 Desember, sayang. Masih ada kesempatan untuk diskusi lebih banyak. Kalau memang sulit bisa tolak baik-baik. Kalau memang kamu suka tetapi akan ganggu rencana liburan. We will be just alright. Mundur sedikit gak mengurangi kesenangan.”

Hahhh

Terkekeh saya mendengar helaan nafas pasrahnya. Saya baru ini melihat dia kesulitan menghadapi pekerjaannya. Dia si paling percaya diri mengambil setiap keputusan.

Saya menyadari bahwa rencana liburan ini dia yang paling bersemangat. Well, saya juga, Nakunta tentu saja. Namun, dia nomor satunya seolah rencana ini kalau boleh besok harus terlaksana.

Mungkinkah kebersamaan kita mulai berkurang dalam benaknya. Sedikit... sebab seluruh pekerjaan dan kegiatan akan berlomba datang minta diselesaikan jika mendekati akhir tahun. But, we did talk really well. Belum ada kesalahpahaman yang mengakibatkan argumentasi antara saya dan suami belakangan ini.

Atau ini hanya perasaan saya saja?

“Sayang?”

“Hmm...” Oh, dia masih terjaga.

“Memangnya kenapa kalau liburannya kita undur. It is just holiday anyway. You seem worry much about that.”

Basah, tengkuk saya basah kala bibirnya menyematkan kecupan ringan. “I miss you.”

“Huh?”

“I miss you,” Bisiknya.

Lantas, saya jadi tegang ketika jemarinya memaksa masuk melewati batas pertahanan. “Also him too inside me.” Bisiknya seduktif.

Kini saya mengerti betul alasannya. Benar, memang sudah lama milik kami berdua tak menyapa satu sama lain. Rumahnya sering kosong sebab pemiliknya tengah sibuk berkelana. Betapa dia juga rindu akan pulang. Di dalam sana tentu sangat nyaman.

“Besok weekend, aku bisa pastikan tidak ada yang akan menggangu hari libur. How about you, Ai?”

“Aku juga.”

“Then?”

“I serve you all mine, mas. Fuck me, ruin me, pleased me daddy.”

“As you wish, your majesty.”


`hjkscripts.


“Sini, duduk sini!”

Peter menggeser badannya, mengosongkan cukup ruang untuk Nodt bergabung dengannya.

Nodt duduk, dia menyerahkan salah satu gelas bersama uapnya masih mengepul untuk lelaki yang lebih tua. Dia memilih bersandar pada lengan sofa juga menaikkan dua kakinya. Kini dirinya bak seekor kucing yang tengah mencari kehangatan dibalik kakinya.

Dua bola matanya bergantian fokus menempatkan bibirnya di atas teh panas, ditiup perlahan hingga berkurang sedikit demi sedikit suhu. Terkahir, dia menyesap sembari mencuri pandang pada rahang tegas dihadapannya.

Daripada Tom Cruise yang tengah berlaga dalam layar film aksi, paras dewasa milik Peter lebih mencuri perhatian.

Lelaki ini tenang, tiap gerak-geriknya enak dipandang. Bagaimana manik matanya berpendar kagum kala adegan yang tengah diperhatikan semakin seru. Bibirnya, Nodt ingin sekali mengecupnya. Belum pernah tumbuh rasa bosan pada benaknya. Rasanya beragam, Nodt suka mengecap saliva bercampur jejak nikotin pula pahitnya kopi. Namun, dua itu akan kalah telak dengan rasa alami bibirnya. Basah, setetes manis, dan sensasi darah yang akan ikut bercampur kala tak sengaja dia menggigit bibir suaminya.

“Sayang? Hei?!”

Nodt tersadar dari, dia seolah diangkat dari lautan hormonal. Menyahut Peter dengan suara serta ekspresi bodoh khas penipu terbuka kedoknya.

Dia tertawa kikuk, dibalas sang suami senyum. Peter menggeser tubuhnya ke arah Nodt, memindahkan dua kaki yang lebih muda pada pangkuannya.

“Kamu pasti capek banget, sampai melamun begitu.” Tuturnya sembari memberikan pijatan.

“Nggak, mas. Aku sange bukan capek. Kita hanyalah dua lelaki sexually active yang dihadang kesibukan sehingga kegiatan ngewe ga bisa direalisasikan.” Batinnya.

Gerakan mencengkeram lembut kini mampu membuat Nodt rileks. He's stay still, staring his husband affectionately.

Hingga saat ini, dirinya masih belum bisa seratus persen percaya.

“Kok bisa ya, gue punya suami kayak kamu, mas?”


Peter semakin mengeraskan cengkeraman tangannya. Bergantian dari kaki kanan ke kiri. Kini dia fokus, berdedikasi untuk meringankan beban suami.

“How's going?” Dia mulai bertanya ketika film di layar sudah berwarna hitam berhias tulisan putih.

“Apanya?” Balas Nodt pendek. Ini gilirannya untuk memilih tayangan favorit.

“Ya meeting sama klien kamu.”

“Eh iya!”

Nodt seketika bersemangat. Melupakan acara mencari tontonan apik dan menarik kakinya dari pangkuan Peter.

“Klien aku tuh ternyata CEO dari entertainment yang lagi naik daun. Tau ga sih, film-film mereka selalu booming belakangan ini. Jadi niatnya memang bikin event amal akhir tahun gitu. Undang banyak artis, influencer, dan media. Well mereka janjiin sih nama aku sama kantor juga ikut kena sebut dalam credits.”

Peter memperhatikan seksama, terkadang dia mengangguk tanda antusias akan ceritanya. Nodt tidak pernah bersemangat begini menceritakan sosok kliennya. He was just too professional, keeping his client's informations. Tetapi kali ini dia banyak mengungkapkan detailnya.

Peter kurang nyaman dengan situasi seperti ini.

Ada perasaan aneh datang kala Nodt mendeskripsikan bagaimana sekilas tentang pribadi pria itu. Perasaan aneh itu tumbuh bertahap memenuhi rongga dalam tubuh hingga sulit bernapas. Perasaan aneh itu mengambil alih kewarasan.

Mungkin Peter belum pernah mendengar suaminya bercerita banyak tentang pria lain. Hanya seputar sahabatnya, Nakunta, pula teman Nakunta. Beberapa tahun ini mereka berdua saling memiliki satu sama lain.

Sungguh Peter ingin lari menenangkan diri, sebab dia tak mungkin meminta Nodt berhenti. Ketika telah usai, Peter berhasil normal kembali. Dia kini paham arti perasaan aneh tak terkendali.

Apakah ini namanya perasaan cemburu? Atau bukan?”


`hjkscripts.


I. Pagi Hari Sendu

Saya belum pernah mengalami kejadian seperti hari ini. Dimana saya harus dikagetkan antara hidup dan mati. Suami saya itu sehat, rumah sakit hanya tempat untuk check up. Namun, hari ini untuk pertama kali beliau harus terbaring lemah.

Lega hati dirasa kala dokter menyatakan ini bukan penyakit serius. Demam, tapi saking tingginya sempat sebabkan menggigil hebat. Sebagai tindakan preventif pihak rumah sakit masih lakukan pantauan ulang dan harus dirawat.

Syukurlah kalau begitu. Dan rasa syukur saya mungkin tidak akan hadir jika lelaki dan jangkung dan putranya tak berniat datang ke rumah.

Atau mungkin ini jawaban atas harapku. Seolah semuanya serba kebetulan. Anak pertama saya pergi dan mobil cadangan di rumah rusak. Saya dan Bas panik sampai sama sekali tidak terpikir ada teknologi taksi online. Saya hanya menunggu dengan cemas sampai lelaki itu datang dan membawa kami menuju rumah sakit.

Lelaki itu adalah yang seharusnya saya panggil mantu, dan anaknya yang masuk daftar cucu.

“Mah?”

“Lagi ngelamunin apa?”

Saya sampai tak sadar suami sudah siuman saking larut dalam dunia sendiri. Saya beri senyum dan langsung membantu beliau yang ingin duduk.

“Maaf ya, papa ngerepotin kamu.”

Saya menggelengkan kepala. Sebab, bukan saya yang direpotkan. “Papa nggak ngerepotin, malah aku yang ngerepotin orang lain. Kebetulan tadi si itu datang ke rumah sama anaknya.”

Lihat, saya masih belum bisa memanggil namanya.

“Sudahlah, ma. Ikhlaskan saja didi sama pilihannya. Toh mereka sudah menikah, sudah ada anak yang jadi tanggung jawab. Lupakan saja yang lalu, dimaafkan saja luputnya.”

Benar, harusnya saya bisa semudah itu untuk melupakan dan memaafkan. Saya sedang mencoba dan itu sulit.

“Ma, percaya sama papa didi sudah ada di tangan orang yang tepat. Dia sudah cukup untuk buktikan dan tebus kesalahan. Sekarang gilirannya mama yang ambil keputusan.”


II. Harapan Masih Ada

Beneran deh lu semua seenggaknya sekali ngerasain ada di situasi kayak gue gini. Gue ada di antara bapak dan oma. Literally bertiga, soalnya didi gantian jagain papanya. Kita duduk di salah satu bangku kafetaria rumah sakit karena belom laper.

Gue masih bisa rasain aura tegang yang menguar dari masing-masing dua orang ini. Meskipun sekarang lebih tenang tapi gue masih kebawa banget rasanya dibentak sama beliau di depan gue.

Pun ketika makanan udah pada dateng cuma ada suara bapak yang mempersilahkan makan sebagai tanda kesopanan. Itupun oma gak bales apa-apa.

Sumpah rasanya mau kabur aja makan di tempat lain. Perut gue tiba-tiba mules kena akumulasi hawa tak kasat yang mengitari sekeliling. Mana bete banget sama penjualnya, gue udah bilang rawonnya gak pake kecambah malah dikasih banyak bener.

Gue inisiatif ngumpulin kecambah yang untungnya belum kesebar bebas dan berenang dalam kuah. Seperti biasa yang begini ini tugasnya orang tua.

“Bapak, ada cambahnya.” Ujar gue sedikit merengek. Biasanya bapak sama didi pasrah aja dijadiin pembuangan makanan yang gue kurang srek. Tapi kali ini bapak nolak.

“Jangan dikasih bapak dek, soto ini gak cocok dikasih cambah.”

“Terus gimana? Adek buang aja? Katanya gak boleh buang-buang makan.” Kata gue masih berusaha bikin bapak nampung cambah gue.

“Sini kasih ke oma.”

Gue sama bapak reflek noleh barengan ngeliatin muka oma. Gak salah denger kan? Tangan gue mendadak geter tapi mencoba stabil biar cambahnya gak jatoh-jatoh dan mendarat mulus di piring rawonnya oma.

“Maafin adek ya, ma.” Sahut bapak ngerasa gak enak hati.

“Gak usah minta maaf. Jadi orang tua itu memang gini.”

Serius gue sama bapak masih speechless dan jatohnya bengong denger oma ngomong pake suara yang biasa aja. Gak ada amarah, gak ada emosi. Kita udah kayak keluarga dimana tugasnya saling memahami.

Terus pas sesi sarapan selesai dan bapak udah bayar oma berdiri dari duduknya.

“Makasih.” Ucapnya kepada bapak.

“Jangan makasih, ma. Udah kewajibannya Job. Cuma makanan bukan apa-apa kok.”

“Bukan,” Oma gue perhatiin berhenti sebentar. Beliau seperti menimbang sesuatu, ragu mau mengatakan sesuatu.

Detik kemudian gue akhirnya menjadi saksi waktu oma ngambil tangan bapak buat digenggam. Beliau tatap mata bapak tulus. “Mama terima kasih sudah bantu papa.”

“Sepertinya tugas saya memang harusnya fokus sama papa menata hari tua.

“Kalau begitu saya titipkan Bas sama kamu.”

Hari ini akan gue catat sebagai sejarah paling indah dalam hidup. Bagai matahari kembali terbit membawa harapan baru.


`hjkscripts.


I. Bagian Satu : Pikiran

Sebagai seorang lelaki yang tengah berusaha beginilah langkah gue. Dalam tujuh hari yang ada di kalender, gak ada satu haripun di jadwal gue yang kosong. Setidaknya belakangan ini. Gue yang lima hari disibukkan bekerja, atur komunikasi sama anak, dan dua hari akhir saatnya berubah pake kostum bertuliskan menantu budiman.

Gue gak peduli gimana nasib fisik dan mental gue. Pun, gue sudah sampai ditahap mati rasa. Capek ya tidur, setres ya ngopi, kalo ada anak di rumah kosplay jadi bujang mahasiswa alias ngajak tanding PS. Kalo ditanya menikmati atau gak, gue cuma bisa yaudahlah, mau gimana lagi. Idup ya baiknya emang dijalanin aja.

Pada proses ini gue patutnya bersyukur aja. Tanpa siapapun sadari mama suami gue udah gak sekejam dulu. Masih marah marah, masih pedes mulutnya tapi ya mendingan lah. Senjata yang gue persiapkan tiap tempur cuma wejangan ibu. Harus tahan, gak boleh emosian. Diusir ya bertahan, dicaci dijawab senyuman. Soalnya, kita gak pernah tau mungkin yang sedang gue hadapi cuma sebatas ujian.

Setelah beberapa menit gue habiskan buat desek-desekan sama ibu-ibu di pasar, akhirnya gue berhasil kembali ke mobil dengan keadaan hidup. Buset dah padahal cuma jualan kue basah warna-warni tapi yang beli harus berani mati. Gue si paling tinggi kalah sama ibu yang berani adu belati.

Gak lagi-lagi dah beli di situ. Ntar gue bakal survei dari internet sama temen kantor tempat beli jajan pasar yang antriannya lebih manusiawi.

Sampainya gue di rumah mama, gue lihat beliau lagi senandung sambil siram taneman. Bahagia banget kayaknya hari ini. Tapi pas gue ucapkan salam dahi beliau mengkerut sebel. Gue pede aja tetep senyum walau hati ketar-ketir, kulit kepala keringetan bukan main.

“Mah.” Gue mendekat diikuti Mark buat salim. Beliau langsung nyemprot gue pake kata-kata mutiara.

“Ngapain kalian ke sini? Ngerusak mood saya aja.”

Gak papa, yok semangat yok. Demi dua keluarga yang bakal bersatu kemudian hari.

“Job mau nengokin mama sama papa aja. Mama sama papa gimana keadaannya?” Beliau acuh, lebih fokus sama kegiatannya.

“Ini mah, Job bawain kue basah. Job beli di tempat langganan mama kok, pasti enak.” Mama masih gak peduli.

Namun, gue masih tetap wajib bersyukur. Sebab, apapun yang gue bawa nggak diterima pula gak ditolak begitu aja. Namanya juga proses. Dari pertama kali gue melakukan ini terus sekarang gak diusir dari rumah udah sujud syukur banget. Pun, info dari suami gue jajanan yang gue bawa kadang di makan kok sama beliau tapi pas gak ada gue aja.

“Kak, adek!” Udahlah Bas itu ibarat malaikat penolong gue dikala situasi pelik. Buktinya dia dateng saat gue udah bingung mau ngobrolin apa lagi.

“Didi...”

“Adek, anak kesayangan didi kangen banget sama kamu.” Jadilah dipertontonkan adegan teletubbies. Padahal pas tinggal satu atap jarang banget manja begini.

Tapi gue juga gak bisa pungkiri kalo gue juga kangen berat sama suami. Gue sudah gak biasa hidup sendiri. Apalagi perkara jatah sehari-hari. Serius dah, main solo udah gak seenak waktu masih mandiri.

Gue kangen godain sampai pipinya merah, terus bibirnya gue bakal jamah. Dia pasrah, berakhir lepaskan helai kain yang kian basah. Lalu, kita akan bergerak liar sembari mendesah melupakan segenap keluh kesah.

“Kak?!”

Bangsat!

“Iㅡiya?” Reaksi gue bodoh.

“Ayok masuk! Mikirin apa kamu sampe ngelamun gitu?”

Aduh, nggak kok sayang. Gak mikirin apa-apa.


II. Bagian Dua : Pandangan

Sebagai seorang ibu gak ada satupun dari mereka yang ingin anaknya tak hidup dengan baik setelah diri ini menghilang dari dunia. Sama, saya pun begitu. Saya ibu dari dua anak perempuan dan satu lelaki.

Mungkin bagi dua putri, saya adalah satu dari sekian orang tua yang gagal bagi kasih secara rata pada tiga anaknya. Saya akui sedikit begitu, tapi saya lakukan bukan tanpa alasan.

Putri-putri saya itu semua wanita tangguh. Mereka tumbuh dan belajar memandang dunia dengan cara yang sama dengan orang dewasa pada umumnya. Hidup dalam dan luar rumah mereka balance, tau harus bagaimana bertindak, tau bagaimana bersikap atas positif dan negatif yang datang di hidup mereka. Melihat perkembangan mereka saya sedikit punya rasa takut.

Berbeda dengan anak bungsu lelaki saya namanya Bas. Tidak seperti anak lelaki sebayanya dia tipe si pemalu. Hidupnya hanya sebatas rumah dan sekolah. Teman yang dia punya hanya saya, papanya, dan dua kakak perempuan.

Sebagai anak lelaki Bas kecil terlalu polos. Saya ingat jantung pernah hampir copot waktu dia mau dibawa orang gak di kenal hanya karena mengambil bola basket yang tak sengaja terlempar ke luar pagar. Jika saya tidak keluar saat itu, hari ini saya tua bersama rasa penyesalan.

Saya kaget, ketika suatu hari Bas yang tak pernah meminta apapun berbicara kepada kami orang tuanya.

“Didi mau sekolah di luar Jakarta.”

Bas, kalau kamu tau perasaan mama hari itu kamu mungkin gak akan pergi ninggalin mama ke Surabaya. Namun, saya hanya orang tua yang enggan menghalangi keputusan anak saya, saya tak mau jadi ibu kurang support bagi anaknya. Sehingga, ketika semua cara sudah saya lakukan demi membuatnya bertahan gagal, saya pun melepaskan dia.

Tidak ada hal negatif yang harus membuat saya ketakutan semenjak ditinggal Bas ke Surabaya. Dia mulai mendapatkan teman dan saya bahagia sekali waktu liburan semester tiga ada satu lelaki yang dia bawa untuk berlibur di Jakarta. Namanya Job, anak asli Surabaya. Katanya dia ini teman yang paling dekat sama Bas.

Hari itu saya tak sadar bahwa kedekatan mereka sebab ada intensi lain dari lawannya. Di akhir masa studinya, kala Bas sudah dinyatakan lulus kuliah anak itu datang lagi ke rumah saya. Berbekal pekerjaan dan tabungan seadanya dia meminta izin agar diperbolehkan meminang putra saya.

Jujur saya berbohong saat itu mengungkapkan bahwa saya sudah punya jodoh untuk anak saya ataupun ada darah etnis yang harus keluarga saya jaga. Hal itu saya lakukan atas reaksi dari ketakutan saya. Saya akan kehilangan Bas bukan hanya selama empat tahun, namun untuk selamanya. Anak yang saya besarkan bukan putra saya lagi setelah ini.

Wajar bukan aksi saya? Inilah naluri seorang ibu. Saya hanya ingin seseorang yang menjadi pendamping anak saya bisa melindungi dia sama kuat dengan saya. Saya ingin seseorang yang ditakdirkan dengan anak saya sama besar sayangnya dengan saya.

Namun, malah kecewa yang saya terima. Bukannya membuktikan, mereka memilih lari pergi meninggalkan saya sendiri.

Puluhan tahun saya sering berpikir, apasih hebatnya lelaki jawa satu itu hingga anak saya rela melepas ikatan keluarga? Seberapa besar valuenya hingga anak saya terlena?

Maka di sinilah saya berdiri, menjadi saksi bagimana dua insan lelaki itu berkomunikasi. Pasang netranya berbinar ketika bersihtatap satu sama lain. Lengkung bibirnya melontarkan senyum paling manis untuk disuguhkan, dan gestur tubuhnya saling memberi kenyamanan. Mereka tak berbohong dengan narasi buatan mereka Iya kami benar bahagia.

Apakah ini jalanmu untuk menunjukkan bahwa keduanya patut bersama?

Lantas, apa saya punya pilihan tetap pada pendirian saya jika ujung dari kisah ini adalah kebahagiaan anak saya?

Tolong satu kali lagi tunjukkan pada saya apapun, jika memang dia takdir putra saya terlepas dari kesalahan masa lalunya. Sebab, saya tidak mau terjerumus pada lubang penyesalan.


III. Bagian Tiga : Nurani

Aku menggenggam erat pergelangan tangannya. Menarik tubuhnya berdiri agar mengikuti. Dia tak berkata, dia jadi si penurut di atas tanah ini. Akulah yang berkuasa.

Sebelum memasuki ruang lebih sempit, aku memastikan sekitar. Anakku entah ada dimana. Persetan dengan orang, ada tugas yang harus aku selesaikan.

Kala pintu berhasil terkunci, aku mendorongnya hingga terhimpit partisi. Aku berjinjit, setarakan bibir dengan bibir hingga serupa refleksi. Deru napas terdengar bak melodi klasik pembangkit birahi.

“You put it, did you?” Suaranya parau mencoba interogasi.

Tawa licik tak bisa kutahan lagi, “When I said mau cium, it means something more than that.”

“Youㅡ” Aku menciumnya menggoda.

“It's getting hot inside, huh?”

“Hum.”

“Then, i'll write them good reviews and five stars as well.”

“Sure. But, now you tell me how deserve you're for five stars little slut.”

Kami tertawa dalam panas api membara. Aku mencumbu tiap jengkal bibirnya. Oh lord, i miss him so bad that i'm going to fuck him till dawn.

Hahhh Ahhhh.

Dia mulai bersenandung lagu yang paling aku gemari. Bibirku mulai mencari bagian tubuhnya yang belum basah terjamah. Lima jemari tak bisa diam saja, mereka bersatu menembus lapisan kain yang menutup gundukan pembawa bahagia.

Ohh shit, sayang.

Teriaknya kacau saat mereka mulai menggenggam dan bergerak seduktif mengaktivasi merapi yang masih terjebak di alam mimpi.

“It's getting hard down here, dad.”

“Please him, sayang.”

Aku bersimpuh bagai pengawal kerajaan akan menghadap pada baginda. Kala pintu dibuka, aku disambut olehnya yang tengah memamerkan pedang. Aku datang kemari sebagai abdi yang sanggup menuruti setiap instruksi.

Pertama aku menggenggam, penampakannya panjang, kuat, dan kokoh. Lalu, aku mulai membelai, perlahan bagai benda paling berharga. Selanjutnya aku memasukkan pada lubang yang dianggap rumah, kugerakkan maju mundur sebab masih terkesima dengan bentuknya.

Ahhhh Hhmmm

Dia telah basah bermandikan saliva. Terkadang aku juga bermain dengan dua zakarnya.

Shhhh basss

Benar, desiskan namaku begitu. Terpacu, aku menggebu-gebu. Irama bibir dan jariku mulai tak beratur hingga memicu kedutan hebat akan tibanya air serupa susu. Terakhir, lenguhan panjang menjadi tanda puasnya permainan babak satu.

Dia lantas menggendongku, menjamah bibirku meminta berbagi cairan pembangkit energi. Dia meletakkan punggungku di atas singgasana berlapis sutra. Aku adalah seorang tawanan dalam kuat jasmaninya. Aku terperangkap dalam penjara tanpa gengsi.

Lelakiku dengan cepat melucuti kian banyak pelapis diri. Berpendar sangat binar matanya menangkap polos ragaku. Dia pun sama, melepas beban tubuhnya mencari kehangatan. Kini kita tak berinci, melekat kulit berbagi peluh. Saliva meleleh sebab liarnya gerakan cumbu.

“Kak Job, don't playing with me.”

Ughhh Sshhh Hhhh

Aku mendesahkan namanya, memohon kepada baginda agar berhenti bermain dengan lubang senggama. Darah semakin berdesir, tubuh mulai merinding dibuatnya.

AHHHH!

Teriakku akan serangan tiba-tiba. Satu jemari panjangnya berhasil menginvasi. Dia bergerak keluar masuk dengan ritme perlahan. Lubang dihentak, ular memberontak. Semakin dijarah, muncratlah cairan bisa.

“Aku kangen rumah, sayang.” Bisik suamiku dengan suara bariton. Tak lupa dia mengecup, meniup cuping membuat semakin menggelinjang.

Dengan napas masih memburu, aku terbata memberi validasi. “Then come home.”

Dia tersenyum puas, melumat bibirku singkat lalu membuat banyak tanda tinggalkan bekas.

Aku bagaikan sebuah konstitusi yang ditinggal pemimpin negeri. Sehingga datanglah bangsa lain yang ingin menguasai. Dia masuk, diruntuhkan seluruh bekas kekuasaan. Dia mengoyak hebat, bergerak hingga aku tak berdaya. Hanya erangan pasrah yang menjadi sebuah tanda bahwa aku adalah miliknya.

Ahhhh uuhhhh hhmmm aahhh

“Kamu sempit sayang...”

Gila aku dibuat gila, hingga lubang senggamaku menghimpit besar miliknya di dalam. Lama dia bergerak, memberikan kenikmatan tiada tara. Semua rasa rindu terbayar tuntas dengan persetubuhan.

Kala syaraf miliknya berkedut hebat dan gerakannya semakin kuat. Tangan-tanganku kian mengerat. Lantas, sahut-sahutan erangan panjang dan aliran hangat dalam lubang menjadi obat penyembuh sakit meriang.


`hjkscripts.


Bas Point of View.

Malam temaram begini aku mendadak nggak bisa tidur. Sejak tinggal di rumah mama aku merasa tidur sendirian di kamar seluas itu kurang nyaman dibanding waktu remaja. Mungkin karena kebiasaan itu sudah berubah setelah menikah dengan Kak Job, gak ada satu hari pun kita tidur berpisah. Aku kangen rumah.

Di bawah lampu ruang tamu yang masih menyala aku duduk seorang diri dalam sepi. Atas pangkuan tersedia album potret kenangan yang entah bagaimana juga ikut bersamaku. Kegiatanku mengenang masa lalu harus berhenti kala satu notifikasi sosial media mencuri perhatian.

looking4job mentioning you in a tweet

Lantas aku gak bisa nahan ketawa tiap baca tulisannya. Inget banget dulu kita beneran desperate gimana bangun rumah tangga stabil. Kita sampe harus hemat buat makan sama kebutuhan sebab uang gaji yang gak seberapa dibuat lunasin hutang yang sebenernya bukan punya kita. Tapi pas semuanya kelar, hal-hal baik terus datang sampai sekarang.

Aku tak sadar bahwa tawaku di tengah malam bisa bangunkan seseorang. Mama yang lagi bawa gelas air minum bukannya kembali ke kamar malah nyamperin ikut duduk di ruang tamu.

“Mama? Maaf suaraku bikin bangun, ya?”

Mama senyum maklum, malah heran dan kepo apa sih yang bisa bikin ketawa anaknya. “Seneng banget kamu? Lagi nonton apa?”

“Enggak kok, ma. Cuma ini loh Kak Job ngirim cerita lucu.”

“Oh.”

Terus gak ada sahutan lagi dari mama. Beliau cuma diem dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Dia pandangi lamat bentuk tubuhku sampai jatuh pada buku di atas pangku.

“May I?” Izinnya.

Aku sebenarnya ragu untuk mengizinkan. Takut diperdengarkan komentar buruk tentang sosok di dalamnya. Namun, selama lima belas menit mama belum buka suara. Beliau hanya mendunduk, mengamati setiap potret perjalanan hidup keluargaku. Hingga sampai pada halaman penghujung, beliau raba sosok di sana.

“How old is he? Tanyanya sembari menunjuk paras remaja.

“Dua puluh, udah kuliah semester lima sekarang ngambil komunikasi.”

Lagi, beliau diam kembali. Jemarinya masih menari di atas lembar foto yang sama.

“Kenapa dia?” Ucapnya kembali, entah siapa yang dimaksuddia sekarang.

“Namanya Mark soalnya dia punya tanda lahir lucu menyerupai bentuk hati di lengannya. Terus, waktu pertama kali kita datang ke panti cuma dia yang berhasil curi atensiku. Aku tandai dia dalam ingatanku.”

“No, I mean him.”

Oh, maksudnya Kak Job?

Sebentar aku gak langsung menjawab. Pertanyaan kayak gini tuh bikin kita mau gak mau berangkat menuju nostalgia.

“Jatuh cinta itu gak butuh alasan, ma. Kadang dia memang jadi tipe kita atau timbul nyaman tanpa sengaja. Dan aku adalah yang kedua. We communicated that well back then. Kita nyambung dalam banyak hal dan komunikasi itu jadi perantara utama agar sinyal rasa suka bisa saling diterima.”

“Pada saat itu seolah semua serba kebetulan Bas masih sendiri dan Kak Job yang memang punya inisiasi. At first we tried, later we talked so much, and became comfortable to each other. He was simple, easy to pleased, understandable, yet reliable. Pokoknya ya dia cuma cowok biasa yang bisa bikin aku nyaman terus, ketawa terus sama dia.”

“Ma, soal dulu aku sama Kak Job memang salah sama mama. Kak Job tanpa sengaja sakitin hati mama semata dia takut kehilangan aku. We were both too young, aku cuma anak muda yang lagi tergila-gila kenal cinta. Tapi lihat sekarang, aku sama Kak Job udah bertumbuh dewasa, udah punya anak yang harus kita jaga berdua. Ma, harap kita cuma kita jadi keluarga besar yang harmonis. Keluarga aku dan Kak Job bisa jadi satu.”

Selepas panjang lebar aku bertutur kata, Mama gak sama sekali punya komentar apa-apa. Aku gak bisa baca pikirannya. Mama habiskan air dalam gelasnya, dan dia berkata, “Tolong gelas mama di bawa ke dapur ya.” Beliau beranjak, dan aku bisa lihat punggungnya hilang di balik pintu kamar.


`hjkscripts.