garis akhir.
Nodt Point of View
Setiap kisah yang kita jalani bagaikan mengikuti lomba estafet lari. Pertama, lo bakal berlari sendiri membawa beban yang lo ga tau dapet dari mana. Selanjutnya, lo akan terus berlari namun kali ini mencari insani yang dianggap bisa meringankan beban itu. Beban itu akan terus dipindahtangankan entah sampai berapa orang yang akan ikut terlibat. Hingga, ketika itu telah menemukan orang yang tepat, dia yang harus lari sekenceng mungkin menuju garis akhir.
Ya sama kayak keadaan gue. Kemunculan Pak Podd sebagai klien yang awalnya meminta bantuan untuk dekorasi acara amal, gue ga pernah tau asal-usulnya darimana. Serta, gue juga ga tau kenapa keberadaan Pak Podd bisa mengusik ketenangan seorang Peter Knight si sempurna.
Lantas dia mulai berlari untuk mencari yang ternyata ga jauh-jauh temen gue sendiri. Terakhir, tibalah saatnya giliran gue. Sampai saat ini pun dua kaki ini masih belum berhenti. Bergerak maju pun belum terlihat apakah diujung gue disambut orang lain lagi atau sebuah garis finish.
Jawabannya gue akan tau setelah ini.
Lucunya buat perlombaan satu ini gue ga ngerasa capek, malah makin semangat. Beban yang telah gue bawa semua hanya sedikit berat. Mungkin karena kini jemari-jemari gue digenggam begitu erat sama kesayangan gue.
Jujur gue takut buat dateng sekedar cari jawaban. Beruntungnya, orang yang berstatus sebagai pasangan sehidup semati mau menemani.
“Everything gonna be alright.” Ungkapnya. Meskipun kalimat demikian terdengar mainstream tapi untaian kata itu yang tengah gue harapkan.
Gue mau semuanya selesai. Gue harap semuanya baik-baik saja.
Ketika jemari gue dilepas, dia sematkan kecupan lembut di puncak kepala gue. Lalu, dia sempat berpesan, “Semangat ya sayangku. Kalau dia macam-macam I'll kick his ass real hard.”
Yuk, bisa yuk! Semoga ini cuma ajakan makan malam biasa tanpa intensi apapun.
Malam temaram diiringi suasana tentram. Kita bertiga tidur di atas bongkahan kapas empuk di bawah atap kuat. Iya, bertiga... ga tau kenapa tiba-tiba anak baru remaja yang badannya lebih tinggi dari dua orang tuanya merengek seolah balita dilanda mimpi buruk.
Nakunta telah bergabung, amblas bablas tak peduli datang hujan setelah mendung. Dia bergelung, mencari pelindung.
Emang dasar, harusnya kan gue yang ada dipelukan mas. Tau aja dia mana tempat paling anget di antara gue atau dad-nya.
Mas Peter tepuk-tepuk punggung Nakunta sedangkan gue mainin rambut panjang kebanggaanya. Udah sebulan lebih gue debat kusir nyuruh dia potong rambut biar rapih, tapi namanya juga melawan remaja.
Gue sama mas ga sengaja bertemu tatap dan kita senyum geli tanpa suara.
“Udah gede juga masih minta dikelonin.” Monolog gue pelan sembari nyubit pipinya gemes.
“Kamu malah tiap hari aku kelonin.” Sahut mas yang ternyata denger. Yah, pak jangan dibongkar gitu juga lah.
Kita lagi-lagi ketawa kecil. Terus perlahan pudar menyisakan dua obsidian saling menatap satu sama lain. “Go on.” Titahnya.
Gue menarik napas, bergerak mencari posisi nyaman. Gue diam sejenak, mengais kepingan memori beberapa jam lalu.
Awalnya acara tadi nampak seperti makan malam biasa penuh basa basi. Lalu, ketika keluar sebuah kotak dengan isi tujuannya tidak sama lagi.
“Dia kasih aku kotak berisi setel baju mahal dan undangan, ngajak aku dateng ke acaranya. Bukan sebagai partner penanggung jawab tapi sebagai partnernya.”
“Huh, that jerk.”
Gue menolak tentu saja, gimana gue bisa dateng kalo hari itu gue pasti udah ada di hotel amerika, lagi ngerasain jet lag sambil pelukan biar anget.
Di situ gue memberanikan diri bertanya alasan pasti kenapa dia segigih ini.
“Dia mau aku, dia mau milikin aku untuk dirinya sendiri. He loves me at first sight.”
Gue diem sebentar, mengingat ketika kalimat itu keluar semudah itu dari bibirnya gue sempet tremor ketakutan. Gue ngeblank, gue takut dikendalikan. Detik itu rasanya gue pengen berdiri, lari keluar minta dibawa pergi sejauh mungkin.
Tetapi gue ga boleh gitu. Masalah itu pantang bagi gue dibiarkan menggantung begitu saja. Sebab, mungkin keesokan harinya akan muncul sebagai petaka.
Kala tidak ada sama sekali suara tanggapan terdengar gue pun melanjutkan.
“Aku jawab kalo itu bukan cinta melainkan obsesi. Karena cinta itu artinya bukan ingin sekedar memiliki untuk penuhi hasrat diri. Love is a consent. Bukan kamu jaga hatiku ya, tetapi bersediakah kamu juga hatiku? Bukan kamu jangan pergi dari aku ya, tapi aku boleh minta tolong jangan pergi dari aku? Maka, ketika salah satunya sudah ga punya alasan untuk bertahan meskipun betapa sulitnya itu, mereka bisa saling melepaskan.”
Sebab mencintai seseorang itu bukan cuma tentang memiliki, tapi belajar bagaimana melepasnya pergi.
`hjkscripts.