aku, ibu, dan dirimu


Gaipa Point of View.

Aku mana pernah tau sejak kapan hubungan antara ibu dan pekerja bank ini bisa terjalin begitu erat. Pasalnya hidupku hanya tentang mengikuti kemana kaki paruh baya ini melangkah.

Mungkin sebab pikiranku banyak terbagi untuk memikirkan nasib cinta sepihak yang entah kapan akan bergerak. Mungkin sebab apa yang menjadi topik pembicaraan kita berdua selebihnya hanya tentang aku dan kekaguman akan pria itu. Pria yang bahkan sama sekali tak melihat diriku ada.

Aku pun menyadari bahwa ibu adalah pendengar yang baik namun aku bukan.

Iya ya... kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang dirinya sendiri. Kapan terakhir kali aku mendengar ibu bercerita tentang hari-hari saat aku tak ada disana. Kemana? Bertemu siapa? Bagaimana penampakannya? Apa yang mereka bicarakan?

Aku merasa berdosa jujur aja. Yang paling membuat aku terpukul ketika ada orang lain yang lebih dipercaya ibu untuk menjaga rahasianya ketimbang berbagi sama anaknya sendiri.

Itulah orangnya. Khun Alan si pekerja bank, yang saat ini tengah begurau layaknya sanak saudara ibu.

Ibu itu cerewet, tapi beliau bisa lebih cerewet kalau nemu orang yang tepat. Buktinya baru tadi siang dinyatakan siuman sekarang udah cerita ngalor ngidul kayak orang sehat. Khun Alan, aku bingung sih mau komen gimana tapi ya he's just perfect, tipe-tipe yang semua ibu-ibu mau jadiin dia mantu.

Senyumnya, binar matanya, ekpresinya. Padahal dia cuma diem sambil ngangguk dengerin cerita ibu tapi bikin ibu semakin nyaman, seolah semua rahasia juga bakal dibongkar sekarang juga. Dia cuma diem tetapi gelagatnya menunjukkan kalau dia penasaran, dia mau tau lebih banyak tentang cerita ibu.

Pendengar yang baik ternyata gak melulu jadi pendengar. Terkadang, mereka butuh seseorang yang mampu juga mendengarkan sedikit kisah mereka.


Aku duduk termenung diantara hiruk pikuk. Berselancar di atas gawai jari jadi begitu piawai. Aku beri sedikit ruang untuk yang bercakap tanpa ujung.

Tubuhku bersandar, rileks pada punggung bangku. Sedikit bersantai meskipun masih banyak nominal yang datang seolah ingin membantai. Setidaknya ada kabar baik ditengah buruk.

Lantas aku semakin mematung kala netra tanpa sengaja bersitatap dengan salah satu potret terpampang dalam media sosial.

Mereka semua bahagia meskipun tanpa diriku disana.

Wajah baru itu juga nampak nyaman meskipun baru habiskan beberapa waktu.

Sedangkan aku dan separuh hidupku hanya untuk sekedar mendambamu.

Kasihan... kasihan sekali si aku.

“Gaipa?”

“Huh?” Kepalaku bergerak berpaling pada sosok yang sudah menyamai posisinya dengan diriku.

“Khun Alan...” Dia tersenyum begitu aku sebut asmanya.

“Kenapa tidak menunggu di dalam saja?” Dia bertanya.

Aku terkekeh, “Saya sungkan sendiri lihat ibu dan Khun Alan ngobrol begitu semangat.”

“Ahh,” Dia ikut tertawa kecil. Aku suka bagaimana giginya nampak ketika dia begitu. Matanya menyipit diikuti kerutan disekitarnya. Dia tampan, dia lelaki tampan.

“Maafkan saya. Sudah lama sejak pertemuan saya dan Bu Hong. Saya rindu suaranya ketika bercerita di ruangan saya.” Lanjutnya.

“Oh ya?”

“Hmm.”

“Biasanya ibu cerita apa?” Kini aku penasaran. Seberapa dekat ibu dengan lelaki ini sampai begitu banyak yang beliau bisa ungkapkan.

Alan nampak menimbang, entah dia berlebihan atau memang sudah terlampau banyak tema yang mereka bicarakan. “Banyak. Paling banyak tentang putranya.”

Aduhh ibu...

“Lalu, Khun Alan nggak bosan memang mendengar cerita tentang putra Bu Hong?”

Kini aku menatapnya dengan senyuman jahil. Melemparkan pertanyaan main-main menggodanya. Ingin sekedar tau jawaban basa-basi apa yang akan dilemparkan lelaki ini.

Alan menghela napas, badannya semula tegak dibuat seluwes mungkin. Dia mensejajarkan wajahnya dengan milikku, balas tatap pula dengan dua manik hitamnya.

“Anehnya saya tidak bosan.” Dia berhenti sejenak. Bola matanya bergerak mengamati tiap jengkal struktur wajahku.

Bibir lelaki ini terangkat kecil seolah berbalik menggoda.

“Malah sekarang saya penasaran bagaimana putra Ibu Hong sebenarnya.”


`hjkscripts.