hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Cause no matter how old man gets, he never stops needing his mom.

Lelaki itu melangkah turun dari satu persatu anak tangga. Ketika di ujung hawa sejuk menyambut dirinya. Dia tersenyum hangat, pantas saja rasanya seperti masuk dalam surga sebab di sana duduk sang ibunda.

Tubuh jangkung kini duduk di samping paruh baya yang sedang sibuk menjahit. Rapat, dirinya enggan memberi jarak. Sudah lama dia tidak pernah sedekat ini dengan yang dicinta.

Semalam pemilik nama Job putuskan untuk berlari lagi. Namun, dia berjanji bahwa ini akan jadi terakhir kali. Maksud kepulangan bukan untuk bersembunyi, tetapi mencari motivasi agar kuat hadapi dunia kembali.

Kala masuk pekarangan Job disambut ibu dan bapak yang menunggu di bangku teras. Keduanya tampak serasi, bagai pemuda masih baru mengenal romantisasi. Apa bisa dia dan kasihnya merasa momen itu, dimana nanti hidup berdua di rumah tua dikelilingi pohon cemara. Memandang langit sore saling bersenandung sembari menikmati teh calendula. Memasuki musim libur, berharap suka cita menunggu kedatangan anak serta cucu yang datang dari jauh sana.

“Leh?” Pupus sudah bayangannya atas panggilan sang ibu.

“Lagi mikir apa toh? Kok sampai dipanggil ndak nyaut-nyaut.”

Malu, dia malu mau menjabarkan angan-angan belaka. Sedangkan keadaan sekarang dia pulang sendiri menjinjing buah simalakama.

Job merebahkan tubuh, kepalanya dia letakkan menginvasi pangkuan ibunda tak peduli sisa kaki jenjangnya melayang sebab tubuhnya lebih panjang dari sofa. Dua netranya menatap kosong televisi yang menayangkan sinetron bertema cinta remaja. Seolah satu dunia saat ini sedang menertawakan dirinya.

Persetan apa kata dunia, dirinya sudah berlindung di bawah naungan teraman. Beliau yang terlihat lemah adalah wanita lebih kuat dari pada pahlawan super. Dia adalah seorang ibu, she taught me that fear is not an option. Pun begitu, beliau tak pernah melarang seseorang sesekali menjadi lemah.


Job Point of View.

Ibu tak berkata, namun belaian lembut pada rambut tebal gue jadi penanda bahwa beliau siap menampung keluh kesah anaknya.

Gue jarang nangis, hampir gak pernah malah. Kalo ada masalah pun paling parah ya mabok. Tapi gue gak tau kenapa jatuh di atas pangkuan seorang ibu bisa bikin emosi dalam diri terakumulasi jadi satu di hati. Satu persatu mereka datang, semakin banyak buat tambah sesak. Mereka mencari ruang, berlomba saling mendorong yang lain agar keluar hingga yang kalah harus rela menjelajah lebih jauh sampai bertemu kelenjar air mata. Semakin banyak, seolah sebuah bendungan penuh yang sebentar lagi akan longsor.

Satu tetes air kelemahan tanda gue udah gak sanggup buat menghadapi sendiri. Gue mulai bercerita tanpa ada bumbu yang kurang. Gue bercerita meskipun terbata-bata. Diakhir penutupan kisah, akhirnya lega bisa dirasa.

“Dua orang saling cinta itu memang ndak salah.” Ibu mulai bersuara.

“Dua orang saling cinta memang bener patut kok bahagia.” Lanjutnya.

“Semua orang di dunia boleh cinta sama siapa saja, ndak mandang usia, status sosial, agama, bahkan jenis kelaminnya apa. Hanya aja yang jadi masalah ketika kalian sudah bicarakan pasal menikah. Menikah itu bukan cuma ajang mempersatukan dua orang saling menghasihi. Tapi menikah itu juga jadi ajang mempersatukan dua keluarga. Maka dari itu ada yang namanya restu.”

Haha gue dalam hati ketawa, kesindir banget sama omongan ibu.

“Orang tua itu sifatnya beda-beda loh, Le. Kalau ibu dan bapak manut sama keputusan kamu. Kamu bilang bahagia sama Bas, dan Bas juga bahagia sama kamu ya ibu ndak ada hak lagi untuk sangsi. Mertua kamu ya tentu beda sama ibu. Tapi apapun itu tujuan orang tua semua sama kok, Le. Kita mau yang terbaik untuk anaknya.”

“Mamanya Bas itu bukan jahat, dia hanya takut anaknya dapat jodoh yang ndak baik. Beliau mungkin melarang kamu semata-mata ingin melihat usaha kamu buat pinang anaknya. Sudah kamu berusaha sekeras itu?”

Anjir, lagi-lagi gue ketampar.

“Belum, buk.” Tentu saja belum. Job itu si pengecut, Job dulu gak segigih itu. Dia malah jadi ular berbisa yang menebar racun dalam otak pacarnya. Dia si pria manipulatif yang ngajak kabur pacarnya dan ninggalin keluarga.

“Dari masalah ini kamu bukan dihukum, ibu yakin sekali ini bukan akhir cerita rumah tangga kamu. Melainkan kamu diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan dua keluarga.”


`hjkscripts.


Mark Point of View

Masa paling bahagia dalam hidup gue ketika jadi salah satu dari jutaan bayi yang dibuang akibat bejat orang tuanya dan dipilih untuk diadopsi. Gue mungkin gak akan inget gimana waktu pertama kali bapak dan didi datang ke panti asuhan tempat gue bernaung. Terpenting saat dewasa kini gue bisa tinggal di rumah bagus, serba kecukupan bersama dua orang tua yang sayang tak terhingga.

Bahkan saking bersyukurnya, tatkala orang tua gue memberitahu fakta asal-usul gue, bukan kecewa yang hadir bersarang melainkan kelegaan. Gue lega sebab ditakdirkan ketemu mereka. Hingga saat ini gue pun dua orang tua gue gak ada terbangun tembok tinggi yang membatasi.

Kita setuju bahwa darah yang mengalir di tubuh masing-masing berasal dari sumber yang sama. Darah gue adalah percampuran kasih sayang bapak dan didi yang telah mereka bangun. Gue juga sebagai peran utama dari kisah perjalan cinta mereka.

Sedikit yang gue ceritakan di atas mungkin bisa jadi kisah menyentuh hati. Kalo ada award buat keluarga terharmonis, gue yakin nama bapak akan dipanggil buat nerima penghargaan. Tetapi, yang namanya hidup berumah tangga gak ada yang sempurna. Sebagus apapun rumah tampak luar, mau dibangun sekokoh apapun dengan menghadirkan perancang paling kompeten dibidangnya, pas lu masuk ke dalam pasti ada cacatnya. Entah ruang tamunya berantakan, entah dapurnya terciprat noda, atau ada lubang kecil di dinding bekas paku penyangga pigura.

Sama keluarga gue juga gitu kok. Gue pernah diceritakan bahwa dinamika cinta bapak dan didi gak seindah omongan orang. Gampangnya mereka berdua kehalang sama etnis. Bapak yang asli orang Jawa dan didi punya darah china. Akibatnya gue juga jadi korban. Gue cukup mengerti dan paham buat maklumin, seenggaknya orang tua gue beneran udah resmi menikah. Jujur gue juga pengen disayang sama oma dan opa, pun ketimbang begitu gue mencoba untuk mengurangi nafsu. Bagi gue sayangnya bapak dan didi sudah cukup.

Baru gue ketahui tentang fakta sesungguhnya bahwa perkara ini lebih rumit daripada keliatannya. Menjadi saksi orang tua gue berantem selepas dari acara bikin gue kaget bukan main. Cerita masa lalu itu gak sependek apa yang pernah gue dengar. Cerita masa lalu itu gak berhenti sampai di situ. Kisah itu masih diputar hingga detik ini. Bapak dan didi memang menikah, namun mereka juga berlari meninggalkan masalah.

Dan setelah gue telaah lebih jauh, sebagai anaknya pun gue bingung gimana cara atasinya.


Beranjak sejenak dari atas tempat tidur mungkin bukan satu solusi buat nyelesein perkara. Tapi beranjak dari kasur buat duduk di boncengan motor cowok satu ini mampu menghilangkan sejenak beban derita. Wajah dan kepala gue yang tak terlindung apapun, diterpa angin malam yang tengah bergerak konstan seakan mereka juga membawa pikiran buruk di dalamnya.

Gue melingkarkan dua lengan dipinggang cowok yang lagi fokus liat jalan. Selanjutnya, kepala gue mendadak berat yang membuat gue mau gak mau membagi beban di atas bahunya. Biasanya cowok ini bakal ngomel, terus lengan gue diceples, paling ngeselin dia gerak-gerakin badannya biar gue mau ngelepas. Namun hari ini, seolah dia sadar lantas dengan sengaja menawarkan diri untuk bahunya dipinjam.

“Jangan tidur!” Katanya kenceng. Bahunya dia gerakkan sedikit takut gue ngantuk.

“Enggak,”

Gue merubah posisi kepala sedikit. “Gue gak tidur.”

“Abis ini nyampe rumah!” Sahutnya gak nyambung. Yakin dia gak denger jawaban gue.

“Gue gak mau pulang.”

“HAH?!” Beneran deh, dengerin musik rock kelamaan gak bagus buat pendengaran.

“Gue gak mau pulang, Nakunta!” Kata gue lebih keceng.

“Pulang aja, udah malem takut didi lo khawatir. Besok gue ajak keluar lagi kalo masih suntuk.”

Ya udahlah gue pasrah. Toh mau ngajak keluar sobat kampus gue juga lagi mager buat motoran sendiri. Bisa jadi gue sama bapak gak ada bedanya, lari dari masalah. Paling parah nanti ditambah mabok.

Sampai di depan pager, Nakunta langsung pamit balik. Rasanya hampa ketika melihat motor dan pemiliknya perlahan menjauh. Gue menghela napas sebentar, persiapkan mental buat masuk ke rumah.

Bangsat!

Gue mengurungkan buat buka pintu ketika ada suara bapak dan didi yang lagi ngobrol pakai suara tinggi di dalem. Doa beserta harapan gue di jalan mungkin ikut kebawa angin atau jatuh kelindes mobil. Gue berharap bapak udah pulang ke rumah. Iya bapak udah pulang tapi maksud gue bukan gini. Gue maunya disambut, ditanya abis darimana sama siapa? Ditanyain udah makan apa belum? Enak atau nggak makanannya yang akan berakhir sebuah ajakan.

malam minggu kesana bertiga, yuk!

Pupus sudah angan gue. Hancur sudah rasa percaya diri yang sekuat tenaga gue bangun. Sekarang ketakutan itu datang lagi, mengitari diri gue yang berakhir terduduk di lantai teras. Pertanyaan itu menghantui gue kembali.

Apakah keluarga gue akan baik-baik saja?


Job Point of View

Gue sudah ada di rumah sebelum Bas kembali dari healing sejenak. Dia pasti kepikiran, gue kenapa bocil banget yak pake kabur segala.

Bas dateng, gue patut berterima kasih sama dua sobat terbaek sepanjang masa yang udah bantu jagain suami gue. Seenggaknya masih ada sedikit senyum yang tersisa. Waktu dia masuk dalam rumah dan lihat gue hal pertama yang dia lakuin adalah memanggil nama gue gak percaya. Selanjutnya ada gue yang inisiatif peluk dia juga minta maaf.

Kita akhirnya baik.

Masalahnya hari ini gak cukup sampai di pelukan sayang. Setelah keadaan cukup tenang, gue rasa inilah saatnya untuk mengutarakan. Gue ajak dia duduk gak lupa sama teh anget.

Biasanya situasi nyaman kayak gini persen berhasil dan maksud tersampaikan jadi besar. Tapi, realita belum tentu mengijinkan. Ternyata, masalah keluarga gue belum boleh finish digaris ini.

“Aku boleh ngomong sesuatu ya, sayang?” Bas mengangguk mempersilahkan.

Gue tentu masih inget jelas ketidaksengajaan tadi pagi. Ketemu kakaknya Bas juga menjadi kunci pembuka jalan pikiran gue. Setelah gue merenung, gue baru menyadari kalo penjahat utamanya di sini adalah gue.

Gue yang tanpa sengaja mengambil seorang anak dari dekapan sayang mamanya. Bertahun-tahun mereka gak bisa ketemu sebab anaknya gue bawa jauh dari jangkauan.

“Aku tadi ketemu Kak Clara,” Gue berhenti sejenak, tatap lamat perubahan ekspresi suami gue.

Setelah gak ada tanggapan berarti gue lanjutkan, “Kakak kamu cerita banyak tentang kamu sama mama. Aku yang jahat ya, sayang?”

“Maksud kamu?”

Gue angkat tangan kanan, gue belai pipi berisinya perlahan. Obsidiannya bergerak seolah sedang mencari jawaban pada punya gue. “Aku yang jahat udah pisahin kamu sama mama bertahun-tahun.”

“Huh,”

“Aku masih gak paham sama kalimat kamu, kak.”

Dari pipi turun menuju bibir. Gue usap ranum daging merah muda itu perlahan.

“Mama sampai pindah ke Surabaya demi kamu. Mama cuma kangen sama kamu.”

Lalu dari bibir, gue menggenggam kedua tangannya. Gue selipkan jari-jari gue disela milik dia. Gue patri tiap lekuk wajahnya, gue pahat dalam memori.

Gue takut, keputusan yang telah gue buat bikin dia membenci gue dan gue gak akan bisa ngelihat dia lagi.

“Kamu,” Gue senyum meskipun sulit mengungkapkan kata-kata.

“Kamu kembali ya ke mama. Kembali ke keluarga kamu.” Ucapku putus asa dibarengi satu bulir bening luruh dari pipinya.

Belum sempat gue usap, genggam tangan kita dia hempaskan begitu aja. Dia berdiri, menatap gue dengan begitu kecewa.

“BERANINYA KAMU!”

“BERANINYA KAMU ANGGAP PENGORBANANKU SELAMA INI SEPELE!”

Gue ikut berdiri, mencoba meraih jemarinya lagi. Gue masih ingin ungkapkan beberapa kata lagi. Namun, Bas terlanjur banyak kecewa.

“Cuma ini caraku buat tebus dosa ke orang tua kamu.” Gue membela diri.

“Pengecut! Brengsek kamu! Aku kira dengan kamu pergi, dengan banyak waktu untuk berpikir di luar sana bikin kamu paham maksud aku. Ternyata aku salah, aku salah ikuti kata-kata dari lelaki pengecut kayak kamu.”

“Aku seneng banget kamu pulang. Aku kira kita akan ngobrol dengan hati tenang. Aku kira ngobrol kita akan saling nguatin satu sama lain. Aku kira setelah acara sakral ini kita akan setuju buat berhenti lari dan menghadapi. Apa ini? Dari sekian banyak opsi kamu pilih menyerah.”

“Bas denger duluㅡ”

STOP!” Sunyi senyap jadi soundtrack utama dari adegan menegangkan.

“Aku muak,” Katanya. “Kamu mau aku pulang kan? Fine, aku bisa pulang sendiri tanpa kamu anter.”

Malam ini sekali lagi gue hancur.


`hjkscripts.


Bas Point of View

Tertawa, gelaknya terdengar bahagia. Takut aku takut melangkah maju dan merusak binarnya. Aku mampunya berdiri dari jarak jauh begini, daripada memaksa masuk yang pasti akan disambut kicauan sepi.

Aku gagal bersembunyi setelah sepasang netra mampu identifikasi kehadiranku di sini.

“Bas!” Celetuknya. Semua pandangan berbeda ekspresi terpancar dari tiap paras manusia. Dengarkan, dunia jadi mendadak sunyi.

Dari sekian banyak orang hanya satu yang berani menghampiriku. Dia berlari bersama senyum menawan tanpa henti dan berakhir memelukku sekuat hati.

“Akhirnya kamu mau dateng juga. Aku kangen banget sama adek kecil aku.” Bisiknya tulus.

Perasaanku campur aduk. Salah satunya adalah lega. Lega, setidaknya aku tak benar-benar tersisihkan. Lega, sebab aku masih ada yang menginginkan.

Kala dekapannya terlepas, aku merasa kehilangan. Bisakah aku minta dipeluk lebih lama agar aku dapat merasakan perasaan itu kembali.

“Kak, maaf aku baru bisa dateng ke acara ini.” Iya, ini adalah acara pertamaku sejak kejadian dulu. Acara pertama yang diberikan surat undangan resmi terukir nama lengkapku, bukan hanya sebuah pesan ajakan dari kakakku.

“Gapapa, aku tau kamu sibuk.” Balasnya. Lalu, perhatiannya jatuh pada anak lelaki muda di sampingku. “Ini anak kamu?” Aku mengangguk.

Mark sumringah ketika pipinya dicubit kecil tanpa aba-aba. “Mark ya? Udah gede keponakan aku! Inget ga dulu kamu masih kecil banget pas pertama kali ketemu aku.”

“Inget, tante.”

“Eh, yuk kita ke sana! Acaranya mau dimulai.”

Satu kali, dua kali nafas ku hirup dan dihembus sebagai langkah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi hari ini, aku hanya cukup menjalani. Biarkan masa lalu jadi sebuah memori.


Memasuki dalam lokasi acara aku disambut merah menyala. Bagi etnis kami merah melambangkan keberuntungan, pembawa nasib baik, dan suka cita. Namun bagiku ada dua kemungkinan, entah memang ini hari keberuntungan atau kobaran api tanda memasuki neraka.

Semakin mengerat genggamanku hingga beberapa kali bisa kurasa belaian menenangkan datang dari anakku. Dia setenang air di hilir, daripada aliran darahku yang berdesir sederas hulu.

“Mama, selamat ulang tahun ya. Semoga sehat selalu, semua doa baik aku harap melimpah untuk mama.” Pelukanku hanya dibalas geming. Ucapanku hanya dibalas gugu. Doa-doaku tak dibalas amin. Bahkan, sapaan penuh hormat dari anakku berakhir ditepis lalu.

Aku kunci pandang netra sendunya yang juga balik menatapku. Dia tersenyum getir, sakit batinku sebenarnya.

Gapapa ya, dek.

Pun suasana abu dibalik seketika jadi haru. “Sini salam ke opa aja!”

“Papa!”

Beliau yang baru keluar dari kamarnya adalah papa. Beliau ini yang sejak dulu mendukung setiap keputusan anaknya. Pula, beliau ini yang juga tak dapat mengambil keputusan apa-apa.

“Datang sama siapa kamu, di?”

“Sama anak aku aja.”

“Eummㅡ” Mark ragu akan memulai obrolan atau lebih baik diam.

“Opa, ini hadiah oma Mark titipkan ke opa aja ya. Maaf hadiahnya sederhana soalnya uang tabunganku belum banyak. Semoga oma seneng ya.”

Papa mengusap rambut Mark gemas, “Pinternya. Nanti opa kasih ke oma ya, nak.”

“Kalau bukan karena kakak kamu yang paksa mama. Kamu selamanya gak akan injakkan kaki di rumah ini.” Bak bom atom yang tengah meledak akhirnya sebuah ucapan mampu beri kesakitan. Mama yang sejak tadi diam bisu mampu bersuara.

“Ini ulang tahun mama. Mama hanya mau didatangi keluarga. Kamu malah bawa gak tau ini anak siapa. Asal-usulnya gak jelas! Mama gak terima dia masuk rumah ini, mama gak mau dia ada di sini! Merusak acara aja.”

Gak, gak ada satupun yang berani bantah ucapan mama saking speechless-nya. Aku sakit hati, namun lidah mendadak kelu. Kejadiannya masih sama percis seperti pertama kali aku beranikan diri datang membawa Mark untuk diperkenalkan. Mark yang saat itu masih berusia lima harus mendengarkan caci maki bahkan hingga sebesar ini.

Sebelum mama beranjak pergi beliau berucap, “Kamu pilih ikut acara ini sendiri atau pulang sama dia!”

Dan aku terperangkap dalam lubang dilema.


`hjkscripts.


Terhempas, tubuh gue dihempas. Ditarik kembali, gue pasrah dan lemas. Gue mana bisa melawan? Hilang sudah tatanan paras yang telah gue buat menawan. Kacau, batin serta fisik gue ancur berantakan.

Terombang-ambing raga tinggi dibuatnya. Gue hanya mampu terima dengan ikhlas. Sakit, bukan untuk deskripsikan badan. Raungannya, tangisannya, masih terdengar bersemayam lekat dalam telinga, pikiran, dan dalam nurani.

“Manusia jahat! Penculik! Beraninya kamu injakkan kaki kotor kamu di rumah saya!” Teriaknya lantang keluarkan beribu emosi yang enggan lebih lama dibendung.

Kalo mau tau cara bangun rumah tangga harmonis, konsultasi ke Job

Job tuh idupnya lurus kayak jalan tol, gak banyak neko-neko

Kalian lihat sendiri, Job si pemilik hidup sempurna, Job si penuh keberuntungan. Lelaki ini akan selalu jadi si paling menyedihkan ketika dihadapkan dengan keluarga suaminya. Lelaki ini akan jatuh, bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan masalah cintanya.

Kala gue berhentikan mobil di depan rumah mewah bergaya china, gak perlu waktu puluhan menit untuk bikin gue hati gue meraung. Jantung gue mau copot gitu aja diperlihatkan lelaki remaja yang lagi duduk di pelataran jalan ditemani angin malam.

“Adek...” Panggil gue memastikan. Kepalanya terangkat, pipinya basah kuyup dibarengi matanya yang masih merah.

Pada saat dua maniknya bisa menangkap raga gue di depannya dia gak sanggup buat nahan semuanya. Dia berdiri, berjalan tertatih dengan dua lengannya terulur seraya meminta bantuan.

“Bapak.” Seruannya parau. Tubuhnya langsung gue dekap, gue biarin dia nangis meluapkan rasa sakitnya.

“Kita pulang. Gak apa dek, ada bapak di sini. Kamu punya bapak di sini.” Bisik gue menenangkan.

Mark menggeleng, kepalanya mendongak. “Nanti dulu, kita nunggu didi.” Katanya.

“Bapak udah bilang didi bakal jemput kamu.”

Dia tetep menggeleng. “Pulang bareng didi ya, pak. Adek juga belum pamit opa sama Tante Clara. Bapak nanti juga sekalian temenin adek pamit.”

Bener, gue gak bisa jadi menantu kurang ajar yang dateng gitu aja tanpa sapa keluarga suami gue. Cerita selanjutnya adalah gue jadi lelaki yang gak punya pilihan selain membiarkan harga diri diinjek sesuka hati di depan banyak mata yang memandang.


Rintik hujan turun seketika mengguyur ibu kota yang sejak seminggu ini ditemani mentari. Bersama pancaran kilat serta gemuruh, pun suhu udara dibuat agak dingin.

Sedingin apapun, bahkan hingga buat tubuh tanpa helai jadi menggigil tak dapat memerangi situasi panas antara dua lelaki dewasa.

“Kak?” Panggil yang lebih mudah pun diabaikan.

“Kak aku mau ngomong.” Sekali lagi masih enggan digubris.

Job beranjak, kaki jenjangnya mengambil keputusan untuk melangkah pergi. Dia ingin sendiri, setidaknya hingga emosinya pergi.

STOP! DIEM KAMU DI SITU!”

“Masalah hari ini kita bahas lain kali.” Ujar Job lirih. Hembusan napasnya seberat seolah tengah mengeluarkan batu.

Baru satu langkah kakinya akan bergerak kembali, suara putus asa Bas menghentikan. “Aku harus apa kak?” Utaranya lirih. Ada getaran pada setiap suaranya yang tengah mengalun.

“Kamu minta aku ikut ke Surabaya, ninggalin keluargaku, relakan status anak yang sampai sekarang pun aku gak peduli masih dianggap apa sama orang tua aku. Aku iyakan, peduli apa sama dosa dan durhaka. Kamu minta aku untuk menikah, aku nangis hari itu. Antara bahagia dan sedih sebab cuma satu keluargaku yang hadir. Aku buang semua konsep wedding dream di kepala aku, aku buang semua anganku buat menikah dianterin papa aku jalan di atas altar. Bahkan aku hapus harapku buat lihat mama nangis terharu lihat anaknya dicium sama pasangan pilihannya.”

“Aku bilang aku mau bertahan sama kamu, aku mau lewati beratnya sama kamu buat cari restu. Tapi apa? Kamu inginnya kita lari akan ketidaksiapan kamu. Gapapa, aku sanggup hidup begini sama kamu. Kamu tau gak tiap hari aku menunggu, aku nunggu kesiapan kamu. Kapan pun, aku akan siap. Aku kira hari akan jadi awal baik buat kita, buat dua keluarga kita. Kamu suruh aku pergi buat temui orang tua aku. Lalu Ini apa? Kamu diem, seolah malam ini aku penjahatnya. Sejak awal cuma kamu, cuma suara kamu yang aku percaya, cuma suara kamu yang aku dengar.”

Bas mengatur napasnya, habis sudah sabarnya. Satu langkah, dua langkah dia berdiri di hadapan lelaki jangkung yang tengah menunduk tanpa suara.

“Kamu itu pengecut.” Desisnya terakhir sebelum pergi menjauh.


`hjkscripts.


Job Point of View

Semalem akhirnya gue mencapai titik terendah dalam menjalani kewajiban jadi manusia. Kacau, hancur, berantakan entah apalagi kosa kata yang mampu deskripsikan keadaan gue saat ini. Gue hanya bersama dompet, satu unit mobil, dan baju bekas kemarin lantang-lantung cari distraksi di luar.

Gue yang sedang duduk ngopi di cafe elite bak pejabat lagi mempersiapkan Senin pagi. Padahal di dalam sini, pikiran gue isinya semrawut kayak benang ruwet. Kepala gue nyut-nyutan dan kopi tanpa gula yang sedikit demi sedikit gue sesap bagai pemberi rasa atas apa yang terjadi sama gue. Pahit, hidup gue rasanya lagi pahit banget.

Ditengah lamunan, gue ketawa miris. Kamu pengecut katanya. Valid, kalo dipikir-pikir emang gak bisa gue sangkal. Buktinya gue sekarang lagi lari untuk yang kesekian kali. Gue memilih jalan kabur dari masalah daripada menghadapi. Beneran kasus gue pernah kelilit hutang puluhan juta kalah pelik dari yang satu ini.

“Job?”

“Eh? Kakㅡ” Gue terperanjat akan sentuhan. Gue refleks benerin penampilan biar agak enak dipandang. Bekas gelas kopi dan piring kosong gue pinggirin biar ada ruang buat wanita cantik taruh barangnya.

“Job, kamu kerja disekitar sini?” Si cantik mulai buka obrolan, dia duduk anggun ambil kursi kosong tepat di depan gue.

Gue senyum, bingung juga jawabnya. Daerah sini bukan jangkauan main gue. “Kak Clara kok bisa di sini?” Bukannya jawab gue balik lempar pertanyaan.

“Kantor aku deket sini.”

“Oh.” Gue mengangguk.

“Job?” Panggilan itu suaranya halus sama seperti suara suami gue. Kadang gue mikir apa suara mama mertua gue juga selembut ini? Apa bisa gue jawab rasa penasaran gue kalo setiap beliau lihat gue hanya ada suara tinggi penuh amarah dan caci maki.

Selain suara, sentuhannya gak kalah lembut. Ada rasa hangat yang dialirkan dari telapak tangannya merasuk dalam permukaan kulit gue. Rasa hangat itu menjalar, bagi energi penguat biar tubuh kembali semangat.

Gue mau gak mau tatap mata kakak suami gue. Binar matanya jadi redup, rautnya ada khawatir. “Aku minta maaf ya ngewakilin mama atas kejadian semalam. Maaf aku belum bisa bantu kamu banyak.” Tuturnya bersalah.

“Nggak,” Gue coba senyum meskipun pahit.

“Gak papa, kak. Saya maklum, saya ngerti.”

“Job, It's okay to feeling hurt. Semalam memang mama berlebihan. Tapi aku mohon kamu jangan nyerah ya? Kasih mama sedikit lagi waktu sama sabar kamu, will you?”

Jujur gue gak bisa jawab bahkan sekedar meng-iya-kan. Sebab gue gak tau setelah ini akan jadi apa, apa yang terjadi. Mungkin, saat waktunya tiba gue pulang ke rumah, gue siap menerima resikonya dengan lapang dada.

Dari tempat gue duduk, gue hanya mampu memandang wajahnya. Gue amati gerik tubuhnya sejak minumannya disajikan hingga disesap sedikit cappucino dalam cangkir. Obsidian gue gak fokus, cuma andalkan dua telinga dengerin tiap cerita yang dia lontarkan. Sesekali gue tanggapi dengan sedikit senyuman dan anggukan.

“Kamu tau gak sih, Bas itu anak bungsu kesayangan mama. Saking sayangnya kadang aku sama Talia kadang cemburu. Aku bisa paham sih, Bas anak rumahan banget. Setiap papa sama mama butuh selalu ada dia yang bisa diandelin daripada aku sama Talia yang lebih suka sama dunia luar. Bas deket banget sama papa terlebih mama. Lucunya lagi, waktu Talia adek aku keterima sekolah di London mama gak komentar apa-apa. Langsung aja di kasih duit terus dianter ke bandara. Tapi waktu Bas si introvert akhirnya ambil keputusan buat kuliah di Surabaya, mama nangis-nangis.”

Clara ketawa kecil sambil cerita. Tanpa sadar dia kais kembali memori beberapa tahun lalu tentang keluarganya. Masih bisa dia ingat bagaimana suportif kedua orang tuanya akan keputusan dua putrinya. Namun, ketika itu berhubungan dengan lelaki bungsunya semua akan berubah jadi penuh pertimbangan.

Mama sampai rela bayar universitas paling bagus di Jakarta biar Bas urungkan niat sekolah jauh dari rumah. Masih bisa dia ingat bagaimana beliau nangis tiap nganter Bas di bandara setelah habis masa liburnya.

“Bahkan setelah mama putuskan buat pensiun dari bisnisnya dia pindah ke Surabaya. Ya ini alasan kita semua pindah ke Surabaya. Mama mau deket sama anaknya, seenggaknya kalo Bas gak bisa dilihat, mama tau kalo anaknya ada di dekat dia. Job, ini bukan sebab ada darah yang harus keluarga kita jaga kok. Mama sama papa gak peduli mau kamu orang Jawa, Sunda, atau manapun. Ini cuma tentang mama dan nalurinya sebagai seorang ibu.”

It might be sounds closed minded. But, a mom could be irrational when it comes to her child.


`hjkscripts.


“Nakunta”

Gue panggil namanya lirih. Cepet lihat gue, sebab gue udah gak sanggup nahan semuanya. Gue mau jatuh, tapi takut rasakan sakit. Tangkap gue, tahan gue, dekap gue.

“Nakunta”

Panggil gue sekali lagi, hanya saja kali ini dengan suara serak. Gue udah gak bisa nahan lagi air mata yang sejak tadi membendung di pelupuk mata. Jemari ini meraba sekitar, mencari apa saja yang penting kuat buat nahan beban tubuh gue, karena dua kaki yang bertugas untuk menopang tubuh mendadak lemah tak berdaya.

Lelaki itu akhirnya sadar, dia lari dari tempatnya berdiri sambil nenteng keresek nasi goreng, gak peduli beberapa orang di sana lagi manggil-manggil buat ngasih kembalian.

Gue akhirnya bisa jatuh duduk di tanah dengan lega kala lengan gue berhasil meraih ujung jemarinya. Gue aman, gue akan gak apa-apa.

“Lo kenapa, Mark? Siapa yang bikin lo begini?”

Bungkam, gue enggan menjawab. Gue masih punya rasa malu buat nangis di muka umum meskipun dada gue rasanya mau meledak saking nyeseknya ditambah kepala mendadak nyut-nyutan.

“Gue anter lo balik.”

Gue menggeleng kuat, sebisa mungkin meyakinkan Nakunta lewat pancaran mata memohon. Jangan pulang, gue belum mau masuk neraka.

“Lo ikut ke rumah gue kalo gitu.”

Iya, bawa gue pergi. Kalo bisa yang jauh sampai gak ada orang yang nemuin gue lagi. Rasanya gue mau menghilang dahulu dari muka bumi.


Bas Point of View.

Malam temaram begini aku mendadak nggak bisa tidur. Sejak tinggal di rumah mama aku merasa tidur sendirian di kamar seluas itu kurang nyaman dibanding waktu remaja. Mungkin karena kebiasaan itu sudah berubah setelah menikah dengan Kak Job, gak ada satu hari pun kita tidur berpisah. Aku kangen rumah.

Di bawah lampu ruang tamu yang masih menyala aku duduk seorang diri dalam sepi. Atas pangkuan tersedia album potret kenangan yang entah bagaimana juga ikut bersamaku. Kegiatanku mengenang masa lalu harus berhenti kala satu notifikasi sosial media mencuri perhatian.

looking4job mentioning you in a tweet

Lantas aku gak bisa nahan ketawa tiap baca tulisannya. Inget banget dulu kita beneran desperate gimana bangun rumah tangga stabil. Kita sampe harus hemat buat makan sama kebutuhan sebab uang gaji yang gak seberapa dibuat lunasin hutang yang sebenernya bukan punya kita. Tapi pas semuanya kelar, hal-hal baik terus datang sampai sekarang.

Aku tak sadar bahwa tawaku di tengah malam bisa bangunkan seseorang. Mama yang lagi bawa gelas air minum bukannya kembali ke kamar malah nyamperin ikut duduk di ruang tamu.

“Mama? Maaf suaraku bikin bangun, ya?”

Mama senyum maklum, malah heran dan kepo apa sih yang bisa bikin ketawa anaknya. “Seneng banget kamu? Lagi nonton apa?”

“Enggak kok, ma. Cuma ini loh Kak Job ngirim cerita lucu.”

“Oh.”

Terus gak ada sahutan lagi dari mama. Beliau cuma diem dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Dia pandangi lamat bentuk tubuhku sampai jatuh pada buku di atas pangku.

“May I?” Izinnya.

Aku sebenarnya ragu untuk mengizinkan. Takut diperdengarkan komentar buruk tentang sosok di dalamnya. Namun, selama lima belas menit mama belum buka suara. Beliau hanya mendunduk, mengamati setiap potret perjalanan hidup keluargaku. Hingga sampai pada halaman penghujung, beliau raba sosok di sana.

“How old is he? Tanyanya sembari menunjuk paras remaja.

“Dua puluh, udah kuliah semester lima sekarang ngambil komunikasi.”

Lagi, beliau diam kembali. Jemarinya masih menari di atas lembar foto yang sama.

“Kenapa dia?” Ucapnya kembali, entah siapa yang dimaksuddia sekarang.

“Namanya Mark soalnya dia punya tanda lahir lucu menyerupai bentuk hati di lengannya. Terus, waktu pertama kali kita datang ke panti cuma dia yang berhasil curi atensiku. Aku tandai dia dalam ingatanku.”

“No, I mean him.”

Oh, maksudnya Kak Job?

Sebentar aku gak langsung menjawab. Pertanyaan kayak gini tuh bikin kita mau gak mau berangkat menuju nostalgia.

“Jatuh cinta itu gak butuh alasan, ma. Kadang dia memang jadi tipe kita atau timbul nyaman tanpa sengaja. Dan aku adalah yang kedua. We communicated that well back then. Kita nyambung dalam banyak hal dan komunikasi itu jadi perantara utama agar sinyal rasa suka bisa saling diterima.”

“Pada saat itu seolah semua serba kebetulan Bas masih sendiri dan Kak Job yang memang punya inisiasi. At first we tried, later we talked so much, and became comfortable to each other. He was simple, easy to pleased, understandable, yet reliable. Pokoknya ya dia cuma cowok biasa yang bisa bikin aku nyaman terus, ketawa terus sama dia.”

“Ma, soal dulu aku sama Kak Job memang salah sama mama. Kak Job tanpa sengaja sakitin hati mama semata dia takut kehilangan aku. We were both too young, aku cuma anak muda yang lagi tergila-gila kenal cinta. Tapi lihat sekarang, aku sama Kak Job udah bertumbuh dewasa, udah punya anak yang harus kita jaga berdua. Ma, harap kita cuma kita jadi keluarga besar yang harmonis. Keluarga aku dan Kak Job bisa jadi satu.”

Selepas panjang lebar aku bertutur kata, Mama gak sama sekali punya komentar apa-apa. Aku gak bisa baca pikirannya. Mama habiskan air dalam gelasnya, dan dia berkata, “Tolong gelas mama di bawa ke dapur ya.” Beliau beranjak, dan aku bisa lihat punggungnya hilang di balik pintu kamar.


`hjkscripts. —

Kita akhirnya sampai di sini. Pada ujung garis para pelari berhenti. Lalu, kita menari di atas permadani disaksikan ribuan penduduk bumi. Mereka menjadi saksi bahwa cinta kita kembali bersemi.

Memang harusnya begini, dua keluarga bersatu dalam ikatan pernikahan. Kita akan berbagi tawa bukan tangisan. Kita akan berbagi kebahagiaan bukan kata penyesalan.

Sebab pernikahan bukan hanya mempersatukan dua hati yang saling mengasihi

Kala restu sudah diberi, maka biarkan kami pamit undur diri.


`hjkscripts.


Job Point of View

Berlari adalah tingkatan teratas dari fenomena perkembangan makhluk hidup. Berlari jadi salah satu dasar langkah menyehatkan tubuh. Berlari jadi kegiatan paling menyenangkan bagi gue. Namun, terlalu lama berlari buat terkuras habis banyak energi. Maka dari itu tercipta kegiatan yang disebut beristirahat.

Gue saat ini tengah di fase itu. Istirahat panjang hasil kompensasi waktu pelarian bertahun yang telah gue jalani. Gue berlari bukan sekedar berlari. Gue lakukan untuk kabur dari kenyataan.

Sabda banyak insan jikalau mau punya hubungan cinta romantis bergurulah ke gue. Jikalau ingin miliki rumah tangga harmonis dengarlah tiap petuah gue. Di dalam dunia yang seluruhnya tiada kekal banyak kekurangan, nasib hidup gue katanya paling sempurna.

Manusia memang boleh berkomentar sesuka hati, meskipun bahwasanya itu semua serba berlebihan. Hidup yang tengah gue jalani sekilas nampak sempurna. Pendidikan lancar, jodoh tepat bidikan, bekerja hingga keputusan untuk punya anak. Pun, gue ingin berteriak kalau dibelakang canda tawa yang gue bagi ada banyak ketakutan yang tengah gue simpan. Ketakutan ini berasal dari dia yang amat gue cinta.

Siapa sih gue? Dulu cuma mahasiswa biasa yang punya niat cuma cari title berharap dapet kerja gampang di masa depan. Cuma si sederhana yang mau angkat derajat orang tua berpendidikan akhir sekolah menengah. Gue si anak pertama dan satu-satunya harapan keluarga. Gue anak laki-laki yang dilahirkan dan dibesarkan mungkin sebagai alat peraih cita-cita orang tua yang belum sempet kesampaian. Inilah hidup sederhana gue. Dalam mindset gue tertanam demikian. Tujuan hidup gue ya bahagianya bapak sama ibu.

Masalah cinta-cintaan gue gak pernah mikir sampai sana. Namun, kalo lu pada nanya siapa cinta pertama gue. Jawaban gue akan jatuh pada sahabat gue sendiri. Nodt Nutthasid yang sekarang udah jadi suami bapak pejabat. Tapi gue gak akan bahas kisah gue sama dia. Gue akan bercerita tentang jatuh cinta pertama gue, dia si cowok keturunan chinese dari UKM wirausaha.

Gue harus cukup beruntung sebab berapa pun usaha gue dan Nodt dalam membangun hubungan percintaan berakhir jatuh dalam lubang pengertian. Gue dan dia menyadari di antara kita berdua gak ada status paling cocok daripada ikatan sahabat. Terlebih dewi fortuna kayaknya emang kesemsem sama gue, nempelin gue mulu sampe pendekatan sampis yang gue layangkan ke cowok pemilik nama Bas diterima baik sama dia. Kita pun berjalan, melangkah pelan dan pasti hingga tahap serius yaitu pernikahan.

Peliknya, ketika pertama kali gue bertandang ke rumahnya di Jakarta sebagai sosok teman baik, keluarga menyambut dengan ceria. Kedua kali, ketika maksud kedatangan gue untuk izin menikahi anak bungsunya disitu perhelatan sulit terjadi.

“Anak saya sudah ada jodohnya. Keluarga saya darahnya harus dijaga kemurniannya.”

Gak butuh banyak waktu buat menginterpretasikan bahwa gue ditolak sama keluarganya. Lelaki jawa kental seperti gue gak boleh jadi jodoh buat anaknya. Gue secara tegas dipukul mundur dari tatanan konstitusinya.

“Bas, aku mundur gak apa ya?” Pasrah gue kala itu. Gue tetep senyum, meskipun pahit. Gue tetep berusaha tegar, meskipun pengen nangis lihat cowok gue sesenggukan. Gue pengen peluk dia, tapi gue takut bakal sulit melepas dia.

Sampai sekarang gue masih bingung. Malam hari itu pelet apa yang lagi gue pake sehingga Bas punya pikiran akan terus bertahan sama gue.

Kala itu gue berdiri di atas garis start, ketika hitungan mencapai tiga, gue genggam tangannya, lekatkan jemarinya. Kita mulai berlari. Jalani hidup baru, menikah dengan sedikit tamu. Dia diwakilkan kakak tertuanya, sebab kami dimulai tanpa restu.


`hjkscripts.


Mark Point of View.

Inilah Nakunta dari kacamata sang pengagum rahasia.

Bener kata bapak, manusia itu kadang jadi makhluk paling gak tau diri. Sudah dikasih yang terbaik malah pilih jatuh cinta sama yang belum tentu. Bukan, pepatah satu itu ternyata gak cocok buat keadaan gue. Setelah habiskan jam untuk berpikir, gue yakin sedang tersandung, lalu jatuh tersungkur pada probabilitas kedua. Sedangkan, Nakuntaㅡiya gue akan membahas anak satu ini. Cowok yang lagi terjebak pada penjara tanpa jeruji nomor satu.

Dimana alurnya sangat amat lucu. Pemilik kehidupan dengan penuh keyakinan membalikkan hati milik gue sebagai hambanya, dituntun menuju sebuah pintu yang pada saat itu gue buka menghadirkan sosok Nakunta di baliknya. Gue, untuk saat ini mata gue hanya tertuju pada bidang punggungnya. Sebab di matanya, bukannya balik menatap milik gue, dia malah menatap milik orang lain, dimana milik orang lain itu telah menemukan binarnya sendiri.

Nakunta tengah terperangkap dalam zona pertemanan gunakan penuh perasaan.

Kalo ditanya sejak kapan? Gue akan menjawab layaknya orang baru jatuh cinta lainnya. Klise namun memang begitu adanya. Gue gak tau sejak kapan, yang pasti gue baru sadar bahwa ada getaran aneh muncul ketika gue tengah bersama dia.

Sampai sekarang pun gue masih menganggap diri ini begitu bodo sebab terlambat menyadari meskipun bapak selalu menampik pemikiran satu itu. Gak ada cinta yang datang terlambat, mereka sudah datang, hanya berputar di antara dua manusia yang jadi pilihannya sembari menunggu serta mencari celah waktu yang tepat.

Mungkin ini terjadi sama gue. Sejak kecil gue risih sama bocah yang selalu ngintilin gue. Nakunta, cowok si pemilik arti nama pejuang kebahagiaan, cowok yang selalu didoakan sama orang tuanya agar hidupnya senantiasa bahagia pula membahagiakan orang disekitarnya. Gue ketawa, gimana bisa dia bahagia kalo hobinya nangis perkara gak satu kelas sama gue? Gimana bisa bahagiain orang lain kalo suka banget ngerepotin gue? Kalo aja dia bukan anak temen bapak gue, sorry gue gak peduli.

Nakunta ini kehidupan luar rumah semasa kecil bergantung sama gue. Dia yang sulit bersosialisasi, terlambat paham situasi, yang akhirnya gue jadi kemudi. Ibarat gue penakluk bumi, dia hanya jadi bani. Daripada teman sejawat, hubungan gue dan dia sebatas asuransi. Ketika dia terjebak situasi, gue berakhir beraksi untuk melindungi.

Dulu, yang gue ceritain di atas adalah situasi masa lalu. Sebelum dia kenal sama si bocil. Sosok tetangga yang bikin dia berubah, sosok yang bikin dia punya cita-cita jadi pahlawan super keren.

Awalnya gue mengira bahwa inilah hari kebebasan buat gue. Gue gak perlu khawatir sama orang lain. Hidup ini cukup tentang gue, hanya gue. Namun, beberapa waktu kemudian hampa mulai menyelimuti dan gue kurang terbiasa dengan situasi demikian.

Mungkin jika ditanya berapa skala Nakunta membutuhkan gue saat ini, gue gak bisa sombong. Dikasih 2 dari 10 pun bersyukur. Nakunta gak lagi nyari gue yang lagi menikmati bekal buatan didi di kantin cuma untuk menemani dia ngaduin temen satu kelasnya ke Mam Jeni. Nakunta gak lagi nyari gue buat bagi-bagi jajan yang dia dapet dengan hasil keringatnya sendiri. Nakunta gak lagi datang ke rumah gue cuma buat nemenin bongkar pasang lego.

Sebab Nakunta dewasa kini bisa menjaga dirinya sendiri. Nakunta dewasa kini punya seseorang yang akan tersenyum hanya diberi sebatang coklat atau jajan seharga seribu. Nakunta dewasa kini lebih suka berbagi hobi dengan bapak gue.

Gue baru sadar bahwa rasa kesal yang datang dari sifat Nakunta dewasa bukan karena dia udah gak butuh gue, bukan karena gue udah gak dapet jajan lagi, bukan karena kita gak bakal main bareng lagi. Tetapi karena gue menyesal, merasa kehilangan, dan yang paling besar adalah perasaan cemburu.

Jika Nakunta masih sekecil dulu, mungkin gak bakal serumit ini. Akan lebih muda bagi gue untuk mengungkapkan. Gue akan punya segudang percaya diri akan menerima kembali hatinya untuk gue jaga.


Si bodoh ini gue bingung sama jalan pikirannya. Si bodoh ini yang pilih berdiri di depan venue bersama harap-harap dia akan datang meskipun sejak kemarin ajakannya gak ada janji kepastian. Si bodoh ini adalah gue sendiri.

Gue bohong, dua tiket yang tengah gue pegang memang sengaja gue beli untuk diri sendiri dan cowok satu itu. Bukan punya orang lain yang gagal hadir. Gue tau dia suka fotografi, satu-satunya kesamaan dia dan gue. Tetapi gue salah, gue harusnya sadar bagi orang kasmaran sesuka-sukanya dia dengan fotografi akan sanggup berjalan puluhan menit di mall tanpa tau mau melalukan apa.

Senyum getir menghiasi bibir kala dibombardir kenyataan. Ngapain juga gue capek berdiri kayak orang bego, toh mana mungkin dia dateng. Gue menunduk, tatap lamat ujung sepatu sembari menghembuskan nafas pasrah.

Belum sempat gue mendongak, sebuah sepatu muncul di depan milik gue. Secepat kilat gue pastikan siapa gerangan. Tatkala pasang netra gue berhasil menangkap milik cowok di depan gue, merekah pula senyum seindah dahlia.

“Kok lo kesini? Katanya lagi maen sama bocil?” Dia nyengir, gak tau maksudnya apa.

“Lah lo sendiri ngapain berdiri di sini kek bocah ilang? Bukannya masuk.” Si aneh bukannya jawab pertanyaan gue malah balik nanya.

Gue refleks garuk kepala belakang. Yakali ngaku lagi berharap dia muncul. “Tadinya mau masuk terus seketika gak mood hunting sendirian. Ini gue mau pulang nunggu jemputan bapak.” Bohong gue.

“Si anjir gue udah nyampe sini dianya pulang. Telpon A'Job gih! Ntar pulang sama gue aja. Asal lo tau, gue buru-buru balik ambil kamera terus berangkat kemari.”

“Siapa suruh?!”

“Haha,” Dia ketawa.

Gue sampe kicep denger suaranya. Gue baru tau kalo Nakunta seganteng ini. Celana jeans dipadu kemeja putih yang lengannya dia gulung. Tali kameranya tersampir di leher, sedangkan kameranya dia biarin jatuh menggantung gitu aja.

“Kaga ada yang nyuruh sih.”

Nakunta dengan gak sopannya genggam jemari gue, ditarik begitu perlahan menuntun tubuh gue untuk mengikuti. Kita berjalan bersisihan menuju pintu masuk venue.

“Widih cakep juga yak! Gak sia-sia gue nyusulin elo.” Gumamnya kagum waktu kita udah di dalam. Iya, setuju gue sama lo tempatnya cakep. Tapi mata gue bangsatnya malah lebih suka liat muka lo.

Bahkan ketika sesi hunting objek pun kamera gue lebih suka membidik paras Nakunta dengan berbagai perubahan ekspresinya, ketimbang objek aesthetic yang sengaja dipajang untuk diabadikan. Sebab, gue mana bisa mengulang momen ini kembali. Gue belum tau apakah kita berdua ada cerita berlanjutnya. Yang gue tau adalah mengabadikan setiap detik hari ini sebanyak mungkin untuk dikenang jika memang cerita kita hanya cukup sebatas ini.

“Nih minum!”

Thank you.”

Gue menyesap air dingin dengan rasa jeruk beserta sensasi soda. Mengamati sekitar, menikmati angin sepoi-sepoi yang lewat di ruangan terbuka penuh pilihan jajanan. Bahkan lokasi istirahat ditata begitu unik dan cantik.

“Lo belom jawab pertanyaan gue by the way.” Gue memulai obrolan ketika rasa haus perlahan menghilang.

Cowok di depan gue beri atensi akhirnya setelah minum beberapa tegukan. “Pertanyaan yang mana?”

“Lo tiba-tiba muncul di sini.”

“Oh,” Dia mengangguk, meneguk kembali minumannya sejenak.

“Mau gue jawab jujur apa gimana?” Lanjutnya. Anjir ini bocah beneran bikin gue makin penasaran.

“Senyaman lo aja deh.”

Nakunta senyum kecil, jemarinya sibuk mainin sedotan di gelasnya. “Tadi gue emang pergi nonton sama bocil, berdua aja. Eh, buset ada setan muncul. Mana si bocil jadi ngajakin juga. Parahnya dia ngeiyain, ngerusak ajadah.”

“Oh, gue cuma pelarian ya?”

“Gak gitu. Gue awalnya pulang abis nitipin bocil sama si Jeffano. Pas di rumah tiba-tiba kepikiran lo. Gue langsung cabut tuh kemari. Enak di sini liat objek cakep daripada mukanya si Jeffano gajelas. Mana mukanya dia mirip mantan pap gue yang brengsek lagi.”

“Lah kocak dah!” Gue mau gak mau ketawa geli denger Nakunta ngomel. Lebih ke nutupin ekspresi bodoh gue ketika denger dia tiba-tiba mikirin gue. Gini aja lo berisik woy jantung!

Parah banget gue begini aja udah bahagia. Gak perlu bunga atau batu permata, cuma ditemenin, jalan bersisihan berdua, ngobrol hal gak penting, terus senyum puas ketika hasil potret cakep gak ketolong. Rasanya gue pengen cepet pulang, cerita detail dari awal sampai akhirnya gue turun dari motornya ke bapak. Satu sisi gue gak mau cepet berakhir. Gue masih pengen pegang erat bajunya, nikmatin aroma tubuhnya yang bercampur parfum khas luar negeri, sembari menatap hingar-bingar jalan di malam hari dari atas motor yang dia jadi pemegang kendali.

Cukup begini, hari ini cukup begini. Tetapi gue gak menjamin dilain waktu gue jadi tamak dan meminta lebih banyak dari ini.


`hjkscripts.


Nakunta Point of View.

Saat kali pertama gue membuka dua kelopak pelindung mata adalah tersebesit sebuah kalimat kekecewaan. Oh, gue belum mati ya.

Iya, gue belum boleh. Suratan takdir menyatakan hidup gue belum bisa dihentikan paksa sampai di sini aja. Kalo gue bisa membaca kertas putih berisi perjalanan sebagai bocah kurang tau diri ini mungkin tulisannya adalah.

Malam ini Nakunta dipaksa ikut balapan, dengan harapan dia mati kecelakaan.

Dini hari Nakunta mengalami kecelakaan, tapi masih hidup dan berakhir di rumah sakit dengan berbagai alat bantu penunjang hidup.

Di sinilah gue, beginilah kondisi terakhir gue sesaat hanya bisa melihat cahaya putih menyilaukan sebelum tubuh gue terombang-ambing di dalam mobil yang tengah melesat cepat.

Gue masih hidup, mata gue masih bisa terbuka lebar, jantung gue masih berdebar, dan darah gue masih berdesir meskipun banyak yang terbuang.

Sejenak gue ingin mengucap syukur, namun mengingat apa yang menjadi alasan gue hingga berakhir seperti ini gue jadi mengurungkan niat.

Apa gunanya sih hidup gue sekarang? Terjebak di dunia antah berantah. Kenyataan ternyata memukul gue gak kalah telak. Kalo malaikat bisa ngomong pasti mereka udah pada noyor kepala gue satu satu.

“Lah kan elo yang minta tukeran orang tua?” Terus mereka nyatet satu dosa lagi bagi gue dibukunya.

Gue mendadak melakonis. Sedih gak tertolong. Gue cuma bisa lanjut nangis, nangis terus tanpa bisa jelasin ke orang-orang yang bertanya alasan kenapa gue jadi cengeng.

Dan gue semakin terpukul, air mata ini makin deras meluncur saat pintu kamar dibuka dan muncul sosok ayah dengan wajah khawatir. Dia memeluk gue, berujar beribu kata maaf sebab lalai jaga gue.

Gue tambah terisak, bukan karena terharu. Namun, karena gue kangen. Gue kangen sama pap dan dad. Mereka pasti begini kalo lihat gue berantakan. Mereka pasti runtuh liat gue rapuh. Disaat-saat begini, di dalam dekapan hangat ayah beserta kepulan kalimat sayang menenangkan gue malah berharap jika yang tengah melakukan ini adalah dua orang tua gue. Gue akan jauh lebih baik jika ini adalah dad dan pap.

Coba aja gue bisa putar ulang waktu...

Coba aja ini cuma mimpi buruk di tengah tidur siang...

Beneran deh, seriusan, gue gak mau ulangin lagi. Cukup ini terakhir kali. Gue gak mau tuker baik atau buruknya keluarga gue buat apapun yang bisa mereka kasih meskipun bintang paling terang di langit.

Gue cuma mau kembali, sekedar bisa mengucap selamat pagi sembari memberi ciuman penuh afeksi. Semua itu, diakhiri doa-doa baik sebelum berjalan menjelajah mimpi.

Entah tubuh gue yang terlalu capek atau mata gue yang terlalu banyak menangis. Gue mendadak ngantuk di tengah keadaan haru. Tanpa mengucap selamat tinggal, tanpa melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya gue pun tertidur lelap.


“Kak! Bangun kak!”

Hah?

Gue terkesiap, hampir melompat dari atas kasur. Lantas tercengang bersamaan memeriksa sekitar.

“Kamu kenapa sih, kak?”

Bentar, ini yang ngomong beneran makhluk hidup yang lagi duduk di kasur gue kan? Eh! Kasur gue? Lah, ini beneran kamar gue. Kamar gue, barang-barang gue, itu pap gue!

Gak pake aba-aba gue menyerang pap dengan pelukan maut tanpa peduli air kompresan yang dia bawa jatoh basahin sekitar. Pap teriak ngomel-ngomel tapi gue gak mau lepasin gitu aja. Kangen banget, beneran sekangen itu.

“Aduh kakak! Baju aku basah semua kamu tuh kenapa sih?!”

Terus pintu kamar refleks terbuka, memunculkan lelaki besar yang paling tua di antara kita bertiga. Iya kita bertiga, gue akan pertegas sekali lagi. Hanya ada gueㅡ Nakunta, dad, dan pap. Udah valid, gak ada yang boleh join lagi buat ganggu kebahagiaan kita.

“Ada apa ini?”

Cukup memeluk pap, mendengar suara beratnya gue berganti lari buat memeluk dad. Saking bahagianya gue sampai bergelantung manja ala koala. Badan besar gue bukan masalah, dia tangkap dengan seksama.

“Kamu kenapa, kak?” Tanyanya halus. Rambut gue sambil diusak lembut.

“Aku kangen aja sama kamu, sama pap juga. Maaf ya aku banyak durhaka sama kalian.” Jawab gue tulus.

“Oh,”

“Kalau begitu aku juga minta maaf karena sudah bentak kamu kemarin. Aku lagi capek, kak. Emosinya kurang bisa dikontrol.”

Ahh, jadi ini semua beneran mimpi. Mimpi buruk yang dikirim sebagai pengingat buat anak nakal macem gue.

“Aku mau minta maaf lagi karena bawa-bawa ayah di depan kamu. Seharusnya aku gak begitu.”

“Gak apa nak, wajar kok. Mungkin kamu kangen ayah ya? Nanti kita bertiga ke ayah sama bunda ya.”

Gue mengangguk setuju. Lebih baik memang begitu. Adilnya memang seperti itu. Rasa sayang gue, rasa kangen gue bukan berarti harus disampaikan langsung secara lisan dihadapan manusianya. Katakan sebanyak-banyaknya pada yang masih hidup, selipkan di antara doa-doa untuk yang telah tiada.


`hjkscripts.


Memilih bersama ayah sebagai pelarian adalah keputusan tepat. Gue sadar keberadaan gue di sini tujuannya adalah ayah, menghabiskan waktu bersama dia sebelum gue balik kepada realita. Gue gak ada hak buat ikut campur pasal kehidupan Anan.

Hampir seminggu sudah gue bertukar, syukur belum ada yang mampu membongkar. Meskipun ayah beberapa kali mengkerutkan kening curiga atas perangaiku yang 180° berbeda dengan anak aslinya. Gue baru tau Anan dan ayah koki handal, sedangkan gue gak sama sekali tau dapur selain masak mie, air, dan goreng-goreng naget, ada aplikasi ojek online yang siap beliin makanan dan dianter sampai depan pager. Anan dan ayah suka gym, sedangkan gue paling males diajak gym malah sering jadi pengkhianat alias minta dibeliin skateboard masa kini ke dad tapi mainnya sama A'Job. Anan punya geng balap liar, sedangkan gue cuma remaja yang punya jam malam. Anan jago berantem, liat aja ototnya, sedangkan gue remaja biasa yang ogah berurusan sama kekerasan.

Intinya, semandiri-mandirinya gue di rumah sendiri, masih ada Anan yang lebih mandiri, yang beneran bisa apa-apa ngurus dirinya sendiri. Sedangkan gue masih butuh asupan materi dari dad atau pap.

Ngomongin soal perasaan gue tentang ayah selama seminggu ini, gue bisa jawab bahwa semakin lama serba biasa aja. Euphorianya cuma membuncah diawal. Karena kenyataannya ayah itu sama dengan yang dideskripsikan Anan. Orangnya lebih sibuk dari presiden. Tapi gue bisa paham, ayah itu single parents semua yang dia lakukan demi penuhi kebutuhan Anan.

Ayah ini tipe-tipe gak tau cara lain beri kasih sayang, yang dia tau dalam bentuk uang kertas nominal paling tinggi dan berlembar-lembar. Yang ayah tau cuma gimana melunturkan kasih sayang berupa menuhin kebutuhan hobi anaknya, sebab hobi artinya kesenangan. Padahal, Anan berharap yang lain. Anan berharap kehadiran ayah sesering mungkin dalam jarak pandangnya dan gue pun merasakan hal yang sama meskipun baru hampir seminggu di sini.

Ngomong tentang ayah lagi, gue sekarang lagi di depannya. Kita makan bareng di ruang makan kantor ayah. Makan bareng gini gue jadi inget sama dad, soalnya kita sering banget gini bedanya kita selalu makan di dalam ruangannya. Dad itu orang yang paling suka ditemenin pas makan, katanya selain seru bisa ngobrol juga ada yang bantu ingetin dia kalo ada bahan makanan yang dia gak bisa makan.

Gue mengamati ayah yang lagi nikmatin makanannya. Hari ini random banget menu-nya masakan set menu gitu. Ada nasi, sop yang setau gue bau bahannya dari seafood, terus banyak lauk-lauk. Bedanya ayah sama dad, kalo ayah gak punya alergi jadi semua dia makan dengan lahap. Sedangkan, kalo sama dad, hampir semua pasti dikasih ke gue. Terus, gue menunduk sembari mengaduk makanan gue.

Astaga gue kangen sama pap, sama dad. Mereka kabarnya gimana ya? Gue harap Anan bisa jaga mereka.

Gue tersenyum getir. Terakhir kali gue melihat dad dan pap dalam keadaan yang gak ngenakin. Gue yang bersitegang hebat dengan dia sampai sekarang belum ketemu titik terangnya lagi. Gue malah memilih kabur, melepas beban gue buat bersama ayahㅡ orang yang gak gue kenal dengan baik. Gue kabur, dan menjadikan Anan sebagai kambing hitam untuk menyelesaikan masalah gue di sana. Pasti dad sakit hati lantaran mengungkit ayah ditengah ledakan amarah kita berdua dan gue belum minta maaf.

Parahnya ditengah emosional gue gara-gara keinget dad, seperti di sinetron yang doanya langsung terkabul, maka muncul atasan ayah yang mirip banget sama dad lengkap sosok lelaki lebih muda yang mirip sama pap. Gila sih, gue sampe melongo. Ayah meletakkan alat makannya sejenak, nyapa mereka berdua, terus mempersilahkan duduk di sampingnya.

“Anak kamu ini, Bas?” Tanya beliau pada ayah. Oh iya, nama ayah di sini Baskara.

“Iya, pak. Anak lanang saya satu-satunya.” Balasnya bangga.

“Ganteng, mirip sama ayahnya.”

Ayah mengangguk dan terkekeh bersamaan, lalu tak lupa mengucapkan, “Terima kasih, Pak Peter.”

Shit! Gue udah gak tau mau nangis aja di tempat. Beneran, ini sebenernya gue lagi dikutuk sama alam soalnya jadi anak durhaka ke dad. Gue sedikit banyak tau manusia di lingkungan Anan, pula dengan nama yang berbeda, kecuali dia... dia yang mirip sama dad juga nama yang sama. Kayaknya bener deh, gue harus segera pulang terus ngadain acara sungkem.

Belum berhenti sampai di situ. Mungkin ini efek dari rasa kangen gue sama rumah, gue ngelantur, mabok, tiba-tiba teriak nyetop Pak Peter ini dari kegiatan melahap kuah sopnya.

“Om jangan dimakan!!!”

Orang-orang disekitar sampe berhenti beberapa detik, ayah kaget, apalagi dua orang yang gue sela kegiatan makannya. Detik kemudian orang-orang kembali normal kecuali yang sedang duduk satu meja ini. Lelaki yang mirip pap, yang gue tau sebagai sekertarisnya Pak Peter gak segan buat nyicipin kuah sop dihadapannya. Mereka berdua saling pandang dan ketika si sekertaris ini mengangguk, atensinya kembali kepada gue.

“Kamu gimana bisa tau saya alergi seafood?”

Skakmat! Kelar penyamaran lo Nakunta! Mau jawab apa lo sekarang?

Gue pengen pipis di celana saking paniknya. Pun, lagi-lagi hoki gue segede gaban, lagi-lagi diselamatkan keadaan. Terima kasih mas sekertaris ganteng yang udah alihkan pembicaraan gue jadi gak perlu jawab. Sekertaris yang sesuai name tag bernama Nata Adjie ini nawarin makanan kantor buat dituker sama bekalnya aja.

Hadeh kalo pap sama dad di sini dan bisa lihat mereka pasti selamanya gak bakal pernah berantem gak jelas lagi. Mau di univers manapun yang mukanya mirip pap sama dad ditakdirkan sama-sama meskipun bukan sebagai pasangan. They destined to take care and understand each other.

Gue ini emang anak gak tau diri, kurang bersyukur. Di dunia gue pengennya ketemu ayah yang jelas-jelas udah meninggal. Terus, di dunia ini bersama ayah pun rasanya gak cukup, rasa kangen gue terhadap kedua orang tua di sana amat sangat besar.

Dan gue menyadari bahwa yang namanya keluarga gak ada satupun yang sempurna. Iya, gak ada yang sempurna kalo kita merasa gak pernah puas atau cukup sama yang kita punya.

Alam sebaik itu mengambil ayah dan bunda, lalu diganti dengan dad dan pap yang senantiasa ikhlas merawat gue dari bayi sampai segede ini.

Ya Tuhan, Nakunta mau kembali...


Nakunta dan Pak Peter

Terima kasih, berkat kamu saya masih bisa lanjut bekerja bukan malah masuk rumah sakit.

Gak masalah kok, om.

Saya mau kasih kamu hadiah boleh? Bentuk apresiasi dan rasa terima kasih saja. Apapun bilang sama saya kamu mau apa?

Kalau saya minta kurangi waktu lembur ayah saya boleh? Saya mau jalan-jalan quality time rasanya sulit soalnya ayah sering pulang malem.

Kamu harusnya yang ajari ayah kamu untuk menolak. Permintaan saya selalu ada dua opsi jawaban kok. Ayah kamu yang berhak tentukan pilihannya. Lagi, saya bukan tipe yang suka potong gaji kalau permintaan saya ditolak.

Nanti saya usahakan ya gak minta bantuan ke ayah kamu. Ini ada kue dari cafe di sana, untuk kamu saja.

Terima kasih, Om Peter.


`hjkscripts.


Ketika putaran film pasal kehidupan itu berhenti, cermin kembali seperti semula. Menampilkan bayangan diri sendiri. Hanya saja dibilang diri sendiri nyatanya tetap aneh.

Keduanya mengernyit kala saling memandang. Struktur wajahnya memang sama, namun dengan beberapa perbedaan.

Nakunta rambutnya turun, sedangkan yang dia saksikan adalah dirinya yang lain juga menatapnya bingung, pula rambutnya tersampir ke belakang. Anan memakai pakaian tanpa lengan sedang memegang putung rokok yang masih panjang. Namun, dihadapannya adalah dirinya versi sederhana.

Nakunta mencoba gerakkan tangannya. Dia berharap pantulan di sebrang mengikuti. Nihil, yang di sana malah menghisap penuh rokok di tangan dan mengepulkan asapnya kuat-kuat.

“Halo?” Panggil Nakunta, menguji apakah sosok yang di sana bisa mendengarnya.

“Halo!” Panggilnya lagi sebab tidak berbalas.

Dia mengulurkan tangannya berusaha menggapai sosok yang nampak. Seolah tengah bermain papan jumanji, tubuhnya perlahan dihisap, melewati lorong aneh yang menyebabkan perasaan mual. Hingga, dirinya sampai pada dunia yang sama pun berbeda. Nakunta jatuh di depan mobil milik sosok yang dia lihat sebelumnya.

“Anjing!” Anan keluar dari duduk tenangnya.

“Gue gak apa-apa!”

“Hehe...”


“Lu siapa? Ini maksudnya apa? Gimana bisa lu keluar dari cahaya?”

Keduanya termenung dalam penerangan dalam mobil. Malam semakin larut, tak ada kendaraan lalu lalang.

Nakunta yang dicecar pertanyaan juga bingung akan menjawabnya. Dirinya juga bingung bagaimana bisa sampai di sini. Terlebih, sekarang dia bingung bagaimana harus kembali.

“Pertama-tama nama gue Nakunta.”

“Oh,”

“Kenapa?”

Anan menggeleng, “Syukur nama lu beda sama gue. Gue kira lu beneran kembaran manusia gue. Gue Anan by the way.”

Oke.”

Selanjutnya adalah keheningan panjang, dengan pemandangan Anan yang tengah menghabiskan batang nikotinnya.

“Anan? Gue boleh tanya sesuatu?”

Anan mengangguk sembari membuang putung rokoknya. “Apa aja, jangan susah-susah.”

“Sebelum gue ngeliat elo, gue ditunjukin film yang sekarang gue yakini adalah elo dan ada satu cowok lebih tua lagi.”

Lelaki itu mengambil sebuah foto lusuh yang dia simpan pada dompetnya. “Dia?” Nakunta mengangguk hebat.

“Ayah gue itu. Ada yang salah?”

“Dia ini juga ayah gue, tapi ayah udah meninggal bareng sama bunda waktu gue bayi.”

“Haha,”

“Gila juga ya, masa gue ngeliat lu sama bos ayah gue yang katanya super demanding. Tapi dia keliatan bahagia, nggak seserem yang biasanya diceritain ayah gue.”

“Hah?” Nakunta turut terkejut, dia mengeluarkan ponsel yang sempat dia bawa, mencari dengan gestur tergesa. Ketemu, ditunjukkan tiba-tiba di hadapan Anan.

“Jangan bilang mereka?!”

Anan hanya mampu mengangguk membenarkan.

“Ini orang tua gue!”

“Aneh...”

Nakunta setuju, memang aneh. Sungguh aneh tapi nyata. “Iya aneh, maka dari itu gue mau pulang. Gue gak mau lama-lama di sini” Pintanya.

“Emang lu tadi dateng ke sini gimana?”

“Lewat cermin di kamar gue.”

“Di kamar gue juga ada cermin. It's ridiculous tapi kalau lu mau coba, kita bisa pulang ke sana.”

“Apapun, apapun itu.”


`hjkscripts.


Nakunta.

Pagi hari datang gue sebenernya masih amat ngantuk. Kemarin adalah malam panjang yang menjadi sebab gue tertidur di kamar minimalis ini. Kamar yang gak cukup familiar, kamar yang jauh lebih sederhana dari milik gue, kamar yang punya queen bed cukup buat menampung besar badan gue.

Tetapi gue mana ada waktu buat berleha-leha, sebab bunga mekar dalam hati gue lebih menyenangkan daripada lanjut tidur.

Berdoa merupakan hal pertama sebelum gue membuka pintu kamar. Debaran jantung gue cepet banget menandakan gue amat sangat menunggu hari ini terjadi. A bit nervous tapi gue mana bisa mundur lagi.

Ketika pintu kamar terbuka gue berpikir bahwa rumah ini vibes-nya gak jauh beda dari rumah di dunia gue. Bau masakan tercium, lebih pekat malah. Gak perlu berjalan lama, gue bisa langsung saksikan figur orang dewasa tengah berkutat dengan bahan dapur. Dia profesional, cekatan, semua dilakuin sendiri tanpa hambatan.

Gue cukup tertegun, terlalu amaze sama pemandangan di depan gue. Akhirnya, gue bisa melihat sosok ayah yang selama ini gue lihat fotonya. Ayah yang gak cuma punya satu gaya, namun bisa bergerak, bisa dilihat wujud aslinya, dan bisa disentuh selama gue mau. Dan gue tanpa sadar jatuhkan beberapa tetes air mata saking terharunya.

“Abang udah bangun?” Lamunan gue sadar atas suara yang sebenarnya belum familiar. Gue meresapi sejenak, mengingat-ingat suara ini karena masih sadar bahwa ini gak terjadi selamanya.

“Abang, sini! Ngapain berdiri di situ?” Panggilan kedua sepenuhnya menyadarkan gue bahwa yang sedang dilihat bukan mimpi belaka.

Gue secepat kilat mengusap jejak rasa haru dan berjalan sedikit tergesa meraih Ayah. Sampai sedekat ini, bisa cium parfumnya, bisa rasakan hangat suhu tubuhnya gue masih gak percaya. Lalu, gue dengan semangat menghambur memeluk dia gak peduli sedang menata piring kaca.

Ayah membeku, gue bisa rasain badannya kaku. Butuh waktu beberapa menit untuk mencair dan mengerti situasinya. Gerakan ayah lumayan kagok saat membalas pelukan gue. Mungkin ayah bukan sosok penggila afeksi atau sosok yang murah pemberi afeksi. Gue bisa mengerti hanya dari perangai Anan.

“A-abang?” Tuturnya gugup.

Oh! Gini ya rasanya tubuh ayah.

Oh! Gini ya suara detak jantung ayah.

Satu kata yang sanggup gambarkan perasaan gue sekarang adalah gue amat sangat bahagia.


`hjkscripts.


Anan.

Hari minggu jadi kali pertama gue gak menikmati masa libur di rumah tercinta. Gak ada orang yang bangunin di pagi buta buat olahraga. Gak ada orang yang nyuruh bantuin beberes rumah. Gak ada kegiatan masak bareng setelahnya. Gue bangun pada pukul tujuh bak seorang pangeran di negeri dongeng.

Satu hal yang gue dapati saat pintu kamar gue buka adalah suara mengalun merdu dari tuts piano. Gue bertanya-tanya siapa yang pandai main piano. Satu langkah, dua langkah rumah gue susuri mengikuti asal suara. Dalam hati terus menerus mengumpat nama-nama hewan setiap ngelewatin berbagi interior rumah yang unik dan tertata rapih.

Oh, jadi begini nih hidupnya Nakunta.

Selanjutnya gue bingung, kok dia mau tukeran sejenak hidupnya sama milik gue, padahal dia punya dunia sebagus ini. Iya juga ya, gue jadi inget sama beberapa sinetron yang sering seliweran di tv. Anak orang kaya biasanya korban broken home, anak orang kaya biasanya lebih materil kurang kasih sayang.

Gak terasa suara dentingan pianonya terdengar lebih keras menandakan gue sudah sampai pada sumbernya. Lagi-lagi gue dibuat takjub, udah beneran kayak masuk surga lantaran bisa melihat sosok bidadara. Kulitnya putih, bersih, makin bersinar akibat terpapar mentari pagi. Tangannya cekatan menari di atas tuts piano memainkan lagu yang punya nada lembut. Belum lagi dibelakangnya berhias tanaman hijau apik. Tapi gue mana boleh jatuh cinta sama cowok satu ini, bisa-bisa digibeng sama sang suami.

“Kak? Tumben jam segini udah bangun kamu.” Lihat senyumnya sembari menyapa gue...aduh, adem bener.

Gue pun menuruti lambaian tangannya yang meminta aku mendekat. Cowok yang jadi salah satu bapak gue alias orang tua gue meraih tangan lalu ditarik agar duduk di dekatnya. Dia sejenak amati wajah gue lamat, wajahnya berubah sendu, khawatir juga. Pipi gue dibelai, telapak tangannya lembut banget. Terus gue dipeluk, erat, sampai gue susah buat napas.

Anjing, sekali lagi gue ngumpat dalam hati. Gue gak bisa boong, pelukannya hangat, nyaman, bahkan bikin gue rileks dan akhirnya menjatuhkan beban tubuh gue dalam dekapannya.

Berapa lama ya gue gak pernah dipeluk gini

Berapa lama ya gue memendam diri, jadi manusia anti afeksi?

Padahal dalam diri gue selalu meronta, berteriak ingin sedikit diberi. Setidaknya pelukan kilat yang mampu menenangkan hati. Dan memori gue akhirnya berputar mundur, menggali informasi yang harusnya gak perlu gue inget-inget lagi. Terakhir kali gue dipeluk oleh sosok bunda sekalian selamat pergi selama-lamanya dari dunia ini.

Menangis, air mata gak sanggup gue bendung. Dia mengusapnya pelan-pelan bersamaan bisikan menenangkan yang bahkan gue gak tau dimaksudkan untuk apa.

“Gapapa kak, gapapa...semuanya baik-baik aja kok. Gapapa ya, jangan sedih.”

“Maafin dad ya, dad kemarin lagi banyak pikiran jadinya emosi.”

Seketika gue menarik sebuah konklusi bahwa Nakunta bukan anak yang kekurangan kasih sayang. Bukan juga anak orang kaya broken home. Tapi kenapa? Kenapa dia rela tukar keluarganya yang luar biasa hanya untuk bertemu dengan sosok yang mirip mendiang ayahnya?

Tapi Nakunta, kalau kita tukerannya agak lama boleh? Gue masih pengen dipeluk gini, gue masih pengen diberi afeksi, sebelum kembali ke dunia gue sebagai sosok yang bersahabat dengan sepi.


`hjkscripts.


Baru satu hari gue pindah dunia udah kemalangan. Mungkin nasib gue aja yang gak pernah bisa mujur. Mungkin nasib gue aja yang ditulis bersamaan dengan kekerasan. Pokoknya hal-hal negatif itu jadi bayangan gue entah sampai kapan.

Malam ini gue pulang ke rumah dengan keadaan gak baik. Sialnya juga gue belum sempet nyobain masakan mamahnya tetangga sebelah Nakunta. Emang sialan itu brandal, title-nya doang mahasiswa aslinya gak lebih dari manusia bajingan.

Kata Barcode mereka yang tiba-tiba ketemu di kolam renang adalah kakak tingkatnya. Kelakuannya emang suka gatel kalau liat orang lemah, bawaannya pengen menindas sampai terkubur dalam tanah. Gue minta maap nih, yang ketemu sama lu pada hari ini bukan Nakunta.

Tapi gue! Abis lu semua sama gue!

Kaki melangkah ke dalam rumah, gue disambut sama dua orang tua nakunta.

“Kak! Kamu itu kemana aja sih jam segini baru pulang? Pap telpon ga diangkat!”

Hah? Bentar-bentar, gue ambil ponsel yang ada di saku melirik jam yang masih menunjukkan pukul delapan malam. Ini bahkan masih terlalu sore bagi gue berangkat nongkrong, tapi mereka berdua paniknya bukan main.

“Muka kamu kenapa lagi, kak?” Kali ini suara berat mengintimidasi ikut interupsi.

Wajah gue diangkat, diamati lamat-lamat. “Berantem lagi kamu?” Lanjutnya.

“Abangㅡeh maksudnya kakak nolongin Barcode. Tadi ada anak-anak rese.” Ini bener kek gini ya Nakunta kalau ngobrol sama bapak-bapaknya?

Dad menghela napasnya kasar. Namun, gak ada tanda-tanda gue bakal diomelin kayak biasanya di rumah.

“Perlu dad bantuin gak, kak? Biar Barcodenya tenang kamu juga gak perlu sakit dipukulin terus gini?”

Tunggu, emang bisa ya?

“Emang bisa, om?ㅡeh dad? Memang kalau dibantu sama dad apa yang bakal terjadi?”

“Kamu yang pilih aja kak, dad takut salah pengertian sama kamu. Tapi kalau dad ya maunya dia drop out

Anjing?! Nakunta bapak lu serem amat bisa ngehancurin masa depan anak orang?

Pun gue memilih senyum, lalu menggeleng. “Gak perlu, dad. Kakak udah beresin semuanya.”

“Oke, sana lukanya dibersihkan dulu sama pap.”

Nakunta oh Nakunta... rugi banget lu ninggalin keluarga sesempurna ini.


`hjkscripts.


Hidup sebagai Nakunta ada plus and minus-nya. Orang tua bak malaikat, rumah gedongan, dan apa yang lu inginkan sekali jentikan jari langsung di depan mata.

Nakunta oh Nakunta...

Kenapa sih lu mau tukeran sama kehidupan gue yang super membosankan?

Kenapa juga ayah gue gak bisa seperti orang tua Nakunta yang bisa kasih perhatian cukup meskipun mereka sedang tak disekitar?

Pertama, gue mengira kalau pap orangnya freak. Yakali random ngechat lu dengan alesan bosen. Pun gue sadar, sebenernya itu sebuah bentuk perhatian. Beliau tau gue sendirian di rumah, takut gue kesepian. Kedua, dad yang suka merintahin gue beli makanan di luar buat makan bareng sama dia di kantornya. Aneh kan? Padahal di dunia gue sendiri, gue mana tau kantor ayah yang mana? Beliau kerja sebagai apa? Dan dad akan ngajak ngobrol apapun selama kita makan. Intinya keluarga ini penuh afeksi.

Pap sama dad itu isi kepalanya membingungkan. Bagi gue mereka belum terlalu dewasa buat menyelesaikan masalahnya sendiri. Masih suka berantem, ngambek, diem-dieman. Gak serem, pula cukup membuat gue kelimpungan sendiri. Gue bingung kok Nakunta bisa tahan hidup sama mereka berdua.

Gue menyadari bahwa kesempurnaan itu gak ada di muka bumi. Termasuk keluarga Nakunta. Meskipun lu dapet segalanya, namun ada harga yang harus dibayar, ada peraturan dari orang tua yang harus ditepati.

Mereka menerapkan jam malam yang tentu aja bukan gue banget. Malam hari adalah dunia sesungguhnya bagi anak kayak gue. Gue sampai dijemput gini, diomelin, gak seserem ayah tapi ya cukup bikin kuping gue berdengung.

Mendeskripsikan sampai di sini gue akhirnya mengerti terkadang rasa bosan, muak, itu memang akan terjadi. Tetapi hingga menukar kehidupan layaknya dengan milik gue yang biasa aja adalah kesalahan besar.

Sebab serumit-rumitnya rumah tangga ini, gue pasti bisa hadapi. dan gue gak mau pulang ke negeri sendiri. Terima kasih Nakunta atas hadiah paling berharga yang lu kasih ke gue. Gue akan jaga dua orang tua lu sebanyak afeksi yang mereka bagi untuk gue. Gue akan bahagia, sebanyak mereka bahagiakan gue.


`hjkscripts.


Mereka berdua berdiri menghadap kaca masing-masing. Bersitatap dengan ekspresi yang siapapun sulit untuk membaca. Nakunta dan ketakuan, serta Anan dan rasa sungkan.

Berdua ini masih bisa melihat paras sama namun berbeda.

“Abang?” Panggil Nakunta dengan senyuman meskipun dibalas geming. Pasalnya, sosok diseberang sana mana suka disebut demikian.

“Abang?” Kicaunya sekali lagi.

Nakunta mengulurkan lengannya hingga masuk setengah melewati kaca. Dia berharap Anan disana juga melakukan hal yang sama, menggapainya, menyambut telapak tangannya, hingga mereka bisa bertukar dunia.

“Ta? Gue minta maaf.” Anan berucap, sedangkan Nakunta tersenyum getir.

Apa maksudnya? Kenapa minta maaf? Dimana yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Mengapa semuanya harus terjadi?

“Abang...” Lirihnya. Dia hanya sanggup mengalunkan nama panggilannya.

“Gue suka ada disini, Nakunta. Gue minta maaf karena ternyata lu salah percaya sama orang kayak gue.”

Tenggorokannya kering, bibirnya kelu entah kalimat apalagi yang mampu dia utarakan untuk mengambil hidupnya kembali. Mungkin inilah hukuman bagi anak durhaka seperti dia, mungkin inilah harga yang harus dibayar atas keserakahannya.

“Abang gue takut...”

Terakhir kata abang itu meluncur dari mulutnya. Setelah itu suara kaca hancur berkeping-keping dia dengar menyisakan utuh tubuhnya sembari menatap kaca yang kali ini menampilkan refleksi nyata. Nakunta yang tidak berbeda, Nakunta yang benar-benar dirinya, Nakunta dengan seribu satu bentuk penyesalannya.

“Jaga ayah gue Nakunta, gue yang bakal jaga dua orang tua lu di sini.”


`hjkscripts.


Nakunta meraung, menangis bukan sebab tubuhnya ditarik anarkis oleh dua lelaki yang bukan diciptakan untuk dirinya. Dia hanyut dalam kesedihan akan kehilangan hingar bingar bahagia yang dengan bodohnya dia lepas begitu saja.

Pasrah, bersama lelehan air mata Nakunta duduk dibalik kemudi dikerubungi sorak sorai menyerukan nama Anan. Jika memang kembali adalah mustahil, maka mati mungkin adalah jalannya.


Anan Lawana, setiap kali gue nanya sama ayah apa arti nama gue? Kenapa gue dinamai demikian? Jawaban ayah nggak pernah berubah.

Anan artinya cakrawala, langit dan Lawana artinya samudera. Ayah harap kamu jadi lelaki yang selalu punya cita-cita, pendirian, kehormatan setinggi langit sehingga orang disekitar kamu segan. Ayah juga berharap kamu diberkahi hati yang lapang seluas samudera apapun cobaan yang akan kamu hadapi.

Gue nggak tau apa ini efek dari doa yang diselipkan pada nama gue. Kalau bener gitu doanya mujarab.

Diumur belia kelapangan hati gue udah diuji akan meninggalnya bunda. Wanita cantik nan baik hati yang dengan ikhlas melahirkan gue ke dunia. Entah mengapa, pada hari kematian bunda gue nggak nangis, sedih tapi tanpa air mata. Gue ikhlas bunda pergi, sebab gue sudah cukup tersiksa melihat bunda sakit menahun. Habis air mata yang banyak gue tumpahkan selama merawat bunda. Berakhir, gue menjalani hidup berdua dengan ayah hingga kini.

Doa selanjutnya yang terkabul ada bersama nama panggilan gue yaitu Anan. Diumur yang baru menginjak 21 Tahun, gue banyak disegani temen-temen sekitar lingkungan. Gue nggak tau apakah doa memang harusnya spesifik. Sebab gue yang biasa dipanggil Nan ini udah jadi ketua geng yang dimata orang-orang hal negatif.

Akibat yang harus gue tanggung kali ini adalah tempat nongkrong kena razia dan siapapun yang ketangkep harus masuk penjara. Butuh orang tua buat ngeluarin dengan bayar denda.

Akhirnya gue bisa bernapas lega setelah mendongak lalu mendapati ayah yang berdiri dengan tatapan begitu kecewa di luar jeruji besi.

Sampai di rumah, ayah belum mengucap satu kata pun. Masih beliau dengan wajah kecutnya. Gue melihat ayah keluar dari kamarnya dengan kaus putih tipis dan bawahan celana training panjang. Tanpa pedulikan sekitar dia segera buang baju kerjanya ke rak cuci, lalu dia ambil handuk mandi dan segera memasuki kamar mandi. Lima belas menit ayah keluar dengan wajah segar, dia gantung kembali handuk biru yang entah sejak kapan dia pakai. Ayah menuju kulkas, mengambil beberapa bahan masakan dan memproses semuanya sendiri, tanpa suara. Biasanya, gue akan menawarkan diri untuk membantu. Namun, untuk yang satu ini gue harus paham bahwa semua yang ayah lakukan adalah bentuk coping mechanism beliau.

Setelah masakan sederhananya mendarat di meja, satu kata pertama muncul.

“Makan, bang!”

Seperti janji ayah beberapa waktu lalu, ayah bakal masak buat quality time hari ini. Meksipun tanpa obrolan ringan, meskipun tanpa pertanyaan random ayah tentang gue, meskipun tanpa cerita dia tentang bosnya yang banyak demanding.


Ayah akan ngobrolin semuanya saat dia dan gue sudah tenang. Beliau itu paling pinter cari timing, beliau belum pernah meleset, kelepasan emosi membumbung tinggi saat hadapi gue yang beranjak remaja.

Mungkin, malam ini segalanya jadi serba salah. Perhitungannya kurang tepat, gue yang sedang dipuncak kenakalan remaja, dan ayah yang udah kelewat muak sama pergaulan gue.

“Abang, kalau ayah minta tolong berhenti bergaul sama teman-teman abang boleh nggak?” Kalimat pertamanya dengan lantunan tenang.

Tapi maaf ayah, anak lanangmu ini bukan yang punya banyak teman. Gue bukan yang pintar bergaul. Gue dengan berbagai title kehormatan di lingkungan gue, nggak akan semudah itu untuk ngundurin diri.

“Maaf, abang nggak bisa.”

“Bang, teman kamu itu gak baik. Lihat kamu barusan gimana. Bukan sekali dua kali ayah dilaporin begini.”

Ayah nggak salah, tapi gue juga nggak mau nurut semudah itu. Ini dunia gue, ini kenyamanan gue.

“Ayah gak pernah kekang kamu, bang. Tapi kamu udah keterlaluan, ayah capek, ayah banyak pikiran.”

Dan gue beranjak kasar hingga kursi yang gue duduki terdorong kebelakang dan jatuh, menimbulkan suara gebrakan kuat.

“Abang juga capek, yah. Capek nungguin janji-janji ayah. Capek dengerin ayah bikin janji yang sampai sekarang nggak ada buktinya. Abang kesepian, ini dunia abang, ini kesenangan terakhir abang. Ayah pikir siapa yang akhirnya nemenin abang ketika ayah ingkar sama janji sendiri. Mereka yah! Temen-temen abang! Ayah pikir siapa yang bikin abang nggak punya keputusan lain buat join sama mereka?! Abang sendirian yah, abang cuma punya ayah, tapi ayah nggak ada waktu buat abang!”

“Anan!!!”

Dan upaya dari mengatur emosi beliau hancur lebur seketika.

“Kamu pikir ayah kerja mati-matian untuk siapa? Hah? Ayah gak punya waktu itu kerja bukan main-main. Ayah punya tanggung jawab buat nafkahi kamu! Buat cukupi kebutuhan kamu!”

“Tapi Abang cuma minta waktu ayah sedikit... nggak bisa kah? Abang cuma minta sedikit buat abang ngajuin pertanyaan abstrak yang abang belum paham tentang jadi dewasa. Abang juga nggak mau tersesat, tapi abang nggak ada pilihan.”

Gue pergi, ninggalin ayah dengan beban pikirannya. Ninggalin ayah dengan emosi yang belum beliau ungkapkan.


Di hari penuh tekanan seperti ini yang paling gue pikirkan adalah sosok bunda. Gue berharap bunda ada di antara kita. Gue masih berharap keluarga gue sekarang lengkap.

Kalau bunda masih ada, akan seharmonis apa keluar gue?

Kalau bunda masih ada, akan menjadi apa gue sekarang?

Yang pasti ketidakhadiran bunda bikin gue jadi anak yang emosinya nggak stabil. Anak yang kalau emosi memilih keluar rumah, night drive ngebut-ngebutan, terakhir berhenti di antah berantah sambil nyalain batang penuh kenikmatan.

Ketika mencoba menyalakan korek api, gue dikagetkan dengan kobaran berlebihan. Mata gue sontak menutup sebab takut api. Ketika insting gue berkata aman, perlahan gue buka kembali. Aneh, dunia jadi silau. Dua netra gue menyipit berusaha menyesuaikan keadaan.

Anjing! Lampu mobil bajingan mana yang sesilau ini?!

Gue akhirnya bisa melihat setelah cukup lama beradaptasi. Dari kaca spion gue cukup kaget diperlihatkan sebuah video kehidupan. Mereka adalah dua sosok lelaki dewasa, tengah bercerita dengan tawa bahagia.

“Siapa?” Gumam dalam hati.

Lalu, di antara mereka sosok remaja ikut hadir, disambut hangat oleh keduanya. Keluarga ini seperti yang gue impikan.

Gue hanya bisa terbelalak ketika wajah remaja itu berhasil diperlihatkan... Itu, gue?!


`hjkscripts.


“Dari mana aja kamu?!”

Ketika gue tiba di rumah tepat pukul sepuluh, gak ada benda seberat apapun yang mampu meruntuhkan tembok ketegangan di antara kita bertiga. Gue, dad, dan tentu aja pap.

Inilah keluarga gue, si paling peduli dengan waktu. Si paling menjunjung tinggi quality time. Peraturan ini sebenarnya gak ada, gak tertulis. Namun, ini adalah sebuah komitmen keluarga yang harus dijaga.

Pap yang buat, dad dan gue sebisa mungkin tepati. Pun sebagai remaja, apalagi anak cowok berjalan menuju dewasa tentu butuh waktu tambahan lebih banyak daripada jam delapan malam.

Gue paham suara keras yang dad layangkan ketika kaki melangkah masuk bukan sebab larutnya dunia yang sedang menyelimuti. Namun, ketika dua bola matanya disajikan babak belur di atas permukaan wajah anak lanangnya.

“Kenapa sama muka kamu? Habis berantem? Iya?” Cecarnya dengan nada tinggi.

Gue geming, memilih bungkam. Gue bisa denger nada khawatir meskipun tatapannya mengintimidasi. Tetapi dad hari ini pilih jadi sekeras batu. Dia pilih meluapkan sedikit emosi daripada bertahan dengan ketenangan.

“Nakunta jawab!” Badan gue berjengit sebagai reaksi suara dad yang menggelegar hebat.

Pap berdiri di depan anak tangga terakhir. Gue menatapnya, mengirim sinyal bala bantuan. Lelaki itu menggeleng tanda ini bukan hari gue, lelaki itu agaknya juga ingin dengar segala alasan yang jadi latar belakang adanya diri ini sekarang.

“Aku gak berantem...” Jawabku akhirnya. Hari ini, malam ini bukan waktu yang tepat buat mengelak. Sebab, gue tidak sedikit pun menemukan ruang untuk pergi menyudahi.

“Barcode dirundung sama kating satu jurusannya. Aku lihat dan aku bantu.” Iya, ini Barcode yang sama dengan tetangga sebelah gue. Barcode yang gue panggil bocil.

Sesaat gue menjelaskan, hanya sunyi yang jadi iringan adegan menegangkan. Dad buang napas panjang dan berat sembari pijat pelipisnya.

“Tapi gak begini, kak cara mengatasinya. Kekerasan gak dibalas dengan kekerasan juga.”

“Terus aku harus gimana? Aku harus diem aja gitu lihat temen aku dirundung. Dad, aku tau gimana rasanya.”

Dan pembelaan gue bukan sebagai argumen yang akan menjadi closing party malam hari ini. Akan tetapi jadi topik perdebatan penuh emosi selanjutnya.

“Kamu bisa lapor keamanan kampus. Kamu bisa lapor aku, aku yang akan urus semua.”

Lihat, kan... dad dan segala kemampuannya. Gue tuh cuma ingin mereka berhenti kok. Gue juga gak ingin lihat dengan mata gue sendiri masa depannya direnggut semudah itu.

Lagi, gue ini cowok remaja. Cowok yang punya pride begitu tinggi, cowok yang seharusnya bisa berdiri bersama dua kakinya sendiri, cowok yang ingin dihormati karena aksi mandiri. Bukan, anak kecil yang terus menerus bersembunyi di bawah pandu orang tua bergelimang koneksi.

Kata pap, Nakunta kecil gak pernah tau konsep punya dad. Dad adalah orang asing dan pap adalah pusat semesta. Namun, seiring gue beranjak dewasa gue menjadikan dad sebagai role model juga partner in crime. Dia itu sosok paling rasional, ketimbang pap yang ternyata susah dimengerti. Gue paling jarang berantem kayak gini sama dad, gue paling jarang berbeda pendapat sama dia.

“I can handle it alone! Aku bisa bela diri aku sendiri. Aku gak butuh kamu untuk urus segala masalahku!” Suara gue semakin tinggi, penuh penekanan berharap lelaki yang jauh tua di hadapan gue mengerti.

“Mana buktinya kamu bisa bela sendiri?!”

“Memang kamu menang? Memang kamu berhasil lindungi teman kamu?!”

Shit!

Gue refleks mengumpat dalam hati. Gue memang kalah. Aksi heroik gue tadi diakhiri dengan gue yang dikeroyok tiga orang. Gue kalah, telak. Kabar gembiranya, si bocil gapapa, gak ada luka. Mau gimana lagi, gue bukan cowok yang menguasai jurus bela diri.

“Aku memang kalah, aku memang bukan kamu yang punya privilege yang mana kamu akan dihormati di manapun kamu berpijak. But, at least I'm trying to defend myself and Barcode with my own power. Seperti cerita ayah yang selamatin bunda dari orang jahat meskipun dia gak jago berantem.”

Shit! Lagi-lagi gue harus mengumpat, kali ini diikuti terkejut. Bukan hanya gue, juga pap sama dad. Gue gak tau datang darimana bisa bawa-bawa ayah dalam perdebatan gue dan dad. Iya, ayah gue yang hanya gue kenal dari banyak cerita yang dad bagi.

Gue bukannya menyadari kesalahan, malah semakin menyiram bensin dalam api berkobar.

“Ayah pasti akan bangga sama aku. Ayah pasti akan belain aku bukan marah seperti kamu sekarang.”

“NAKUNTA!”

“Mas?!”

Kedua mata gue sontak bersembunyi di balik kelopaknya ketika gestur tubuh dad bergerak maju mendekat. Gue belum pernah dihadapkan murka besarnya dad. Detik kemudian, gue sanggup buka mata sebab bukan pukulan melainkan pelukan pap yang gue rasakan. Padahal, sesungguhnya gue gak perlu khawatir, dad gak akan pernah main tangan semarah apapun, kedua tangannya akan dia sembunyikan di belakang punggungnya.

“Kamu masuk kamar sekarang.” Pap berkata dengan suara bergetar, dia nampak ketakutan. Gue mana sempat bertanya. Gue memutuskan nurut dan pergi ke kamar. Acuh dengan teriakkan emosi yang masih coba dad layangkan.

“Ayah kamu sudah gak ada! Aku yang punya kuasa di sini!”


Perasaan gue tentu campur aduk. Marah, sedih, bersalah, kesal. Semua itu berkolaborasi jadi satu dan gue konversikan mereka jadi satu bentuk bulir bening yang menetes deras, terus menerus bersama isakan emosional.

Gue menangis, sendiri, dalam sepi. Gue pandangi sosok ayah pada pigura kecil yang berdiri di atas meja belajar gue. Kangen, gue kangen akan sosok yang gak pernah gue kenal baik sebelumnya.

Kalau ayah masih ada, akan jadi keluarga seperti apa kita?

Kalau ayah masih ada, akan jadi ayah seperti apa dia?

Kemilau dari cermin memantul hingga butakan pandangan netra sejenak. Gue beranjak, dengan mata menyipit mendekati titik lokasi. Cahayanya kini berpendar minim hingga gue akhirnya bisa melihat lagi.

Cermin di depan gue bukan cermin yang biasanya memantulkan persis diri ini. Cerminnya kini memutar sebuah video yang belum pernah gue lihat sebelumnya.

“Ayah?” Gumamku ketika muncul sosok yang hebatnya percis seperti ayah dalam foto.

Begitu merindu kah diriku?

“Ayah!” Aku reflek memanggil, dibalas nihil.

Ayah di sana berjalan masuk rumah, masih lengkap dengan pakaian rapih. Dia terus melangkah hingga tiba di ruang tamu sederhana. Berdiri dengan senyuman dihadapan sosok anak lelaki.

Anak lelaki itu adalah... Aku?


`hjkscripts.