Bas Point of View
Tertawa, gelaknya terdengar bahagia. Takut aku takut melangkah maju dan merusak binarnya. Aku mampunya berdiri dari jarak jauh begini, daripada memaksa masuk yang pasti akan disambut kicauan sepi.
Aku gagal bersembunyi setelah sepasang netra mampu identifikasi kehadiranku di sini.
“Bas!” Celetuknya. Semua pandangan berbeda ekspresi terpancar dari tiap paras manusia. Dengarkan, dunia jadi mendadak sunyi.
Dari sekian banyak orang hanya satu yang berani menghampiriku. Dia berlari bersama senyum menawan tanpa henti dan berakhir memelukku sekuat hati.
“Akhirnya kamu mau dateng juga. Aku kangen banget sama adek kecil aku.” Bisiknya tulus.
Perasaanku campur aduk. Salah satunya adalah lega. Lega, setidaknya aku tak benar-benar tersisihkan. Lega, sebab aku masih ada yang menginginkan.
Kala dekapannya terlepas, aku merasa kehilangan. Bisakah aku minta dipeluk lebih lama agar aku dapat merasakan perasaan itu kembali.
“Kak, maaf aku baru bisa dateng ke acara ini.” Iya, ini adalah acara pertamaku sejak kejadian dulu. Acara pertama yang diberikan surat undangan resmi terukir nama lengkapku, bukan hanya sebuah pesan ajakan dari kakakku.
“Gapapa, aku tau kamu sibuk.” Balasnya. Lalu, perhatiannya jatuh pada anak lelaki muda di sampingku. “Ini anak kamu?” Aku mengangguk.
Mark sumringah ketika pipinya dicubit kecil tanpa aba-aba. “Mark ya? Udah gede keponakan aku! Inget ga dulu kamu masih kecil banget pas pertama kali ketemu aku.”
“Inget, tante.”
“Eh, yuk kita ke sana! Acaranya mau dimulai.”
Satu kali, dua kali nafas ku hirup dan dihembus sebagai langkah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi hari ini, aku hanya cukup menjalani. Biarkan masa lalu jadi sebuah memori.
Memasuki dalam lokasi acara aku disambut merah menyala. Bagi etnis kami merah melambangkan keberuntungan, pembawa nasib baik, dan suka cita. Namun bagiku ada dua kemungkinan, entah memang ini hari keberuntungan atau kobaran api tanda memasuki neraka.
Semakin mengerat genggamanku hingga beberapa kali bisa kurasa belaian menenangkan datang dari anakku. Dia setenang air di hilir, daripada aliran darahku yang berdesir sederas hulu.
“Mama, selamat ulang tahun ya. Semoga sehat selalu, semua doa baik aku harap melimpah untuk mama.” Pelukanku hanya dibalas geming. Ucapanku hanya dibalas gugu. Doa-doaku tak dibalas amin. Bahkan, sapaan penuh hormat dari anakku berakhir ditepis lalu.
Aku kunci pandang netra sendunya yang juga balik menatapku. Dia tersenyum getir, sakit batinku sebenarnya.
Gapapa ya, dek.
Pun suasana abu dibalik seketika jadi haru. “Sini salam ke opa aja!”
“Papa!”
Beliau yang baru keluar dari kamarnya adalah papa. Beliau ini yang sejak dulu mendukung setiap keputusan anaknya. Pula, beliau ini yang juga tak dapat mengambil keputusan apa-apa.
“Datang sama siapa kamu, di?”
“Sama anak aku aja.”
“Eummㅡ” Mark ragu akan memulai obrolan atau lebih baik diam.
“Opa, ini hadiah oma Mark titipkan ke opa aja ya. Maaf hadiahnya sederhana soalnya uang tabunganku belum banyak. Semoga oma seneng ya.”
Papa mengusap rambut Mark gemas, “Pinternya. Nanti opa kasih ke oma ya, nak.”
“Kalau bukan karena kakak kamu yang paksa mama. Kamu selamanya gak akan injakkan kaki di rumah ini.” Bak bom atom yang tengah meledak akhirnya sebuah ucapan mampu beri kesakitan. Mama yang sejak tadi diam bisu mampu bersuara.
“Ini ulang tahun mama. Mama hanya mau didatangi keluarga. Kamu malah bawa gak tau ini anak siapa. Asal-usulnya gak jelas! Mama gak terima dia masuk rumah ini, mama gak mau dia ada di sini! Merusak acara aja.”
Gak, gak ada satupun yang berani bantah ucapan mama saking speechless-nya. Aku sakit hati, namun lidah mendadak kelu. Kejadiannya masih sama percis seperti pertama kali aku beranikan diri datang membawa Mark untuk diperkenalkan. Mark yang saat itu masih berusia lima harus mendengarkan caci maki bahkan hingga sebesar ini.
Sebelum mama beranjak pergi beliau berucap, “Kamu pilih ikut acara ini sendiri atau pulang sama dia!”
Dan aku terperangkap dalam lubang dilema.
`hjkscripts.
Terhempas, tubuh gue dihempas. Ditarik kembali, gue pasrah dan lemas. Gue mana bisa melawan? Hilang sudah tatanan paras yang telah gue buat menawan. Kacau, batin serta fisik gue ancur berantakan.
Terombang-ambing raga tinggi dibuatnya. Gue hanya mampu terima dengan ikhlas. Sakit, bukan untuk deskripsikan badan. Raungannya, tangisannya, masih terdengar bersemayam lekat dalam telinga, pikiran, dan dalam nurani.
“Manusia jahat! Penculik! Beraninya kamu injakkan kaki kotor kamu di rumah saya!” Teriaknya lantang keluarkan beribu emosi yang enggan lebih lama dibendung.
Kalo mau tau cara bangun rumah tangga harmonis, konsultasi ke Job
Job tuh idupnya lurus kayak jalan tol, gak banyak neko-neko
Kalian lihat sendiri, Job si pemilik hidup sempurna, Job si penuh keberuntungan. Lelaki ini akan selalu jadi si paling menyedihkan ketika dihadapkan dengan keluarga suaminya. Lelaki ini akan jatuh, bertekuk lutut ketika dihadapkan dengan masalah cintanya.
Kala gue berhentikan mobil di depan rumah mewah bergaya china, gak perlu waktu puluhan menit untuk bikin gue hati gue meraung. Jantung gue mau copot gitu aja diperlihatkan lelaki remaja yang lagi duduk di pelataran jalan ditemani angin malam.
“Adek...” Panggil gue memastikan. Kepalanya terangkat, pipinya basah kuyup dibarengi matanya yang masih merah.
Pada saat dua maniknya bisa menangkap raga gue di depannya dia gak sanggup buat nahan semuanya. Dia berdiri, berjalan tertatih dengan dua lengannya terulur seraya meminta bantuan.
“Bapak.” Seruannya parau. Tubuhnya langsung gue dekap, gue biarin dia nangis meluapkan rasa sakitnya.
“Kita pulang. Gak apa dek, ada bapak di sini. Kamu punya bapak di sini.” Bisik gue menenangkan.
Mark menggeleng, kepalanya mendongak. “Nanti dulu, kita nunggu didi.” Katanya.
“Bapak udah bilang didi bakal jemput kamu.”
Dia tetep menggeleng. “Pulang bareng didi ya, pak. Adek juga belum pamit opa sama Tante Clara. Bapak nanti juga sekalian temenin adek pamit.”
Bener, gue gak bisa jadi menantu kurang ajar yang dateng gitu aja tanpa sapa keluarga suami gue. Cerita selanjutnya adalah gue jadi lelaki yang gak punya pilihan selain membiarkan harga diri diinjek sesuka hati di depan banyak mata yang memandang.
Rintik hujan turun seketika mengguyur ibu kota yang sejak seminggu ini ditemani mentari. Bersama pancaran kilat serta gemuruh, pun suhu udara dibuat agak dingin.
Sedingin apapun, bahkan hingga buat tubuh tanpa helai jadi menggigil tak dapat memerangi situasi panas antara dua lelaki dewasa.
“Kak?” Panggil yang lebih mudah pun diabaikan.
“Kak aku mau ngomong.” Sekali lagi masih enggan digubris.
Job beranjak, kaki jenjangnya mengambil keputusan untuk melangkah pergi. Dia ingin sendiri, setidaknya hingga emosinya pergi.
“STOP! DIEM KAMU DI SITU!”
“Masalah hari ini kita bahas lain kali.” Ujar Job lirih. Hembusan napasnya seberat seolah tengah mengeluarkan batu.
Baru satu langkah kakinya akan bergerak kembali, suara putus asa Bas menghentikan. “Aku harus apa kak?” Utaranya lirih. Ada getaran pada setiap suaranya yang tengah mengalun.
“Kamu minta aku ikut ke Surabaya, ninggalin keluargaku, relakan status anak yang sampai sekarang pun aku gak peduli masih dianggap apa sama orang tua aku. Aku iyakan, peduli apa sama dosa dan durhaka. Kamu minta aku untuk menikah, aku nangis hari itu. Antara bahagia dan sedih sebab cuma satu keluargaku yang hadir. Aku buang semua konsep wedding dream di kepala aku, aku buang semua anganku buat menikah dianterin papa aku jalan di atas altar. Bahkan aku hapus harapku buat lihat mama nangis terharu lihat anaknya dicium sama pasangan pilihannya.”
“Aku bilang aku mau bertahan sama kamu, aku mau lewati beratnya sama kamu buat cari restu. Tapi apa? Kamu inginnya kita lari akan ketidaksiapan kamu. Gapapa, aku sanggup hidup begini sama kamu. Kamu tau gak tiap hari aku menunggu, aku nunggu kesiapan kamu. Kapan pun, aku akan siap. Aku kira hari akan jadi awal baik buat kita, buat dua keluarga kita. Kamu suruh aku pergi buat temui orang tua aku. Lalu Ini apa? Kamu diem, seolah malam ini aku penjahatnya. Sejak awal cuma kamu, cuma suara kamu yang aku percaya, cuma suara kamu yang aku dengar.”
Bas mengatur napasnya, habis sudah sabarnya. Satu langkah, dua langkah dia berdiri di hadapan lelaki jangkung yang tengah menunduk tanpa suara.
“Kamu itu pengecut.” Desisnya terakhir sebelum pergi menjauh.
`hjkscripts.
Job Point of View
Semalem akhirnya gue mencapai titik terendah dalam menjalani kewajiban jadi manusia. Kacau, hancur, berantakan entah apalagi kosa kata yang mampu deskripsikan keadaan gue saat ini. Gue hanya bersama dompet, satu unit mobil, dan baju bekas kemarin lantang-lantung cari distraksi di luar.
Gue yang sedang duduk ngopi di cafe elite bak pejabat lagi mempersiapkan Senin pagi. Padahal di dalam sini, pikiran gue isinya semrawut kayak benang ruwet. Kepala gue nyut-nyutan dan kopi tanpa gula yang sedikit demi sedikit gue sesap bagai pemberi rasa atas apa yang terjadi sama gue. Pahit, hidup gue rasanya lagi pahit banget.
Ditengah lamunan, gue ketawa miris. Kamu pengecut katanya. Valid, kalo dipikir-pikir emang gak bisa gue sangkal. Buktinya gue sekarang lagi lari untuk yang kesekian kali. Gue memilih jalan kabur dari masalah daripada menghadapi. Beneran kasus gue pernah kelilit hutang puluhan juta kalah pelik dari yang satu ini.
“Job?”
“Eh? Kakㅡ” Gue terperanjat akan sentuhan. Gue refleks benerin penampilan biar agak enak dipandang. Bekas gelas kopi dan piring kosong gue pinggirin biar ada ruang buat wanita cantik taruh barangnya.
“Job, kamu kerja disekitar sini?” Si cantik mulai buka obrolan, dia duduk anggun ambil kursi kosong tepat di depan gue.
Gue senyum, bingung juga jawabnya. Daerah sini bukan jangkauan main gue. “Kak Clara kok bisa di sini?” Bukannya jawab gue balik lempar pertanyaan.
“Kantor aku deket sini.”
“Oh.” Gue mengangguk.
“Job?” Panggilan itu suaranya halus sama seperti suara suami gue. Kadang gue mikir apa suara mama mertua gue juga selembut ini? Apa bisa gue jawab rasa penasaran gue kalo setiap beliau lihat gue hanya ada suara tinggi penuh amarah dan caci maki.
Selain suara, sentuhannya gak kalah lembut. Ada rasa hangat yang dialirkan dari telapak tangannya merasuk dalam permukaan kulit gue. Rasa hangat itu menjalar, bagi energi penguat biar tubuh kembali semangat.
Gue mau gak mau tatap mata kakak suami gue. Binar matanya jadi redup, rautnya ada khawatir. “Aku minta maaf ya ngewakilin mama atas kejadian semalam. Maaf aku belum bisa bantu kamu banyak.” Tuturnya bersalah.
“Nggak,” Gue coba senyum meskipun pahit.
“Gak papa, kak. Saya maklum, saya ngerti.”
“Job, It's okay to feeling hurt. Semalam memang mama berlebihan. Tapi aku mohon kamu jangan nyerah ya? Kasih mama sedikit lagi waktu sama sabar kamu, will you?”
Jujur gue gak bisa jawab bahkan sekedar meng-iya-kan. Sebab gue gak tau setelah ini akan jadi apa, apa yang terjadi. Mungkin, saat waktunya tiba gue pulang ke rumah, gue siap menerima resikonya dengan lapang dada.
Dari tempat gue duduk, gue hanya mampu memandang wajahnya. Gue amati gerik tubuhnya sejak minumannya disajikan hingga disesap sedikit cappucino dalam cangkir. Obsidian gue gak fokus, cuma andalkan dua telinga dengerin tiap cerita yang dia lontarkan. Sesekali gue tanggapi dengan sedikit senyuman dan anggukan.
“Kamu tau gak sih, Bas itu anak bungsu kesayangan mama. Saking sayangnya kadang aku sama Talia kadang cemburu. Aku bisa paham sih, Bas anak rumahan banget. Setiap papa sama mama butuh selalu ada dia yang bisa diandelin daripada aku sama Talia yang lebih suka sama dunia luar. Bas deket banget sama papa terlebih mama. Lucunya lagi, waktu Talia adek aku keterima sekolah di London mama gak komentar apa-apa. Langsung aja di kasih duit terus dianter ke bandara. Tapi waktu Bas si introvert akhirnya ambil keputusan buat kuliah di Surabaya, mama nangis-nangis.”
Clara ketawa kecil sambil cerita. Tanpa sadar dia kais kembali memori beberapa tahun lalu tentang keluarganya. Masih bisa dia ingat bagaimana suportif kedua orang tuanya akan keputusan dua putrinya. Namun, ketika itu berhubungan dengan lelaki bungsunya semua akan berubah jadi penuh pertimbangan.
Mama sampai rela bayar universitas paling bagus di Jakarta biar Bas urungkan niat sekolah jauh dari rumah. Masih bisa dia ingat bagaimana beliau nangis tiap nganter Bas di bandara setelah habis masa liburnya.
“Bahkan setelah mama putuskan buat pensiun dari bisnisnya dia pindah ke Surabaya. Ya ini alasan kita semua pindah ke Surabaya. Mama mau deket sama anaknya, seenggaknya kalo Bas gak bisa dilihat, mama tau kalo anaknya ada di dekat dia. Job, ini bukan sebab ada darah yang harus keluarga kita jaga kok. Mama sama papa gak peduli mau kamu orang Jawa, Sunda, atau manapun. Ini cuma tentang mama dan nalurinya sebagai seorang ibu.”
It might be sounds closed minded. But, a mom could be irrational when it comes to her child.
`hjkscripts.
“Nakunta”
Gue panggil namanya lirih. Cepet lihat gue, sebab gue udah gak sanggup nahan semuanya. Gue mau jatuh, tapi takut rasakan sakit. Tangkap gue, tahan gue, dekap gue.
“Nakunta”
Panggil gue sekali lagi, hanya saja kali ini dengan suara serak. Gue udah gak bisa nahan lagi air mata yang sejak tadi membendung di pelupuk mata. Jemari ini meraba sekitar, mencari apa saja yang penting kuat buat nahan beban tubuh gue, karena dua kaki yang bertugas untuk menopang tubuh mendadak lemah tak berdaya.
Lelaki itu akhirnya sadar, dia lari dari tempatnya berdiri sambil nenteng keresek nasi goreng, gak peduli beberapa orang di sana lagi manggil-manggil buat ngasih kembalian.
Gue akhirnya bisa jatuh duduk di tanah dengan lega kala lengan gue berhasil meraih ujung jemarinya. Gue aman, gue akan gak apa-apa.
“Lo kenapa, Mark? Siapa yang bikin lo begini?”
Bungkam, gue enggan menjawab. Gue masih punya rasa malu buat nangis di muka umum meskipun dada gue rasanya mau meledak saking nyeseknya ditambah kepala mendadak nyut-nyutan.
“Gue anter lo balik.”
Gue menggeleng kuat, sebisa mungkin meyakinkan Nakunta lewat pancaran mata memohon. Jangan pulang, gue belum mau masuk neraka.
“Lo ikut ke rumah gue kalo gitu.”
Iya, bawa gue pergi. Kalo bisa yang jauh sampai gak ada orang yang nemuin gue lagi. Rasanya gue mau menghilang dahulu dari muka bumi.
Bas Point of View.
Malam temaram begini aku mendadak nggak bisa tidur. Sejak tinggal di rumah mama aku merasa tidur sendirian di kamar seluas itu kurang nyaman dibanding waktu remaja. Mungkin karena kebiasaan itu sudah berubah setelah menikah dengan Kak Job, gak ada satu hari pun kita tidur berpisah. Aku kangen rumah.
Di bawah lampu ruang tamu yang masih menyala aku duduk seorang diri dalam sepi. Atas pangkuan tersedia album potret kenangan yang entah bagaimana juga ikut bersamaku. Kegiatanku mengenang masa lalu harus berhenti kala satu notifikasi sosial media mencuri perhatian.
looking4job mentioning you in a tweet
Lantas aku gak bisa nahan ketawa tiap baca tulisannya. Inget banget dulu kita beneran desperate gimana bangun rumah tangga stabil. Kita sampe harus hemat buat makan sama kebutuhan sebab uang gaji yang gak seberapa dibuat lunasin hutang yang sebenernya bukan punya kita. Tapi pas semuanya kelar, hal-hal baik terus datang sampai sekarang.
Aku tak sadar bahwa tawaku di tengah malam bisa bangunkan seseorang. Mama yang lagi bawa gelas air minum bukannya kembali ke kamar malah nyamperin ikut duduk di ruang tamu.
“Mama? Maaf suaraku bikin bangun, ya?”
Mama senyum maklum, malah heran dan kepo apa sih yang bisa bikin ketawa anaknya. “Seneng banget kamu? Lagi nonton apa?”
“Enggak kok, ma. Cuma ini loh Kak Job ngirim cerita lucu.”
“Oh.”
Terus gak ada sahutan lagi dari mama. Beliau cuma diem dengan ekspresi yang sulit aku artikan. Dia pandangi lamat bentuk tubuhku sampai jatuh pada buku di atas pangku.
“May I?” Izinnya.
Aku sebenarnya ragu untuk mengizinkan. Takut diperdengarkan komentar buruk tentang sosok di dalamnya. Namun, selama lima belas menit mama belum buka suara. Beliau hanya mendunduk, mengamati setiap potret perjalanan hidup keluargaku. Hingga sampai pada halaman penghujung, beliau raba sosok di sana.
“How old is he? Tanyanya sembari menunjuk paras remaja.
“Dua puluh, udah kuliah semester lima sekarang ngambil komunikasi.”
Lagi, beliau diam kembali. Jemarinya masih menari di atas lembar foto yang sama.
“Kenapa dia?” Ucapnya kembali, entah siapa yang dimaksuddia sekarang.
“Namanya Mark soalnya dia punya tanda lahir lucu menyerupai bentuk hati di lengannya. Terus, waktu pertama kali kita datang ke panti cuma dia yang berhasil curi atensiku. Aku tandai dia dalam ingatanku.”
“No, I mean him.”
Oh, maksudnya Kak Job?
Sebentar aku gak langsung menjawab. Pertanyaan kayak gini tuh bikin kita mau gak mau berangkat menuju nostalgia.
“Jatuh cinta itu gak butuh alasan, ma. Kadang dia memang jadi tipe kita atau timbul nyaman tanpa sengaja. Dan aku adalah yang kedua. We communicated that well back then. Kita nyambung dalam banyak hal dan komunikasi itu jadi perantara utama agar sinyal rasa suka bisa saling diterima.”
“Pada saat itu seolah semua serba kebetulan Bas masih sendiri dan Kak Job yang memang punya inisiasi. At first we tried, later we talked so much, and became comfortable to each other. He was simple, easy to pleased, understandable, yet reliable. Pokoknya ya dia cuma cowok biasa yang bisa bikin aku nyaman terus, ketawa terus sama dia.”
“Ma, soal dulu aku sama Kak Job memang salah sama mama. Kak Job tanpa sengaja sakitin hati mama semata dia takut kehilangan aku. We were both too young, aku cuma anak muda yang lagi tergila-gila kenal cinta. Tapi lihat sekarang, aku sama Kak Job udah bertumbuh dewasa, udah punya anak yang harus kita jaga berdua. Ma, harap kita cuma kita jadi keluarga besar yang harmonis. Keluarga aku dan Kak Job bisa jadi satu.”
Selepas panjang lebar aku bertutur kata, Mama gak sama sekali punya komentar apa-apa. Aku gak bisa baca pikirannya. Mama habiskan air dalam gelasnya, dan dia berkata, “Tolong gelas mama di bawa ke dapur ya.” Beliau beranjak, dan aku bisa lihat punggungnya hilang di balik pintu kamar.
`hjkscripts.
—
Kita akhirnya sampai di sini. Pada ujung garis para pelari berhenti. Lalu, kita menari di atas permadani disaksikan ribuan penduduk bumi. Mereka menjadi saksi bahwa cinta kita kembali bersemi.
Memang harusnya begini, dua keluarga bersatu dalam ikatan pernikahan. Kita akan berbagi tawa bukan tangisan. Kita akan berbagi kebahagiaan bukan kata penyesalan.
Sebab pernikahan bukan hanya mempersatukan dua hati yang saling mengasihi
Kala restu sudah diberi, maka biarkan kami pamit undur diri.
`hjkscripts.