another me.


Ketika putaran film pasal kehidupan itu berhenti, cermin kembali seperti semula. Menampilkan bayangan diri sendiri. Hanya saja dibilang diri sendiri nyatanya tetap aneh.

Keduanya mengernyit kala saling memandang. Struktur wajahnya memang sama, namun dengan beberapa perbedaan.

Nakunta rambutnya turun, sedangkan yang dia saksikan adalah dirinya yang lain juga menatapnya bingung, pula rambutnya tersampir ke belakang. Anan memakai pakaian tanpa lengan sedang memegang putung rokok yang masih panjang. Namun, dihadapannya adalah dirinya versi sederhana.

Nakunta mencoba gerakkan tangannya. Dia berharap pantulan di sebrang mengikuti. Nihil, yang di sana malah menghisap penuh rokok di tangan dan mengepulkan asapnya kuat-kuat.

“Halo?” Panggil Nakunta, menguji apakah sosok yang di sana bisa mendengarnya.

“Halo!” Panggilnya lagi sebab tidak berbalas.

Dia mengulurkan tangannya berusaha menggapai sosok yang nampak. Seolah tengah bermain papan jumanji, tubuhnya perlahan dihisap, melewati lorong aneh yang menyebabkan perasaan mual. Hingga, dirinya sampai pada dunia yang sama pun berbeda. Nakunta jatuh di depan mobil milik sosok yang dia lihat sebelumnya.

“Anjing!” Anan keluar dari duduk tenangnya.

“Gue gak apa-apa!”

“Hehe...”


“Lu siapa? Ini maksudnya apa? Gimana bisa lu keluar dari cahaya?”

Keduanya termenung dalam penerangan dalam mobil. Malam semakin larut, tak ada kendaraan lalu lalang.

Nakunta yang dicecar pertanyaan juga bingung akan menjawabnya. Dirinya juga bingung bagaimana bisa sampai di sini. Terlebih, sekarang dia bingung bagaimana harus kembali.

“Pertama-tama nama gue Nakunta.”

“Oh,”

“Kenapa?”

Anan menggeleng, “Syukur nama lu beda sama gue. Gue kira lu beneran kembaran manusia gue. Gue Anan by the way.”

Oke.”

Selanjutnya adalah keheningan panjang, dengan pemandangan Anan yang tengah menghabiskan batang nikotinnya.

“Anan? Gue boleh tanya sesuatu?”

Anan mengangguk sembari membuang putung rokoknya. “Apa aja, jangan susah-susah.”

“Sebelum gue ngeliat elo, gue ditunjukin film yang sekarang gue yakini adalah elo dan ada satu cowok lebih tua lagi.”

Lelaki itu mengambil sebuah foto lusuh yang dia simpan pada dompetnya. “Dia?” Nakunta mengangguk hebat.

“Ayah gue itu. Ada yang salah?”

“Dia ini juga ayah gue, tapi ayah udah meninggal bareng sama bunda waktu gue bayi.”

“Haha,”

“Gila juga ya, masa gue ngeliat lu sama bos ayah gue yang katanya super demanding. Tapi dia keliatan bahagia, nggak seserem yang biasanya diceritain ayah gue.”

“Hah?” Nakunta turut terkejut, dia mengeluarkan ponsel yang sempat dia bawa, mencari dengan gestur tergesa. Ketemu, ditunjukkan tiba-tiba di hadapan Anan.

“Jangan bilang mereka?!”

Anan hanya mampu mengangguk membenarkan.

“Ini orang tua gue!”

“Aneh...”

Nakunta setuju, memang aneh. Sungguh aneh tapi nyata. “Iya aneh, maka dari itu gue mau pulang. Gue gak mau lama-lama di sini” Pintanya.

“Emang lu tadi dateng ke sini gimana?”

“Lewat cermin di kamar gue.”

“Di kamar gue juga ada cermin. It's ridiculous tapi kalau lu mau coba, kita bisa pulang ke sana.”

“Apapun, apapun itu.”


`hjkscripts.


Nakunta.

Pagi hari datang gue sebenernya masih amat ngantuk. Kemarin adalah malam panjang yang menjadi sebab gue tertidur di kamar minimalis ini. Kamar yang gak cukup familiar, kamar yang jauh lebih sederhana dari milik gue, kamar yang punya queen bed cukup buat menampung besar badan gue.

Tetapi gue mana ada waktu buat berleha-leha, sebab bunga mekar dalam hati gue lebih menyenangkan daripada lanjut tidur.

Berdoa merupakan hal pertama sebelum gue membuka pintu kamar. Debaran jantung gue cepet banget menandakan gue amat sangat menunggu hari ini terjadi. A bit nervous tapi gue mana bisa mundur lagi.

Ketika pintu kamar terbuka gue berpikir bahwa rumah ini vibes-nya gak jauh beda dari rumah di dunia gue. Bau masakan tercium, lebih pekat malah. Gak perlu berjalan lama, gue bisa langsung saksikan figur orang dewasa tengah berkutat dengan bahan dapur. Dia profesional, cekatan, semua dilakuin sendiri tanpa hambatan.

Gue cukup tertegun, terlalu amaze sama pemandangan di depan gue. Akhirnya, gue bisa melihat sosok ayah yang selama ini gue lihat fotonya. Ayah yang gak cuma punya satu gaya, namun bisa bergerak, bisa dilihat wujud aslinya, dan bisa disentuh selama gue mau. Dan gue tanpa sadar jatuhkan beberapa tetes air mata saking terharunya.

“Abang udah bangun?” Lamunan gue sadar atas suara yang sebenarnya belum familiar. Gue meresapi sejenak, mengingat-ingat suara ini karena masih sadar bahwa ini gak terjadi selamanya.

“Abang, sini! Ngapain berdiri di situ?” Panggilan kedua sepenuhnya menyadarkan gue bahwa yang sedang dilihat bukan mimpi belaka.

Gue secepat kilat mengusap jejak rasa haru dan berjalan sedikit tergesa meraih Ayah. Sampai sedekat ini, bisa cium parfumnya, bisa rasakan hangat suhu tubuhnya gue masih gak percaya. Lalu, gue dengan semangat menghambur memeluk dia gak peduli sedang menata piring kaca.

Ayah membeku, gue bisa rasain badannya kaku. Butuh waktu beberapa menit untuk mencair dan mengerti situasinya. Gerakan ayah lumayan kagok saat membalas pelukan gue. Mungkin ayah bukan sosok penggila afeksi atau sosok yang murah pemberi afeksi. Gue bisa mengerti hanya dari perangai Anan.

“A-abang?” Tuturnya gugup.

Oh! Gini ya rasanya tubuh ayah.

Oh! Gini ya suara detak jantung ayah.

Satu kata yang sanggup gambarkan perasaan gue sekarang adalah gue amat sangat bahagia.


`hjkscripts.


Anan.

Hari minggu jadi kali pertama gue gak menikmati masa libur di rumah tercinta. Gak ada orang yang bangunin di pagi buta buat olahraga. Gak ada orang yang nyuruh bantuin beberes rumah. Gak ada kegiatan masak bareng setelahnya. Gue bangun pada pukul tujuh bak seorang pangeran di negeri dongeng.

Satu hal yang gue dapati saat pintu kamar gue buka adalah suara mengalun merdu dari tuts piano. Gue bertanya-tanya siapa yang pandai main piano. Satu langkah, dua langkah rumah gue susuri mengikuti asal suara. Dalam hati terus menerus mengumpat nama-nama hewan setiap ngelewatin berbagi interior rumah yang unik dan tertata rapih.

Oh, jadi begini nih hidupnya Nakunta.

Selanjutnya gue bingung, kok dia mau tukeran sejenak hidupnya sama milik gue, padahal dia punya dunia sebagus ini. Iya juga ya, gue jadi inget sama beberapa sinetron yang sering seliweran di tv. Anak orang kaya biasanya korban broken home, anak orang kaya biasanya lebih materil kurang kasih sayang.

Gak terasa suara dentingan pianonya terdengar lebih keras menandakan gue sudah sampai pada sumbernya. Lagi-lagi gue dibuat takjub, udah beneran kayak masuk surga lantaran bisa melihat sosok bidadara. Kulitnya putih, bersih, makin bersinar akibat terpapar mentari pagi. Tangannya cekatan menari di atas tuts piano memainkan lagu yang punya nada lembut. Belum lagi dibelakangnya berhias tanaman hijau apik. Tapi gue mana boleh jatuh cinta sama cowok satu ini, bisa-bisa digibeng sama sang suami.

“Kak? Tumben jam segini udah bangun kamu.” Lihat senyumnya sembari menyapa gue...aduh, adem bener.

Gue pun menuruti lambaian tangannya yang meminta aku mendekat. Cowok yang jadi salah satu bapak gue alias orang tua gue meraih tangan lalu ditarik agar duduk di dekatnya. Dia sejenak amati wajah gue lamat, wajahnya berubah sendu, khawatir juga. Pipi gue dibelai, telapak tangannya lembut banget. Terus gue dipeluk, erat, sampai gue susah buat napas.

Anjing, sekali lagi gue ngumpat dalam hati. Gue gak bisa boong, pelukannya hangat, nyaman, bahkan bikin gue rileks dan akhirnya menjatuhkan beban tubuh gue dalam dekapannya.

Berapa lama ya gue gak pernah dipeluk gini

Berapa lama ya gue memendam diri, jadi manusia anti afeksi?

Padahal dalam diri gue selalu meronta, berteriak ingin sedikit diberi. Setidaknya pelukan kilat yang mampu menenangkan hati. Dan memori gue akhirnya berputar mundur, menggali informasi yang harusnya gak perlu gue inget-inget lagi. Terakhir kali gue dipeluk oleh sosok bunda sekalian selamat pergi selama-lamanya dari dunia ini.

Menangis, air mata gak sanggup gue bendung. Dia mengusapnya pelan-pelan bersamaan bisikan menenangkan yang bahkan gue gak tau dimaksudkan untuk apa.

“Gapapa kak, gapapa...semuanya baik-baik aja kok. Gapapa ya, jangan sedih.”

“Maafin dad ya, dad kemarin lagi banyak pikiran jadinya emosi.”

Seketika gue menarik sebuah konklusi bahwa Nakunta bukan anak yang kekurangan kasih sayang. Bukan juga anak orang kaya broken home. Tapi kenapa? Kenapa dia rela tukar keluarganya yang luar biasa hanya untuk bertemu dengan sosok yang mirip mendiang ayahnya?

Tapi Nakunta, kalau kita tukerannya agak lama boleh? Gue masih pengen dipeluk gini, gue masih pengen diberi afeksi, sebelum kembali ke dunia gue sebagai sosok yang bersahabat dengan sepi.


`hjkscripts.


Baru satu hari gue pindah dunia udah kemalangan. Mungkin nasib gue aja yang gak pernah bisa mujur. Mungkin nasib gue aja yang ditulis bersamaan dengan kekerasan. Pokoknya hal-hal negatif itu jadi bayangan gue entah sampai kapan.

Malam ini gue pulang ke rumah dengan keadaan gak baik. Sialnya juga gue belum sempet nyobain masakan mamahnya tetangga sebelah Nakunta. Emang sialan itu brandal, title-nya doang mahasiswa aslinya gak lebih dari manusia bajingan.

Kata Barcode mereka yang tiba-tiba ketemu di kolam renang adalah kakak tingkatnya. Kelakuannya emang suka gatel kalau liat orang lemah, bawaannya pengen menindas sampai terkubur dalam tanah. Gue minta maap nih, yang ketemu sama lu pada hari ini bukan Nakunta.

Tapi gue! Abis lu semua sama gue!

Kaki melangkah ke dalam rumah, gue disambut sama dua orang tua nakunta.

“Kak! Kamu itu kemana aja sih jam segini baru pulang? Pap telpon ga diangkat!”

Hah? Bentar-bentar, gue ambil ponsel yang ada di saku melirik jam yang masih menunjukkan pukul delapan malam. Ini bahkan masih terlalu sore bagi gue berangkat nongkrong, tapi mereka berdua paniknya bukan main.

“Muka kamu kenapa lagi, kak?” Kali ini suara berat mengintimidasi ikut interupsi.

Wajah gue diangkat, diamati lamat-lamat. “Berantem lagi kamu?” Lanjutnya.

“Abangㅡeh maksudnya kakak nolongin Barcode. Tadi ada anak-anak rese.” Ini bener kek gini ya Nakunta kalau ngobrol sama bapak-bapaknya?

Dad menghela napasnya kasar. Namun, gak ada tanda-tanda gue bakal diomelin kayak biasanya di rumah.

“Perlu dad bantuin gak, kak? Biar Barcodenya tenang kamu juga gak perlu sakit dipukulin terus gini?”

Tunggu, emang bisa ya?

“Emang bisa, om?ㅡeh dad? Memang kalau dibantu sama dad apa yang bakal terjadi?”

“Kamu yang pilih aja kak, dad takut salah pengertian sama kamu. Tapi kalau dad ya maunya dia drop out

Anjing?! Nakunta bapak lu serem amat bisa ngehancurin masa depan anak orang?

Pun gue memilih senyum, lalu menggeleng. “Gak perlu, dad. Kakak udah beresin semuanya.”

“Oke, sana lukanya dibersihkan dulu sama pap.”

Nakunta oh Nakunta... rugi banget lu ninggalin keluarga sesempurna ini.


`hjkscripts.


Hidup sebagai Nakunta ada plus and minus-nya. Orang tua bak malaikat, rumah gedongan, dan apa yang lu inginkan sekali jentikan jari langsung di depan mata.

Nakunta oh Nakunta...

Kenapa sih lu mau tukeran sama kehidupan gue yang super membosankan?

Kenapa juga ayah gue gak bisa seperti orang tua Nakunta yang bisa kasih perhatian cukup meskipun mereka sedang tak disekitar?

Pertama, gue mengira kalau pap orangnya freak. Yakali random ngechat lu dengan alesan bosen. Pun gue sadar, sebenernya itu sebuah bentuk perhatian. Beliau tau gue sendirian di rumah, takut gue kesepian. Kedua, dad yang suka merintahin gue beli makanan di luar buat makan bareng sama dia di kantornya. Aneh kan? Padahal di dunia gue sendiri, gue mana tau kantor ayah yang mana? Beliau kerja sebagai apa? Dan dad akan ngajak ngobrol apapun selama kita makan. Intinya keluarga ini penuh afeksi.

Pap sama dad itu isi kepalanya membingungkan. Bagi gue mereka belum terlalu dewasa buat menyelesaikan masalahnya sendiri. Masih suka berantem, ngambek, diem-dieman. Gak serem, pula cukup membuat gue kelimpungan sendiri. Gue bingung kok Nakunta bisa tahan hidup sama mereka berdua.

Gue menyadari bahwa kesempurnaan itu gak ada di muka bumi. Termasuk keluarga Nakunta. Meskipun lu dapet segalanya, namun ada harga yang harus dibayar, ada peraturan dari orang tua yang harus ditepati.

Mereka menerapkan jam malam yang tentu aja bukan gue banget. Malam hari adalah dunia sesungguhnya bagi anak kayak gue. Gue sampai dijemput gini, diomelin, gak seserem ayah tapi ya cukup bikin kuping gue berdengung.

Mendeskripsikan sampai di sini gue akhirnya mengerti terkadang rasa bosan, muak, itu memang akan terjadi. Tetapi hingga menukar kehidupan layaknya dengan milik gue yang biasa aja adalah kesalahan besar.

Sebab serumit-rumitnya rumah tangga ini, gue pasti bisa hadapi. dan gue gak mau pulang ke negeri sendiri. Terima kasih Nakunta atas hadiah paling berharga yang lu kasih ke gue. Gue akan jaga dua orang tua lu sebanyak afeksi yang mereka bagi untuk gue. Gue akan bahagia, sebanyak mereka bahagiakan gue.


`hjkscripts.


Mereka berdua berdiri menghadap kaca masing-masing. Bersitatap dengan ekspresi yang siapapun sulit untuk membaca. Nakunta dan ketakuan, serta Anan dan rasa sungkan.

Berdua ini masih bisa melihat paras sama namun berbeda.

“Abang?” Panggil Nakunta dengan senyuman meskipun dibalas geming. Pasalnya, sosok diseberang sana mana suka disebut demikian.

“Abang?” Kicaunya sekali lagi.

Nakunta mengulurkan lengannya hingga masuk setengah melewati kaca. Dia berharap Anan disana juga melakukan hal yang sama, menggapainya, menyambut telapak tangannya, hingga mereka bisa bertukar dunia.

“Ta? Gue minta maaf.” Anan berucap, sedangkan Nakunta tersenyum getir.

Apa maksudnya? Kenapa minta maaf? Dimana yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Mengapa semuanya harus terjadi?

“Abang...” Lirihnya. Dia hanya sanggup mengalunkan nama panggilannya.

“Gue suka ada disini, Nakunta. Gue minta maaf karena ternyata lu salah percaya sama orang kayak gue.”

Tenggorokannya kering, bibirnya kelu entah kalimat apalagi yang mampu dia utarakan untuk mengambil hidupnya kembali. Mungkin inilah hukuman bagi anak durhaka seperti dia, mungkin inilah harga yang harus dibayar atas keserakahannya.

“Abang gue takut...”

Terakhir kata abang itu meluncur dari mulutnya. Setelah itu suara kaca hancur berkeping-keping dia dengar menyisakan utuh tubuhnya sembari menatap kaca yang kali ini menampilkan refleksi nyata. Nakunta yang tidak berbeda, Nakunta yang benar-benar dirinya, Nakunta dengan seribu satu bentuk penyesalannya.

“Jaga ayah gue Nakunta, gue yang bakal jaga dua orang tua lu di sini.”


`hjkscripts.


Nakunta meraung, menangis bukan sebab tubuhnya ditarik anarkis oleh dua lelaki yang bukan diciptakan untuk dirinya. Dia hanyut dalam kesedihan akan kehilangan hingar bingar bahagia yang dengan bodohnya dia lepas begitu saja.

Pasrah, bersama lelehan air mata Nakunta duduk dibalik kemudi dikerubungi sorak sorai menyerukan nama Anan. Jika memang kembali adalah mustahil, maka mati mungkin adalah jalannya.