jelajah mimpi.


Nakunta Point of View.

Saat kali pertama gue membuka dua kelopak pelindung mata adalah tersebesit sebuah kalimat kekecewaan. Oh, gue belum mati ya.

Iya, gue belum boleh. Suratan takdir menyatakan hidup gue belum bisa dihentikan paksa sampai di sini aja. Kalo gue bisa membaca kertas putih berisi perjalanan sebagai bocah kurang tau diri ini mungkin tulisannya adalah.

Malam ini Nakunta dipaksa ikut balapan, dengan harapan dia mati kecelakaan.

Dini hari Nakunta mengalami kecelakaan, tapi masih hidup dan berakhir di rumah sakit dengan berbagai alat bantu penunjang hidup.

Di sinilah gue, beginilah kondisi terakhir gue sesaat hanya bisa melihat cahaya putih menyilaukan sebelum tubuh gue terombang-ambing di dalam mobil yang tengah melesat cepat.

Gue masih hidup, mata gue masih bisa terbuka lebar, jantung gue masih berdebar, dan darah gue masih berdesir meskipun banyak yang terbuang.

Sejenak gue ingin mengucap syukur, namun mengingat apa yang menjadi alasan gue hingga berakhir seperti ini gue jadi mengurungkan niat.

Apa gunanya sih hidup gue sekarang? Terjebak di dunia antah berantah. Kenyataan ternyata memukul gue gak kalah telak. Kalo malaikat bisa ngomong pasti mereka udah pada noyor kepala gue satu satu.

“Lah kan elo yang minta tukeran orang tua?” Terus mereka nyatet satu dosa lagi bagi gue dibukunya.

Gue mendadak melakonis. Sedih gak tertolong. Gue cuma bisa lanjut nangis, nangis terus tanpa bisa jelasin ke orang-orang yang bertanya alasan kenapa gue jadi cengeng.

Dan gue semakin terpukul, air mata ini makin deras meluncur saat pintu kamar dibuka dan muncul sosok ayah dengan wajah khawatir. Dia memeluk gue, berujar beribu kata maaf sebab lalai jaga gue.

Gue tambah terisak, bukan karena terharu. Namun, karena gue kangen. Gue kangen sama pap dan dad. Mereka pasti begini kalo lihat gue berantakan. Mereka pasti runtuh liat gue rapuh. Disaat-saat begini, di dalam dekapan hangat ayah beserta kepulan kalimat sayang menenangkan gue malah berharap jika yang tengah melakukan ini adalah dua orang tua gue. Gue akan jauh lebih baik jika ini adalah dad dan pap.

Coba aja gue bisa putar ulang waktu...

Coba aja ini cuma mimpi buruk di tengah tidur siang...

Beneran deh, seriusan, gue gak mau ulangin lagi. Cukup ini terakhir kali. Gue gak mau tuker baik atau buruknya keluarga gue buat apapun yang bisa mereka kasih meskipun bintang paling terang di langit.

Gue cuma mau kembali, sekedar bisa mengucap selamat pagi sembari memberi ciuman penuh afeksi. Semua itu, diakhiri doa-doa baik sebelum berjalan menjelajah mimpi.

Entah tubuh gue yang terlalu capek atau mata gue yang terlalu banyak menangis. Gue mendadak ngantuk di tengah keadaan haru. Tanpa mengucap selamat tinggal, tanpa melihat wajah ayah untuk terakhir kalinya gue pun tertidur lelap.


“Kak! Bangun kak!”

Hah?

Gue terkesiap, hampir melompat dari atas kasur. Lantas tercengang bersamaan memeriksa sekitar.

“Kamu kenapa sih, kak?”

Bentar, ini yang ngomong beneran makhluk hidup yang lagi duduk di kasur gue kan? Eh! Kasur gue? Lah, ini beneran kamar gue. Kamar gue, barang-barang gue, itu pap gue!

Gak pake aba-aba gue menyerang pap dengan pelukan maut tanpa peduli air kompresan yang dia bawa jatoh basahin sekitar. Pap teriak ngomel-ngomel tapi gue gak mau lepasin gitu aja. Kangen banget, beneran sekangen itu.

“Aduh kakak! Baju aku basah semua kamu tuh kenapa sih?!”

Terus pintu kamar refleks terbuka, memunculkan lelaki besar yang paling tua di antara kita bertiga. Iya kita bertiga, gue akan pertegas sekali lagi. Hanya ada gueㅡ Nakunta, dad, dan pap. Udah valid, gak ada yang boleh join lagi buat ganggu kebahagiaan kita.

“Ada apa ini?”

Cukup memeluk pap, mendengar suara beratnya gue berganti lari buat memeluk dad. Saking bahagianya gue sampai bergelantung manja ala koala. Badan besar gue bukan masalah, dia tangkap dengan seksama.

“Kamu kenapa, kak?” Tanyanya halus. Rambut gue sambil diusak lembut.

“Aku kangen aja sama kamu, sama pap juga. Maaf ya aku banyak durhaka sama kalian.” Jawab gue tulus.

“Oh,”

“Kalau begitu aku juga minta maaf karena sudah bentak kamu kemarin. Aku lagi capek, kak. Emosinya kurang bisa dikontrol.”

Ahh, jadi ini semua beneran mimpi. Mimpi buruk yang dikirim sebagai pengingat buat anak nakal macem gue.

“Aku mau minta maaf lagi karena bawa-bawa ayah di depan kamu. Seharusnya aku gak begitu.”

“Gak apa nak, wajar kok. Mungkin kamu kangen ayah ya? Nanti kita bertiga ke ayah sama bunda ya.”

Gue mengangguk setuju. Lebih baik memang begitu. Adilnya memang seperti itu. Rasa sayang gue, rasa kangen gue bukan berarti harus disampaikan langsung secara lisan dihadapan manusianya. Katakan sebanyak-banyaknya pada yang masih hidup, selipkan di antara doa-doa untuk yang telah tiada.


`hjkscripts.