hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


a biblebuild au

FFestivalGelembung ; @gelembungfest


Build Point of View.

Masih basah dalam ingatan akan kedatanganmu di malam hari. Nyanyian jangkrik terdengar hebat sebab diiringi musik sunyi. Kubuka pintu pagar yang mana menjadi pembatas antara kita berdiri. Kamu berkata ada hal yang harus diselesaikan sebelum datangnya mentari.

Aku kikuk, dengan bodoh berdiri geming menunggu sebuah kebiasaan. Tanganmu kala itu enggan terentang lebar. Seolah itu sebuah pintu tertutup menolak kehadiran. Setidaknya bibirmu, aku tidak berharap ciuman, cukup ungkapan sapa beserta senyum manis terumbar.

Tubuh besarku refleks menyingkir ke kiri, memberi izin bagimu untuk menginvasi. Lantas pagar kembali aku tutup, mengikuti langkahnya menuju dalam masih bersama bibir mengatup.

Hari sudah masuk dini, namun kita malah duduk berhadapan bukannya berpeluk mesra di bawah temaran lampu menjelajah mimpi. Bersama perangaimu yang tak sehangat biasanya, bersama aku... aku dan seribu kalimat tanya yang sulit mengudara.

Harusnya aku tak perlu gugup, harusnya percaya diriku membumbung tinggi menyambut hadirnya kamu penuh suka cita. Menciptakan suasana seceria mungkin, menangkis hawa dingin di antara kita. Kali ini ternyata dilematis, aku memilih pasrah. Mempersilahkan kamu duduk gunakan gerak raga pun menyajikan air mineral dingin bak sosok tuna wicara.

Dini hari harusnya jadi waktu paling sunyi. Pengecualian untuk diriku, untuk segala gemerisik rusuh dalam pikiranku sendiri.

“Biu...” Dia memanggilku. Gelanyar aneh selalu hadir diikuti suara lembut berisi namaku.

“Biu...” Ulangnya sekali lagi.

Cukup, jangan panggil begitu jika tujuanmu bukan untuk memanggil senyumku. Jangan panggil begitu jika tujuanmu bukan untuk merangsang debaran jantungku.

“Kamu baik, Biu.” Lanjutnya. Aku masih ragu, menolak menerka-terka ujung dari dialog dini hari. Masih terlalu abu mengarah pada negatif, pula terlalu takut menginjak konklusi positif. Bible, lelaki yang tengah duduk berhadapan denganku. Lelaki yang telah menggenggam jemariku selama hampir lima tahun sukar dibaca.

Aku tersenyum getir, “Maksud kamu apa?” Akhirnya, aku sanggup berkata-kata. “Maksud kamu apa bilang begitu?” Cecarku menuntut. Build kamu ini bukan lelaki dengan batasan sabar tinggi.

“Kamu baik, sampai terlalu baik untuk aku.”

Kini aku seolah bermain puzzle, mengumpulkan potongan-potongan pasal maksud dan tujuan. Bagai puzzle milik anak taman kanak-kanak, dimana hanya cukup tiga untai kalimat aku semakin tau kemana arahnya dia membawaku. Dia memakai sayap, menopang tubuhku untuk dibawa terbang menuju langit ke tujuh. Perlahan kepakannya semakin berat, hingga tibalah diakhir hayat cerita kita menuju tamat.

“Kamu pasti bisa temukan lelaki lain yang banyak lebihnya daripada aku.” Lirihnya.

Aku dijatuhkan dari gagah lengannya. Aku terjun, bebas tanpa hambatan, dihempas kuat ditambah hembusan pawana menuju bentala. Aku kembali, menapak kaki bersama raga diri. Pun dalamnya kosong, semuanya ada hanya saja rasanya kopong. Pikirannya, hatinya, debaran jantungnya dirampas raib semua.

“Kita berakhir sampai sini, ya?” Kini potongan puzzle itu lengkap. Bagai dihujam belati, Bagai tertusuk jutaan duri bunga paling indah di bumi. Hatiku sakit, sakit sekali siapa yang bisa obati?

Bible, aku mohon jangan begini.

Beraninya kamu masih bertanya jika tak ada pilihan jawaban selain iya. Beraninya kamu mengambil keputusan sendiri dan menyudutkan aku dipojok begini. Aku harus apa? Aku harus bagaimana?

“Biu...” Ini adalah terakhir kalinya dia memanggil namaku dengan suaranya yang syahdu.

Aku mana punya pilihan, iyakan? Bahkan melontar tanya pun rasanya sia-sia. Maka aku mengangguk, silih berganti dengan air mata yang entah sejak kapan luruh.

Iya, kita selesai sampai di sini. Kisah cinta kita selesai dalam dialog dini hari.


`hjkscripts.


a biblebuild au

FFestivalGelembung ; @gelembungfest


Museum Ambarawa, Jawa Tengah

Bible Point of View.

Entah apa yang dipikirkan pasang delamak kaki hingga berakhir berdiri di tempat ini. Aku hanyalah pria si patah hati yang tengah mencari konsolasi. Tadinya aku menginjak tanah Semarang, kini raga telah berdiri di atas tanah penuh cerita, Ambarawa si kota sebrang.

Kemarin malam aku terlibat obrolan ringan dengan pakdhe. Lengkap kopi hitam pahit ditambah gorengan sukun dan pisang. Aku haturkan maksud bertandang, berangkat jauh dari Surabaya tak peduli banyak yang menghadang.

Masih terasa punggung dibelai, masih terngiang berbagai wejangan yang beliau bagi. Hingga terakhir aku bertanya, “Pakdhe, kalau mau cari wisata yang enak dimana, nggih?”

Di sinilah aku saat ini, ikuti sebuah instruksi. Berangkat pagi sekali hingga dua netra bisa nampak kereta api.

“Untuk berapa orang, mas?” Aku pun menunduk. Sejajarkan kepala dengan lubang kecil jalur tiket yang terlahir.

“Setunggal, pak.”

Satu tiket muncul dari dalam, ditukar uang kertas seharga sepadan. “Monggo, mas. Selamat menikmati.”

“Nggih, matur nuwun.”

Sepi menghadang, sejauh selayang pandang. Maklum, aku datang bukan pada musim berlibur. Aku melangkah, sedikit demi sedikit, perlahan begitu pasti sambil amati peninggalan masa lalu pasal kereta api.

Aku juga bertanya-tanya pada diri mengapa memilih museum sebagai tempat untuk sejenak menepi dari hingar-bingar duniawi. Bukan eling bening atau rawa pening, bukan juga saloka atau monumen terkenal Ambarawa. Aku hanya mengikuti nurani, juga berdasar memori.

“Stasiun Ambarawa dulunya diberi nama Stasiun Willem I sesuai dengan nama penguasa Belanda kala itu. Stasiun ini dibangun agar mobilisasi logistik dan keperluan tentara KNIL tercukupi. Jalur Ambarawa terhubung hingga Semarang resmi selesai dibangun pada tahun 21 Mei 1873.”

Masih sibuk mengamati, bekas lokomotif berbahan besi. Saking terasa sepi, suara pemandu mengalun merdu bak seekor burung kenari. Tata bahasanya rapi, cakap sehingga mudah dimengerti.

Aku jadi teringat seseorang, hampir tiga tahun lalu yang tak sengaja bersinggungan di atas gerbong kereta. Lelaki yang memutuskan untuk terus pulang-pergi bersama menuju tanah rantau. Lelaki yang akan bercerita tentang dinamika masa lalu seolah dia ikut terlibat di dalamnya.

Tawa geli pun muncul, ditambah penasaran pula ikut timbul. Iya juga ya, Biu gimana kabarnya sekarang?


Mulai berkelana bersama, berjanji menua hingga tiba pada ujung dunia. Belum juga jalan sepertiga, genggaman erat akhirnya dilepas jua. Kisahku memang mendatangkan iba, dan aku bersaksi memang sedang tidak baik-baik saja.

Jatuh air dari pelupuk mata, bukan sebab menonton keindahan semesta. Aku tengah duduk, membiarkan luka yang telah lama dipaksa tutup agar terbuka, menganga hingga darah mengucur ria. Aku enggan menahan lagi, banyak waktu panjang terbuang akibat terlalu banyak aku belari. Kini, di dalam gerbong sepur uap yang tengah beroperasi, akan menjadi akhir destinasi manusia dengan lara hati.

Cuap-cuap manusia, lelaki tidak boleh lemah menderita. Pula realita berkata sebaliknya. Rasa sakit datang tanpa memandang, rasa sakit tak bisa menghitung berapa kadar penyiksaannya sebelum menginfeksi jadi radang. Lihat aku saat ini, lelaki penyendiri yang sedang meratapi suratan takdir.

Kilas sinetron akhirnya terputus akan improvisasi mengejutkan yang datang dari sebuah lengan tengah menyodorkan sapu tangan. Aku melirik dari ujung mata basah, menghapus dulu jejak air mata sebelum sambut sosok remaja.

Aku sanggupnya melongo akan sosok yang hadir di tengah gerbong kosong.

“Ternyata aku nggak salah orang. Kak Bible, apa kabarnya?” Remaja itu ikut duduk, mengambil posisi di hadapanku, masih percis seperti beberapa tahun lalu.

“Biu? Biu ya?”

Aku mengamati almamater biru yang dulu masih sering tersampir di pundakku. Tag nama di dada sebelah kiri menjadi validasi bahwa dia orang yang memang pernah aku temui.

“Dunia itu aneh ya kak. Dari sekian kota besar yang banyak dikunjungi orang, kok bisa ketemu lagi di sini. Ini Ambarawa loh kak, bukan Semarang atau Yogyakarta.”

Benar, dunia itu aneh. Namun, keanehan ini mampu menjawab rasa penasaran Mengapa hati nurani berunding dengan pusat kendali tubuh manusia dan memerintahkan mereka bergerak menuju Ambarawa. Ternyata ini alasannya, ternyata dia alasannya. Pun aku sadar, pertemuanku dengan Build kali ini bukan sekedar kebetulan semata. Aku yakin ada maksud dibaliknya, dan maksud itu masih menjadi lanjutan kisah jumpa tiga tahun lalu yang sebenarnya belum usai.

“Kamu ngapain di sini?” Tanyaku, mengutarakan satu persatu rasa ingin tahu.

Build belum berhenti tersenyum, kenapa anak ini begitu bahagia berbanding terbalik dengan suasana diriku. “Aku magang kak di sini. Kadang jaga loket tiket, kadang jadi tour guide gini. Kalo Kak Bible gimana? Pasti udah kerja ya? Kok kakak gak pernah hubungi aku lagi sih?” Benar ternyata, suara yang tadi aku dengar memang berasal dari seekor burung kenari yang tengah berbagi informasi.

“Satu-satu, Biu.”

“Hehehe,” Tawanya menguar, masih lucu sama seperti dulu.

“Abisnya aku seneng banget bisa ketemu kakak lagi. Terakhir aku chat gak ada balesan.”

“Maaf,” Ujarku pertama-tama. Lalu aku menjelaskan, kejadian konyol di Nusa Dua. “Nomorku ganti, Biu. Hapenya jatuh dua tahun lalu waktu liburan di Nusa Dua. Naas, jatuhnya ke laut bukan kolam renang.” Singkat kisah lawas dibalas kelakar, menertawakan betapa konyolnya aku dihari itu.

Kemudian obrolannya berlanjut, sebagian besar berisi pertanyaan retoris. Hingga, tiba juga pada sebuah lingkup pertanyaan yang harus siap aku hadapi. Pertanyaan terduga, juga sepanas bara api.

“Kak Bible, apa sudah menikah dengan pacarnya yang dulu sempat dikenalkan ke aku?”

Aku tau Build tak bermaksud menyinggung, toh dia belum tau pasal kejadian satu itu. Kejadian yang membuat Bible berakhir lemah di atas kereta wisata yang tengah membawa manusia penuh suka cita. Build berhak atas pertanyaannya, karena dia pula sempat kukenalkan dengan sombongnya.

“Satu minggu sebelum acara pernikahan kami, dia bilang rasa cintanya hilang ditelan bumi. Rasa sayangnya buat saya habis terkikis. Hari itu dia berseru, orangnya bukan lagi aku.”

“Kak,” Build meletakkan telapaknya di atas paha berlapis kain jeans. Sebuah gestur kebiasaan milik Build jika sedang tertawa, terkejut, atau memulai konversesi. Kali ini gerakannya membelai, pertanda tengah menenangkan. Ada nada sungkan dan khawatir melalui tutur katanya.

“Maaf, kak. Aku gak bermaksud-”

“Gak apa-apa,”

Iya aku gak apa-apa.

“Gak apa-apa kok, Biu. Aku baik-baik aja.”

Iya, aku yakin sudah baik-baik aja.

Tepat kereta berhenti, kami berasamaan turun tapaki bumi kembali. Sebelum berpisah, tiba-tiba ada kalimatnya muncul di atas tumpukan beragam memori.

“Biu,” Aku lancang memanggilnya di tengah gerombolan pribumi.

“Ya?”

“Tentang hadiah wisuda yang dulu ingin kamu beri, apa masih bisa aku ambil? Kamu bilang, harus aku yang datang sendiri.”


Stasiun Tawang, Semarang

Aku bersaksi tiada siapapun yang bisa membikin rumit skenario kehidupan selain Tuhan sang penguasa umat manusia. Tiada siapapun yang sanggup bolak balikan hati selain sentuhan-Nya sendiri.

Aku masih sulit percaya bisa duduk berdampingan dengan Build seperti cerita lama. Pembedanya adalah, jika dulu aku menunggu seorang diri, menunggu Build dan Penataran bergerak dari peraduannya. Kini aku telah bertemu kembali dan akan pulang bersamanya lagi.

“Ini, kak.” Build menyerahkan kotak sedang berpita. Masih tetap cantik meskipun warna kertasnya mulai memudar lusuh.

“Apa ini?”

“Itu, itu yang kamu tanyakan kemarin. Hadiah wisuda yang belum sempat aku anter ke kamu. Aku selalu bawa kemanapun tempat aku berpijak.”

Hangat telapak tangannya menembus kulit, mengalir cepat melalui syaraf lalu menenangkan hati. “Jangan dibuka sekarang,” Pintanya.

Lantas Build tersenyum ditengah raut kebingunganku, “Nanti aja di atas gerbong. Tapi kalau sudah tau isinya jangan buru gegabah cari aku di gerbong lain. Kakak yang putuskan, aku serahkan semuanya ke Kak Bible.”


Untuk Kak Bible, Si pemilik kursi 21E

Sebelum secarik kertas ini mengumbar pengakuan atas diriku izinkan dahulu kata maaf muncul sebagai pembuka atas kelancanganku. Kak Bible, aku haturkan beribu terima kasih atas waktu yang kamu bagi untuk hadapi aku yang berlagak seperti bayi. Terima kasih sudah menemani pulangku hingga pergiku turut Penataran bersama segala sifat baikmu. Seluruh ceritaku kamu dengar dengan baik, candaku kamu kembalikan tepat pada tempatnya, dan sedihku kamu tampung dengan sabar sembari beberkan berbagai nasehat pula jalan keluar.

Sekali lagi maaf jika aku lancang sebab diriku nyaman. Kalau boleh, bersama torehan tinta di atas putih, serta sepasang sandang untuk memperingati hari bahagiamu, aku titipkan hatiku untuk ditukar dengan milikmu.

ㅡ Build Jakapan.


`hjkscripts.


Peter and Nakunta time

Peter baru menyadari bahwa anak lanangnya sudah sebesar ini. Anak yang dulu sering tidur di tengahnya dan suami, anak yang dulu sering tiba-tiba menyusup di antaranya ketika dikerubungi mimpi. Keputusan Peter agaknya tak membuatnya menyesal sama sekali.

Pun Nakunta, anak itu merengut kala dad-nya datang sudah lengkap berbalut kaus putih celana piyama. Mengomel tanpa henti, terkadang menjadi pedagang sawi yang tengah negoisasi dengan pembeli. Dia tak ingin tidur ditemani, maunya sendiri.

Tutur memang pandai bercakap, namun hati yang paling tau bagaimana diri harus bersikap. Menit berikutnya, Nakunta telah jatuhkan sirah di atas lengan sang ayah. Dua maniknya mengatup, sebab surainya dibelai. Terkadang bibirnya bergumam tanggapi cerita panjang yang tersaji.

Selesai sudah Peter haturkan liku kisah masa lalu. Kini hanya bersisa hembusan nafas ilu dari sang pengadu.

“Aku kalo jadi pap ya marah.” Si pendengar menanggapi.

“Gitu ya?”

Si anak mengangguk, dia membetulkan posisi tidurnya semakin merapat, mencari hangat dalam dekap. Menurut Nakunta, tidur dengan dad-nya ternyata bukan hal yang buruk. Dia jadi ingat bagaimana dulu sering merengek dibacakan buku cerita pengantar tidur oleh dad-nya atau diusap punggungnya hingga tidur oleh pap-nya.

“Tapi kamu gak salah juga sih. Kamu kan mengajak, ada persetujuan dan pap jawab iya.”

“Pinter kamu.” Puji Peter. Nakunta itu pendengar yang baik. Dia bahkan ingat detail cerita seseorang meskipun nampak tak peduli.

“Aku harus gimana, kak?”

“Saran aku ya kita tidur aja dulu, aku ngantuk gak bisa mikir. Besok kita cari caranya.”

“Dasar!”

“Hehe,” Nakunta ketawa. Lalu, dia lanjut berkata, “Good night, dad. Everything will be fine kok. Soalnya kamu punya aku.”

Mau tak mau bibir Peter menyungging senyum. Dia sematkan satu kecupan selamat malam di dahi putranya. “Makasih ya, kak. Tidur yang nyenyak anakku.”


Nodt Point of View.

Aku melangkah, sepuluh jari menyangga tampah berisi berbagai seserah. Aku mengetuk daun pintu, lalu berseru memanggil sang empu. Begitu aku masuk, dilanjutkan duduk, gugup seketika merasuk.

Egoisku seluas samudera, pula congkak setinggi bumantara. Namun kini diriku kecil, daripada kerikil. Hancur sudah rupaku sebab rasa malu, bak kapur yang tengah dihantam alu.

Mulai kusajikan di atas permukaan meja, secangkir teh hangat ditemani biskuit 'selamat'. Getir bibir tersungging, satu kata cukup buat tersinggung. Selamat ini apakah bagai ucapan semangat, atau olokan semata sebab kehadiranku sejak tadi dianggap angin lewat.

Lara hatiku nyeri, kala yang di depanku beranjak pergi. Aku tak sanggup lagi, ingin segera gapai dia meminta sebuah absolusi. Lantas aku pula berdiri, mengikuti tiap gerik sana-sini seperti seekor meri.

“Mas...” Lirih kupanggil dirinya. Pun, suaraku tak berguna.

“Mas?!” Seruanku keras, kali ini aku peluk dari belakang punggungnya yang nampak tegas.

Rengkuhanku mengerat, bisa kurasakan raganya geming juga terkejut. Enggan dilepas tautan rapat, hingga bahunya yang terangkat perlahan turun.

I- I was shocked,” Aku mulai menjelaskan. “Aku ga pernah tau kejadiannya begitu- no, sorry aku akui aku bodoh memilih bersikap begini. it wasn't a big deal, they were our past.” Aku pasrah, masalah ini memang aku yang salah. Padanan kata yang disusun anakku di atas pisau tajam adalah sahih. Mereka dilempar bukan untuk menusuk, namun datang membuka hati beku agar mudah merasuk.

Dua kaki ini mendadak lemas, kala punggung besar kini berganti dada bidang. Kini bukan hanya aku yang mendekap, namun aku juga tengah diperangkap.

“Gak apa sayang.” tuturnya lembut. Nodt tolol gimana bisa kamu ga sayang sama manusia satu ini. Mana bisa kamu ga jatuh cinta sama orang satu ini.

“Aku ga pernah menyesal terima ajakan kamu, mas. Tolong percaya sama aku.”

“Iya. aku tau,” Balasnya. “Dan aku juga percaya sama kamu.”

“Rasa yang aku punya untuk kamu bertahun lalu sampai sekarang benar adanya.”

“Aku bisa rasakan.”

“Aku-”

Ssshh!”

Bibirku telah dibungkam, dipaksa diam oleh sebuah kecupan ringan. Afeksinya begitu menenangkan, beranjak dari bibir menuju dahi. Dijamah lama seolah sedang mengungkapkan kata tersirat yang hanya bisa ditangkap nurani.

“Kamu gak perlu pamerkan semuanya melalui lisan. Sebab yang kamu berikan aku bisa rasakan. Sampai kapanpun, kamu akan selalu jadi pilihan.”


`hjkscripts.


mainan baru.


Nakunta Point of View.

Jadi anak di keluarga gue tuh susah-susah gampang. Ini gue sendiri yang merasakan atau memang nasib tiap anak begini? Gue menyadari setelah banyak lakukan observasi mandiri, beberapa faktor jadi mempengaruhi.

Salah satunya perbedaan umur. Dad sama pap beda umurnya jauh, meskipun pap sudah terbilang dewasa diumurnya menginjak angka empat puluh tapi dibanding dad ya tetap ada celah besar. Pap yang setiap ada masalah inginya dimengerti, dan dad yang sudah terlalu tua buat belajar cinta-cintaan jadi bingung sendiri.

Begitulah dinamika yang harus gue hadapi sebagai satu-satunya kawula muda di rumah ini.

Kini posisinya lagi-lagi gue harus jadi wasit pertarungan dingin. Kadang capek sendiri sih, jadi jembatan itu gak enak, rela diinjek biar objek di bumi bisa tetap terkoneksi dari satu sisi ke sisi lainnya.

Skenarionya sama, sudah biasa. Dad bikin pap kesel yang membuat pap akhirnya acuh sama dad. Gue yakin hasil akhirnya emosi mereka akan bergejolak, meledak, setelah itu ngobrol dan baikan. Tugas gue adalah bagaimana mencari seribu satu solusi biar mereka akhirnya ngobrol.

Buat masalah hari ini gue sepertinya gak usah repot cari solusi, sebab solusi itu akhirnya datang sendiri.

Di sinilah gue, ngintilin pap dan langkah super cepatnya. Diikuti banyak khawatir setelah denger dad masuk rumah sakit perkara gak sengaja makan seafood. Iya, dad itu punya alergi, udah parah banget. He maybe looks cool, but actually kinda careless. Mungkin pikirannya rada kacau, jadi gak sempat cek makanannya.

And, yup! Here we go the damn drama. Pap masuk ke ruang rawat inap dad dengan wajahnya udah merah, penuh rasa bersalah. Dad hanya pamer senyum teduh, masih tiduran di atas brangkar dengan tangannya diinfus.

“Hi, dad! Sorry I can't help to not tell him.” Gue sapa dad sembari taruh tas dan jaket di sofa. Gue lebih dulu mendekat, bantuin dad bangun dari posisi tidurnya. How are you?” Tanya gue lagi. Kali ini dengan pelukan, dad cium puncak kepala gue.

“I'm ok kok, kak.” Balasnya sok kuat. Padahal gue bisa lihat betapa lemesnya dia.

Gue perlahan mundur, kasih space buat pap yang berdiri layaknya patung. Matanya udah jadi bendungan air rapuh, siap longsor biarin airnya meluncur bebas.

“Your turn, pap.” Ujar gue lirih.

Dad senyum penuh kasih sayang, penuh cinta yang sama sejak dulu. Dia tepuk-tepuk kasurnya, suruh pap duduk dekat dia. Pap tentu aja nurut, dia duduk namun wajahnya tertunduk sembunyikan perasaan malu.

“Hei?” Dad angkat dagu pap agar bisa pandang wajahnya. Dia sedikit terkejut waktu jemarinya basah. Pap seratus persen udah nangis.

Gue tadi bilang bahwa keluarga gue cukup complicated, tapi percayalah gue gak pernah sekalipun menyesal jadi anak mereka.

Gue bisa lihat gimana mereka cinta satu sama lain. Gimana dad dengan begitu telaten dan lembut usap lelehan air mata milik pap. Gimana dad bikin pap tenang dengan self diagnosenya bilang he's now fine, he's okay, pap doesn't need to worry, it isn't pap fault. Sebagai gantinya, pap dari lubuk hati terdalam terus menyuarakan penyesalan, dan dia berikan sebuah pelukan hangat penuh ungkapan semangat biar dad cepet sehat.

Bagian yang jadi kesukaan gue adalah ketika dad menyampirkan helai rambut panjang pap ke belakang telinganya, lalu dad cium kening pap bersama jutaan runtutan kalimat cinta yang gak sanggup dia utarakan dengan tutur kata. Well, they're so sweet, way too sweet malah.

Terakhir, satu kecupan ringan diperankan belah bibir mereka, diiringi tawa kecil keduanya jadi konklusi masalah kali ini. Gueㅡ Nakunta akan berlari, menyisipkan badan besar gue di antara keduanya bak anak bayi.


`hjkscripts.


a biblebuild au🔞

FFestivalGelembung ; @gelembungfest


Bible Point of View.

Pernah tidak kalian mendengar susunan kata membentuk pepatah berbunyi hidup adalah tentang pilihan?

Batinku bersuara, betapa hidup akan lebih baik jika benar begitu. Sebelum fakta memaksa merasuk bahwa keadaan sesungguhnya adalah perjalan satu insan memang didasarkan pilihan, kecuali pasal perasaan.

Aku benci, mengetahui bahwa mencintai seseorang telah ditentukan. Bukan kita ingin jatuh hati dengan siapa, bukan kita ingin berkolaborasi menulis kisah manis dengan siapa, bukan juga kita ingin mati nanti dipangkuan siapa.

Sebab dunia punya cara alaminya sendiri untuk mengatur takdir dua manusia mencinta. Dunia ini pula punya karma sendiri untuk menghukum manusia yang abai dengan sengaja. Sakit bukan hal luar biasa, dan mati bahkan sering jadi finalnya.

Perkenalkan, aku Bible Wichapas calon pemimpin kerajaan utara. Pria yang baru melewati usia delapan belas. Pria yang telah menemui dermaga untuk kapalnya berlabuh namun hatinya harus dipatahkan akan tanda soulmate yang tak seiras.

Fenomena ini disebut dengan Soulmate, dimana makhluk hidup telah dipasangkan menurut tanda yang muncul pada tubuh. Mau tak mau, suka tak suka, kita hanya bisa terima. Sebab perbuatan ingkar, pesakitan akan jadi imbalannya.

Aku adalah Bible Wichapas, pemuda yang memutuskan untuk pergi melepas singgasana demi jantung hati. Pemuda yang tengah berlari dari kejaran para abdi. Pemuda yang memilih bersembunyi di gubuk tengah hutan sunyi.

“Mereka gak akan bisa temukan kita di sini.” Aku menutup selambu, menyudahi kegiatan mengamati. Hijau sejauh mata memandang juga diperdendangkan nyanyian malam persembahan kumbang.

Petang datang ditandai bulan muncul benderang. Bias cahayanya mengisi kelam dalam ruang. Aku menyalakan lampu berbahan dasar minyak tanah, lantas senyum mengulas kala paras rupawannya sekarang semakin apik dalam pandang.

“Malam ini kita singgah di sini dulu. Baru besok kita akan pergi menyusup kapal ke luar negeri sesuai janji.” Tuturku persuasif sebab perangai yang lelaki ini tunjukkan nampak gusar pula khawatir.

Lelaki ini jadi satu-satunya yang menarik pada sebuah pesta dansa petinggi tiga tahun lalu. Lelaki yang datang bersama ayahnya sang pemimpin selatan, dan kedua saudaranya. Lelaki si pemilik nama Build, yang sering kupanggil Biu. Lelaki yang ternyata bukanlah milikku, melainkan milik sahabatku.

Cinta itu buta, padanan kata itu cocok gambarkan diriku saat ini. Aku memilih buta, asalkan bersama dia. Toh aku percaya, dia jatuh pada pilihan yang sama pula.


“Biu...” Suara Bible memanggil. Bible mengambil alih dagu si manis yang sedari tadi enggan menatapnya walau raga lelaki itu eksis di sampingnya. “Lihat aku.” Titah selanjutnya. Tipis bibirnya bergerak membentuk lengkung ke bawah kala mata sejajar dengan mata.

Lelaki itu sematkan kecupan ringan pada permukaan dahi si manis, sembari terus memberikan kalimat penuh afeksi. “Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu milikku seutuhnya begitu sebaliknya.” Skenario selanjutnya adalah Build yang jatuh pasrah dalam dekapannya.

“Berpelukan seperti ini memang hangat. Siapa yang tau dada mereka berdua sakit seakan tersengat.” Gumam Build.

Bible bukan tak paham kalimat yang dilontarkan kekasihnya. Pasangan bukan soulmate memang seharusnya tak bersama, atau soulmatenya akan menanggung luka sebesar perbuatan pasangannya. Lagi, Bible adalah lelaki buta mata dan hati akan magis kisah romansa.

“Bayangkan, tubuh hangat yang sedang kamu peluk ini menghangatkan tubuh selain milik kamu. Rela kah?”

Build paling benci disudutkan begini. Sebab dia paling tau jawaban apa yang akan keluar setelah ini.

Bible hanyalah sosok lelaki dengan banyak testimoni manipulatif. Seringai licik muncul bersamaan gelengan kuat tanda penolakan. Build tidak rela, Build tidak mau, karena egoisnya berseru Bible Wichapas adalah milikku seorang. Pada akhirnya, Bible mampu mengendalikan akal sehatnya.

Iklim romantis datang layaknya tamu tanpa diundang. Berhembus pelan bersama angin konstan yang bertandang melalui cela bilik bambu. Hawa dingin ikut serta, buat dua raga semakin erat. Merinding bulu kuduk mencuat, kini indra peraba saling melekat.

Helaian nafas Build kian memburu seiring belaian lembut jemari Bible mengeksplorasi paras rupawannya. Dari pipi, berekspansi menuju dahi, beralih menyusur jembatan cingur, dan berakhir pada dua belah yang suka bertutur.

Belah merah muda kini dijamah hebat. Kecipaknya penuhi ruang bak sedang mengadakan pertandingan gulat. Pasang kelopak indah keduanya mengatup, memilih bergerak andalkan insting nurani.

Build tertindas di bawah kungkungan tegas lengan Bible. Tubuhnya dikunci rapat bagai penjahat kelas kakap yang tak boleh kabur dari rumah pidana. Peluh merambat di antara hawa dingin hebat sebab hari semakin gelap. Helai kain mereka tanggal, sisakan sampul pemberian Yang Maha Esa.

“Bib” Bisik Build memanggil dalam nada serak.

“Biu” Balas Bible tak lupa mengecup bibir lelaki di bawahnya cepat.

“Kamu punyaku.” Titahnya tegas. “Kamu punyaku.” Ulangnya sekali lagi, mendeklarasikan pada angin bahwa lelaki di atasnya adalah hak paten miliknya.

“Saat aku di dalammu, gak akan ada jalan lain selain maju.” Ujarnya menegaskan, meyakinkan Build bahwa apa yang terjadi selanjutnya bukan untuk disesali kemudian hari.

Dan Bible tersenyum bagai manusia paling beruntung ketika dua kaki Build memilih melingkar apik pada pinggulnya. Mempersilahkan Bible menginvasi lebih properti miliknya, menghasilkan lenguhan sakit bercampur lega.

Tubuh bertaut itu bergerak, pertama konstan lambat laun tak beraturan. Keduanya sama-sama punya tujuan, mencari sebuah kepuasan. Kala dalamnya semakin bergejolak, desisan berubah jadi berteriak. Maka kisah ini, berakhir pada sebuah puncak. Melepaskan putih yang nantinya berbuah anak.

“Biu, menghitung hari musim panas akan datang.”

“Lalu?”

“Ayo menikah, ayo kabulkan mimpimu untuk menikah di musim panas.”


`hjkscripts.


Build Point of View

Darah berdesir hebat, tingkatkan debar jantung jadi dua kali lipat, ambyar aku dibuat oleh lelaki yang masih belum lamat.

Lagi aku duduk, pada bangku tegak berisi dua. Sekian kali memijak kaki di alas besi belum pernah sama sekali merasa bosan dan sepi. Setidaknya sebab sosok lelaki.

Hari ini aku putuskan untuk bersaksi atas perasaanku sendiri. Memupuk seluruh takut bersama gengsi di dalam inti bumi. Karena, jika tidak sekarang kesempatan mungkin berlari pergi.

Besok aku kembali ke Malang untuk wisuda di hari Sabtu. Mungkin akan jadi perjalanan terakhir kita berdua turut Penataran.

Kereta melaju, deru berisiknya beradu dengan detak jantungku. Detik demi detik telah aku nanti, hingga saat berhenti dimana aku akan memberikan buah tangan sisipan kasih hati.

Tibalah kini, penantian tak panjang lagi. Kepalaku melongok keluar jendela mengabsen tiap raga berjalan mencari gerbong masing-masing.

Namun, tepat saat ini senyumanku harus luntur sebelum waktunya kalah berperang. Aliran merah seolah berhenti, enggan menebar oksigen hingga sel dalam tubuh perlahan mati. Ketika mereka mati, disitulah organ tubuhku saling salah fungsi.

Dia memang tepati janji, duduk di hadapanku. Hanya saya kali ini tidak seorang diri.

Layaknya dihujam belati, aku bisa mati saat ini.

“Biu, kenalkan ini pemilik hati saya. Dia kali ini ikut karena sabtu hadiri prosesi wisuda.”

Belum sempat aku validasi jawaban atas perasaan yang aku miliki. Jangankan begitu, ingin berkoar saja rasanya lidah kelu.

Benar apa kata bunda, kisah yang dimulai pada sebuah perjalanan akan tamat sesudah sampai tujuan.


Aku meminangmu meskipun dihadapan satu saksi. Terik mentari di luar peraduan tak membuat cinta kita enggan bersemi. Ketika pendeta berujar terakhir kali, mendeklarasikan pada semesta pula negeri. Kamu dan aku resmi sepasang suami.

Aku pun bersaksi, tiada siapapun yang akan bahagiakan kamu jika bukan aku sendiri. Build cintaku, aku menitipkan seluruh jiwa raga serta kuatnya rasa cinta padamu pada sebuah cincin yang kini tersemat di jari. Tak akan aku lepaskan kamu, meskipun harus menghadapi mati.

Yours, ㅡ Bible Wichapas.


`hjkscripts.

a biblebuild au.

FFestivalGelembung ; @gelembungfest


Build Point of View.

Aku duduk, di atas bangku khas milik badan usaha negara yang telah berdiri sejak negeri yang aku jajaki merdeka. Aku mana pernah berhenti kagum kala memasuki gedung tua bergaya Belanda dengan sedikit sentuhan masa kini pada beberapa sisinya.

Kesendirianku membuat memori dalam kepala memutar film dokumenter diri sendiri yang menyangkut tentang lokasi saat kini. Masih ingat dahulu, bagaimana sensasi naik transportasi satu ini. Bahkan hanya mengingat buat oksigen dalam paru-paru mendadak kosong.

Bukan sulap bukan sihir transportasi KAI kian membaik dan banyak berbenah diri sejak sejarah perkeretaapian Indonesia dimulai pada 1864 oleh gubernur Hindia-Belanda kala itu tepatnya di jalur Semarang-Vorstenlanden atau saat ini jalur Solo-Yogyakarta.

Ah cerita ini jadi kemana-mana. Maklum, aku adalah mahasiswa jurusan ilmu sejarah di salah satu perguruan tinggi yang tanahnya sedang aku tinggali. Kota dingin favorit kawula muda untuk menimba ilmu, kota berjulukan Paris van East Java yaitu Kota Malang.

Nada dering khas stasiun menggema, suara wanita cakap beri informasi terdapat satu kereta masuk melalui peron satu. Aku sontak menengok jam tangan, kemudian mendongak menuju jam dinding, memastikan bahwa yang aku miliki tidak salah. Indra pendengar sekaligus menajam, menyingkirkan suara riuh berceloteh ria agar mendapatkan informasi armada yang datang.

“Kereta Penataran, jurusan Surabaya-Blitar-PP lewat Malang.” Otakku seolah mencatatkan pada buku kecil yang disebut memori. Dan aku bersiap diri, menggendong tas punggung serta menyampirkan tas bahu. Tak lupa, aku benahi letak earphone pun memilah lagu sembari jalan berdesakan dengan khalayak ramai.

Aku terjebak di antara lautan manusia penuh hawa nafsu, menggunakan egoisme masing-masing, tanpa mengindahkan hak orang lain. Bahkan, bapak seragam coklat berpangkat keamanan takut sendiri hadapi ratusan awak.

“Beri hak untuk yang turun dulu bapak, ibu sekalian!” Bicaranya lantang. Pun, suaranya seolah kapas tipis terhempas angin. Melayang menuju awang tanpa hambatan peduli.

Butiran air mengandung asam meluruh di bagian dahi. Aku beberapa kali melakukan gerakan menyeka walau hanya dengan kain kemeja. Jambul tertidur akhirnya mumbul akibat ku sisir helainya mundur.

Sepuluh menit waktu dibutuhkan agar dapat mengajak dua kakiku memijak baja bukan lagi tanah. Kini aku harus menyusuri dengan teliti, nomor kursi yang aku miliki. Aku hanya ingin segera duduk kembali, lelah bak suami pulang menuju istri setelah melawan kejamnya duniawi.

Aku terkadang benci situasi begini, ketika usahaku dikhianati. Ada kalanya aku mengerti mengapa bangku kereta api diberi nomor urutan. Tibalah aku berdiri, mematung pada sela isi dua berhadapan yang telah penuh. Herannya, mereka mendadak bisu, sibuk menggenggam dunianya sendiri.

“Permisi, maaf saya duduk di nomor 20E.” Ujarku menginterupsi. Jujur aku tak apa jika mereka hanyalah sekian dari salah satu orang yang punya tiket berdiri, atau insan dengan sifat pelupanya.

“Permisi, mbak ini nomor kursi saya.” Ulangku sekali lagi. Mereka mana tau mengeluarkan dua kalimat barusan amat menguras energi.

Apalagi setelahnya mendapat jawaban menyulut emosi. “Maaf, mas. Boleh tolong ngalah dulu nggak ya? Kasihan pacar saya ngantuk. Mas-nya kan cowok.”

Gila, mereka kira perjuanganku ini apa? Membuat reminder khusus beli tiket tujuh hari sebelum waktu keberangkatan hanya untuk disuruh mengalah.

“Mas, tau gak gunanya kursi gini dinomerin? Biar kalo keretanya nabrak bisa langsung identifikasi lewat data yang ada. Saya cuma mau hidup atau mati setelah sampai tujuan tetap pulang ke rumah saya kok, bertemu keluarga saya, mama, papa. Memang mas sama mbak mau mayatnya dikirim ke rumah saya? Terus orang tua kalian bingung cariin kalian?”

Patung, manusianya disihir jadi patung oleh tutur kata. Bibir bungkam mana sanggup melawan mereka kalah beranjak pulang. Finalnya, aku pun bisa menaruh barang, istirahatkan badan.

“Mas...” Suara panggilan sembari telapak tangan jatuh tanpa permisi menyentuh ujung celana. Aku hanya jawab bermain mata, sebarkan pandangan penuh tanda tanya.

“Terima kasih.” Ungkap pemuda bertopi yang ternyata si pemilik bangku depan. “Saya tadi mau negur mas yang tadi tapi sungkan.” Lanjutnya.

“Ohh,” lalu, aku tersenyum. “Iya, sama-sama”.


Aku tak pernah tau bahwa sosok manusia bisa begini mencuri perhatian. Parasnya, gerak-geriknya, tutur bahasanya. Aku hanyalah perantau kelewat cuek ketika dalam perjalanan transportasi umum. Lelaki ini adalah pengecualian, lelaki dengan topi hitam, berkaca mata, busana mahasiswa lengkap almamater universitasnya tentu berbeda. Jika ditanya apa yang buat perbedaan aku akan jawab tidak tahu, sebab hati punya alasannya tersendiri.

Kupandangi elok lekuk tubuhnya, netraku bak mesin pemindai, nihil sudut dilupakan. Dari mata bukan jatuh ke hati, namun jatuh pada warna biru yang sama dengan milikku. Bibir ini enggan bungkam, diam, sogokan rasa penasaran dari dalam menjadi motivasi menginterupsi.

“Anak almamater biru juga?” Sebuah pertanyaan tanpa pembuka aku layangkan untuknya. Fokusnya pada gawai berhasil aku curi atensinya.

“Iya,” Balasnya singkat langsung kembali lagi pada kegiatan mengetik.

“Jurusan apa?”

“Teknik sipil”

“Ohh,” Aku mengangguk paham. “Saya anak FIS jurusan ilmu sejarah. Oh iya, kenalin saya Build panggil Biu aja.”

Sejenak aku kira lelaki ini tipe si tampan nan angkuh. Melihat jawaban atas pertanyaan yang relatif secukupnya, pun dia membiarkan uluran jabatanku mengawang sekian detik.

Dia menyimpan gawainya, melepas topi hitam, perlihatkan surai panjang ciri anak teknik sebelum akhirnya menjawab dengan senyum manisnya. “Bible,” Ejanya.

“Bukan Bible milik barbie, tapi bahasa lain Alkitab.” Terusnya menjelaskan bagaimana menyebutkan muasal namanya.

“Oke, Bible.”

Kata mereka perkenalan membawa pada dunia baru, membuka lembaran putih bersih yang nantinya akan terukir kisah di antara benang merahnya aku dan dia. Sebab, setelah dia merapalkan namanya pun namaku intensitas dua arah kami meningkat. Hanya dalam waktu singkat, secercah informasi terungkap. Dia yang masuk sebab jatuh pada pilihan kedua, dan dia yang memilih Malang sebab Surabaya panas.

Bible, maksudku Kak Bibleㅡaku sebenarnya malu ketika dia menyatakan telah bergelut dengan berkas pendaftaran yudisium dan wisuda, yang artinya dia kakak tingkat jauh. Meskipun begitu, perangai santainya melingkupi kami berdua hingga nyaman terbentuk. Dia yang kosa katanya mudah dimengerti, dia juga yang diksinya mudah dimaknai. Berdua berceloteh ria tentang apa saja sepanjang jalur kereta api.

Mungkin almamater satukan jiwa kami, membahas lingkungan yang sama kami pijaki. Seringnya aku tak sengaja beramah tamah dengan prajurit Prabu Brawijaya. Mereka yang berdandan ala pemuda masa kini. Membual mengenai berbagai organisasi politik dengan nada menggebu suara tinggi, bercerita tentang gedungnya menjulang tinggi, atau rumputnya seluas negeri, dan membahas rahasia dunia gelap kampus yang mereka miliki.

Bercakap dengan lelaki satu ini, sama dengan membiarkan raga terlalu membuka diri. Kak Bible layaknya magnet bumi, menarik erat gravitasi makhluk yang meninggali. Dan aku bagaikan kaum feromagnetik, membiarkan jatuh hati sesuai intuisi tanpa bisa ditunda lagi.

“Stasiun depan aku turun.” Ucapnya beri informasi sekaligus berpamitan. Kak Bible bangun dari posisi, mengambil barang-barangnya pada bagasi besi.

Sungguh kecewa bertemunya kita akan segera mencapai tamat. Aku baru sadar, banyak bangku telah ditinggal sang pemilik yang turun pada stasiun pemberhentian.

“Kamu turun dimana?” Tanyanya.

Aku pun langsung menjawab, “Stasiun Gubeng. Pemberhentian terakhir.” Senyum getir terulas bersamaan nada bicaranya yang seiring malas.

Aku belum mau cerita tentang kita berhenti ditulis sampai sini. Masih banyak lembar kosong yang ingin aku isi. Aku merasa semakin kecil, gelisah mulai hadir seiring laju roda logam baja karbon tinggi perlahan berhenti.

Hingga akhirnya, aku putuskan untuk beranikan diri.

“Kak?” Seruanku sembari menggapai pergelangan tangannya.

“Ya?”

Gawai ku genggam bergetar, produksi peluh meningkat kali lipat. “Aku ingin kenal kakak lebih dari ini boleh?”

Alis tebalnya menyatu tanda heran nampak gawai yang coba aku serahkan, masih bisa terlihat jelas meskipun tertutup topi hitamnya. Setelah menimbang detik demi detik, aku bisa lepaskan helaan lega.

Masih tetap dengan senyum menawannya dia mengetikkan rentetan angka. “Kabari aku kalau butuh teman ngobrol dalam kereta.”

“Tentu.”

“Sampai bertemu lagi kalau begitu.”

Iya, sampai bertemu lagi.


`hjkscripts.


Bapak Point of view.

Ibarat sebuah kapal, saya tengah melakukan pelayaran. Bedanya, jika mereka ada tujuan tempat berlabuh maka kapal yang tengah saya kendalikan seorang diri pasrah terombang-ambing gelombang laut tanpa tau akan berhenti dimana.

Saya hanyalah seorang pria dewasa yang tengah dibuat pesakitan oleh cinta bak anak remaja.

Jatuhnya, bimbangnya, ledakan euphoria menyenangkan, hingga terakhir rasa sakitnya. Sudah saya lalui semua, kecuali yang terakhir. Ketimbang fase yang lain, yang ini ternyata bertahan lebih lama dan menyiksa. Rasa ini enggan minggir, hingga saatnya ditemukan pengganti.

Saya adalah si manusia yang pernah gagal perkara hati, saya baru tahu ketika dua yang saling mencintai bisa jadi saling melukai kala tak ada lagi letupan menyenangkan yang menggetarkan hati. Dan kami masing-masing akhirnya memilih pergi, mengakhiri kisah cukup sampai disini.

Dahulu, saya adalah nahkoda tamak sok perkasa yang ingin mengendalikan dua kapal sekaligus, memandu dua penumpang yang berbeda menuju pelabuhan tujuan.

Saya baru sadar bahwa ketamakan membawa bala. Dua kapal yang saya bawa sulit dikendalikan, mengakibatkan dua penumpang kecewa, yang berakhir meninggalkan saya.

Di tengah terombang-ambing oleh gelombang memabukkan kadang diterpa badai, diri saya diuji. Saya disuruh memilih salah satu dari delapan arah mata angin.

Disinilah saya, memacu armada dengan kekuatan penuh menuju utara. Pada akhirnya, dermaga pelabuhan ini jadi tempat saya memijak kaki sebagai langkah awal memulai kembali.

Saya berdiri dari balik tembok putih, mematung sekian menit hanya menatap parasnya dari jendela. Rasa rindu seketika menggebu, ingin segera berlari maju mendekapnya. Namun, saya tidak bisa.

Dia yang tengah berdiri di belakang mesin kopinya hanyalah mahasiswa saya yang entah bagaimana dipertemukan kedua kalinya dalam hubungan tabu tak boleh kasat mata. Dia yang sediakan saya rumah kedua, tempat mengadu, lokasi pelarian dari si tua dengan banyak masalah hidupnya.

Perihal perasaan, nyaman adalah titik balik hati saya. Nyaman ini buat saya jatuh, buat saya ingin miliki kamu seutuhnya. Manusia mana yang tak terbuai jika diberikan kenyamanan saat terjerembab pada palung terdalam kehidupan.

Raga saya beku, seperti ada rantai belenggu yang mengikat dua kaki saya kala senyum manisnya muncul. Senyuman itu saya belum pernah lihat sebelumnya. Dan saya yakin ada alasan mengapa dia enggan tunjukkan untuk saya.

Dia tidak bahagia bersama saya.

Ada sensasi perih ketika senyumnya makin lebar. Perih ini semakin meradang ketika saya mendengar tawanya hadir sembari menanggapi guyonan teman sejawatnya.

Saya ingin sapa kamu sekali lagi, setidaknya punya kesempatan satu lagi untuk berbicara dengan nada itu meskipun harus mengulang semuanya kembali.

Apa bisa? Apa kamu akan persilahkan? Jawabannya hanya ada di kamu dan aku akan menunggu itu.


`hjkscripts.


Nodt Point of View.

Gue gak pernah tau bagaimana prosesnya. Satu yang hanya gue tau, kini gue ada di sebuah kafe sepi bersama Nakunta dan bahu tegapnya yang sedang gue jadikan sandaran kepala.

Nyaman terasa ketika pertama kali kepala gue jatuh di atasnya. Gue ga pernah menyadari bahwa bocah kecil yang sedari dulu sering minta gendong sudah jadi sebesar ini. Bahkan, tingginya melampaui gue sendiri.

Bocah kecil yang dulu sering pulang nangis kala teman sebayanya menggoda dia. Bocah kecil yang hobi mengadukan perbuatan nakal temannya. Bocah kecil yang seringkali minta bantuan gue dan mas-nya untuk memarahi si nakal. Bocah kecil yang terbiasa mengharapkan sebuah perlindungan. Saat ini, dia mampu berdiri dengan kakinya sendiri, berjalan hanya berdua dengan bayangannya tanpa takut.

Bocah yang telah berubah jadi remaja SMA ini yang sekarang mampu jadi pelindung. Dia benar bisa diandalkan, jalan satu langkah lebih maju menjadikan tubuh besarnya sebagai perisai anti peluru.

“Mas lo apa kabar? Benci ke gue sebanyak apa? Pasti dia marah banget sama gue.” Gue bertanya dengan nada lemah. Dua manik gue meratapi lalu lalang kendaraan dari balik jendela kaca.

Nakunta merentangkan lengannya, melingkarkan pada sekitar bahu gue. Dia tarik tubuh ini agar semakin merekat dengan miliknya. Tak lupa, dia usap perlahan lengan atas gue berikan sedikit kekuatan beserta rasa hangat. “Gue juga marah sama lu, bukan cuma Mas JJ. Segitu nggak pentingnya kata-kata gue buat lu selama ini. Butuh berapa lama lagi gue jadi anak remaja dimata lu, Mas? Butuh berapa lama lagi sampai tiap kata gue valid?” Ujarnya dengan nada kesal. Namun, kepalanya ikut jatuh menimpa puncak kepala gue.

“Gue minta maaf...” Gue akhirnya menyesal. “Terus gue harus gimana?” Ucapan gue kali ini adalah sebuah bentuk kepasrahan. Pertanda gue kini ada dititik paling dasar dan gue menjulurkan tangan, berharap seseorang menarik gue keluar.

“Lu maunya gimana, mas?” Tanya dia balik yang pasti dapat jawaban berupa gelengan kepala.

“Gue maunya berhenti, tapi masih butuh dia. Kalo gue berhenti JJ bakal ga marah lagi sama gue, rumor yang lagi beredar akan reda, dan mantan bajingan gue ga akan nyiram minyak di atas bara api yang lagi berkobar. Tapi gue harus siap kehilangan mama gue.”

“Tolol.” Dahi gue kena sentil bocah. “Emang lu Tuhan bisa nentuin kapan waktu meninggalnya manusia!” Lanjutnya.

Bener, gue emang bukan Tuhan yang apapun dalam hidup gue adalah sepenuhnya kehendak gue. Tapi, gue cuma manusia biasa. Laki-laki yang sedang jaga mamanya yang punya cancer stadium akhir. Bisa apa selain terus menurunkan ekspektasi. Bisa apa selain berdoa pun menyiapkan diri.

“Gue mau nanya deh mas?”

“Hmm?”

“Lu sama pak dosen sejauh apa?”

Pertanyaan yang mendadak muncul dari bibir cowok SMA ini sebenarnya cukup mudah untuk dijawab. Entah gue yang udah jadi bego, sehingga otak gue mengalami perlambatan daya kerja sampai susah mau kasih respon.

“Ya disitu-situ aja. Sebatas kupu-kupu butuh nektar tanaman buat makan, dan bunga yang pengen dibantu penyerbukannya.”

“Disitu-situ aja tuh maksudnya udah jalan dari Surabaya, tapi nggak sadar udah sampai Amerika? Mas, lu sama dia udah bukan lagi kategori simbiosis. Jatuhnya udah main pake perasaan.”

Demi apa ini anak ngelantur kejauhan. Gue tarik kepala gue dari sandaran nyaman bahunya. “Kok ini jadi kemana-mana sih? Gue lagi cari solusi bukan perkara hati.” Gue tatap muka sebel.

“Oke, mas dengerin gue.”

Tolong gue mulai takut! Apalagi ketika dia atur posisi kursi dan tubuhnya menghadap ke gue penuh. Wajahnya serius, gue bisa tau dari dua alis tebalnya yang hampir menyatu.

“Solusinya cuma milih. Dan pilihannya ada tiga.” Tuturnya. Gue makin gugup kala netra sipitnya mencoba mengunci milik gue.

“Banyak amat tiga?!” Gue tertawa hambar, coba cairkan suasana yang mendadak sunyi, senyap. “Terus mana yang paling banyak benefitnya buat gue?”

“Lu pilih mantan lu lah mas!” Jawabnya enteng.

Gue ga bisa buat ga reflek geplak kepalanya. Gila apa yak harus balikan sama cowok bajingan kayak dia. Definitely no!.

“Kalo gitu pilih gue, mas.”

Harusnya gue bisa ketawa geli seperti biasa saat anak ini umpankan pernyataan cinta. Berapa kali sudah bibirnya lantunkan kalimat demikian yang tentu bagi gue hanya modus sampis belaka.

Namun, khusus hari ini gue akhirnya bisa lihat betapa seriusnya dia. Bagaimana raut wajahnya penuh harap menunggu jawaban dari gue.

Kali ini gue beneran cuma bisa diem. Apalagi, masih bersemayam dipikiran gue bahwa apapun yang terlontar dari cakapnya adalah valid. Gue takut buat jawab, karena apapun itu gue akan jadi belati yang tega menggores hatinya.

Atas keterdiaman gue, akhirnya timbul ulasan senyum getir. Dia telah memilih menjadikan bungkam sebagai sebuah jawaban final atas pertanyaannya.

“Kalau bukan gue orangnya, lantas harusnya yang terakhir. Pak dosen...”

Kala kata 'Pak dosen' disebutkan, gue merasakan satu degupan kencang. Seolah gue adalah mayat yang diberi kesempatan hidup kembali dari mati.

Gue ingin berteriak saat ini juga bahwa Iya! gue mau lelaki satu itu!.

“Jangan ngarang, gue ini mau lepas dari dia. Lagi pula dia sudah punya suami.” Dan akhirnya...gue memilih mengelak.

“Maka jalan terakhir adalah adil, mas. Jangan pilih semua dan coba jadi kuat, berdiri dengan kaki mas sendiri. Bisa?”

Gue ga tau, apa gue bisa?


`hjkscripts.


Nodt Point of View.

Berjalan bersisihan dengan bapak adalah hal paling menyenangkan dalam hidup. Gue bisa menjabarkan mengapa hanya merasakan eksistensinya perasaan nyaman itu muncul.

Satu, bapak suka tiba-tiba menautkan jemarinya dengan milik gue, seolah gue adalah benda paling berharga yang ga boleh hilang dari penjagaannya. Tautan kita akan terayun sesuai ritme langkah kaki.

dua, bapak akan berjalan di sisi bahaya, dan ketika gue refleks ada di sisi sana bapak dengan cekatannya pindahkan tubuh gue ke zona aman.

Ketiga, ini akan jadi posisi favorit gue. Ketika netra jadi saksi paras tegasnya perlahan mendekat dan tubuh gue akan berubah jadi aneh namun menyenangkan, berakhir kelopak mata tertutup sembari harap-harap cemas menunggu momen itu terjadi.

Lima senti...

Tiga senti...

Dua senti...

Satu...

“Ada bini doi, nikahnya di Belanda.”

Dan kali ini, gue memilih menghindar...

Gue gugup, kepala ini mendadak pening. Sedangkan, bapak menatap gue bingung. “Kamu kenapa?”

Apakah ini waktu yang tepat untuk mengais kebenaran? Atau menunggu nanti, ketika kami berdua telah duduk santai di rumah tanpa jaminan gue ga tenggelam lagi dalam pesonanya.

“Pak, tolong jawab pertanyaanku dengan jujur.” Gue beri jeda sebelum bertanya, tenggorokan gue seketika kering hingga harus meneguk ludah sendiri agar basah kembali.

“Kamu udah punya suami?”


Nodt Point of View.

Lagi-lagi gue menertawakan diri sendiri. Pada dini hari yang amat tenang, gue dibuat panik sama mama yang tiba-tiba drop. Panik, bahkan buat panggil dokter pun otak gue butuh waktu buat jalan. Yang bisa gue lakukan hanya manggil kata mama hingga perawat datangi kamar inap.

Puncak komedi dari sitkom ini adalah gue si kalut butuh pegangan. Bukan tembok bata, apalagi tiang bendera. Tetapi dia adalah sosok yang tubuhnya mampu gue buat bersandar. Dari sekian manusia yang punya relasi dengan gue, paras dewasanya sekelebat unjuk diri.

Dia dan gue seolah saudara kembar punya koneksi batin. Di saat gue butuh dia, di sana dia sedang mencari keberadaan gue. Di sinilah dia, duduk temani gue tanpa kata. Aneh, keberadaannya buat gue tenang. Wangi tubuh yang bisa gue cium bak aromaterapi yang mampu usir kelabu menyelimuti tubuh.

“Saya sudah lunasi biaya pengobatan mama kamu. Kenapa kamu gak bilang ke saya?”

Karena aku ingin perlahan lepas dari kamu.

Pada kenyataannya, dia yang gue cari pertama kali ketika gue butuh, dia yang gue panggil ketika gue sedang ditekan keadaan. Dan gue, gue bergantung sama dia.

“Bapak kenapa malem-malem cari aku?” Gue balik bertanya, lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan.

Dia mendengus, tersenyum miring seakan pertanyaan gue lelucon. “Kamu alihkan pembicaraan.” Ujarnya.

“Pak, berantem dalam rumah tangga itu bisa kok dihindari. Bapak tuh harus kurangi ego-”

“Saya digugat cerai sama suami.”


Nodt Point of View.

Pilihannya hanya memilih, gue mana boleh tamak. Pun, gue tau setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang akan gue hadapi. Meskipun itu adalah kematian.

Dan pilihan gue jatuh pada berhenti serta meninggalkan. Bener kata Nakunta, kalau gue ga bisa memilih maka jalannya tidak ada yang boleh dipilih. Sebagai konsekuensi, gue jadi sosok lemah yang tiap hari nangis sebab rasa bersalah terus hadir lihat mama terus memburuk. Sepeser uang yang berhasil gue himpun dari keringat gue ga akan pernah cukup untuk tunjang hidupnya. Terakhir, gue akan terus menurunkan ekspektasi dan bersiap diri hingga kini, kepergiannya hanya tinggalkan sedikit sakit di hati.

Katanya tujuh langkah orang terakhir yang meninggalkan makam, malaikat akan datang. Kini hanya gue sendirian, meratapi makam yang masih basah dan akan bertambah semakin basah seiring datangnya gerimis.

“Ma, udah ya. Aku titipin mama sama malaikat aja.” Batinku merana. Gue udah ga bisa bedain yang luruh dari pelupuk mata adalah air hujan atau air mata.

“Mama mah enak, pas aku pergi nanti ada yang bakal temenin. Lah aku? Aku sekarang sendirian di sini. Tapi gapapa, aku lega malah kalo mama ga sendirian. Nodt pamit ya, ma. Mama bahagia di sana.” Monolog terakhir sembari mengusap rupa gue yang makin kacau.

Gue berbalik, gue baru tau makam pagi ini amat sunyi. Ada kabut dan rintik air semakin deras yang bikin jarak pandang semakin menipis.

Satu...dua...tiga...

Empat...lima...enam...

Gue berjalan menunduk, seraya menghitung tiap langkah dalam hati

“Tu-” Dan gue berhenti kala ujung sandal gue bersentuhan dengan ujung sepatu hitam.

Netra gue layaknya mesin pemindai. Gue ikuti lekuk tubuhnya dari bawah hingga atas. Ketika bertemu dengan pandangannya, gue mendadak lemas, tangis gue semakin keras, dan biarkan tubuh gue jatuh dalam dekapannya.

Sorry, sorry gue telat.” Dia berbisik sembari mengusap tubuh gue.

Gue jatuh, dia menangkap gue, ga peduli sekarang dua raga kami dihantam air hingga kuyup.

“Jey, gue harus gimana sekarang. Gue sendirian, gue ga punya apa-apa.” Gue mengadu bersama isakan yang udah ga bisa gue tahan.

“Lu punya gue, lu akan selalu punya gue. Gue akan selalu ada buat lu.” Katanya berbisik. Ucapnya bagai obat penenang yang mampu sembuhkan kegelisahan.

“Bawa gue pergi...kemana pun asal ga disini. Gue mau pergi.”

Gue akhirnya putuskan untuk melarikan diri sejenak daripada berdiri sok tegar menghadapi.



Nodt Point of View.

Bener kata sobat gue, perkara akademisi otak gue boleh diadu tapi buat perkara romansa auto jadi orang goblok.

Perth ini udah jadi mantan, ga bisa bilang terindah sebab gue hampir trauma jalan sama dia. Dia si egois, kepala batu, dan lumayan abusive kalo emosinya dipuncak. Katanya, gue orang paling beruntung, bisa lepas dari lapas tak kasat matanya bersih, mulus, sehat jasmani dan rohani. Mantannya dulu minimal ada tiga plester buat nutupin luka.

Pun, katanya lagi Perth memang lagi agak kalem, waras psikisnya ketika jadi sama gue. Dia yang matanya pancarkan binar ketika ngobrol sama gue, dia yang senyumnya semanis larutan gula, dan dia yang perilakunya lembut hanya untuk gue.

Gue ga bisa ngelak, kalau memang disuruh bikin testimoni rasanya pacaran sama Perth, gue akan mengaku bahwa nilai value-nya dia memang setinggi itu.

Namun, dalam pencarian cinta untuk diri gue sangat mengajukan kenyamanan, dan hal itu ga bisa gue dapat dari sosok lelaki berdarah campuran Australia ini. Selalu ada ketakutan saat berada di dekatnya.

Kepala gue menengadah, hari nampaknya telah jadi semakin gelap hingga serbuk berlian berpendar kilaunya di angkasa. Angin berkecepatan konstan terus berhembus menemani gue.

Pandangan gue lurus ke atas, kelihatannya kosong. Siapa yang tau bahwa dalam pikiran gue penuh sesak. Rasanya gue mau sewa jasa gulung benang, sebab yang ada di dalam sana bagaikan benang jahit kusut tak berujung.

Deru mesin mobil jadi pengacau ketenangan. Gue yang udah sampai tahap bikin fake scenario kehidupan diri sendiri sebagai pangeran di negeri barbie harus berhenti sampai di sini. Mobil warna item itu berhenti tepat di depan rumah gue. Selanjutnya, suara berdebam terdengar diikuti langkah kaki seseorang mendekat pintu pagar.

Gue beranjak, rapihin sedikit piyama tidur yang gue kenakan. Ga ada ragu, malah penuh penasaran akan siapa yang bertandang malam begini.

“Loh, bapak?” Gue tentu terkejut. Dari sekian banyak probabilitas yang ada, sosok pertengahan tiga puluhan ini yang muncul.

Gue buka pagar lebih lebar, gue berdiri menyamping tanda persilahkan laki-laki ini masuk.

“Saya kira kamu sudah tidur, beberapa kali saya telpon gak terjawab.” Ujarnya sembari gue persilahkan duduk. Gue pun begitu, refleks cari posisi terdekat dengan bapak.

Gue tersenyum malu, “Iya tadi lagi sibuk.” Elak gue. Sibuk, sibuk jadi pemimpi.

“Ini, buat kamu.” Gue tau dia memang bawa beberapa tentengan tas belanja dan keresek. Tetapi, gue adalah si anti kepedean. “Kamu kelihatan banyak terdistraksi belakangan ini.” Lanjutnya.

Sebelum gue berhasil melayangkan somasi, dia berhasil bungkam bibir gue dengan salah satu jarinya.

“Jangan ditolak, saya mohon.” Pintanya putus asa. “Anggap saja hasil kerja keras kamu.” Finalnya.

Melihat bapak sampai memohon bikin perasaan gue terenyuh. Gue ga lagi sanggup buat keluarkan senjata penuh penolakan. Gue hanya sanggup terdiam, amati raut wajahnya, bidik dua manik matanya tepat dengan milik gue. Dia itu paling hebat buat gue luluh dan jatuh akan perintahnya. Gue dibikin ga bisa ambil keputusan lain.

Bahkan ketika belah bibir gue diusap perlahan pun tak ada suatu reaksi penolakan pasti. Seluruh tubuh ini beku, otak mati fungsi akibatkan kinerja yang lain mendadak ga karuan kala dia memegang kendali atas dagu gue. Dari jarak sedekat ini, gue dapat saksikan bagaimana perlahan wajahnya maju hingga hembusan nafas penuh nafsu kini menerpa permukaan wajah.

Aneh, perasaan ini selalu muncul ketika bapak memperlakukan gue demikian. Perasaan menggelitik dalam perut yang mereka definisikan sebagai butterfly effect, perasaan berdesir kala darah mengalir cepat melewati tiap pembuluhnya akibat meningkatnya kinerja jantung.

Jujur...gue suka perasaan ini, gue selalu suka euphoria detik-detik dua bibir saling bertemu.

Saat keduanya saling melingkupi satu sama lain, terciptalah birahi. Mereka bergerak dari bawah, berlari melawan gravitasi bersama tiap lumatan, hisapan, dan peraduan dua benda lunak menuju pusat kendali yang tengah menghadapi hilangnya konstitusi.

Jika mereka berhasil, kesadaran dan kewarasan akan duniawi diambil alih. Keduanya diasingkan, disubstitusi dengan erotisme. Hingga dua manusia jadi liar, tak terkendali. Dua tubuh berjarak perlahan menjadi satu, bergerak anarkis mencari puncak pelepasan hingga sorak-sorai berupa desisan lega dilayangkan.

Terakhir, dua manusia ini akan terengah dalam balutan basah oleh campuran peluh dan si putih.


`hjkscripts.