a biblebuild au
FFestivalGelembung ; @gelembungfest
Museum Ambarawa, Jawa Tengah
Bible Point of View.
Entah apa yang dipikirkan pasang delamak kaki hingga berakhir berdiri di tempat ini. Aku hanyalah pria si patah hati yang tengah mencari konsolasi. Tadinya aku menginjak tanah Semarang, kini raga telah berdiri di atas tanah penuh cerita, Ambarawa si kota sebrang.
Kemarin malam aku terlibat obrolan ringan dengan pakdhe. Lengkap kopi hitam pahit ditambah gorengan sukun dan pisang. Aku haturkan maksud bertandang, berangkat jauh dari Surabaya tak peduli banyak yang menghadang.
Masih terasa punggung dibelai, masih terngiang berbagai wejangan yang beliau bagi. Hingga terakhir aku bertanya, “Pakdhe, kalau mau cari wisata yang enak dimana, nggih?”
Di sinilah aku saat ini, ikuti sebuah instruksi. Berangkat pagi sekali hingga dua netra bisa nampak kereta api.
“Untuk berapa orang, mas?” Aku pun menunduk. Sejajarkan kepala dengan lubang kecil jalur tiket yang terlahir.
“Setunggal, pak.”
Satu tiket muncul dari dalam, ditukar uang kertas seharga sepadan. “Monggo, mas. Selamat menikmati.”
“Nggih, matur nuwun.”
Sepi menghadang, sejauh selayang pandang. Maklum, aku datang bukan pada musim berlibur. Aku melangkah, sedikit demi sedikit, perlahan begitu pasti sambil amati peninggalan masa lalu pasal kereta api.
Aku juga bertanya-tanya pada diri mengapa memilih museum sebagai tempat untuk sejenak menepi dari hingar-bingar duniawi. Bukan eling bening atau rawa pening, bukan juga saloka atau monumen terkenal Ambarawa. Aku hanya mengikuti nurani, juga berdasar memori.
“Stasiun Ambarawa dulunya diberi nama Stasiun Willem I sesuai dengan nama penguasa Belanda kala itu. Stasiun ini dibangun agar mobilisasi logistik dan keperluan tentara KNIL tercukupi. Jalur Ambarawa terhubung hingga Semarang resmi selesai dibangun pada tahun 21 Mei 1873.”
Masih sibuk mengamati, bekas lokomotif berbahan besi. Saking terasa sepi, suara pemandu mengalun merdu bak seekor burung kenari. Tata bahasanya rapi, cakap sehingga mudah dimengerti.
Aku jadi teringat seseorang, hampir tiga tahun lalu yang tak sengaja bersinggungan di atas gerbong kereta. Lelaki yang memutuskan untuk terus pulang-pergi bersama menuju tanah rantau. Lelaki yang akan bercerita tentang dinamika masa lalu seolah dia ikut terlibat di dalamnya.
Tawa geli pun muncul, ditambah penasaran pula ikut timbul. Iya juga ya, Biu gimana kabarnya sekarang?
Mulai berkelana bersama, berjanji menua hingga tiba pada ujung dunia. Belum juga jalan sepertiga, genggaman erat akhirnya dilepas jua. Kisahku memang mendatangkan iba, dan aku bersaksi memang sedang tidak baik-baik saja.
Jatuh air dari pelupuk mata, bukan sebab menonton keindahan semesta. Aku tengah duduk, membiarkan luka yang telah lama dipaksa tutup agar terbuka, menganga hingga darah mengucur ria. Aku enggan menahan lagi, banyak waktu panjang terbuang akibat terlalu banyak aku belari. Kini, di dalam gerbong sepur uap yang tengah beroperasi, akan menjadi akhir destinasi manusia dengan lara hati.
Cuap-cuap manusia, lelaki tidak boleh lemah menderita. Pula realita berkata sebaliknya. Rasa sakit datang tanpa memandang, rasa sakit tak bisa menghitung berapa kadar penyiksaannya sebelum menginfeksi jadi radang. Lihat aku saat ini, lelaki penyendiri yang sedang meratapi suratan takdir.
Kilas sinetron akhirnya terputus akan improvisasi mengejutkan yang datang dari sebuah lengan tengah menyodorkan sapu tangan. Aku melirik dari ujung mata basah, menghapus dulu jejak air mata sebelum sambut sosok remaja.
Aku sanggupnya melongo akan sosok yang hadir di tengah gerbong kosong.
“Ternyata aku nggak salah orang. Kak Bible, apa kabarnya?” Remaja itu ikut duduk, mengambil posisi di hadapanku, masih percis seperti beberapa tahun lalu.
“Biu? Biu ya?”
Aku mengamati almamater biru yang dulu masih sering tersampir di pundakku. Tag nama di dada sebelah kiri menjadi validasi bahwa dia orang yang memang pernah aku temui.
“Dunia itu aneh ya kak. Dari sekian kota besar yang banyak dikunjungi orang, kok bisa ketemu lagi di sini. Ini Ambarawa loh kak, bukan Semarang atau Yogyakarta.”
Benar, dunia itu aneh. Namun, keanehan ini mampu menjawab rasa penasaran Mengapa hati nurani berunding dengan pusat kendali tubuh manusia dan memerintahkan mereka bergerak menuju Ambarawa. Ternyata ini alasannya, ternyata dia alasannya. Pun aku sadar, pertemuanku dengan Build kali ini bukan sekedar kebetulan semata. Aku yakin ada maksud dibaliknya, dan maksud itu masih menjadi lanjutan kisah jumpa tiga tahun lalu yang sebenarnya belum usai.
“Kamu ngapain di sini?” Tanyaku, mengutarakan satu persatu rasa ingin tahu.
Build belum berhenti tersenyum, kenapa anak ini begitu bahagia berbanding terbalik dengan suasana diriku. “Aku magang kak di sini. Kadang jaga loket tiket, kadang jadi tour guide gini. Kalo Kak Bible gimana? Pasti udah kerja ya? Kok kakak gak pernah hubungi aku lagi sih?” Benar ternyata, suara yang tadi aku dengar memang berasal dari seekor burung kenari yang tengah berbagi informasi.
“Satu-satu, Biu.”
“Hehehe,” Tawanya menguar, masih lucu sama seperti dulu.
“Abisnya aku seneng banget bisa ketemu kakak lagi. Terakhir aku chat gak ada balesan.”
“Maaf,” Ujarku pertama-tama. Lalu aku menjelaskan, kejadian konyol di Nusa Dua. “Nomorku ganti, Biu. Hapenya jatuh dua tahun lalu waktu liburan di Nusa Dua. Naas, jatuhnya ke laut bukan kolam renang.” Singkat kisah lawas dibalas kelakar, menertawakan betapa konyolnya aku dihari itu.
Kemudian obrolannya berlanjut, sebagian besar berisi pertanyaan retoris. Hingga, tiba juga pada sebuah lingkup pertanyaan yang harus siap aku hadapi. Pertanyaan terduga, juga sepanas bara api.
“Kak Bible, apa sudah menikah dengan pacarnya yang dulu sempat dikenalkan ke aku?”
Aku tau Build tak bermaksud menyinggung, toh dia belum tau pasal kejadian satu itu. Kejadian yang membuat Bible berakhir lemah di atas kereta wisata yang tengah membawa manusia penuh suka cita. Build berhak atas pertanyaannya, karena dia pula sempat kukenalkan dengan sombongnya.
“Satu minggu sebelum acara pernikahan kami, dia bilang rasa cintanya hilang ditelan bumi. Rasa sayangnya buat saya habis terkikis. Hari itu dia berseru, orangnya bukan lagi aku.”
“Kak,” Build meletakkan telapaknya di atas paha berlapis kain jeans. Sebuah gestur kebiasaan milik Build jika sedang tertawa, terkejut, atau memulai konversesi. Kali ini gerakannya membelai, pertanda tengah menenangkan. Ada nada sungkan dan khawatir melalui tutur katanya.
“Maaf, kak. Aku gak bermaksud-”
“Gak apa-apa,”
Iya aku gak apa-apa.
“Gak apa-apa kok, Biu. Aku baik-baik aja.”
Iya, aku yakin sudah baik-baik aja.
Tepat kereta berhenti, kami berasamaan turun tapaki bumi kembali. Sebelum berpisah, tiba-tiba ada kalimatnya muncul di atas tumpukan beragam memori.
“Biu,” Aku lancang memanggilnya di tengah gerombolan pribumi.
“Ya?”
“Tentang hadiah wisuda yang dulu ingin kamu beri, apa masih bisa aku ambil? Kamu bilang, harus aku yang datang sendiri.”
Stasiun Tawang, Semarang
Aku bersaksi tiada siapapun yang bisa membikin rumit skenario kehidupan selain Tuhan sang penguasa umat manusia. Tiada siapapun yang sanggup bolak balikan hati selain sentuhan-Nya sendiri.
Aku masih sulit percaya bisa duduk berdampingan dengan Build seperti cerita lama. Pembedanya adalah, jika dulu aku menunggu seorang diri, menunggu Build dan Penataran bergerak dari peraduannya. Kini aku telah bertemu kembali dan akan pulang bersamanya lagi.
“Ini, kak.” Build menyerahkan kotak sedang berpita. Masih tetap cantik meskipun warna kertasnya mulai memudar lusuh.
“Apa ini?”
“Itu, itu yang kamu tanyakan kemarin. Hadiah wisuda yang belum sempat aku anter ke kamu. Aku selalu bawa kemanapun tempat aku berpijak.”
Hangat telapak tangannya menembus kulit, mengalir cepat melalui syaraf lalu menenangkan hati. “Jangan dibuka sekarang,” Pintanya.
Lantas Build tersenyum ditengah raut kebingunganku, “Nanti aja di atas gerbong. Tapi kalau sudah tau isinya jangan buru gegabah cari aku di gerbong lain. Kakak yang putuskan, aku serahkan semuanya ke Kak Bible.”
Untuk Kak Bible,
Si pemilik kursi 21E
Sebelum secarik kertas ini mengumbar pengakuan atas diriku izinkan dahulu kata maaf muncul sebagai pembuka atas kelancanganku. Kak Bible, aku haturkan beribu terima kasih atas waktu yang kamu bagi untuk hadapi aku yang berlagak seperti bayi. Terima kasih sudah menemani pulangku hingga pergiku turut Penataran bersama segala sifat baikmu. Seluruh ceritaku kamu dengar dengan baik, candaku kamu kembalikan tepat pada tempatnya, dan sedihku kamu tampung dengan sabar sembari beberkan berbagai nasehat pula jalan keluar.
Sekali lagi maaf jika aku lancang sebab diriku nyaman. Kalau boleh, bersama torehan tinta di atas putih, serta sepasang sandang untuk memperingati hari bahagiamu, aku titipkan hatiku untuk ditukar dengan milikmu.
ㅡ Build Jakapan.
`hjkscripts.