anagapesis.


a biblebuild au

FFestivalGelembung ; @gelembungfest


Build Point of View.

Masih basah dalam ingatan akan kedatanganmu di malam hari. Nyanyian jangkrik terdengar hebat sebab diiringi musik sunyi. Kubuka pintu pagar yang mana menjadi pembatas antara kita berdiri. Kamu berkata ada hal yang harus diselesaikan sebelum datangnya mentari.

Aku kikuk, dengan bodoh berdiri geming menunggu sebuah kebiasaan. Tanganmu kala itu enggan terentang lebar. Seolah itu sebuah pintu tertutup menolak kehadiran. Setidaknya bibirmu, aku tidak berharap ciuman, cukup ungkapan sapa beserta senyum manis terumbar.

Tubuh besarku refleks menyingkir ke kiri, memberi izin bagimu untuk menginvasi. Lantas pagar kembali aku tutup, mengikuti langkahnya menuju dalam masih bersama bibir mengatup.

Hari sudah masuk dini, namun kita malah duduk berhadapan bukannya berpeluk mesra di bawah temaran lampu menjelajah mimpi. Bersama perangaimu yang tak sehangat biasanya, bersama aku... aku dan seribu kalimat tanya yang sulit mengudara.

Harusnya aku tak perlu gugup, harusnya percaya diriku membumbung tinggi menyambut hadirnya kamu penuh suka cita. Menciptakan suasana seceria mungkin, menangkis hawa dingin di antara kita. Kali ini ternyata dilematis, aku memilih pasrah. Mempersilahkan kamu duduk gunakan gerak raga pun menyajikan air mineral dingin bak sosok tuna wicara.

Dini hari harusnya jadi waktu paling sunyi. Pengecualian untuk diriku, untuk segala gemerisik rusuh dalam pikiranku sendiri.

“Biu...” Dia memanggilku. Gelanyar aneh selalu hadir diikuti suara lembut berisi namaku.

“Biu...” Ulangnya sekali lagi.

Cukup, jangan panggil begitu jika tujuanmu bukan untuk memanggil senyumku. Jangan panggil begitu jika tujuanmu bukan untuk merangsang debaran jantungku.

“Kamu baik, Biu.” Lanjutnya. Aku masih ragu, menolak menerka-terka ujung dari dialog dini hari. Masih terlalu abu mengarah pada negatif, pula terlalu takut menginjak konklusi positif. Bible, lelaki yang tengah duduk berhadapan denganku. Lelaki yang telah menggenggam jemariku selama hampir lima tahun sukar dibaca.

Aku tersenyum getir, “Maksud kamu apa?” Akhirnya, aku sanggup berkata-kata. “Maksud kamu apa bilang begitu?” Cecarku menuntut. Build kamu ini bukan lelaki dengan batasan sabar tinggi.

“Kamu baik, sampai terlalu baik untuk aku.”

Kini aku seolah bermain puzzle, mengumpulkan potongan-potongan pasal maksud dan tujuan. Bagai puzzle milik anak taman kanak-kanak, dimana hanya cukup tiga untai kalimat aku semakin tau kemana arahnya dia membawaku. Dia memakai sayap, menopang tubuhku untuk dibawa terbang menuju langit ke tujuh. Perlahan kepakannya semakin berat, hingga tibalah diakhir hayat cerita kita menuju tamat.

“Kamu pasti bisa temukan lelaki lain yang banyak lebihnya daripada aku.” Lirihnya.

Aku dijatuhkan dari gagah lengannya. Aku terjun, bebas tanpa hambatan, dihempas kuat ditambah hembusan pawana menuju bentala. Aku kembali, menapak kaki bersama raga diri. Pun dalamnya kosong, semuanya ada hanya saja rasanya kopong. Pikirannya, hatinya, debaran jantungnya dirampas raib semua.

“Kita berakhir sampai sini, ya?” Kini potongan puzzle itu lengkap. Bagai dihujam belati, Bagai tertusuk jutaan duri bunga paling indah di bumi. Hatiku sakit, sakit sekali siapa yang bisa obati?

Bible, aku mohon jangan begini.

Beraninya kamu masih bertanya jika tak ada pilihan jawaban selain iya. Beraninya kamu mengambil keputusan sendiri dan menyudutkan aku dipojok begini. Aku harus apa? Aku harus bagaimana?

“Biu...” Ini adalah terakhir kalinya dia memanggil namaku dengan suaranya yang syahdu.

Aku mana punya pilihan, iyakan? Bahkan melontar tanya pun rasanya sia-sia. Maka aku mengangguk, silih berganti dengan air mata yang entah sejak kapan luruh.

Iya, kita selesai sampai di sini. Kisah cinta kita selesai dalam dialog dini hari.


`hjkscripts.