nakunta dan bahunya.


Nodt Point of View.

Gue gak pernah tau bagaimana prosesnya. Satu yang hanya gue tau, kini gue ada di sebuah kafe sepi bersama Nakunta dan bahu tegapnya yang sedang gue jadikan sandaran kepala.

Nyaman terasa ketika pertama kali kepala gue jatuh di atasnya. Gue ga pernah menyadari bahwa bocah kecil yang sedari dulu sering minta gendong sudah jadi sebesar ini. Bahkan, tingginya melampaui gue sendiri.

Bocah kecil yang dulu sering pulang nangis kala teman sebayanya menggoda dia. Bocah kecil yang hobi mengadukan perbuatan nakal temannya. Bocah kecil yang seringkali minta bantuan gue dan mas-nya untuk memarahi si nakal. Bocah kecil yang terbiasa mengharapkan sebuah perlindungan. Saat ini, dia mampu berdiri dengan kakinya sendiri, berjalan hanya berdua dengan bayangannya tanpa takut.

Bocah yang telah berubah jadi remaja SMA ini yang sekarang mampu jadi pelindung. Dia benar bisa diandalkan, jalan satu langkah lebih maju menjadikan tubuh besarnya sebagai perisai anti peluru.

“Mas lo apa kabar? Benci ke gue sebanyak apa? Pasti dia marah banget sama gue.” Gue bertanya dengan nada lemah. Dua manik gue meratapi lalu lalang kendaraan dari balik jendela kaca.

Nakunta merentangkan lengannya, melingkarkan pada sekitar bahu gue. Dia tarik tubuh ini agar semakin merekat dengan miliknya. Tak lupa, dia usap perlahan lengan atas gue berikan sedikit kekuatan beserta rasa hangat. “Gue juga marah sama lu, bukan cuma Mas JJ. Segitu nggak pentingnya kata-kata gue buat lu selama ini. Butuh berapa lama lagi gue jadi anak remaja dimata lu, Mas? Butuh berapa lama lagi sampai tiap kata gue valid?” Ujarnya dengan nada kesal. Namun, kepalanya ikut jatuh menimpa puncak kepala gue.

“Gue minta maaf...” Gue akhirnya menyesal. “Terus gue harus gimana?” Ucapan gue kali ini adalah sebuah bentuk kepasrahan. Pertanda gue kini ada dititik paling dasar dan gue menjulurkan tangan, berharap seseorang menarik gue keluar.

“Lu maunya gimana, mas?” Tanya dia balik yang pasti dapat jawaban berupa gelengan kepala.

“Gue maunya berhenti, tapi masih butuh dia. Kalo gue berhenti JJ bakal ga marah lagi sama gue, rumor yang lagi beredar akan reda, dan mantan bajingan gue ga akan nyiram minyak di atas bara api yang lagi berkobar. Tapi gue harus siap kehilangan mama gue.”

“Tolol.” Dahi gue kena sentil bocah. “Emang lu Tuhan bisa nentuin kapan waktu meninggalnya manusia!” Lanjutnya.

Bener, gue emang bukan Tuhan yang apapun dalam hidup gue adalah sepenuhnya kehendak gue. Tapi, gue cuma manusia biasa. Laki-laki yang sedang jaga mamanya yang punya cancer stadium akhir. Bisa apa selain terus menurunkan ekspektasi. Bisa apa selain berdoa pun menyiapkan diri.

“Gue mau nanya deh mas?”

“Hmm?”

“Lu sama pak dosen sejauh apa?”

Pertanyaan yang mendadak muncul dari bibir cowok SMA ini sebenarnya cukup mudah untuk dijawab. Entah gue yang udah jadi bego, sehingga otak gue mengalami perlambatan daya kerja sampai susah mau kasih respon.

“Ya disitu-situ aja. Sebatas kupu-kupu butuh nektar tanaman buat makan, dan bunga yang pengen dibantu penyerbukannya.”

“Disitu-situ aja tuh maksudnya udah jalan dari Surabaya, tapi nggak sadar udah sampai Amerika? Mas, lu sama dia udah bukan lagi kategori simbiosis. Jatuhnya udah main pake perasaan.”

Demi apa ini anak ngelantur kejauhan. Gue tarik kepala gue dari sandaran nyaman bahunya. “Kok ini jadi kemana-mana sih? Gue lagi cari solusi bukan perkara hati.” Gue tatap muka sebel.

“Oke, mas dengerin gue.”

Tolong gue mulai takut! Apalagi ketika dia atur posisi kursi dan tubuhnya menghadap ke gue penuh. Wajahnya serius, gue bisa tau dari dua alis tebalnya yang hampir menyatu.

“Solusinya cuma milih. Dan pilihannya ada tiga.” Tuturnya. Gue makin gugup kala netra sipitnya mencoba mengunci milik gue.

“Banyak amat tiga?!” Gue tertawa hambar, coba cairkan suasana yang mendadak sunyi, senyap. “Terus mana yang paling banyak benefitnya buat gue?”

“Lu pilih mantan lu lah mas!” Jawabnya enteng.

Gue ga bisa buat ga reflek geplak kepalanya. Gila apa yak harus balikan sama cowok bajingan kayak dia. Definitely no!.

“Kalo gitu pilih gue, mas.”

Harusnya gue bisa ketawa geli seperti biasa saat anak ini umpankan pernyataan cinta. Berapa kali sudah bibirnya lantunkan kalimat demikian yang tentu bagi gue hanya modus sampis belaka.

Namun, khusus hari ini gue akhirnya bisa lihat betapa seriusnya dia. Bagaimana raut wajahnya penuh harap menunggu jawaban dari gue.

Kali ini gue beneran cuma bisa diem. Apalagi, masih bersemayam dipikiran gue bahwa apapun yang terlontar dari cakapnya adalah valid. Gue takut buat jawab, karena apapun itu gue akan jadi belati yang tega menggores hatinya.

Atas keterdiaman gue, akhirnya timbul ulasan senyum getir. Dia telah memilih menjadikan bungkam sebagai sebuah jawaban final atas pertanyaannya.

“Kalau bukan gue orangnya, lantas harusnya yang terakhir. Pak dosen...”

Kala kata 'Pak dosen' disebutkan, gue merasakan satu degupan kencang. Seolah gue adalah mayat yang diberi kesempatan hidup kembali dari mati.

Gue ingin berteriak saat ini juga bahwa Iya! gue mau lelaki satu itu!.

“Jangan ngarang, gue ini mau lepas dari dia. Lagi pula dia sudah punya suami.” Dan akhirnya...gue memilih mengelak.

“Maka jalan terakhir adalah adil, mas. Jangan pilih semua dan coba jadi kuat, berdiri dengan kaki mas sendiri. Bisa?”

Gue ga tau, apa gue bisa?


`hjkscripts.