penataran.
a biblebuild au.
FFestivalGelembung ; @gelembungfest
Build Point of View.
Aku duduk, di atas bangku khas milik badan usaha negara yang telah berdiri sejak negeri yang aku jajaki merdeka. Aku mana pernah berhenti kagum kala memasuki gedung tua bergaya Belanda dengan sedikit sentuhan masa kini pada beberapa sisinya.
Kesendirianku membuat memori dalam kepala memutar film dokumenter diri sendiri yang menyangkut tentang lokasi saat kini. Masih ingat dahulu, bagaimana sensasi naik transportasi satu ini. Bahkan hanya mengingat buat oksigen dalam paru-paru mendadak kosong.
Bukan sulap bukan sihir transportasi KAI kian membaik dan banyak berbenah diri sejak sejarah perkeretaapian Indonesia dimulai pada 1864 oleh gubernur Hindia-Belanda kala itu tepatnya di jalur Semarang-Vorstenlanden atau saat ini jalur Solo-Yogyakarta.
Ah cerita ini jadi kemana-mana. Maklum, aku adalah mahasiswa jurusan ilmu sejarah di salah satu perguruan tinggi yang tanahnya sedang aku tinggali. Kota dingin favorit kawula muda untuk menimba ilmu, kota berjulukan Paris van East Java yaitu Kota Malang.
Nada dering khas stasiun menggema, suara wanita cakap beri informasi terdapat satu kereta masuk melalui peron satu. Aku sontak menengok jam tangan, kemudian mendongak menuju jam dinding, memastikan bahwa yang aku miliki tidak salah. Indra pendengar sekaligus menajam, menyingkirkan suara riuh berceloteh ria agar mendapatkan informasi armada yang datang.
“Kereta Penataran, jurusan Surabaya-Blitar-PP lewat Malang.” Otakku seolah mencatatkan pada buku kecil yang disebut memori. Dan aku bersiap diri, menggendong tas punggung serta menyampirkan tas bahu. Tak lupa, aku benahi letak earphone pun memilah lagu sembari jalan berdesakan dengan khalayak ramai.
Aku terjebak di antara lautan manusia penuh hawa nafsu, menggunakan egoisme masing-masing, tanpa mengindahkan hak orang lain. Bahkan, bapak seragam coklat berpangkat keamanan takut sendiri hadapi ratusan awak.
“Beri hak untuk yang turun dulu bapak, ibu sekalian!” Bicaranya lantang. Pun, suaranya seolah kapas tipis terhempas angin. Melayang menuju awang tanpa hambatan peduli.
Butiran air mengandung asam meluruh di bagian dahi. Aku beberapa kali melakukan gerakan menyeka walau hanya dengan kain kemeja. Jambul tertidur akhirnya mumbul akibat ku sisir helainya mundur.
Sepuluh menit waktu dibutuhkan agar dapat mengajak dua kakiku memijak baja bukan lagi tanah. Kini aku harus menyusuri dengan teliti, nomor kursi yang aku miliki. Aku hanya ingin segera duduk kembali, lelah bak suami pulang menuju istri setelah melawan kejamnya duniawi.
Aku terkadang benci situasi begini, ketika usahaku dikhianati. Ada kalanya aku mengerti mengapa bangku kereta api diberi nomor urutan. Tibalah aku berdiri, mematung pada sela isi dua berhadapan yang telah penuh. Herannya, mereka mendadak bisu, sibuk menggenggam dunianya sendiri.
“Permisi, maaf saya duduk di nomor 20E.” Ujarku menginterupsi. Jujur aku tak apa jika mereka hanyalah sekian dari salah satu orang yang punya tiket berdiri, atau insan dengan sifat pelupanya.
“Permisi, mbak ini nomor kursi saya.” Ulangku sekali lagi. Mereka mana tau mengeluarkan dua kalimat barusan amat menguras energi.
Apalagi setelahnya mendapat jawaban menyulut emosi. “Maaf, mas. Boleh tolong ngalah dulu nggak ya? Kasihan pacar saya ngantuk. Mas-nya kan cowok.”
Gila, mereka kira perjuanganku ini apa? Membuat reminder khusus beli tiket tujuh hari sebelum waktu keberangkatan hanya untuk disuruh mengalah.
“Mas, tau gak gunanya kursi gini dinomerin? Biar kalo keretanya nabrak bisa langsung identifikasi lewat data yang ada. Saya cuma mau hidup atau mati setelah sampai tujuan tetap pulang ke rumah saya kok, bertemu keluarga saya, mama, papa. Memang mas sama mbak mau mayatnya dikirim ke rumah saya? Terus orang tua kalian bingung cariin kalian?”
Patung, manusianya disihir jadi patung oleh tutur kata. Bibir bungkam mana sanggup melawan mereka kalah beranjak pulang. Finalnya, aku pun bisa menaruh barang, istirahatkan badan.
“Mas...” Suara panggilan sembari telapak tangan jatuh tanpa permisi menyentuh ujung celana. Aku hanya jawab bermain mata, sebarkan pandangan penuh tanda tanya.
“Terima kasih.” Ungkap pemuda bertopi yang ternyata si pemilik bangku depan. “Saya tadi mau negur mas yang tadi tapi sungkan.” Lanjutnya.
“Ohh,” lalu, aku tersenyum. “Iya, sama-sama”.
Aku tak pernah tau bahwa sosok manusia bisa begini mencuri perhatian. Parasnya, gerak-geriknya, tutur bahasanya. Aku hanyalah perantau kelewat cuek ketika dalam perjalanan transportasi umum. Lelaki ini adalah pengecualian, lelaki dengan topi hitam, berkaca mata, busana mahasiswa lengkap almamater universitasnya tentu berbeda. Jika ditanya apa yang buat perbedaan aku akan jawab tidak tahu, sebab hati punya alasannya tersendiri.
Kupandangi elok lekuk tubuhnya, netraku bak mesin pemindai, nihil sudut dilupakan. Dari mata bukan jatuh ke hati, namun jatuh pada warna biru yang sama dengan milikku. Bibir ini enggan bungkam, diam, sogokan rasa penasaran dari dalam menjadi motivasi menginterupsi.
“Anak almamater biru juga?” Sebuah pertanyaan tanpa pembuka aku layangkan untuknya. Fokusnya pada gawai berhasil aku curi atensinya.
“Iya,” Balasnya singkat langsung kembali lagi pada kegiatan mengetik.
“Jurusan apa?”
“Teknik sipil”
“Ohh,” Aku mengangguk paham. “Saya anak FIS jurusan ilmu sejarah. Oh iya, kenalin saya Build panggil Biu aja.”
Sejenak aku kira lelaki ini tipe si tampan nan angkuh. Melihat jawaban atas pertanyaan yang relatif secukupnya, pun dia membiarkan uluran jabatanku mengawang sekian detik.
Dia menyimpan gawainya, melepas topi hitam, perlihatkan surai panjang ciri anak teknik sebelum akhirnya menjawab dengan senyum manisnya. “Bible,” Ejanya.
“Bukan Bible milik barbie, tapi bahasa lain Alkitab.” Terusnya menjelaskan bagaimana menyebutkan muasal namanya.
“Oke, Bible.”
Kata mereka perkenalan membawa pada dunia baru, membuka lembaran putih bersih yang nantinya akan terukir kisah di antara benang merahnya aku dan dia. Sebab, setelah dia merapalkan namanya pun namaku intensitas dua arah kami meningkat. Hanya dalam waktu singkat, secercah informasi terungkap. Dia yang masuk sebab jatuh pada pilihan kedua, dan dia yang memilih Malang sebab Surabaya panas.
Bible, maksudku Kak Bibleㅡaku sebenarnya malu ketika dia menyatakan telah bergelut dengan berkas pendaftaran yudisium dan wisuda, yang artinya dia kakak tingkat jauh. Meskipun begitu, perangai santainya melingkupi kami berdua hingga nyaman terbentuk. Dia yang kosa katanya mudah dimengerti, dia juga yang diksinya mudah dimaknai. Berdua berceloteh ria tentang apa saja sepanjang jalur kereta api.
Mungkin almamater satukan jiwa kami, membahas lingkungan yang sama kami pijaki. Seringnya aku tak sengaja beramah tamah dengan prajurit Prabu Brawijaya. Mereka yang berdandan ala pemuda masa kini. Membual mengenai berbagai organisasi politik dengan nada menggebu suara tinggi, bercerita tentang gedungnya menjulang tinggi, atau rumputnya seluas negeri, dan membahas rahasia dunia gelap kampus yang mereka miliki.
Bercakap dengan lelaki satu ini, sama dengan membiarkan raga terlalu membuka diri. Kak Bible layaknya magnet bumi, menarik erat gravitasi makhluk yang meninggali. Dan aku bagaikan kaum feromagnetik, membiarkan jatuh hati sesuai intuisi tanpa bisa ditunda lagi.
“Stasiun depan aku turun.” Ucapnya beri informasi sekaligus berpamitan. Kak Bible bangun dari posisi, mengambil barang-barangnya pada bagasi besi.
Sungguh kecewa bertemunya kita akan segera mencapai tamat. Aku baru sadar, banyak bangku telah ditinggal sang pemilik yang turun pada stasiun pemberhentian.
“Kamu turun dimana?” Tanyanya.
Aku pun langsung menjawab, “Stasiun Gubeng. Pemberhentian terakhir.” Senyum getir terulas bersamaan nada bicaranya yang seiring malas.
Aku belum mau cerita tentang kita berhenti ditulis sampai sini. Masih banyak lembar kosong yang ingin aku isi. Aku merasa semakin kecil, gelisah mulai hadir seiring laju roda logam baja karbon tinggi perlahan berhenti.
Hingga akhirnya, aku putuskan untuk beranikan diri.
“Kak?” Seruanku sembari menggapai pergelangan tangannya.
“Ya?”
Gawai ku genggam bergetar, produksi peluh meningkat kali lipat. “Aku ingin kenal kakak lebih dari ini boleh?”
Alis tebalnya menyatu tanda heran nampak gawai yang coba aku serahkan, masih bisa terlihat jelas meskipun tertutup topi hitamnya. Setelah menimbang detik demi detik, aku bisa lepaskan helaan lega.
Masih tetap dengan senyum menawannya dia mengetikkan rentetan angka. “Kabari aku kalau butuh teman ngobrol dalam kereta.”
“Tentu.”
“Sampai bertemu lagi kalau begitu.”
Iya, sampai bertemu lagi.
`hjkscripts.