namtarn.
Nodt Point of View.
Berjalan bersisihan dengan bapak adalah hal paling menyenangkan dalam hidup. Gue bisa menjabarkan mengapa hanya merasakan eksistensinya perasaan nyaman itu muncul.
Satu, bapak suka tiba-tiba menautkan jemarinya dengan milik gue, seolah gue adalah benda paling berharga yang ga boleh hilang dari penjagaannya. Tautan kita akan terayun sesuai ritme langkah kaki.
dua, bapak akan berjalan di sisi bahaya, dan ketika gue refleks ada di sisi sana bapak dengan cekatannya pindahkan tubuh gue ke zona aman.
Ketiga, ini akan jadi posisi favorit gue. Ketika netra jadi saksi paras tegasnya perlahan mendekat dan tubuh gue akan berubah jadi aneh namun menyenangkan, berakhir kelopak mata tertutup sembari harap-harap cemas menunggu momen itu terjadi.
Lima senti...
Tiga senti...
Dua senti...
Satu...
“Ada bini doi, nikahnya di Belanda.”
Dan kali ini, gue memilih menghindar...
Gue gugup, kepala ini mendadak pening. Sedangkan, bapak menatap gue bingung. “Kamu kenapa?”
Apakah ini waktu yang tepat untuk mengais kebenaran? Atau menunggu nanti, ketika kami berdua telah duduk santai di rumah tanpa jaminan gue ga tenggelam lagi dalam pesonanya.
“Pak, tolong jawab pertanyaanku dengan jujur.” Gue beri jeda sebelum bertanya, tenggorokan gue seketika kering hingga harus meneguk ludah sendiri agar basah kembali.
“Kamu udah punya suami?”
Nodt Point of View.
Lagi-lagi gue menertawakan diri sendiri. Pada dini hari yang amat tenang, gue dibuat panik sama mama yang tiba-tiba drop. Panik, bahkan buat panggil dokter pun otak gue butuh waktu buat jalan. Yang bisa gue lakukan hanya manggil kata mama hingga perawat datangi kamar inap.
Puncak komedi dari sitkom ini adalah gue si kalut butuh pegangan. Bukan tembok bata, apalagi tiang bendera. Tetapi dia adalah sosok yang tubuhnya mampu gue buat bersandar. Dari sekian manusia yang punya relasi dengan gue, paras dewasanya sekelebat unjuk diri.
Dia dan gue seolah saudara kembar punya koneksi batin. Di saat gue butuh dia, di sana dia sedang mencari keberadaan gue. Di sinilah dia, duduk temani gue tanpa kata. Aneh, keberadaannya buat gue tenang. Wangi tubuh yang bisa gue cium bak aromaterapi yang mampu usir kelabu menyelimuti tubuh.
“Saya sudah lunasi biaya pengobatan mama kamu. Kenapa kamu gak bilang ke saya?”
Karena aku ingin perlahan lepas dari kamu.
Pada kenyataannya, dia yang gue cari pertama kali ketika gue butuh, dia yang gue panggil ketika gue sedang ditekan keadaan. Dan gue, gue bergantung sama dia.
“Bapak kenapa malem-malem cari aku?” Gue balik bertanya, lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan.
Dia mendengus, tersenyum miring seakan pertanyaan gue lelucon. “Kamu alihkan pembicaraan.” Ujarnya.
“Pak, berantem dalam rumah tangga itu bisa kok dihindari. Bapak tuh harus kurangi ego-”
“Saya digugat cerai sama suami.”
Nodt Point of View.
Pilihannya hanya memilih, gue mana boleh tamak. Pun, gue tau setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang akan gue hadapi. Meskipun itu adalah kematian.
Dan pilihan gue jatuh pada berhenti serta meninggalkan. Bener kata Nakunta, kalau gue ga bisa memilih maka jalannya tidak ada yang boleh dipilih. Sebagai konsekuensi, gue jadi sosok lemah yang tiap hari nangis sebab rasa bersalah terus hadir lihat mama terus memburuk. Sepeser uang yang berhasil gue himpun dari keringat gue ga akan pernah cukup untuk tunjang hidupnya. Terakhir, gue akan terus menurunkan ekspektasi dan bersiap diri hingga kini, kepergiannya hanya tinggalkan sedikit sakit di hati.
Katanya tujuh langkah orang terakhir yang meninggalkan makam, malaikat akan datang. Kini hanya gue sendirian, meratapi makam yang masih basah dan akan bertambah semakin basah seiring datangnya gerimis.
“Ma, udah ya. Aku titipin mama sama malaikat aja.” Batinku merana. Gue udah ga bisa bedain yang luruh dari pelupuk mata adalah air hujan atau air mata.
“Mama mah enak, pas aku pergi nanti ada yang bakal temenin. Lah aku? Aku sekarang sendirian di sini. Tapi gapapa, aku lega malah kalo mama ga sendirian. Nodt pamit ya, ma. Mama bahagia di sana.” Monolog terakhir sembari mengusap rupa gue yang makin kacau.
Gue berbalik, gue baru tau makam pagi ini amat sunyi. Ada kabut dan rintik air semakin deras yang bikin jarak pandang semakin menipis.
Satu...dua...tiga...
Empat...lima...enam...
Gue berjalan menunduk, seraya menghitung tiap langkah dalam hati
“Tu-” Dan gue berhenti kala ujung sandal gue bersentuhan dengan ujung sepatu hitam.
Netra gue layaknya mesin pemindai. Gue ikuti lekuk tubuhnya dari bawah hingga atas. Ketika bertemu dengan pandangannya, gue mendadak lemas, tangis gue semakin keras, dan biarkan tubuh gue jatuh dalam dekapannya.
“Sorry, sorry gue telat.” Dia berbisik sembari mengusap tubuh gue.
Gue jatuh, dia menangkap gue, ga peduli sekarang dua raga kami dihantam air hingga kuyup.
“Jey, gue harus gimana sekarang. Gue sendirian, gue ga punya apa-apa.” Gue mengadu bersama isakan yang udah ga bisa gue tahan.
“Lu punya gue, lu akan selalu punya gue. Gue akan selalu ada buat lu.” Katanya berbisik. Ucapnya bagai obat penenang yang mampu sembuhkan kegelisahan.
“Bawa gue pergi...kemana pun asal ga disini. Gue mau pergi.”
Gue akhirnya putuskan untuk melarikan diri sejenak daripada berdiri sok tegar menghadapi.