malam ini.
Nodt Point of View.
Bener kata sobat gue, perkara akademisi otak gue boleh diadu tapi buat perkara romansa auto jadi orang goblok.
Perth ini udah jadi mantan, ga bisa bilang terindah sebab gue hampir trauma jalan sama dia. Dia si egois, kepala batu, dan lumayan abusive kalo emosinya dipuncak. Katanya, gue orang paling beruntung, bisa lepas dari lapas tak kasat matanya bersih, mulus, sehat jasmani dan rohani. Mantannya dulu minimal ada tiga plester buat nutupin luka.
Pun, katanya lagi Perth memang lagi agak kalem, waras psikisnya ketika jadi sama gue. Dia yang matanya pancarkan binar ketika ngobrol sama gue, dia yang senyumnya semanis larutan gula, dan dia yang perilakunya lembut hanya untuk gue.
Gue ga bisa ngelak, kalau memang disuruh bikin testimoni rasanya pacaran sama Perth, gue akan mengaku bahwa nilai value-nya dia memang setinggi itu.
Namun, dalam pencarian cinta untuk diri gue sangat mengajukan kenyamanan, dan hal itu ga bisa gue dapat dari sosok lelaki berdarah campuran Australia ini. Selalu ada ketakutan saat berada di dekatnya.
Kepala gue menengadah, hari nampaknya telah jadi semakin gelap hingga serbuk berlian berpendar kilaunya di angkasa. Angin berkecepatan konstan terus berhembus menemani gue.
Pandangan gue lurus ke atas, kelihatannya kosong. Siapa yang tau bahwa dalam pikiran gue penuh sesak. Rasanya gue mau sewa jasa gulung benang, sebab yang ada di dalam sana bagaikan benang jahit kusut tak berujung.
Deru mesin mobil jadi pengacau ketenangan. Gue yang udah sampai tahap bikin fake scenario kehidupan diri sendiri sebagai pangeran di negeri barbie harus berhenti sampai di sini. Mobil warna item itu berhenti tepat di depan rumah gue. Selanjutnya, suara berdebam terdengar diikuti langkah kaki seseorang mendekat pintu pagar.
Gue beranjak, rapihin sedikit piyama tidur yang gue kenakan. Ga ada ragu, malah penuh penasaran akan siapa yang bertandang malam begini.
“Loh, bapak?” Gue tentu terkejut. Dari sekian banyak probabilitas yang ada, sosok pertengahan tiga puluhan ini yang muncul.
Gue buka pagar lebih lebar, gue berdiri menyamping tanda persilahkan laki-laki ini masuk.
“Saya kira kamu sudah tidur, beberapa kali saya telpon gak terjawab.” Ujarnya sembari gue persilahkan duduk. Gue pun begitu, refleks cari posisi terdekat dengan bapak.
Gue tersenyum malu, “Iya tadi lagi sibuk.” Elak gue. Sibuk, sibuk jadi pemimpi.
“Ini, buat kamu.” Gue tau dia memang bawa beberapa tentengan tas belanja dan keresek. Tetapi, gue adalah si anti kepedean. “Kamu kelihatan banyak terdistraksi belakangan ini.” Lanjutnya.
Sebelum gue berhasil melayangkan somasi, dia berhasil bungkam bibir gue dengan salah satu jarinya.
“Jangan ditolak, saya mohon.” Pintanya putus asa. “Anggap saja hasil kerja keras kamu.” Finalnya.
Melihat bapak sampai memohon bikin perasaan gue terenyuh. Gue ga lagi sanggup buat keluarkan senjata penuh penolakan. Gue hanya sanggup terdiam, amati raut wajahnya, bidik dua manik matanya tepat dengan milik gue. Dia itu paling hebat buat gue luluh dan jatuh akan perintahnya. Gue dibikin ga bisa ambil keputusan lain.
Bahkan ketika belah bibir gue diusap perlahan pun tak ada suatu reaksi penolakan pasti. Seluruh tubuh ini beku, otak mati fungsi akibatkan kinerja yang lain mendadak ga karuan kala dia memegang kendali atas dagu gue. Dari jarak sedekat ini, gue dapat saksikan bagaimana perlahan wajahnya maju hingga hembusan nafas penuh nafsu kini menerpa permukaan wajah.
Aneh, perasaan ini selalu muncul ketika bapak memperlakukan gue demikian. Perasaan menggelitik dalam perut yang mereka definisikan sebagai butterfly effect, perasaan berdesir kala darah mengalir cepat melewati tiap pembuluhnya akibat meningkatnya kinerja jantung.
Jujur...gue suka perasaan ini, gue selalu suka euphoria detik-detik dua bibir saling bertemu.
Saat keduanya saling melingkupi satu sama lain, terciptalah birahi. Mereka bergerak dari bawah, berlari melawan gravitasi bersama tiap lumatan, hisapan, dan peraduan dua benda lunak menuju pusat kendali yang tengah menghadapi hilangnya konstitusi.
Jika mereka berhasil, kesadaran dan kewarasan akan duniawi diambil alih. Keduanya diasingkan, disubstitusi dengan erotisme. Hingga dua manusia jadi liar, tak terkendali. Dua tubuh berjarak perlahan menjadi satu, bergerak anarkis mencari puncak pelepasan hingga sorak-sorai berupa desisan lega dilayangkan.
Terakhir, dua manusia ini akan terengah dalam balutan basah oleh campuran peluh dan si putih.
`hjkscripts.