dermaga pelabuhan.
Bapak Point of view.
Ibarat sebuah kapal, saya tengah melakukan pelayaran. Bedanya, jika mereka ada tujuan tempat berlabuh maka kapal yang tengah saya kendalikan seorang diri pasrah terombang-ambing gelombang laut tanpa tau akan berhenti dimana.
Saya hanyalah seorang pria dewasa yang tengah dibuat pesakitan oleh cinta bak anak remaja.
Jatuhnya, bimbangnya, ledakan euphoria menyenangkan, hingga terakhir rasa sakitnya. Sudah saya lalui semua, kecuali yang terakhir. Ketimbang fase yang lain, yang ini ternyata bertahan lebih lama dan menyiksa. Rasa ini enggan minggir, hingga saatnya ditemukan pengganti.
Saya adalah si manusia yang pernah gagal perkara hati, saya baru tahu ketika dua yang saling mencintai bisa jadi saling melukai kala tak ada lagi letupan menyenangkan yang menggetarkan hati. Dan kami masing-masing akhirnya memilih pergi, mengakhiri kisah cukup sampai disini.
Dahulu, saya adalah nahkoda tamak sok perkasa yang ingin mengendalikan dua kapal sekaligus, memandu dua penumpang yang berbeda menuju pelabuhan tujuan.
Saya baru sadar bahwa ketamakan membawa bala. Dua kapal yang saya bawa sulit dikendalikan, mengakibatkan dua penumpang kecewa, yang berakhir meninggalkan saya.
Di tengah terombang-ambing oleh gelombang memabukkan kadang diterpa badai, diri saya diuji. Saya disuruh memilih salah satu dari delapan arah mata angin.
Disinilah saya, memacu armada dengan kekuatan penuh menuju utara. Pada akhirnya, dermaga pelabuhan ini jadi tempat saya memijak kaki sebagai langkah awal memulai kembali.
Saya berdiri dari balik tembok putih, mematung sekian menit hanya menatap parasnya dari jendela. Rasa rindu seketika menggebu, ingin segera berlari maju mendekapnya. Namun, saya tidak bisa.
Dia yang tengah berdiri di belakang mesin kopinya hanyalah mahasiswa saya yang entah bagaimana dipertemukan kedua kalinya dalam hubungan tabu tak boleh kasat mata. Dia yang sediakan saya rumah kedua, tempat mengadu, lokasi pelarian dari si tua dengan banyak masalah hidupnya.
Perihal perasaan, nyaman adalah titik balik hati saya. Nyaman ini buat saya jatuh, buat saya ingin miliki kamu seutuhnya. Manusia mana yang tak terbuai jika diberikan kenyamanan saat terjerembab pada palung terdalam kehidupan.
Raga saya beku, seperti ada rantai belenggu yang mengikat dua kaki saya kala senyum manisnya muncul. Senyuman itu saya belum pernah lihat sebelumnya. Dan saya yakin ada alasan mengapa dia enggan tunjukkan untuk saya.
Dia tidak bahagia bersama saya.
Ada sensasi perih ketika senyumnya makin lebar. Perih ini semakin meradang ketika saya mendengar tawanya hadir sembari menanggapi guyonan teman sejawatnya.
Saya ingin sapa kamu sekali lagi, setidaknya punya kesempatan satu lagi untuk berbicara dengan nada itu meskipun harus mengulang semuanya kembali.
Apa bisa? Apa kamu akan persilahkan? Jawabannya hanya ada di kamu dan aku akan menunggu itu.
`hjkscripts.