rate my ex challenge.


Peter and Nakunta time

Peter baru menyadari bahwa anak lanangnya sudah sebesar ini. Anak yang dulu sering tidur di tengahnya dan suami, anak yang dulu sering tiba-tiba menyusup di antaranya ketika dikerubungi mimpi. Keputusan Peter agaknya tak membuatnya menyesal sama sekali.

Pun Nakunta, anak itu merengut kala dad-nya datang sudah lengkap berbalut kaus putih celana piyama. Mengomel tanpa henti, terkadang menjadi pedagang sawi yang tengah negoisasi dengan pembeli. Dia tak ingin tidur ditemani, maunya sendiri.

Tutur memang pandai bercakap, namun hati yang paling tau bagaimana diri harus bersikap. Menit berikutnya, Nakunta telah jatuhkan sirah di atas lengan sang ayah. Dua maniknya mengatup, sebab surainya dibelai. Terkadang bibirnya bergumam tanggapi cerita panjang yang tersaji.

Selesai sudah Peter haturkan liku kisah masa lalu. Kini hanya bersisa hembusan nafas ilu dari sang pengadu.

“Aku kalo jadi pap ya marah.” Si pendengar menanggapi.

“Gitu ya?”

Si anak mengangguk, dia membetulkan posisi tidurnya semakin merapat, mencari hangat dalam dekap. Menurut Nakunta, tidur dengan dad-nya ternyata bukan hal yang buruk. Dia jadi ingat bagaimana dulu sering merengek dibacakan buku cerita pengantar tidur oleh dad-nya atau diusap punggungnya hingga tidur oleh pap-nya.

“Tapi kamu gak salah juga sih. Kamu kan mengajak, ada persetujuan dan pap jawab iya.”

“Pinter kamu.” Puji Peter. Nakunta itu pendengar yang baik. Dia bahkan ingat detail cerita seseorang meskipun nampak tak peduli.

“Aku harus gimana, kak?”

“Saran aku ya kita tidur aja dulu, aku ngantuk gak bisa mikir. Besok kita cari caranya.”

“Dasar!”

“Hehe,” Nakunta ketawa. Lalu, dia lanjut berkata, “Good night, dad. Everything will be fine kok. Soalnya kamu punya aku.”

Mau tak mau bibir Peter menyungging senyum. Dia sematkan satu kecupan selamat malam di dahi putranya. “Makasih ya, kak. Tidur yang nyenyak anakku.”


Nodt Point of View.

Aku melangkah, sepuluh jari menyangga tampah berisi berbagai seserah. Aku mengetuk daun pintu, lalu berseru memanggil sang empu. Begitu aku masuk, dilanjutkan duduk, gugup seketika merasuk.

Egoisku seluas samudera, pula congkak setinggi bumantara. Namun kini diriku kecil, daripada kerikil. Hancur sudah rupaku sebab rasa malu, bak kapur yang tengah dihantam alu.

Mulai kusajikan di atas permukaan meja, secangkir teh hangat ditemani biskuit 'selamat'. Getir bibir tersungging, satu kata cukup buat tersinggung. Selamat ini apakah bagai ucapan semangat, atau olokan semata sebab kehadiranku sejak tadi dianggap angin lewat.

Lara hatiku nyeri, kala yang di depanku beranjak pergi. Aku tak sanggup lagi, ingin segera gapai dia meminta sebuah absolusi. Lantas aku pula berdiri, mengikuti tiap gerik sana-sini seperti seekor meri.

“Mas...” Lirih kupanggil dirinya. Pun, suaraku tak berguna.

“Mas?!” Seruanku keras, kali ini aku peluk dari belakang punggungnya yang nampak tegas.

Rengkuhanku mengerat, bisa kurasakan raganya geming juga terkejut. Enggan dilepas tautan rapat, hingga bahunya yang terangkat perlahan turun.

I- I was shocked,” Aku mulai menjelaskan. “Aku ga pernah tau kejadiannya begitu- no, sorry aku akui aku bodoh memilih bersikap begini. it wasn't a big deal, they were our past.” Aku pasrah, masalah ini memang aku yang salah. Padanan kata yang disusun anakku di atas pisau tajam adalah sahih. Mereka dilempar bukan untuk menusuk, namun datang membuka hati beku agar mudah merasuk.

Dua kaki ini mendadak lemas, kala punggung besar kini berganti dada bidang. Kini bukan hanya aku yang mendekap, namun aku juga tengah diperangkap.

“Gak apa sayang.” tuturnya lembut. Nodt tolol gimana bisa kamu ga sayang sama manusia satu ini. Mana bisa kamu ga jatuh cinta sama orang satu ini.

“Aku ga pernah menyesal terima ajakan kamu, mas. Tolong percaya sama aku.”

“Iya. aku tau,” Balasnya. “Dan aku juga percaya sama kamu.”

“Rasa yang aku punya untuk kamu bertahun lalu sampai sekarang benar adanya.”

“Aku bisa rasakan.”

“Aku-”

Ssshh!”

Bibirku telah dibungkam, dipaksa diam oleh sebuah kecupan ringan. Afeksinya begitu menenangkan, beranjak dari bibir menuju dahi. Dijamah lama seolah sedang mengungkapkan kata tersirat yang hanya bisa ditangkap nurani.

“Kamu gak perlu pamerkan semuanya melalui lisan. Sebab yang kamu berikan aku bisa rasakan. Sampai kapanpun, kamu akan selalu jadi pilihan.”


`hjkscripts.


mainan baru.


Nakunta Point of View.

Jadi anak di keluarga gue tuh susah-susah gampang. Ini gue sendiri yang merasakan atau memang nasib tiap anak begini? Gue menyadari setelah banyak lakukan observasi mandiri, beberapa faktor jadi mempengaruhi.

Salah satunya perbedaan umur. Dad sama pap beda umurnya jauh, meskipun pap sudah terbilang dewasa diumurnya menginjak angka empat puluh tapi dibanding dad ya tetap ada celah besar. Pap yang setiap ada masalah inginya dimengerti, dan dad yang sudah terlalu tua buat belajar cinta-cintaan jadi bingung sendiri.

Begitulah dinamika yang harus gue hadapi sebagai satu-satunya kawula muda di rumah ini.

Kini posisinya lagi-lagi gue harus jadi wasit pertarungan dingin. Kadang capek sendiri sih, jadi jembatan itu gak enak, rela diinjek biar objek di bumi bisa tetap terkoneksi dari satu sisi ke sisi lainnya.

Skenarionya sama, sudah biasa. Dad bikin pap kesel yang membuat pap akhirnya acuh sama dad. Gue yakin hasil akhirnya emosi mereka akan bergejolak, meledak, setelah itu ngobrol dan baikan. Tugas gue adalah bagaimana mencari seribu satu solusi biar mereka akhirnya ngobrol.

Buat masalah hari ini gue sepertinya gak usah repot cari solusi, sebab solusi itu akhirnya datang sendiri.

Di sinilah gue, ngintilin pap dan langkah super cepatnya. Diikuti banyak khawatir setelah denger dad masuk rumah sakit perkara gak sengaja makan seafood. Iya, dad itu punya alergi, udah parah banget. He maybe looks cool, but actually kinda careless. Mungkin pikirannya rada kacau, jadi gak sempat cek makanannya.

And, yup! Here we go the damn drama. Pap masuk ke ruang rawat inap dad dengan wajahnya udah merah, penuh rasa bersalah. Dad hanya pamer senyum teduh, masih tiduran di atas brangkar dengan tangannya diinfus.

“Hi, dad! Sorry I can't help to not tell him.” Gue sapa dad sembari taruh tas dan jaket di sofa. Gue lebih dulu mendekat, bantuin dad bangun dari posisi tidurnya. How are you?” Tanya gue lagi. Kali ini dengan pelukan, dad cium puncak kepala gue.

“I'm ok kok, kak.” Balasnya sok kuat. Padahal gue bisa lihat betapa lemesnya dia.

Gue perlahan mundur, kasih space buat pap yang berdiri layaknya patung. Matanya udah jadi bendungan air rapuh, siap longsor biarin airnya meluncur bebas.

“Your turn, pap.” Ujar gue lirih.

Dad senyum penuh kasih sayang, penuh cinta yang sama sejak dulu. Dia tepuk-tepuk kasurnya, suruh pap duduk dekat dia. Pap tentu aja nurut, dia duduk namun wajahnya tertunduk sembunyikan perasaan malu.

“Hei?” Dad angkat dagu pap agar bisa pandang wajahnya. Dia sedikit terkejut waktu jemarinya basah. Pap seratus persen udah nangis.

Gue tadi bilang bahwa keluarga gue cukup complicated, tapi percayalah gue gak pernah sekalipun menyesal jadi anak mereka.

Gue bisa lihat gimana mereka cinta satu sama lain. Gimana dad dengan begitu telaten dan lembut usap lelehan air mata milik pap. Gimana dad bikin pap tenang dengan self diagnosenya bilang he's now fine, he's okay, pap doesn't need to worry, it isn't pap fault. Sebagai gantinya, pap dari lubuk hati terdalam terus menyuarakan penyesalan, dan dia berikan sebuah pelukan hangat penuh ungkapan semangat biar dad cepet sehat.

Bagian yang jadi kesukaan gue adalah ketika dad menyampirkan helai rambut panjang pap ke belakang telinganya, lalu dad cium kening pap bersama jutaan runtutan kalimat cinta yang gak sanggup dia utarakan dengan tutur kata. Well, they're so sweet, way too sweet malah.

Terakhir, satu kecupan ringan diperankan belah bibir mereka, diiringi tawa kecil keduanya jadi konklusi masalah kali ini. Gueㅡ Nakunta akan berlari, menyisipkan badan besar gue di antara keduanya bak anak bayi.


`hjkscripts.