ft. tabarcode
Baris kata diatas sanggup deskripsikan betapa indahnya sebuah ikatan yang disebut keluarga.
Namun, semuanya sudah berlalu. Apa yang terjadi telah disebut dahulu. Ikatan yang dipertahankan menjadi kendur, entah kapan waktu yang tepat hingga akhirnya akan lepas.
3 weeks ago
Ta Point of View
Aku gak tau apa yang membuat beberapa hari kebelakang sedingin ini. Entah musim yang memang mulai memasuki waktu penghujan, atau memang rumahku yang gak sehangat dulu.
Ketika gorden kamar aku sibakkan, sendunya dunia menyapaku. Aku meraba tetes demi tetes air hujan dari balik kaca jendela, dingin.
Jemariku tanpa sadar mengikuti kecepatan satu luruhan air hujan, gerakannya seirama dengan jatuhnya air mataku yang meluncur hebat dari pelupuk mata.
Aku benci kamarku yang kedap akan suara dari luar. Telingaku lebih baik diperdendangkan derasnya suara air yang turun menghantam tanah, daripada harus mendengarkan lantunan caci maki dari bibir yang biasa mengumbar nada cinta.
Dan aku ingin sekali lari, menjauh dari rumah yang perlahan berubah jadi neraka.
“Ok! Sekarang kamu maunya apa?!”
“Let's end this shit, Mas. Kamu sama aku sampai disini aja.”
Aku takut... Dari jutaan ujaran kebencian diantara mereka, aku paling takut yang satu itu. Tolong, tolong aku terjebak disini.
Present day
Ta Point of View
Sekarang aku terbiasa, bak menjadi jembatan penghubung antara dua kota mati. Kota sunyi yang enggan berdiplomasi satu sama lain. Aku berdiri di tengah, tanpa bisa memilih akan berpihak pada siapa.
Ta Point of View
Aku menatap jauh langit biru perlahan pudar tergantikan keunguan. Matahari turun bersamaan senyumku yang perlahan ikut pergi. Malam hari sudah tak seindah yang pernah aku bayangkan. Aku benci hari harus usai, aku benci kenyataan bahwa aku harus pulang.
“Bang, ayok balik!” Barcode; si kecil yang sedari dulu mengekoriku berucap.
“Pulang ke rumah gue deh bang kalo males balik rumah sendiri.” Katanya sekali lagi ketika aku sama sekali enggan beranjak.
Aku menghirup udara malam banyak-banyak sebelum dihempaskan kasar.
“Ayok balik, ah dasar bocil lu!” Aku beranjak, tak lupa menggoda Barcode yang selalu punya ekspresi pasrah.
The wedding
07.00 p.m
Malam itu hanyalah malam biasa tanpa ada istimewa. Malam itu berubah jadi luar biasa cantik dengan gemerlap lampu serta dekorasi pernikahan masa kini. Musik lembut, dentingan alat makan beradu, dan gelak tawa jadi pengisi sunyi.
Kala itu, Peter masih setia merengkuh pinggang ramping sang suami. Dibawa menuju sana-sini bak memamerkan berlian terindah di dunia yang Ia miliki. Peter dengan bangga memperkenalkan Nodt pada koleganya.
“Capek?” Peter menyerahkan segelas sirup manis sedangkan dirinya menyesap champagnenya.
“Pernikahan kolega kamu emang yang paling juara, Mas. Mana aku ga sempet keliling nyicip menu gubuknya.” Keduanya terkekeh. Memang sejak tadi mereka berdua lebih sibuk menyapa tamu daripada pemilik acara.
Peter membelai surai sehalus sutra milik prianya. Pun, tak lupa lelaki berusia hampir 40 tahun itu menyampirkan rambut sang suami ke belakang telinga.
“Peter? Is that you?“
“Oh-Hei!”
Pria ini, si pemilik suara ceria. Pria dewasa dengan segudang sihir menawannya, hingga siapapun yang ada disekitar akan terpaku padanya. Siapapun, tanpa terkecuali, termasuk Peter sendiri.
Nodt Point of View
Aku memeluk tubuh Ta yang semakin bertambah tingginya. Dulu, aku bisa menggendongnya dengan satu tangan. Namun saat ini, hanya memeluknya sembari terbaring cukup sulit.
Sejak prahara yang terjadi di rumah ini, aku jarang memperhatikannya. Bukan, aku nggak lupa, salahkan hormon remajanya dan salahkan aku karena tak mencoba meraihnya.
Khusus hari ini, dia datang ke kamarku bersama dirinya yang manja.
Awalnya, aku enggan bercerita. Sakit, semua rasa sakitnya keluar menjamahi tubuhku. Aku benci dikhianati, cukup Nodt muda nan bodoh yang merasakan laranya dulu.
“I was okay that night, kak. Meskipun banyak fakta yang diungkap yang mana pap ga pernah tau tentang dad.” Kataku mulai bersuara.
“He's dad past. His lovely yet hurt relationship. You know kak, pap sama dad untuk capai dititik ini ga mudah. We were just no one to each other. Nothing special other than your grandmas old friendship.” Aku tersenyum getir setelahnya.
“You both did it anyway. Aku bisa rasain gimana kuat cintanya kalian, buat aku, buat satu sama lain.”
“We did. But, insecurity hit you that hard till we lost our mind. I hate myself for being ignorant yet obidient. Your dad said to forgot who he was and i was like sure! Turns out, im being jealous with that man. The one that know him well.”
“Dan kamu tau apa yang bikin Pap akhirnya milih nyerah? Pap liat mereka...”
Ta menggeleng tentu saja. Anak ini mendongak mengunci pandangan kami berdua. “Pap liat mereka lakuin sesuatu yang pasti kamu sendiri ga mau tau.”
Ta Point of View
“Enak?”
Aku mengangguk semangat ketika manis asin rasa keju menyentuh permukaan lidahku. Pap membelai suraiku yang telah panjang. Lelaki dewasa itu tersenyum dengan ekspresi geli.
Kulirik sejenak parasnya, bagaimana dia dengan gestur santainya sedang menyesap air putih yang selalu Ia bawa dalam botol tumblr yang sisinya kini telah banyak goresan. Pandangannya jatuh jauh ke depan mengamati lalu lalang pelanggan kafe bak air mengalir tiada henti.
Satu menit kemudian, ekspresinya berubah. Dahi mengkerut dihiasi tatapan bingung. Bola matanya bergerak sesuai langkah kaki pria dewasa yang tengah berjalan menuju kafe.
“Kamu ajak dia kesini?!” Desisnya. Aku sedikit terperanjat tatkala pap tiba-tiba menatapku geram.
“Pap, please...” Kataku dengan mimik memohon. “Calm down, alright.” Lanjutku ketika pap akan mengeluarkan satu kata lagi.
Derit kursi ditarik sudahi perdebatan kecilku dan pap. Dad duduk canggung seolah dirinya orang asing dan pap memilih alihkan pandangan kepenjuru lain.
Aku adu tatap dengan dad, memberikan dia sedikit support melalui sebuah kedipan. He's nervous, i know aku belum pernah melihat sisi dad yang nampak kurang percaya diri. Dad adalah orang paling tenang sedunia, tapi dihadapan pap dia diselimuti keringat.
“Pap, dad aku ke toilet ya! Have fun, ok?” Aku beranjak, “And please do remember ini tempat umum.” Aku berbisik memperingatkan.
Let's just watch how great my dad with this kind of situation!
Peter Point of View
Saya akui, hal-hal romantis dan keju bukan diciptakan untuk orang seperti saya. Namun, Ta bilang anak muda jaman sekarang semua melakukannya. Termasuk, bagaimana cara membuat orang yang kita sayangi berhenti marah.
Saya kelimpungan sebentar mencari-cari sebuah kertas. Ketemu, saya buka diatas meja.
“Hei, kenalin gue Peter Knight.”
Shit!
“What are you playing?” Dia menatap saya jengkel. Saya cukup kaget dibuatnya. Dia mulai mengepak barangnya dan saya semakin panik. Dan ketika dia beranjak, saya dengan cekatan menahan lengannya.
“Jangan pergi, kasih satu kesempatan untuk aku memulai kembali dari awal. I beg you.”
Saya tahu, dia tak setega itu meninggalkan saya disini. Ketika dia kembali duduk dihadapan saya, maka kesempatan ini tidak akan saya sia-siakan.
“Peter Knight. May i have yours?”
“Nutthasid. Nodt Nutthasid. Oh, kamu anak temen mama itukan?” Saya sedikit tersenyum lega karena dia memilih untuk mengikuti permainan konyol ini meskipun nada suaranya terdengar ketus.
Saya menggeleng menanggapi pertanyaannya. Jika dulu, saya memang datang menemui dia disini atas perintah mama saya.
“Saya hanya Peter Knight. Pria dewasa biasa yang menghampiri karena kamu menarik dimata saya. Senyuman kamu yang buat saya berani duduk disini.”
“Jika saya boleh serakah dan percaya diri, izinkan saya untuk mengenal kamu. Jauh, jauh lebih banyak dari yang saya tau.”
Peter Point of View
05.00 a.m
Saya berdiri tegang di dalam kamar bernuansa medis dengan bau obat-obatan berlomba menghantam indra penciuman.
Helaan nafas halus yang keluar konstan dari hidung Ta sedikit meringankan beban khawatir. Di sampingnya, Nodt belum mau beranjak barang sebentar. Ia masih bergeming sembari menautkan jemarinya pada milik Ta.
“Anak bapak hanya mengalami shock pasca kecelakaan. Hasil medical check up tidak ada luka dalam dan hanya goresan pada lengannya akibat beradu dengan badan motor.”
Saya cukup terperanjat ketika permukaan lengan saya terasa dingin. “Mas?” Suaranya lirih. Bola mata saya bergantian menatap wajah sendu dan genggaman jemarinya.
“Ya?”
“Ayo bicara. Aku dan kamu.”
“Say it, Mas. Spit it out whatever you called it misunderstood. I'm all ears.”
Kantin rumah sakit begitu sepi pada dini hari. Nodt bahkan tak pusing untuk mengatur nada bicaranya. Hanya mereka berdua, hanya ada Peter dan Nodt beserta perkaranya.
“We did kiss. not a bad angle, i don't wanted to denied anymore...”
Nodt tercekat, entah apa ini keputusan yang tepat untuk kembali membuka luka. Nodt bersumpah, jika Peter masih tetap pada pendiriannya, bad angle whatever it means dirinya akan lebih mudah untuk berikan maaf.
“Aku belum selesai.” Peter bersuara secepat mungkin takut-takut Nodt pergi.
Nodt pikir satu kalimat pengakuan itu sudah cukup. He doesn't want to hear the rest bullshit. He's just fucking coward to get hurt. Namun, sedikit nuraninya ingin mendengar lebih, si sedikit itu masih berharap bahwa ini bukan hal yang lebih buruk.
“Aku masih disini.” Balasnya seraya mempersilahkan (masih) suaminya melanjutkan.
“We did kiss...”
Stop with that kiss, you dumbass!
”...like i said before, by accident. You knew it, sayang. That crazy drunk man bumped into random people.”
Peter meraih dua tangan Nodt untuk dia genggam. Ia meremas sambil mengusap punggung tangannya lembut menyampaikan sinyal bahwa Peter ingin dipercaya, Peter ingin dimaafkan, dan Peter ingin Nodt kembali padanya.
Nodt seketika bergeming, Ia pilih menatap gerai-gerai yang masih ditutup besi abu-abu.
Detik kemudian jantung Peter rasanya terjun dari tempatnya menggantung. Gendang telinganya menangkap isakan lirih milik Nodt.
“I'm hurt...” Ungkapnya disela tangisnya.
“Semua ini konyol karena fakta yang kamu ungkapkan barusan gak cukup untuk sakiti aku. Aku teramat sakit mengingat dia tau lebih banyak tentang kamu. He knows your past, he knows your pain back then. You shared anything about you to him not me. Bahkan aku sekarang gak bisa berpikir jernih akan dalil kamu yang ingin mulai lembaran baru bersama aku dan Ta. Was it real you? Or did you do that because your papa said so before he died? Mas, i want to love you in a good and bad of you. I want to know how's your day rather than your sweet smile saying everything was okay but it wasn't. I'm supposed to be your husband, right?”
Peter bungkam, Peter kehabisan kata-kata. Peter hanya mampu duduk bersimpuh dihadapan suaminya tanpa berhenti mengutarakan setiap kata bermakna maaf. Terakhir, Peter menarik Nodt perlahan dalam rengkuhnya. Peter biarkan sang kekasih hati menangisi kebodohannya hingga puas.
Peter Point of View
Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik katanya. Tidak, saat inipun dunia masih jadi tempat terbaik bagi saya jika bersama dengan dia.
Dia yang yang masih mengguggat cerai saya, dia yang punya rasa sakit hati karena saya, dia yang masih perhatian pada saya, dan dia yang sedang berdiri di depan kompor, memasak dengan celemek merah jambu kekecilan.
Ketika saya buka pintu rumah aroma masakan khas china menyambut kedatangan saya, dan ketika saya berjalan lebih jauh disitu saya izin mengumpat dalam hati.
He's so damn cute and sexy.
He prepare me food, but in my eyes he cosplay himself being food.
Nah! Calm down, stay in progress, Peter!
Dari belakang sini saya tertegun. Jika dulu saya bisa langsung hampiri dia, peluk dia dari belakang, mencium tengkuknya buat dia bergidik geli, selanjutnya saya akan mematikan kompor lalu memutar tubuhnya dan tak lupa menjamah bibir ranumnya.
I would have kissed him deeply, fondly, and paid me off with his sweet moans consisted my name. Terakhir, kami akan terjerembab dalam hingar bingar senandung yang kami buat sendiri.
“Mas?” Panggilnya sadarkan dari nuansa pikiran jorok saya. Dia telah berdiri dihadapan saya, paras anggunnya nampak jelas berkali-kali lipat.
Dan saya tidak mau sadar. Saya rengkuh pinggang kecilnya dan saya tarik dia mendekat. Tubuhnya menegang, namun tak sama sekali terasa penolakan. Saya belai punggungnya sensual membuat nafasnya tercekat.
“Let it out, your little moan.” Ujar saya memprovokasi.
Tangan saya kali ini menjamah wajah tampannya. Rahang tegas dibalut kulit pucat lembut. Saya mulao belai bibirnya perlahan sebelum saya dekatkan pada milik saya.
“Mass... ada kakak.” Balasnya susah payah.
“I miss you, sayang. Bukakah Ta akan senang melihat kedua orang tuanya berciuman?”
Dia tak lagi menjawab, dia pasrah saat tengkuknya saya tekan maju. Pertama, saya kecup kecil permukaan bibirnya. Kedua, saya beranikan diri untuk melumat sebentar. Ketiga, dia sembunyikan mata cantiknya dibalik kelopak matanya. Keempat, dia biarkan lengannya melingkar apik di leher saya. Kelima dia berkata,
“Kiss me, mas. Kiss me more.”
Peter Point of View
Where Ta ask his dad 'How much you can tell about pap?'
He is young, passionate, positive, lovely, and sexy man that I ever know.
I love his sweet smiles, his cute giggles, his natural pink blush whenever he shy.
Kita berdua mungkin dijodohkan. Tetapi kita belajar untuk menemukan satu sama lain dalam labirin rumit rumah tangga. Ketika sampai dipenghujung pintu keluar, kami bertemu kembali dan diberi hadiah yang berharga tak ternilai meskipun nilai di dunia perlahan dimakan jaman.
Yaitu, kamu... Kamu dihadirkan untuk dad dan pap sebagai permulaan lembaran baru.
We confused and lost at the same time before.
Tapi pap, sosok yang mencintai dunia bebasnya, rela lepas semuanya untuk kamu untuk dad.
Pap, si manusia paling independen pertama kali mengulurkan tangannya. Dia butuh dad buat melakukan bersama, rawat kamu, didik kamu, besarkan kamu.
Sampai sekarang pun, dad gak punya alasan untuk berpaling dari pap. Dia yang paling sempurna untuk dad.
Peter masuk dalam kamarnya, udara dingin dataran tinggi masuk bebas akibat pintu balkon dibiarkan ternganga. Peter menghampiri, tampak suaminya disana bersandar sembari menatap langit.
“Kamu lagi apa? Masuk! Dingin sekali di luar.” Peter mendekap bahu Nodt dengan lengannya, berharap suhu tubuhnya mampu menetralisir rasa dingin.
“Aku nunggu kembang api.” Balasnya.
Peter dan Nodt masih dalam posisi yang sama. Bahkan Nodt makin menyamakan dirinya. Sayup-sayup suara kembang api terdengar ribut bersahutan dengan binatang malam.
“Mas?”
“Hmm?”
“Aku udah bilang ke pengacaraku buat cabut gugatannya.”
Jantung Peter rasanya berhenti sejenak. Otaknya mati fungsi saking sulitnya untuk menerjemahkan.
“Sayang?” Bisik Peter.
Nodt mengangguk semangat, “Yes, please. Panggil aku sayang karena aku suka disayang sama kamu.”
“Sayang...” Tutur Peter sekali lagi. Peter semakin mengeratkan pelukannya. Dia kecup berkali-kali puncak kepala sang suami.
“Terima kasih... terima kasih, sayang.”
Hanya kata terima kasih yang sanggup Ia utarakan hingga suaranya hilang ditelan lantangnya kembang api berlomba menyentuh langit.