hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Nodt Point of View.

Gue emosi, gimana ngga kalau temen satu kelompok modelnya begini. Dibanding harus dibantu dua orang, gue akan mendeklarasikan bahwa diri ini mampu bekerja sendiri.

Cowok di samping gue ini namanya JJ biasanya gue panggil Jey soalnya dia paling ga suka dipanggil Je. Lanjut, yang ada di sebrang gue dan Jey adalah kakak tingkat gue. Dia sama anak-anak sering dipanggil memble karena emang bibirnya jarang mingkem, terus kalau jalan petentang-petenteng sambil senyum ga jelas. Dia ini kating semester sebelas alias juru kunci kampus dimana angkatannya semua udah lulus ninggalin dia sendiri yang masih lantang-lantung kuliah.

Kalo di kampus ini kaga ada alaska malamute juga gue udah lulus.

Begini lah jawaban setiap ditanyain kapan lulus?.

Iya, alaska malamute itu julukan 'yang katanyasugar daddy' gue. Namanya Pak Peter, dosen yang paling banyak ngajar mata kuliah. Mulai dari semester tiga sampai enam ga ada yang bisa lolos dari diajar beliau. Pak Peter itu salah satu dari sekian dosen yang masuk dalam blacklist mahasiswa. Dari yang ogah jadi anak bimbingan akademiknya, ogah jadi anak bimbingan magang atau skripsinya, dan lebih ogah lagi dapet penguji ujian skripsi.

Pak Peter ini menurut gue pribadi memang bukan tipe dosen yang nyebelin dan banyak mau, bukan tipe si bikin perjanjian di awal semester, dan bukan juga si banyak aturan. Julukan alaska malamute emang paling cocok buat si bapak, badannya gede, wajahnya datar, orangnya dingin, tegas, dan disiplin. Intinya diem-diem mematikan, bodo amat mahasiswa ngerjain tugasnya atau engga konsekuensinya ditanggung pas akhir semester. Lihat nilai D dan E udah biasa, bisa dapet C sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Anjing! Tugas apaan coba kaga ada jurnalnya begini.” Seruan frustasi ga berhenti dilayangkan sobat gue satu ini. Gue perhatiin layar laptop yang bergerak ke atas, ke bawah yang mana tulisan lamannya berubah jadi warna ungu tanda pernah dikunjungi semua.

“Au yak, bapaknya si Nodt noh!” Sahut Bang Ping yang ga jauh beda, lagi mantengin laptopnya juga.

“Tuh orang udah punya bini belum sih, bang? Perangainya kayak kaga pernah dimanjain bininya.”

Ini nih, yang begini nih jadi awal perghibahan duniawi. Gue jadi pengamat aja deh, pun denger pertanyaan sobat gue juga ikut penasaran. Satu tahun ini, pengetahuan gue tentang bapak adalah nihil. Gue hanya jadi seseorang yang mampu provide apa yang dia butuhkan tanpa campur tangan kehidupannya.

Bang Ping humming sebentar, coba kais satu per satu memori tentang manusia satu kampus. “Ada dia, tapi bukan bini anying. Homoan.” Jawabnya enteng.

Gue tertegun, jemari gue sampai ragu mau lanjut ngetik. Sedangkan, Jey udah melotot kaget, detik itu juga dia ga peduli sama tugasnya. Enakan ghibah aja, mana topiknya setara hot gossip acara silet.

“Hush! Homoan banget bang bahasa lu.”

Cowok dihadapan gue garuk-garuk kepala terus benerin tatanan rambut kriwilnya, “Yee, sorry sorry. Maksud gue tuh suami. Udah nikah beliaunya di Belanda.”

Penjelasan si abang ditanggepin sekedar guyonan belaka sama sobat gue. Percaya ga percaya aja udah. “Sokab anying lu, bang. Emang lu tau itu Belanda dari mananya?”

“Yeu, bocah ngeremehin gue!” Jey kena geplak tepat di kepalanya. “Gue pernah jadi ketua kelas dulu, terus ngumpulin tugas ke rumahnya. Ada noh cowok cakep suguhin minum, mukanya sama kek difoto kawinan yang dipajang. Gini-gini gue juga tau bangsat Eiffel di Paris, terus yang kincir-kincir begitu di Belanda, kalo Borobudur di Jogja.”

Jey makin ngakak tawanya, emang ga jelas banget abang-abang satu ini. “Tolol lu, bang!” Katanya ngeledekin.

“Mana ada Borobudur di Jogja, bang. Bikin geografi sendiri.” Gue ikut nimpalin.

“Intinya begitu lah, ada bojo doi. Tapi masalah jatah rumah tangga ya kaga tau lah.”

Jujur, gue baru tau fakta satu itu dan perasaan gue layaknya sedang terombang-ambing. Gue yang datang ke kampus dengan mood di langit ke tujuh mendadak terjun bebas tanpa hambatan menabrak tanah. Sakit, ga enak, ada perasaan pengen muntah.

Gue harusnya bodo amat sama fakta satu itu. Namun sekali lagi, gue cuma manusia biasa. Bukan si profesional dalam bidang ini yang bisa pisahin mana porsi hati untuk diri sendiri dan kerjaan. Saat ini, gue punya perasaan seperti anak muda yang tengah patah hati.

Nodt, ke ruangan saya sekarang.

Speaking of the devil, setannya beneran muncul. Belum juga kelar nata perasaan nyelekit yang mendadak hadir. Ibarat gue jatuh, luka, terus ada orang gila random yang bawa irisan jeruk nipis dan diperes tepat diluka yang masih basah. Makin perih, gue ga mau dulu lihat wajahnya.

Pertanyaannya adalah, emang bisa? Bener, jawabannya tentu ga bisa. Nodt Nutthasid ini yang akhirnya pamit undur diri lebih dulu sama sobat dan kakak tingkatnya.


`hjkscripts.


Nodt Point of View.

Gue meletakkan ponsel sembari buang napas panjang. Hembusannya berat dan juga pasrah. Iya, gue bisa apa memang sama keadaan ini selain duduk, terima, dan bilang makasih.

Fokus gue sejenak ilang, kesadaran gue dihisap menuju alam bawah. Pandangan gue kosong, pikiran kosong, alias gue ngelamun natap apalagi selain tembok di ruangan penuh bau obat-obatan satu ini.

Lengan gue mendadak hangat akan sebuah sentuhan. Rasa itu mensinyalir kinerja sel-sel dalam tubuh gue untuk kembali aktif. Gue akhirnya kembali menghadap kepada realita. Dimana saat bingung pun gue dipaksa untuk tetap tersenyum.

“Iya, ma?” Sahut gue merespon sentuhan perempuan yang paling gue cinta.

Perempuan satu ini dulunya yang paling tangguh. Manusia paling legowo yang pernah gue temui. Perempuan satu ini yang bikin hidup gue tetep gapapa meskipun dihadapkan fakta punya bapak bajingan yang hobinya main daun muda. Perempuan ini yang paling semangat bangun pagi buat kerja biar bisa hidup dan sekolahin gue.

Namun, semuanya hanya tentang dulu. Sebelum mama sering merasakan gejala aneh yang timbul dalam tubuhnya. Tanpa siapa pun sadari, bidadari gue yang terkenal cantik dan sehat ini punya sel kanker yang hobi makan sel baik dalam tubuhnya. Mama yang ceria, mama yang semangat, mama yang selalu punya cerita lucu tentang temen satu kantornya perlahan jadi lemah hingga tak berdaya.

“Mama butuh apa?” Gue kembali bertanya sebab mama hanya tersenyum lemah. Jemari ringkih yang tengah menyentuh permukaan tangan gue mengerat.

Mama menggeleng, tangan gue beliau tarik dan digenggam kuat. “Kuliahnya gimana? Lagi ada kesulitan ya?” Dia kembali bertanya meskipun suaranya terbata.

“Biasalah, ma. Sekolah kan memang tiap hari makin susah.” Gue mengiyakan aja meskipun masalah gue bukan perkara kuliah.

“Kamu istirahat aja, mama gak apa. Udah makan belum?” Gue menggeleng. “Makan dulu sana!” Perintahnya.

“Iya sebentar lagi.”

Pas banget, ketika gue baru akan cek notifikasi yang masuk, ada satu yang curi atensi gue sepenuhnya.

Saya sudah sampai.

Maka, gue putuskan untuk pamit tinggalkan mama sejenak.


Jika diperintahkan untuk menceritakan secara runtut proses pertemuan gue dan yang ternyata bapak dosen mata kuliah program studi. Gue akan jadi bingung dan berakhir menjawab...

ga tau juga gue bingung.

Itupun kalau ada yang nanya, duduk perkaranya sekarang adalah apakah ada yang tau pasal hubungan gue dan pak dosen? Tentu tidak. Sebutlah hubungan kita ini tabu, terlarang atau banyak dari mereka menyebutnya sugar baby-sugar daddy relationship. Apapun itu gue ga peduli, karena tujuan gue adalah tentang uang.

Gue tau kok, pekerjaan yang sedang gue jalani ini negatif dimata khalayak umum. Namun gue, si pemilik nama Nodt Nutthasid adalah sosok yang pola pikirnya udah pergi ga tau kemana kala mama dinyatakan sakit stadium empat dan harus menjalani pengobatan dengan biaya yang ga murah.

Gue si Nodt Nutthasid ini, selain udah hilang kewarasan berubah layaknya superhero jadi insan impulsif yang terima apapun, bagaimana pun caranya untuk dapatkan puluhan juta dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Di sanalah, sosok itu dimunculkan dalam skenario film kehidupan gue. Si sederhana yang sekarang hidup layaknya sultan lengkap tawa luwesnya sembari ongkang kaki. Si sederhana yang tak lagi punya rasa takut akan kekurangan meskipun banyak harta telah dihamburkan. Peran itu dimainkan oleh teman satu angkatan gue, Pong Pongsakorn.

Dari Pong ini gue akhirnya menemukan benang merah baru, dimana ketika gue ikuti sembari menggulung, diujungnya ada seorang pria. Pria yang jauh lebih dewasa dan tua dari gue, yang mana adalah dosen gue sendiri.

Pria yang gue maksud ini, yang lagi berdiri berhadapan dengan jarak ga lebih dari seratus meter dengan gue. Pria yang perlahan kikis jarak di antara kita.

Semakin dekat...semakin dekat...sampai gue hanya bisa menangkap ketukan sol sepatu mahalnya tengah beradu dengan lantai, suaranya senada dengan degup jantung milik gue. Kala akhirnya gue jatuh dalam perangkap tubuhnya, bau parfum khas miliknya selalu buat diri ini terbuai, nyaman. Pelukannya mana pernah gagal buat tempat peraduan.

“Saya rindu, amat rindu sama kamu.” Tuturnya berbisik.

Dia semakin menarik tubuh gue dalam pandunya. Dia jatuhnya bobot kepalanya di atas bahu gue, seakan dia tengah melepaskan segala beban penat yang sudah lama dipikul. Dan gue yang akan berikan usapan lembut penenang.

Inilah tugas gue, sebagai pelarian, menyediakan rumah kedua bagi dia, sebagai tempat pembuangan keluh kesahnya. Sebagai gantinya, uanglah yang berbicara selanjutnya.


`hjkscripts.

a peternodt alternative universe 🔞


Peter Point of View

Malam ini teramat dingin, begitu kata kulitku jika mereka punya mulut. Suasana sunyi meskipun jam masih menunjukkan waktu sibuk, kubiarkan pula angin berhembus menerpa permukaan wajahku. Rasanya pas sekali, mendukung mendung dalam pikiran yang sebentar lagi jadi badai.

Aku menerawang hamparan bangunan di depan sana. Gemerlap lampu berlomba-lomba jadi paling benderang. Detik selanjutnya entah datang dari mana letupan bunga api membumbung apik hiasi awan gelap. Pun, keceriaannya tak mampu hibur diriku yang tengah sendu.

Rasa heran masih menyelimuti, tega nian aku dijadikan kambing hitam dalam gagalnya sebuah proyek besar. Aku memang pemimpinnya, namun bukan berarti jika salah harus aku yang disalahkan atas segalanya. Mereka semua punya tanggung jawab, dan ini terjadi sebab mereka lalai dalam menjalankan.

Jemariku merogoh saku celana. Benda persegi panjang berisi lintingan penghilang penat jadi pilihan kala gundah. Aku mengamati isinya yang tersisa dua batang, pikirku untuk mampir membeli lagi segera. Kuambil satu dari wadahnya dan segera memantik api agar menyala.

Aku menghisap kuat-kuat hingga rongga dada jadi kopong sesaat. Kemudian, kepulan asap membumbung tinggi ku lepaskan bersamaan beban dipundak. Lagi aku hisap, kali ini membawa pergi sejenak kecemasan akan hari esok. Hisapan terakhir, ada ketenangan yang turut hadir.

Satu batang bukanlah perkara sulit. Tubuhku belum puas, aku masih mau lebih. Jadi, aku ambil kotak dengan hiasan gambar menyeramkan dari saku kembali. Jariku menyentuh yang terakhir, satu-satunya linting tersisa namun tak segera aku lakukan. Perasaanku berat, pergelangan tanganku seperti ada penahannya, otakku pun berkata tidak dan mensinyalir syaraf untuk memainkan sebuah rekaman.

“Rokok itu kata guru aku gak baik loh, dad. Bikin batuk, bikin sakit. Gak cuma kamu yang sakit, tapi aku dan pap juga. Gak apa aku dan pap kalau sakit kan ada kamu yang bayar rumah sakitnya. Tapi, kalau kamu yang sakit aku dan pap gak bisa bayar karena nggak bekerja, nggak ada uang kita.”

Itu suara anakku, si kecil yang dulu buat aku dan suami kelimpungan cari cara agar dia bisa berbicara. Sekarang bicaranya melebihi bijaknya pemimpin negara. Senyumku pun terulas, dalam benakku bertanya-tanya sedang apa dia sekarang? Sudah makan atau belum? Sudahkah dia kerjakan tugas yang katanya lebih sulit daripada dokumen kantor?

Aku rindu rumah dan seharusnya memang begitu.

Aku mengurungkan niat untuk mengisi ragaku dengan lebih banyak nikotin. Baru aku sadar bahwa telah berdiri selama dua jam lebih. Aku harus pulang, mengisi daya energi untuk hadapi hari esok.


Nodt Point of View.

Hei mas! It's 9 p.m. pulang ga kamu?

Menunggu, entah berapa lama pun penantian ku, aku akan tetap menunggu. Aku menopang dagu dengan kedua lengan terlipat di atas meja makan. Netra ini bergantian melirik arah tudung saji pelindung makanan, dan sebuah pesan. Gendang telinga ini jadi lebih sensitif dengan sebuah suara. Harapannya hanya satu, terdengar dibukanya pintu kayu.

Pukul sepuluh tepat suara mesin berderu. Aku tak menyangka menanti kehadiran seseorang bisa semenyenangkan ini. Seperti menang perlombaan di bulan Agustus, kala jantung enggan melambat berdebar ketika namamu disebut untuk menerima hadiah sebagai juara utama dihadapan massa.

Aku menyingkirkan tudung saji. Asap tak lagi mengepul menandakan olahan ini telah dingin. Aku bawa satu persatu menuju dapur untuk dipanaskan kembali, sembari menunggu lelaki itu muncul.

Derit kaki kursi beradu lantai keramik mengganggu aktifitas sejenak. Dari celah dapur nampak lelaki diawal empat puluh tahun telah duduk termenung di atasnya.

He definitely not in a good mood. Seperti, dirinya baru saja melintasi jalanan penuh rintangan untuk mencapai rumah.

Dia yang menghela napas berat beberapa kali. Dia yang wajahnya lebih dingin daripada biasanya. Dia yang tengah menopang kepala dengan dua tangannya. Dia juga yang tengah memijat dua sisi pelipisnya. He's having a hard day.

Aku menghampirinya, membawa piring lauk terakhir dan sebuah teh hangat dalam cangkir. Aku sajikan di depannya sembari mendudukkan diri pada kursi kosong tepat di samping dirinya.

Inisiatif ku berkata untuk mengusap punggungnya. Aku bisa rasakan ketegangan menyelimuti tubuhnya. Aku selanjutnya mengambil lengan kirinya. Melepaskan pengait kemeja pada pergelangan tangan, lalu membantu menggulung ke atas.

Senyum kemenangan muncul kala atensinya berhasil aku rebut seutuhnya. Dia menyerahkan lengan satunya untuk diperlakukan sama. Dia membiarkanku pula untuk membebaskan lehernya dari belenggu kain dasi.

“You okay?” Tanyaku sambil merapihkan tatanan rambutnya.

Mendengar lagi helaan napas berat itu menjadi sebuah jawaban yang cukup bagiku untuk mendeskripsikan keadaannya.

“Have you eat?” Dia menggeleng.

“Nafsu ga kalo makan sekarang? Ini semua makanan kesukaan kamu.” Lanjutku yang akhirnya berbuah jawaban verbal dari bibirnya, “I don't think so. I'm sorry.”

Aku cukup mengerti untuk memahami kondisinya. Tak apalah makanan di atas meja kali ini jadi penonton belaka.

“It's ok, mas. Mau ngobrol ga? Apapun, ga harus tentang hari ini. I'm yours.”

Dia mengambil kesepuluh jariku dalam genggamannya. Dia mainkan sebentar layaknya anak kecil yang tengah memohon maaf pada ibunya. Dia itu lucu, terkadang aku suka dia yang lemah begini, aku suka dia yang bergantung padaku, aku suka mendominasi.

“Ta, is he sleeping?” Cicitnya.

“Hum”

“Syukurlah, jadi dia gak perlu lihat dad-nya pulang dengan keadaan berantakan seperti ini.”

“Dia tunggu kamu, tapi baru ucapkan niat lima menit kemudian menguap.”

Dia lepaskan tawa, kecil namun aku suka melihatnya. Harusnya Ta masih terjaga, aku yakin dia bisa jadi obat penat paling mujarab bagi dad-nya.

“Aku tadinya belum ingin pulang, pikiranku terlalu bercabang, emosiku gak stabil. Tapi wajah kamu dan Ta terlintas di pikiranku. Aku rasa benar adanya, rumah adalah tempat yang tepat untuk mengisi daya tenaga. Melihat senyum kamu menyambut kedatanganku, rasanya besok aku sanggup melawan kejamnya dunia.”

Aku tersipu, gila lelaki satu ini. Mulutnya kadang terlampau manis bak habis menelan madu. Mungkin bagi anak muda masa kini, tutur menggodanya cukup kuno dan terkesan menjijikkan. Tetapi bagiku, kata-kata itu bagai mantra ajaib yang mampu menggetarkan hati.

“Mengisi daya itu makan nasi, mas. Bukan godain suaminya.” Aku memukul pahanya ringan melampiaskan rasa malu yang belum mau pergi.

Tawa renyahnya kembali hadir kala sukses menggodaku. Dia membelai bibirku yang sedikit mengerucut sebal, lalu memainkan pipi yang belakangan ini nampak berisi gemas. Jemarinya bergerak mengunci tengkukku, ditariknya maju perlahan, mendekatkan daun telingaku pada bibir tebalnya.

Perasaan merinding ketika hembusan napasnya menerpa daerah sensitifku. Aku meneguk gumpalan air liur tanda mulai gugup.

Dia berbisik, pelan, gunakan suara bariton mencoba pamerkan dominasinya. “I'm not craving rice or any food, sayang.”

Namaku Nodt, aku hanyalah manusia biasa bukanlah dewa suci yang bodoh akan syarat yang dilantunkan. Dia memintaku, segalanya yang jadi milikku.

Sayang seribu sayang, hari ini aku bukanlah Nodt si penurut. Aku bilang suka melihatmu bergantung padaku. Khusus malam ini, aku yang jadi rajanya.


Nodt beranjak, memindahkan pantatnya dari alas kayu keras ke atas pangkuan paha kokoh sang suami. Peter menyeringai penuh kemenangan kala dua lengannya dapat merengkuh pinggang ramping lelaki awal tiga puluh ini.

Lelaki yang lebih muda kini membiarkan lengannya bertumpu pada sisi pundak Peter. Dia mainkan helai rambut sang suami, padahal dia sendiri yang rapihkan tadi.

“So, what do you want to eat for tonight, sir?” Tanyanya dengan nada seduktif.

Peter gemas sendiri, sepuluh jemarinya tak tahan hingga meremas dua buah persik kesukaan, menimbulkan pekikan lucu dari si pemilik. “Anything you serve, your majesty.”

“It's friday night, mas. You know exactly what's going on after this.”

“Friday night, satan party time.”

“Yep, they're partying in here. Whispering to me to serve myself for you.” Nodt mengecup bibir Peter, Ia gigit sedikit hingga robek keluarkan cairan merah.

Peter terkekeh, Ia usap bercak darah yang menempel di bibirnya. “How kind they're.”

“Right...” Nodt mengangguk setuju, “They're kind, but I'm not. Tonight I'm not yours, instead you're mine.” Finalnya.

“Please, your majesty... lead me.” Pintanya pasrah.

Kecupannya dimulai tanpa ada kelembutan. Salahkan nafsu birahi yang telah berada di puncak mencoba mencuri seluruh kewarasan.

Nodt terus menekan bibirnya, Ia raup bibir bawah milik Peter penuh semangat. Ia lumat, Ia hisap bak mengkonsumsi pil ekstasi dimana tiap penikmatnya akan terjerembab dalam candu.

Ia melayang, kala kegiatan saling memanggut itu bersamaan tubuhnya dimanjakan. Peter menyusupkan dua tangannya dalam kemeja longgar yang Nodt kenakan. Dalamnya polos, sebab lelaki di atas pangkuannya bukan pecinta kaus dalam. Pertama, Peter berikan usapan lembut pada punggung halusnya, Ia salurkan rasa aman dalam rengkuhannya. Selanjutnya, Peter meraba lekuk perut ratanya, Peter selalu suka proporsinya, tidak berlebihan, cantik sehingga cocok di badannya. Terkahir, Peter dengan instingnya bergerak ke atas, perlahan hingga...

Ahhh!

Ia tersenyum akan respon dari tubuh suaminya. Ia ulangi sekali lagi, sekali lagi, hingga dirinya putuskan untuk bermain sejenak dengan dua gundukan mungil di dadanya.

Ughh...

Ahh...Ssshh...

“I just know that you wear my shirt.” Ucap Peter ditengah dadanya yang naik turun.

“Aku sengaja...” Balas Nodt minim kata sebab terbata. Dirinya masih sibuk raup oksigen untuk mengisi kekosongan paru-parunya. “It's yours, the finest, the pricey one. Your birthday gift from me, so you would thinking twice to rip it.”

“Then rip mine, your majesty. Show your power over me.” Ujarnya menggoda. Peter menjilat, mengecup gemas pahatan tato bertuliskan 'HUMBLE' pada ujung bisep milik Nodt. Pemiliknya tak ayal tersipu malu hingga pipinya bertabur bubuk merah muda.

Lelaki di atas pangkuannya kini tertawa puas, Ia berikan sebuah kecupan di tiap titik parasnya sebagai kompensasi atas kesediaannya untuk mengabdi.

“Tapi jangan di sini, mas. Tomorrow is Friday, I don't want to get back pain after this.”

“Sure, sayang...Let's move to our real battlefield, we fight, we die, and fly to nirvana together.”

Benar apa kata mereka, bahwa kita dan rumah bagaikan ponsel lemah baterai bertemu pengisi daya. Lelah kita pulang, siapkan diri untuk esok kembali melalang.


`hjkscripts.


Peter Point of View

Mas, have something to talk to. See you later at home.

Semenjak kepergianmu, saya merasa kosong. Seakan hati saya dilubangi paksa sehingga isinya banyak keluar, saat ini tinggal lah kopong. Saya hampa, saya tak dapat rasakan apa-apa. Saya seolah hidup, tapi mati juga belum ingin menerima.

Hidup saya sunyi, jauh lebih sunyi daripada sebelumnya. Saya layaknya berjalan sendirian di ruangan gelap, langkah sepatu beradu lantai dasar yang menggema jadi pendamping saya.

Kesiapan ini, kesendirian ini, saya mana sanggup. Saya butuh dengar hingar bingar dunia. Maka, tujuan saya bukanlah rumah, melainkan tempat hiburan malam jadi pilihan.

02.10

I'm completely being drunk crazy man.Saya tak peduli berapa lama suami menunggu kedatangan saya. Saya tak peduli seberapa percikan emosi yang akan dilontarkan dia kepada saya. Karena saya ingin berjalan sendiri, tanpa bimbingan, tak peduli jika nantinya tersesat.

Kaki lemah ini terus melangkah, terseok namun pasti sembari jemari bergetar selalu mencari pegangan untuk menopang saya berdiri.

Rumah gelap sepi, lagi-lagi kesepian ini saya benci. Saya sampai dalam ruangan penuh debu. Saya nyalakan lampunya, menampilkan kenangan terdahulu.

Ruangan ini, kamar ini adalah sebuah museum tentang saya dan masa lalu. Saya jatuh tersandung, tersungkur di atas dinginnya lantai. Lalu saya menangis, mengerang kesakitan tatkala film dari lampau terputar kembali.

“Kenapa? Kenapa kalian meninggalkan saya sendiri?”

“Thana, teganya kamu pergi. JJ sudah tiada lantas aku sendiri.”

“Harusnya kamu di sini, harus kita berada di sini. Rumah ini aku usahakan untukmu, untuk menemaniku hingga masa tua nanti.”


Nodt Point of View

Pukul dua dini hari aku terbangun akan sebuah mimpi buruk. Ragaku basah kuyup bak diterjang banjir bandang. Aku mengatur napasku sejenak, “Tuhan pertanda apa lagi ini?”

Ketenangan kembali merasuki jiwaku. Aku mulai bisa mengontrol semua gerak tubuhku. Pertama, aku memastikan Ta masih terlelap.

He's quiet and soundly.

Kedua, aku meraba samping kiri dan mendapati bagian kosong. He's not coming home yet?

Harusnya saat ini aku kembali tidur saja

Harusnya aku menjadi sosok si tidak peduli

Harusnya aku tak melangkah keluar kamar untuk mencari

Harusnya, harusnya, dan harusnya. Semua sudah terlambat, sebab aku mendengar semuanya. Karena aku akhir tau segalanya.

Katakanlah kamu berubah, nyatanya kamu masih terjebak. Katakanlah kamu ingin dibimbing keluar, nyatanya kamu masih ingin terperangkap.

Bagimu, bagi hati nuramu, bagi jiwa dan ragamu, aku ini apa? Aku adalah manusia biasa yang punya batas kesabaran, aku hanyalah manusia biasa yang punya berjuta emosi. Aku bukanlah robot yang diciptakan tanpa perasaan dan pikiran. Aku bukanlah sosok hewan peliharaan yang akan senantiasa menjadi hiburan dikala kamu terpuruk tak peduli karena apa.

“Kenapa? Kenapa kalian meninggalkan saya sendiri?”

Aku di sini, setia berada di sampingmu. Kamu tidak lagi sendiri.

“Thana, teganya kamu pergi. JJ sudah tiada lantas aku sendiri.”

Aku bilang, aku di sini menemani kamu. Hanya saja aku bukanlah Thana.

“Harusnya kamu di sini, harus kita berada di sini. Rumah ini aku usahakan untukmu, untuk menemaniku hingga masa tua nanti.”

Aku...aku sakit hati. Batas sabarku mengatakan aku harus berhenti dan mulai berlari. Nuraniku menjerit enggan disakiti lebih dari ini.

Aku pamit, jika kamu terbangun dan tak menemukanku ada di sampingmu lagi. Itu karena aku yang memilih pergi.


`hjkscripts.

Nodt terpukau akan asrinya rumah paruh baya yang Ia datangi. Rumah berpondasi batu bata merah nampak menyejukkan dilengkapi interior rotan dan tanaman hias. Bau khas taman tercium kala langkah kaki terus melaju mendekat ke arah pintu.

Diketuk dengan nada sebanyak tiga kali, tak perlu lama menanti pemiliknya hadir menyambut. Wanita bernama Maya kini memeluk Nodt layaknya putra sendiri.

Tubuh jangkung itu dituntun masuk. Nodt sedikit kecewa karena menolak tawaran wanita dermawan untuk tinggal bersama. Rumah ini cocok dengan style-nya, rumah seperti ini masih ada dalam angannya.

“Mau minum apa?” Tawarannya ramah. Nodt tak lupa dipersilahkan duduk.

“Air mineral cukup kok tante.” Jawabnya tak kalah sopan.

“Kamu tuh jauh-jauh kok cuma minta air putih, tante buatin sirup ya? Suka manis apa enggak?”

Nodt tersenyum kikuk, Ia hanya mampu mengangguk lalu berucap terima kasih.

Ketika Tante Maya telah kembali dengan gelas berisi minuman dikedua tangannya, Nodt menyerahkan sepucuk surat yang jadi maksud dirinya bertandang. Nodt perhatikan binar wajah wanita dihadapannya yang tak dapat Ia definisikan.

Butuh waktu setengah jam untuk membaca lembaran kertas berisi tulisan yang Nodt sendiri belum tau apa isinya. Hanya yang Ia tau didalam sana berisi setiap emosi yang mamanya simpan sendiri.

Terakhir, setelah Tante Maya menyelesaikan seluruhnya, beliau beranjak mendekat ke arah Nodt lalu memeluk pemuda itu penuh kasih sayang.


Deru mesin mobil terdengar mendekati rumah. Beberapa detik kemudian riuhnya berganti senyap. Selanjutnya, langkah kaki berat akan sepatu yang beradu tanah mulai berdendang.

Tante Maya tersenyum berarti seolah tau siapa yang datang. Sosok ibu kini berdiri penuh harap menghadap pintu masuk. Ketika dibuka dari luar oleh seseorang, layaknya datang ke acara pesta ulang tahun, sosok itu disambut meriah.

“Nah ini akhirnya datang! Kamu ya mami suruh datang pagi jam segini baru sampai.” Gerutunya sebal sebab beliau memang menunggu kedatangan sang putra.

Peter itu wajahnya datar, minim ekspresi, beda sekali dengan ibunya yang penuh warna. Apalagi dia berdandan layaknya malaikat kematian, serba hitam dari ujung kepala hingga sepatu yang Ia kenakan.

Jujur Nodt tak suka dengan suasana ini, dimana ada orang lain yang tak Ia kenal tiba-tiba datang. Nodt sendiri gak jago pasal bertemu orang baru. Mana kala tubuh Tante Maya sedikit bergeser, Nodt dapat melihat sosok Peter dengan kasat. Ia sempat membeku, bingung harus bagaimana dirinya berlaku.

Senyum kecil dari bibirnya Ia jadikan pilihan, namun dijawab raut datar. Nodt putuskan kontak mata secepat mungkin sebelum Ia semakin terintimidasi. Nodt ingin pulang saat ini.

“Maaf tante, saya izin pamit pulang kebetulan hari sudah sore.” Tutur Nodt sedikit menyela interaksi ibu dan anak.

Tante Maya menatap Nodt dengan raut dibuat kecewa. Belum ada setengah jalan ceritanya dan sang mama sempat diungkapkan kembali. Namun memang, melihat awan dengan semburat ungu mendadakan waktu hampir jadi malam.

“Oh iya, kamu pulang naik apa ganteng?” Tanya beliau. “Tante nggak lihat tuh ada kendaraan pas kamu datang.” Lanjutnya.

“Saya naik taksi online.”

“Kalau gitu, nih mumpung ada anak tante mau ya dianter?”


Nodt ingin pulang, begitu doanya lima menit yang lalu. Tuhan memang benar tak pernah tidur, buktinya doanya langsung terkabul. Dia memang pulang, namun bukan sendiri melainkan bersama orang yang entah mengapa ingin Ia hindari.

Nodt lagi-lagi benci dengan keadaan. Kali ini dia benci karena harus duduk berdampingan di dalam ruangan sempit berbentuk mobil. Peter memang diam, terlampau sunyi malah, pun begitu aura yang dikeluarkan membuat Nodt merasa kecil. Sebutlah Nodt berlebihan sampai harus mengeratkan jemarinya pada sabuk pengaman.

“Rumah duka kemarin, rumah kamu?” Akhirnya, keterdiaman ini usai. Akhirnya, ada kalimat yang terlontar. Harus dirayakan, sebab kalimat yang keluar dari bibir Peter merupakan yang pertama dalam komunikasi yang mereka bangun.

Nodt mengangguk meskipun Peter tak lepas pandang sedikitpun dari jalan, “Betul, itu rumahku.”

Sekian dari mereka berdua, author akan undur diri. Author benci menggambarkan betapa sepinya diantara mereka. Peter sebagai pemilik armada enggan pula menyalakan radionya.

Tunggu, belum waktunya scene ini selesai, sebab detik kemudian Nodt beranikan diri membangun jembatan komunikasi.

“Saya Nutthasid, Nodt Nutthasid.” Celetuknya tiba-tiba. Nodt merasa Ia butuh memperkenalkan diri lebih proper daripada waktu lalu Ia sibuk menangis.

Ungkapan Nodt tak langsung berbalas. Hingga Nodt meruntuki dirinya sendiri karena merasa sok akrab.

“Peter Knight.” Balas si pria dingin singkat.

Nodt tersenyum malu-malu, menurutnya nama itu cocok dengan kepribadiannya, “Right, Kak Peter. Sounds good.”

“Saya bukan kakak kamu.”

What the name of hell?

Nodt pikir inisiatifnya membawa kembali balasan positif. Namun, Ia salah kaprah, Peter Knight bukan manusia yang mudah ditebak.

“Kalau begitu Peter. Just Peter.”

“Saya yakin, saya jauh lebih tua daripada kamu.”

God, Please help Nodt getting out from here asap!

Terakhir, ini akan jadi yang terakhir Nodt berbicara dengan orang satu ini.

“Mas Peter?”

Hening... Nodt beranikan diri menoleh tuk meneliti tiap perubahan rupa lelaki disebelahnya.

“Mas Peter? How is it?” Nodt mengulang sekali lagi.

“Hmm... Whatever suit you.”

Nodt tak pernah tau bahwa jawaban Peter yang satu itu bisa membuatnya amat bahagia.

“Mas Peter it is.”


`hjkscripts.


Nodt Point of View

Ngobrol katanya, dari hati punya hati ujarnya. Aku tak tahu seberapa besar batas kekuatan komunikasi, pun aku menyadari cara itu banyak berhasilnya. Dua kali pasalnya dan aku berakhir semakin jatuh akan pesonanya. Dia dengan mata tajamnya tersirat memohon, dia dengan bibir tebalnya melantunkan kata demi kata berupa penjelasan, dia dengan gestur afeksi lembutnya menjadi penutup, dan aku akan jadi si pendengar yang pada akhirnya mencoba mengerti serta memaafkan.

Aku membawa dua gelas teh hangat dengan kepulan asap masih membumbung di udara. Sebelum kuletakkan di atas meja ruang santai, Peter turut berdiri membantu. Aku menyesap demi sedikit, rasa hangat merasuk dalam tenggorokan. Peter di sampingku, aku tau dia tengah memandangi dari posisinya. Tubuhku terlonjak kala jemari besar nan panjang menyentuh helai rambutku. Ia merapihkan yang berantakan telaten, menyempatkan membelai sebentar, lalu menyampirkan beberapa ke belakang telinga mencegahnya agar tak masuk dalam cangkir.

Derit sofa terdengar sebelum guncangan kecil terjadi akibat raga berisinya bergeser. Aku terhimpit di antara lengan sofa dan dirinya, jarak kami semula selebar lautan, sekarang hanya disekat debu. Aku meletakkan cangkir kembali pada asalnya, kemudian membiarkan fase talked it out mendekati sebuah momentum. Dia melingkarkan satu lengannya mendekap bahuku. Dia menarikku pelan takut-takut jika aku menolak. Aku melemas, aku pasrah, aku lagi-lagi dengan mudah masuk dalam pelukannya.

Nyaman, hangat, aku sangat suka. Jika keadaan akan lebih baik nantinya, aku ingin lakukan ini seharian, tanpa waktu jeda, sembari menghitung helai rambut halus yang tercetak di dadanya. Entah butuh berapa lama, tak peduli berapa banyak. Karena di sini, dalam rengkuhannya aku merasa dilindungi.

I miss you.” Bisiknya bersamaan nafas lega meluncur begitu saja. Dia mengecup puncak kepalaku beberapa kali, kian detik semakin erat dekapannya seakan takut aku pergi.

I miss you.” Bisiknya sekali lagi.

Apakah benar itu untukku?

Apakah benar penampakanku yang tengah kau lihat saat ini?

I miss-”

“Siapa Thana?” Tembakku langsung, cepat, tepat menembus ulu hati. Belaian menyenangkan pada kepalaku berhenti, Aku bisa rasakan syarafnya menegang hingga raganya kaku.

“Dia...dia-” Tuturnya ragu. Aku bisa rasakan degub jantungnya bertalu.

“Tolong, tolong aku agar bisa lepas dari keraguan ini. Kamu terlalu sulit untuk aku pelajari sebab kamu seputih susu bukan sebening air. Kamu terlalu sulit untuk aku baca bak buku kehilangan beberapa halamannya. Kamu tak terduga, kamu abstrak hingga terlalu sulit bagi aku untuk menebak isinya.”

Peter terpaku akan ucapanku, dia alihkan gugupnya dengan berikan banyak kecupan di dahiku. “Thana masa laluku...” Mulainya. Dia berhenti sejenak, memilah tatanan kata mana yang harus diungkapkan.

“Dia masa laluku, dia yang pertama buat aku.” Lanjutnya. Peter menarik napasnya berat, lalu menghembuskan perlahan. “Dan dia masih jadi yang pertama buat aku, belum terganti sampai detik ini.”

Hancur, hatiku hancur berkeping-keping

Runtuh, duniaku runtuh sisa debu

“Aku minta maaf.”

Tidak, jangan dengar maafnya lagi. Jangan terima begitu mudah kembali. Aku sakit, seluruh badanku seakan dihantam beban berpuluh kilo. Aku ingin lari, menyendiri, tak mau dikenali. Hanya Nodt satu ini bodoh bukan main karena cinta, berakhir selalu bertahan bersama rasa sakitnya.

“Thana sudah pergi jumpa dengan bahagianya. Tapi aku masih terperangkap dalam sumur masa lalu. Aku sendirian dan aku kebingungan cari jalan keluar.”

“Aku butuh seseorang untuk menarikku, untuk jadi cahaya penerang jalanku. Karena aku ingin bebas, karena aku ingin bahagia juga. Maka dari itu aku mengikatmu, tolong aku sayang... selamatkan aku dari penderitaan ini.”

Pada akhirnya, cerita ini kembali selesai dengan aku yang kembali kalah. Aku si lemah akan cinta kembali mencoba mengerti dan memaafkan.


`hjkscripts.


Peter Point of View

Datang dan pergi dalam sudah semestinya terjadi dalam periode siklus kehidupan. Namun saya masih bingung, mengapa datang selalu bawa kegembiraan sedangkan kepergian menimbulkan luka. Saya sebenarnya benci jika harus menghadiri pemakaman meskipun saya tahu yang dikebumikan bukanlah orang terdekat saya.

Kala langkah kaki pertama menginjakkan rumah kediaman, pilu tangis menggema dalam ruangan. Saya tak dapat mengidentifikasi siapapun di sana akibat semuanya berpakaian hitam. Mami menggapai lengan saya, genggamannya erat hingga saya harus menopang tubuhnya. Dahi saya mengernyit, pertanyaan pasal siapa yang ada di dalam peti jenazah mulai menghantui.

Mami mulai terisak sembari kami berjalan mendekat ke arah peti perlahan. Kumpulan manusia di depan beri jalan bak pintu istana terbuka. Bersamaan itu pula, suara raungan menyesakkan kian lantang. Sosok pemuda bersimpuh disamping beku tubuh sang ibunda, Ia mengutarakan kesedihan dan penyesalan berharap itu semua mampu menghidupkan jasadnya kembali.

“Nodt?” Mami menghambur memeluk pemuda yang dipanggil Nodt.

Seolah berada dalam pertandingan lari estafet, kini giliran mami yang menangis. Mimik pemuda itu bingung hingga Ia lupa tangisnya, pun begitu Ia tetap memberikan tempat ternyaman bagi mami dalam dekapannya.

“Nodt, maaf saya baru datang ketika Irene sudah tak lagi di dunia. Maaf saya tak pernah ada untuk Irene waktu dia sakit.”

No, it's ok. Boleh saya tau hubungan anda dengan mama saya?”

Saya tanpa sadar terseret masuk dalam percakapan mereka. Rasa penasaran akan pemuda ini membuka lebar-lebar indra pendengar saya. “Perkenalkan saya Maya, sahabat Irene dari masa SMA.” Mami memperkenalkan dirinya.

“Ini anak saya, Peter. Peter ini anak mendiang teman mami, Nodt.”

Binar sembab itu pertama kali bersitatap dengan milik saya. Sendu, suram, kebahagiaannya hilang entah kemana. Saya mengulas senyum kecil membalasnya dan hanya butuh waktu tiga detik sebelum Ia memutus kontak. Dalam waktu singkat itu, hanya dalam tiga detik itu alam mampu mengetik lembar jalan cerita tak terhingga jumlahnya dengan nama kami berdua menjadi sang pemeran utama.


unexpected letter.


Nodt Point of View

Benar kata desas-desus disana bahwa yang namanya orang tua itu pusat dunia, bahwa orang tua itu segalanya. Aku baru sadari sekarang ketika telah ditinggal keduanya. Nodt sekarang adalah si sendiri, Nodt hari ini dan seterusnya yang akan ditemani sepi.

Aku amati kamar besar yang telah sunyi. Bau pengap bercampur debu jadi penyambut ketika kuberanikan diri membuka pintu kayu. Aku menyusuri tiap sudutnya, aku berjalan kecil beriringan serta tiap kenangan yang berputar dalam memori. Terakhir aku berdiri, dihadapan lemari jati yang nantinya akan menyeretku lebih dalam menuju dunia lama sang mama.

Kubuka perlahan keempat pintu lemari. Telah kusiapkan pula banyak kardus untuk menampung isinya. Aku telah putuskan untuk membagikan segenap memori dalam sebuah benda pada orang lain yang membutuhkan daripada menyimpan sendiri bersama duka.

Satu persatu kain aku pilah. Perlahan namun pasti aku turunkan banyak dokumen di atasnya. Aku duduk diantara dinginnya lantai, detik kemudian aku tersenyum kala album foto tak sengaja mulai kujelajahi.

Mama dulu sangat muda, dia si wanita pecinta olahraga, banyak gunung yang berhasil dia taklukkan. Sekarang aku percaya bahwa ceritanya bukannya dongeng belaka, energi mudanya banyak diturunkan padaku saat ini.

Maya dan Irene sahabat selamanya.

Jemariku mengukir tiap huruf yang ditulis dengan cantik. Aku telah sampai pada album kesekian. Album satu ini unik, kesannya ceria dan menyenangkan ketika membukanya. Aku sontak teringat satu rupa wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Maya.

“She was coming for you, ma.” Gumamku dengan nada lirih.

Aku pun melanjutkan perjalanan mereka berdua. Sungguh benar, buku ini adalah sebuah petualangan dua remaja perempuan yang menyenangkan. Hingga terakhir hatiku dibuat sedih.

Hari terakhir bersama Maya.

Sampai bertemu saat cita-cita kita tercapai nanti!

Begitu mama menulisnya. Foto itu diambil ketika hari wisuda. Mereka mengenakan kebaya dilapisi toga dengan senyum menawan.

Sebelum aku benar-benar menutup kisahnya, sebuah surat tersemat di dalamnya. Aku pun mengambilnya, masih cantik, tersegel dalam amplop. Aku tahu ini mama yang menulisnya, aku hafal sekali tulisan tangannya.

Surat ini untuk sahabatku Maya.


first time talk.

Nodt terpukau akan asrinya rumah paruh baya yang Ia datangi. Rumah berpondasi batu bata merah nampak menyejukkan dilengkapi interior rotan dan tanaman hias. Bau khas taman tercium kala langkah kaki terus melaju mendekat ke arah pintu.

Diketuk dengan nada sebanyak tiga kali, tak perlu lama menanti pemiliknya hadir menyambut. Wanita bernama Maya kini memeluk Nodt layaknya putra sendiri.

Tubuh jangkung itu dituntun masuk. Nodt sedikit kecewa karena menolak tawaran wanita dermawan untuk tinggal bersama. Rumah ini cocok dengan style-nya, rumah seperti ini masih ada dalam angannya.

“Mau minum apa?” Tawarannya ramah. Nodt tak lupa dipersilahkan duduk.

“Air mineral cukup kok tante.” Jawabnya tak kalah sopan.

“Kamu tuh jauh-jauh kok cuma minta air putih, tante buatin sirup ya? Suka manis apa enggak?”

Nodt tersenyum kikuk, Ia hanya mampu mengangguk lalu berucap terima kasih.

Ketika Tante Maya telah kembali dengan gelas berisi minuman dikedua tangannya, Nodt menyerahkan sepucuk surat yang jadi maksud dirinya bertandang. Nodt perhatikan binar wajah wanita dihadapannya yang tak dapat Ia definisikan.

Butuh waktu setengah jam untuk membaca lembaran kertas berisi tulisan yang Nodt sendiri belum tau apa isinya. Hanya yang Ia tau didalam sana berisi setiap emosi yang mamanya simpan sendiri.

Terakhir, setelah Tante Maya menyelesaikan seluruhnya, beliau beranjak mendekat ke arah Nodt lalu memeluk pemuda itu penuh kasih sayang.


Deru mesin mobil terdengar mendekati rumah. Beberapa detik kemudian riuhnya berganti senyap. Selanjutnya, langkah kaki berat akan sepatu yang beradu tanah mulai berdendang.

Tante Maya tersenyum berarti seolah tau siapa yang datang. Sosok ibu kini berdiri penuh harap menghadap pintu masuk. Ketika dibuka dari luar oleh seseorang, layaknya datang ke acara pesta ulang tahun, sosok itu disambut meriah.

“Nah ini akhirnya datang! Kamu ya mami suruh datang pagi jam segini baru sampai.” Gerutunya sebal sebab beliau memang menunggu kedatangan sang putra.

Peter itu wajahnya datar, minim ekspresi, beda sekali dengan ibunya yang penuh warna. Apalagi dia berdandan layaknya malaikat kematian, serba hitam dari ujung kepala hingga sepatu yang Ia kenakan.

Jujur Nodt tak suka dengan suasana ini, dimana ada orang lain yang tak Ia kenal tiba-tiba datang. Nodt sendiri gak jago pasal bertemu orang baru. Mana kala tubuh Tante Maya sedikit bergeser, Nodt dapat melihat sosok Peter dengan kasat. Ia sempat membeku, bingung harus bagaimana dirinya berlaku.

Senyum kecil dari bibirnya Ia jadikan pilihan, namun dijawab raut datar. Nodt putuskan kontak mata secepat mungkin sebelum Ia semakin terintimidasi. Nodt ingin pulang saat ini.

“Maaf tante, saya izin pamit pulang kebetulan hari sudah sore.” Tutur Nodt sedikit menyela interaksi ibu dan anak.

Tante Maya menatap Nodt dengan raut dibuat kecewa. Belum ada setengah jalan ceritanya dan sang mama sempat diungkapkan kembali. Namun memang, melihat awan dengan semburat ungu mendadakan waktu hampir jadi malam.

“Oh iya, kamu pulang naik apa ganteng?” Tanya beliau. “Tante nggak lihat tuh ada kendaraan pas kamu datang.” Lanjutnya.

“Saya naik taksi online.”

“Kalau gitu, nih mumpung ada anak tante mau ya dianter?”


Nodt ingin pulang, begitu doanya lima menit yang lalu. Tuhan memang benar tak pernah tidur, buktinya doanya langsung terkabul. Dia memang pulang, namun bukan sendiri melainkan bersama orang yang entah mengapa ingin Ia hindari.

Nodt lagi-lagi benci dengan keadaan. Kali ini dia benci karena harus duduk berdampingan di dalam ruangan sempit berbentuk mobil. Peter memang diam, terlampau sunyi malah, pun begitu aura yang dikeluarkan membuat Nodt merasa kecil. Sebutlah Nodt berlebihan sampai harus mengeratkan jemarinya pada sabuk pengaman.

“Rumah duka kemarin, rumah kamu?” Akhirnya, keterdiaman ini usai. Akhirnya, ada kalimat yang terlontar. Harus dirayakan, sebab kalimat yang keluar dari bibir Peter merupakan yang pertama dalam komunikasi yang mereka bangun.

Nodt mengangguk meskipun Peter tak lepas pandang sedikitpun dari jalan, “Betul, itu rumahku.”

Sekian dari mereka berdua, author akan undur diri. Author benci menggambarkan betapa sepinya diantara mereka. Peter sebagai pemilik armada enggan pula menyalakan radionya.

Tunggu, belum waktunya scene ini selesai, sebab detik kemudian Nodt beranikan diri membangun jembatan komunikasi.

“Saya Nutthasid, Nodt Nutthasid.” Celetuknya tiba-tiba. Nodt merasa Ia butuh memperkenalkan diri lebih proper daripada waktu lalu Ia sibuk menangis.

Ungkapan Nodt tak langsung berbalas. Hingga Nodt meruntuki dirinya sendiri karena merasa sok akrab.

“Peter Knight.” Balas si pria dingin singkat.

Nodt tersenyum malu-malu, menurutnya nama itu cocok dengan kepribadiannya, “Right, Kak Peter. Sounds good.”

“Saya bukan kakak kamu.”

What the name of hell?

Nodt pikir inisiatifnya membawa kembali balasan positif. Namun, Ia salah kaprah, Peter Knight bukan manusia yang mudah ditebak.

“Kalau begitu Peter. Just Peter.”

“Saya yakin, saya jauh lebih tua daripada kamu.”

God, Please help Nodt getting out from here asap!

Terakhir, ini akan jadi yang terakhir Nodt berbicara dengan orang satu ini.

“Mas Peter?”

Hening... Nodt beranikan diri menoleh tuk meneliti tiap perubahan rupa lelaki disebelahnya.

“Mas Peter? How is it?” Nodt mengulang sekali lagi.

“Hmm... Whatever suit you.”

Nodt tak pernah tau bahwa jawaban Peter yang satu itu bisa membuatnya amat bahagia.

“Mas Peter it is.”



“Gimana kerjaan kamu, Job? Ada peningkatan?” Suara papa interupsi keheningan di atas meja makan. Paruh baya itu meletakkan alat makannya terbalik dan menyilang di atas piring tanda Ia telah selesai.

Job gugup, Ia sesap sedikit air putih untuk bersihkan sisa makanan dalam mulutnya, lalu Ia usap bibirnya dengan serbet sebelum menjawab, “Saya masih dibagian quality control cuma lebih sering di kantor daripada lapangan, pa.”

“Kamu saya lihat sulit sekali berkembang. Coba lihat anak papa ini, padahal umurnya lebih muda daripada kamu sudah jadi kepala.” Balasnya.

“Pa...”

Rengekan Bas enggan digubris, Ia lanjutkan kalimat setajam pisau yang menurutnya adalah sebuah motivasi. “Kalau gini gimana saya bisa percayakan anak saya sama kamu? Saya lebih percaya dia bisa hidup mandiri. Kalau sama kamu, yang ada kamu dihidupi sama dia.”

Ulasan senyum Job nampak getir. Jujur Ia terbiasa, namun terbiasa bukannya tidak menyakitkan. Job ingin keluar dari ruangan ini, Job ingin nyalakan sebatang penuh kesenangan hanya untuk uapkan kusutnya pikiran bersama asap.

Namun, kala telapak halus itu menyentuh permukaan tangannya, hangat menyeruak dalam diri. Job tahu, Ia harus bertahan hingga akhir.


Job Point of View

“Gue udah biasa...” Gumam gue pelan, namun gue yakin Build yang lagi sibuk sama kegiatan nyeduh kopi bisa denger.

Gue terus berucap pada diri gue bahwa hal seperti ini memang sudah biasa. Hal yang selalu menohok hati ini memang jadi konsekuensi si sederhana yang pacaran sama si sempurna.

Tapi tetap aja, hal yang biasa ini gue timbun, menumpuk, dan sekarang jadi kerat di hati, dimana jika gue berusaha buat ngilangin bakal kerasa perih.

“Apa gue nyerah aja yak?” Tawa getir lolos dari bibir gue. Pertanyaan itu selalu muncul ditiap momen keterpurukan gue, namun bisa sirna secepat gue dihadapkan akan senyumnya keesokan hari.

Dia yang punya nama Bas. Kita ketemu waktu kuliah, dia jadi si nerd yang kebetulan gue adalah kakak pembinanya waktu maba. Dia yang selalu manggil gue mas daripada kakak. Dia yang selalu hadir disetiap acara orientasi bahkan ketika temen-temennya bolos berjamaah.

Dia adalah Bas, si perfeksionis, yang akhirnya lulus duluan daripada gue kakak tingkatnya. Dia yang malah nyemangatin gue waktu skripsian sambil ngerintis karir di kantornya. Dia adalah pacar gue.

“Lu kalo putus ama Bas emang ada yang mau sama elu, sob?” Sahut Build sambil nyerahin satu gelas berisi kopi yang masih ngepul asapnya.

Gue senyum lalu menunduk malu karena pertanyaan sekaligus pernyataan Build itu bener.

“Bas mah putus sama elu yang gantiin banyak tinggal milih, bahkan speknya tinggi-tinggi.” Tambahnya.

Asli gue udah mau nangis aja, ngeliat Bas bahagia sama yang lain lewat dikepala gue aja sesek rasanya.

“Tapi itu Bas, sob. Cowok yang cinta matinya elu, dia itu Bas yang menganggap elu nih yang paling hebat di dunia. Dia itu Bas yang melihat elu apa adanya, tanpa embel-embel apapun.”

Bener lagi, dia itu emang Bas yang pernah bilang ke gue rela hidup miskin asalkan sama gue. Sampis emang, tapi gue deg degan. Kata-katanya dia yang satu itu jadi motivasi gue yang sekarang. Job yang dewasa, Job yang bekerja keras, Job yang selalu berusaha.

“Sialan lu!” Gue tonjok kecil lengan sohib gue sebagai tanda terima kasih.

“Besok samperin, ajak ngobrol baik-baik.”

“Siap bos!”


Job Point of View

Gue belum pernah sebaik hari ini. Tadi pagi jemput pacar, ngeboncengin dia sambil dipeluk dari belakang, terus sarapan soto bareng. Ibarat orang ngeliat udah mesra banget. Bahkan kerjaan numpuk di kantor gak bikin semangat gue luntur.

Perut keisi, gue pamit mau melipir ke kafe kantor dulu buat isi energi. Persetan tanggal tua dan harus ngeluarin tiga puluh ribu demi dua shots americano, gue butuh banget.

Saat masuk ke dalam aroma kopi kecium pekat. Gue mengedarkan pandangan untuk mencari pacar gue. Ketika gue kunci wajah manisnya, raut muka gue pun dibuat kesel. Dia nggak sendirian, ada Pak JJ selaku direktur operasional.

Gue mematung diambang pintu hingga tatapan gue dibales sama milik Bas diseberang sana. Dia memandang gue panik, sedangkan gue balas dengan tatapan kecewa dan berlalu menuju toilet.

“Mas?” Suara itu mengalun pelan. Bas ternyata ngikutin gue ke toilet. Gue gak pengen emosi, gue tarik napas dalam terus hembuskan perlahan demi meredam amarah gue.

“Mas...” Suaranya makin lirih dan ada nada ketakutan disana. Dia ngeraih kain lengan baju gue buat digenggam.

Bingung, gue juga gak tau kenapa gue belakangan ini jadi sensitif. Gue yang biasanya pasrah dan legowo jadi sering pengen meronta. Apapun pasal Bas serba nyentil hati kecil gue.

Sekali lagi gue buang nafas kasar, pejamin mata sejenak, lalu begitu aja amarah gue surut. Gue tarik tubuh berisi yang amat lebih pendek dalam pelukan. Dia dengan napas putus-putusnya masih berusaha jelasin kalo gak ada apa-apa bahkan sebelum gue dateng.

Bas itu paling gak suka kesalahpahaman diantara kita. Dia yang selalu gak bisa tidur kalo hari itu kita berantem. Dia si overthinking.

“Iya aku ngerti, maaf gak dengerin kamu dulu.” Kata gue menenangkan. Emang salah gue yang langsung ambil konklusi, emang salah gue dan mood gue yang lagi up and down gak jelas.

“Pak JJ udah balik kok, ayok ngopi berdua aja sama aku.” Cicitnya lucu.

Gue lepas dia, namun gue ganti tautkan jemari tangan kita. Gue gandeng dia posesif buat balik ke meja kafe.


Job Point of View

“Aku aja yang bayar.” Bas beranjak. Sebelum dia berlalu menuju kasir gue lebih dulu menahan tangannya.

“Aku aja.” Ujar gue yang juga ikut berdiri dihadapannya.

“Mas aku aja, tadi pagi kan kamu udah.” Bas bales masih sabar sambil senyum tulus.

Entah kenapa gue agak tersinggung. Semua tentang Bas belakangan ini bikin tingkat sensitivitas gue melambung jauh. Padahal, gue sama dia udah biasa gantian bayar-bayarin gini, malah kadang jadi bercanda aja kalau salah satu gak mau kalah yang akhirnya kita mutusin buat bayar setengahan.

Namun hari ini gue memilih sakit hati. “Kamu kira aku gak bisa bayar?” Celetuk gue dengan nada datar. Bas tentu bergeming sembari menatap gue tak percaya.

“Maksud aku gak gitu, mas.”

“Terus gimana maksud kamu?! Aku bilang aku yang bayar, aku bisa bayar. Aku dominan kamu Bas, jangan mentang-mentang finansial kamu lebih dari aku bisa kayak gini!”

Dan gue tanpa tau lokasi, tanpa tau malu, gue ungkapkan segala pikiran macem-macem dalam kepala gue. Gue ungkapkan segala insecure dalam diri ini yang susah payah gue pendam.

Gue sama Bas gak pernah menentukan siapa lebih dominan siapa karena semua cowok pasti punya pride masing-masing. Cuma, gak tau kenapa menjadi saksi segala kesempurnaan Bas yang semakin hari semakin berkembang bikin gue gak mau kalah. Apalagi ditambah raungan papanya yang seringkali bilang Bas mampu hidup mandiri, Bas yang akan hidupin gue.

No, gue lebih suka Bas yang butuh gue, gue lebih suka Bas yang bergantung sama gue.

Banyak pasang mata yang jadi saksi gak bikin gue gentar. Namun, Bas lebih memilih buat nyerah aja, dia ngalah dan biarin gue bayar. Terakhir, gue yang lagi mode jahat ini ninggalin dia gitu aja.


Job Point of View

Kala gue tau pertama kali gimana keluarga Bas, gue memutuskan perlahan mundur. Gue si anak sederhana yang hanya tinggal sama ibu tau diri kalau hubungan ini bakal gak mungkin.

Bas itu Bas, si cowok gigih. Gue baru menyadari itu, gak salah kantor milih dia jadi kepala pemasaran yang baru. Bas dengan kegigihannya tetep berlari mengejar gua meskipun kecepatan pelarian terus gue tambah. Sampai akhirnya gue lelah dan dia bisa jangkau gue lagi. Dia nangis waktu itu sambil peluk gue. Dia minta maaf karena terlahir dari keluarga berada, dan saat itu dia bilang secara impulsif kalo dia mau miskin asal sama gue.

Gue sadari kalimat itu hanya untaian kata-kata keju belaka. Gue harusnya malu karena gue menagih kalimatnya dibentengi ketidakpercayaan diri. Gue harusnya malu ngajak dia miskin bareng daripada nyoba bangkit bareng.

Mungkin gue dan Bas nantinya mau jatuh dan bangun bersama. Tapi, ketika kita sepakat buat punya anak pasti gak ada orang tua yang mau ngajak anaknya hidup susah. Gue paham, gue akui gue salah.

Pintu kaca itu, gue buka seraya berjalan masuk. Gue langsung jalan mendekati sosoknya karena kafe sedang sepi. Gue duduk dihadapannya yang tengah menunduk.

“Sayang?” Panggil gue selembut mungkin. Dia mendongak, tatapannya lurus sejajar manik mata gue. Dia kasih senyum, kecil, namun mengirimkan jutaan ungkapan penuh kesedihan.

Dia ulurkan kedua tangannya bersama dengan buku kecil. Oh, ini buku tabungan gue yang memang sengaja gue suruh dia simpen. Semua hasil jerih payah gue tercatat disana, semua jerih payah gue yang nantinya bisa wujudin mimpi kita berdua yang pengen bangun rumah impian.

“Kenapa dikembaliin? Kan aku suruh kamu simpen.”

Dia menggeleng, “I don't deserve this.” Balasnya.

“Kamu bisa lebih berkecukupan kalo ga lakuin ini, kamu bisa berkembang seperti yang kamu inginkan kalo ga sisain gaji kamu ke dalam sini, kamu mau kita selesai dan aku rasa ini sudah bukan hak aku untuk nyimpen.” Lanjutnya panjang lebar. Demi apa gue berdosa banget sama dia.

Bener kata Build dan Kak Tong. Gue jadiininsecure gue buat alat nyakitin pacar gue.

Gue gak peduli sama buku tabungan, gue ambil kedua tangannya buat digenggam. Gue bahkan gak lepasin sedetik pun ketika gue pindah buat bersimpuh dihadapannya. Tinggi kita jadi sejajar, gue jadi gampang amati wajah gantengnya yang lagi kusut. Gue gak suka, gue lebih suka lihat dia senyum, lebih suka lihat semburat merah muda yang muncul karena malu.

Bibirnya perlahan melengkung ke bawah. Matanya mendadak berkilau, pelupuknya berusaha membendung air mata agar tak luruh.

“Aku minta maaf.” Ungkap gue tulus.

Bendungan air mata dalam pelupuknya gak mampu buat nahan lebih banyak lagi. Dia nangis, tanpa malu-malu seolah melepaskan bebannya.

Gue senyum kecil, karna demi apapun Bas lucu banget kalo nangis. Gue bawa dia dalam pelukan gue, gue usap lembut punggungnya biarin dia nangis sepuas yang dia mau.

Gue tuh emang orang paling gak bersyukur. Harusnya gue jaga dia sepenuh hati, bukan bikin dia sedih begini.

“Mas, jangan tinggalin aku... nanti aku sedih...” Gue gak tahan buat gak ketawa. Pasalnya dia ngomong sambil sesenggukan.

Nggak Bas, harusnya aku yang minta begitu. Harusnya aku yang takut ditinggal sama kamu. Karena kamu itu segalanya buat aku. Terakhir, gue mengangguk yakin, gue sematkan kecupan penuh kata cinta di puncak kepalanya.


ft. tabarcode


Baris kata diatas sanggup deskripsikan betapa indahnya sebuah ikatan yang disebut keluarga.

Namun, semuanya sudah berlalu. Apa yang terjadi telah disebut dahulu. Ikatan yang dipertahankan menjadi kendur, entah kapan waktu yang tepat hingga akhirnya akan lepas.


3 weeks ago Ta Point of View

Aku gak tau apa yang membuat beberapa hari kebelakang sedingin ini. Entah musim yang memang mulai memasuki waktu penghujan, atau memang rumahku yang gak sehangat dulu.

Ketika gorden kamar aku sibakkan, sendunya dunia menyapaku. Aku meraba tetes demi tetes air hujan dari balik kaca jendela, dingin.

Jemariku tanpa sadar mengikuti kecepatan satu luruhan air hujan, gerakannya seirama dengan jatuhnya air mataku yang meluncur hebat dari pelupuk mata.

Aku benci kamarku yang kedap akan suara dari luar. Telingaku lebih baik diperdendangkan derasnya suara air yang turun menghantam tanah, daripada harus mendengarkan lantunan caci maki dari bibir yang biasa mengumbar nada cinta.

Dan aku ingin sekali lari, menjauh dari rumah yang perlahan berubah jadi neraka.

“Ok! Sekarang kamu maunya apa?!”

Let's end this shit, Mas. Kamu sama aku sampai disini aja.”

Aku takut... Dari jutaan ujaran kebencian diantara mereka, aku paling takut yang satu itu. Tolong, tolong aku terjebak disini.


Present day Ta Point of View

Sekarang aku terbiasa, bak menjadi jembatan penghubung antara dua kota mati. Kota sunyi yang enggan berdiplomasi satu sama lain. Aku berdiri di tengah, tanpa bisa memilih akan berpihak pada siapa.


Ta Point of View

Aku menatap jauh langit biru perlahan pudar tergantikan keunguan. Matahari turun bersamaan senyumku yang perlahan ikut pergi. Malam hari sudah tak seindah yang pernah aku bayangkan. Aku benci hari harus usai, aku benci kenyataan bahwa aku harus pulang.

“Bang, ayok balik!” Barcode; si kecil yang sedari dulu mengekoriku berucap.

“Pulang ke rumah gue deh bang kalo males balik rumah sendiri.” Katanya sekali lagi ketika aku sama sekali enggan beranjak.

Aku menghirup udara malam banyak-banyak sebelum dihempaskan kasar.

“Ayok balik, ah dasar bocil lu!” Aku beranjak, tak lupa menggoda Barcode yang selalu punya ekspresi pasrah.


The wedding 07.00 p.m

Malam itu hanyalah malam biasa tanpa ada istimewa. Malam itu berubah jadi luar biasa cantik dengan gemerlap lampu serta dekorasi pernikahan masa kini. Musik lembut, dentingan alat makan beradu, dan gelak tawa jadi pengisi sunyi.

Kala itu, Peter masih setia merengkuh pinggang ramping sang suami. Dibawa menuju sana-sini bak memamerkan berlian terindah di dunia yang Ia miliki. Peter dengan bangga memperkenalkan Nodt pada koleganya.

“Capek?” Peter menyerahkan segelas sirup manis sedangkan dirinya menyesap champagnenya.

“Pernikahan kolega kamu emang yang paling juara, Mas. Mana aku ga sempet keliling nyicip menu gubuknya.” Keduanya terkekeh. Memang sejak tadi mereka berdua lebih sibuk menyapa tamu daripada pemilik acara.

Peter membelai surai sehalus sutra milik prianya. Pun, tak lupa lelaki berusia hampir 40 tahun itu menyampirkan rambut sang suami ke belakang telinga.

“Peter? Is that you?

“Oh-Hei!”

Pria ini, si pemilik suara ceria. Pria dewasa dengan segudang sihir menawannya, hingga siapapun yang ada disekitar akan terpaku padanya. Siapapun, tanpa terkecuali, termasuk Peter sendiri.


Nodt Point of View

Aku memeluk tubuh Ta yang semakin bertambah tingginya. Dulu, aku bisa menggendongnya dengan satu tangan. Namun saat ini, hanya memeluknya sembari terbaring cukup sulit.

Sejak prahara yang terjadi di rumah ini, aku jarang memperhatikannya. Bukan, aku nggak lupa, salahkan hormon remajanya dan salahkan aku karena tak mencoba meraihnya.

Khusus hari ini, dia datang ke kamarku bersama dirinya yang manja.

Awalnya, aku enggan bercerita. Sakit, semua rasa sakitnya keluar menjamahi tubuhku. Aku benci dikhianati, cukup Nodt muda nan bodoh yang merasakan laranya dulu.

I was okay that night, kak. Meskipun banyak fakta yang diungkap yang mana pap ga pernah tau tentang dad.” Kataku mulai bersuara.

He's dad past. His lovely yet hurt relationship. You know kak, pap sama dad untuk capai dititik ini ga mudah. We were just no one to each other. Nothing special other than your grandmas old friendship.” Aku tersenyum getir setelahnya.

You both did it anyway. Aku bisa rasain gimana kuat cintanya kalian, buat aku, buat satu sama lain.”

We did. But, insecurity hit you that hard till we lost our mind. I hate myself for being ignorant yet obidient. Your dad said to forgot who he was and i was like sure! Turns out, im being jealous with that man. The one that know him well.”

“Dan kamu tau apa yang bikin Pap akhirnya milih nyerah? Pap liat mereka...”

Ta menggeleng tentu saja. Anak ini mendongak mengunci pandangan kami berdua. “Pap liat mereka lakuin sesuatu yang pasti kamu sendiri ga mau tau.”


Ta Point of View

“Enak?”

Aku mengangguk semangat ketika manis asin rasa keju menyentuh permukaan lidahku. Pap membelai suraiku yang telah panjang. Lelaki dewasa itu tersenyum dengan ekspresi geli.

Kulirik sejenak parasnya, bagaimana dia dengan gestur santainya sedang menyesap air putih yang selalu Ia bawa dalam botol tumblr yang sisinya kini telah banyak goresan. Pandangannya jatuh jauh ke depan mengamati lalu lalang pelanggan kafe bak air mengalir tiada henti.

Satu menit kemudian, ekspresinya berubah. Dahi mengkerut dihiasi tatapan bingung. Bola matanya bergerak sesuai langkah kaki pria dewasa yang tengah berjalan menuju kafe.

“Kamu ajak dia kesini?!” Desisnya. Aku sedikit terperanjat tatkala pap tiba-tiba menatapku geram.

“Pap, please...” Kataku dengan mimik memohon. “Calm down, alright.” Lanjutku ketika pap akan mengeluarkan satu kata lagi.

Derit kursi ditarik sudahi perdebatan kecilku dan pap. Dad duduk canggung seolah dirinya orang asing dan pap memilih alihkan pandangan kepenjuru lain.

Aku adu tatap dengan dad, memberikan dia sedikit support melalui sebuah kedipan. He's nervous, i know aku belum pernah melihat sisi dad yang nampak kurang percaya diri. Dad adalah orang paling tenang sedunia, tapi dihadapan pap dia diselimuti keringat.

“Pap, dad aku ke toilet ya! Have fun, ok?” Aku beranjak, “And please do remember ini tempat umum.” Aku berbisik memperingatkan.

Let's just watch how great my dad with this kind of situation!


Peter Point of View

Saya akui, hal-hal romantis dan keju bukan diciptakan untuk orang seperti saya. Namun, Ta bilang anak muda jaman sekarang semua melakukannya. Termasuk, bagaimana cara membuat orang yang kita sayangi berhenti marah.

Saya kelimpungan sebentar mencari-cari sebuah kertas. Ketemu, saya buka diatas meja.

“Hei, kenalin gue Peter Knight.”

Shit!

What are you playing?” Dia menatap saya jengkel. Saya cukup kaget dibuatnya. Dia mulai mengepak barangnya dan saya semakin panik. Dan ketika dia beranjak, saya dengan cekatan menahan lengannya.

“Jangan pergi, kasih satu kesempatan untuk aku memulai kembali dari awal. I beg you.”

Saya tahu, dia tak setega itu meninggalkan saya disini. Ketika dia kembali duduk dihadapan saya, maka kesempatan ini tidak akan saya sia-siakan.

“Peter Knight. May i have yours?”

“Nutthasid. Nodt Nutthasid. Oh, kamu anak temen mama itukan?” Saya sedikit tersenyum lega karena dia memilih untuk mengikuti permainan konyol ini meskipun nada suaranya terdengar ketus.

Saya menggeleng menanggapi pertanyaannya. Jika dulu, saya memang datang menemui dia disini atas perintah mama saya.

“Saya hanya Peter Knight. Pria dewasa biasa yang menghampiri karena kamu menarik dimata saya. Senyuman kamu yang buat saya berani duduk disini.”

“Jika saya boleh serakah dan percaya diri, izinkan saya untuk mengenal kamu. Jauh, jauh lebih banyak dari yang saya tau.”


Peter Point of View 05.00 a.m

Saya berdiri tegang di dalam kamar bernuansa medis dengan bau obat-obatan berlomba menghantam indra penciuman.

Helaan nafas halus yang keluar konstan dari hidung Ta sedikit meringankan beban khawatir. Di sampingnya, Nodt belum mau beranjak barang sebentar. Ia masih bergeming sembari menautkan jemarinya pada milik Ta.

“Anak bapak hanya mengalami shock pasca kecelakaan. Hasil medical check up tidak ada luka dalam dan hanya goresan pada lengannya akibat beradu dengan badan motor.”

Saya cukup terperanjat ketika permukaan lengan saya terasa dingin. “Mas?” Suaranya lirih. Bola mata saya bergantian menatap wajah sendu dan genggaman jemarinya.

“Ya?”

“Ayo bicara. Aku dan kamu.”


“Say it, Mas. Spit it out whatever you called it misunderstood. I'm all ears.”

Kantin rumah sakit begitu sepi pada dini hari. Nodt bahkan tak pusing untuk mengatur nada bicaranya. Hanya mereka berdua, hanya ada Peter dan Nodt beserta perkaranya.

“We did kiss. not a bad angle, i don't wanted to denied anymore...”

Nodt tercekat, entah apa ini keputusan yang tepat untuk kembali membuka luka. Nodt bersumpah, jika Peter masih tetap pada pendiriannya, bad angle whatever it means dirinya akan lebih mudah untuk berikan maaf.

“Aku belum selesai.” Peter bersuara secepat mungkin takut-takut Nodt pergi.

Nodt pikir satu kalimat pengakuan itu sudah cukup. He doesn't want to hear the rest bullshit. He's just fucking coward to get hurt. Namun, sedikit nuraninya ingin mendengar lebih, si sedikit itu masih berharap bahwa ini bukan hal yang lebih buruk.

“Aku masih disini.” Balasnya seraya mempersilahkan (masih) suaminya melanjutkan.

“We did kiss...”

Stop with that kiss, you dumbass!

”...like i said before, by accident. You knew it, sayang. That crazy drunk man bumped into random people.”

Peter meraih dua tangan Nodt untuk dia genggam. Ia meremas sambil mengusap punggung tangannya lembut menyampaikan sinyal bahwa Peter ingin dipercaya, Peter ingin dimaafkan, dan Peter ingin Nodt kembali padanya.

Nodt seketika bergeming, Ia pilih menatap gerai-gerai yang masih ditutup besi abu-abu.

Detik kemudian jantung Peter rasanya terjun dari tempatnya menggantung. Gendang telinganya menangkap isakan lirih milik Nodt.

“I'm hurt...” Ungkapnya disela tangisnya.

“Semua ini konyol karena fakta yang kamu ungkapkan barusan gak cukup untuk sakiti aku. Aku teramat sakit mengingat dia tau lebih banyak tentang kamu. He knows your past, he knows your pain back then. You shared anything about you to him not me. Bahkan aku sekarang gak bisa berpikir jernih akan dalil kamu yang ingin mulai lembaran baru bersama aku dan Ta. Was it real you? Or did you do that because your papa said so before he died? Mas, i want to love you in a good and bad of you. I want to know how's your day rather than your sweet smile saying everything was okay but it wasn't. I'm supposed to be your husband, right?”

Peter bungkam, Peter kehabisan kata-kata. Peter hanya mampu duduk bersimpuh dihadapan suaminya tanpa berhenti mengutarakan setiap kata bermakna maaf. Terakhir, Peter menarik Nodt perlahan dalam rengkuhnya. Peter biarkan sang kekasih hati menangisi kebodohannya hingga puas.


Peter Point of View

Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik katanya. Tidak, saat inipun dunia masih jadi tempat terbaik bagi saya jika bersama dengan dia.

Dia yang yang masih mengguggat cerai saya, dia yang punya rasa sakit hati karena saya, dia yang masih perhatian pada saya, dan dia yang sedang berdiri di depan kompor, memasak dengan celemek merah jambu kekecilan.

Ketika saya buka pintu rumah aroma masakan khas china menyambut kedatangan saya, dan ketika saya berjalan lebih jauh disitu saya izin mengumpat dalam hati.

He's so damn cute and sexy.

He prepare me food, but in my eyes he cosplay himself being food.

Nah! Calm down, stay in progress, Peter!

Dari belakang sini saya tertegun. Jika dulu saya bisa langsung hampiri dia, peluk dia dari belakang, mencium tengkuknya buat dia bergidik geli, selanjutnya saya akan mematikan kompor lalu memutar tubuhnya dan tak lupa menjamah bibir ranumnya.

I would have kissed him deeply, fondly, and paid me off with his sweet moans consisted my name. Terakhir, kami akan terjerembab dalam hingar bingar senandung yang kami buat sendiri.

“Mas?” Panggilnya sadarkan dari nuansa pikiran jorok saya. Dia telah berdiri dihadapan saya, paras anggunnya nampak jelas berkali-kali lipat.

Dan saya tidak mau sadar. Saya rengkuh pinggang kecilnya dan saya tarik dia mendekat. Tubuhnya menegang, namun tak sama sekali terasa penolakan. Saya belai punggungnya sensual membuat nafasnya tercekat.

“Let it out, your little moan.” Ujar saya memprovokasi.

Tangan saya kali ini menjamah wajah tampannya. Rahang tegas dibalut kulit pucat lembut. Saya mulao belai bibirnya perlahan sebelum saya dekatkan pada milik saya.

“Mass... ada kakak.” Balasnya susah payah.

“I miss you, sayang. Bukakah Ta akan senang melihat kedua orang tuanya berciuman?”

Dia tak lagi menjawab, dia pasrah saat tengkuknya saya tekan maju. Pertama, saya kecup kecil permukaan bibirnya. Kedua, saya beranikan diri untuk melumat sebentar. Ketiga, dia sembunyikan mata cantiknya dibalik kelopak matanya. Keempat, dia biarkan lengannya melingkar apik di leher saya. Kelima dia berkata,

“Kiss me, mas. Kiss me more.”


Peter Point of View Where Ta ask his dad 'How much you can tell about pap?'

He is young, passionate, positive, lovely, and sexy man that I ever know.

I love his sweet smiles, his cute giggles, his natural pink blush whenever he shy.

Kita berdua mungkin dijodohkan. Tetapi kita belajar untuk menemukan satu sama lain dalam labirin rumit rumah tangga. Ketika sampai dipenghujung pintu keluar, kami bertemu kembali dan diberi hadiah yang berharga tak ternilai meskipun nilai di dunia perlahan dimakan jaman.

Yaitu, kamu... Kamu dihadirkan untuk dad dan pap sebagai permulaan lembaran baru.

We confused and lost at the same time before.

Tapi pap, sosok yang mencintai dunia bebasnya, rela lepas semuanya untuk kamu untuk dad.

Pap, si manusia paling independen pertama kali mengulurkan tangannya. Dia butuh dad buat melakukan bersama, rawat kamu, didik kamu, besarkan kamu.

Sampai sekarang pun, dad gak punya alasan untuk berpaling dari pap. Dia yang paling sempurna untuk dad.


Peter masuk dalam kamarnya, udara dingin dataran tinggi masuk bebas akibat pintu balkon dibiarkan ternganga. Peter menghampiri, tampak suaminya disana bersandar sembari menatap langit.

“Kamu lagi apa? Masuk! Dingin sekali di luar.” Peter mendekap bahu Nodt dengan lengannya, berharap suhu tubuhnya mampu menetralisir rasa dingin.

“Aku nunggu kembang api.” Balasnya.

Peter dan Nodt masih dalam posisi yang sama. Bahkan Nodt makin menyamakan dirinya. Sayup-sayup suara kembang api terdengar ribut bersahutan dengan binatang malam.

“Mas?” “Hmm?” “Aku udah bilang ke pengacaraku buat cabut gugatannya.”

Jantung Peter rasanya berhenti sejenak. Otaknya mati fungsi saking sulitnya untuk menerjemahkan.

“Sayang?” Bisik Peter.

Nodt mengangguk semangat, “Yes, please. Panggil aku sayang karena aku suka disayang sama kamu.”

“Sayang...” Tutur Peter sekali lagi. Peter semakin mengeratkan pelukannya. Dia kecup berkali-kali puncak kepala sang suami.

“Terima kasih... terima kasih, sayang.”

Hanya kata terima kasih yang sanggup Ia utarakan hingga suaranya hilang ditelan lantangnya kembang api berlomba menyentuh langit.



gemuruh telapak tangan saling beradu memenuhi ruangan aula luas. Sorak-sorai bangga mengiringi sosok pria dewasa dengan setelan formal serba hitam perlahan menaiki anak tangga menuju panggung.

Senyum gusi menawan, kulit seputih susu, tinggi semampai ditambah dahinya yang terpampang jelas akibat rambut depannya ditata sedemikian rupa membuat suara riuh enggan jadi senyap.

Pria yang kini berdiri gagah diatas panggung menerima plakat kaca serta berbagai bingkisan; sebuah hadiah atas kerja keras dan loyalitasnya pada perusahaan. Selanjutnya, kilau kamera dari berbagai sudut bak berlomba-lomba menangkap momen dihadapannya.

“Silahkan pada kepala departemen pemasaran kita yang baru Pak Asavapatr Ponpiboon untuk sepatah dua patah katanya.” Ujar si pemimpin acara hari ini.

Jauh, jauh disudut ruangan sosok tinggi nampak memperhatikan. Tubuh jangkungnya menempel lemah pada dinding ruangan sambil sesekali lidahnya dimanjakan minuman dingin dengan rasa manis.

“Gak papa lu, Job?”

“Biu.”

Build; si lelaki manis sobat karibnya ini datang dengan tangan penuh kue manis warna-warni. Ia tawarkan miliknya pada pemilik nama Job yang entah mengapa jadi muram.

Job menolak, bukannya tak suka hanya dirinya tak nafsu dengan apapun yang tersaji dihadapannya. Pikirannya penuh, kusut.

“Gue cabut keluar duluan!” Job berlalu menjauh, tak lupa menepuk pundak Build.

“Lah? Acaranya beloman bubar!”

“Butuh sebat.”

Build menyerah, menahan Job mode sensitif itu sulit. Dia biarkan sohibnya semakin menjauh hingga hilang dari pandangannya.


`hjkscripts.