here comes the sun.
a peternodt alternative universe 🔞
Peter Point of View
Malam ini teramat dingin, begitu kata kulitku jika mereka punya mulut. Suasana sunyi meskipun jam masih menunjukkan waktu sibuk, kubiarkan pula angin berhembus menerpa permukaan wajahku. Rasanya pas sekali, mendukung mendung dalam pikiran yang sebentar lagi jadi badai.
Aku menerawang hamparan bangunan di depan sana. Gemerlap lampu berlomba-lomba jadi paling benderang. Detik selanjutnya entah datang dari mana letupan bunga api membumbung apik hiasi awan gelap. Pun, keceriaannya tak mampu hibur diriku yang tengah sendu.
Rasa heran masih menyelimuti, tega nian aku dijadikan kambing hitam dalam gagalnya sebuah proyek besar. Aku memang pemimpinnya, namun bukan berarti jika salah harus aku yang disalahkan atas segalanya. Mereka semua punya tanggung jawab, dan ini terjadi sebab mereka lalai dalam menjalankan.
Jemariku merogoh saku celana. Benda persegi panjang berisi lintingan penghilang penat jadi pilihan kala gundah. Aku mengamati isinya yang tersisa dua batang, pikirku untuk mampir membeli lagi segera. Kuambil satu dari wadahnya dan segera memantik api agar menyala.
Aku menghisap kuat-kuat hingga rongga dada jadi kopong sesaat. Kemudian, kepulan asap membumbung tinggi ku lepaskan bersamaan beban dipundak. Lagi aku hisap, kali ini membawa pergi sejenak kecemasan akan hari esok. Hisapan terakhir, ada ketenangan yang turut hadir.
Satu batang bukanlah perkara sulit. Tubuhku belum puas, aku masih mau lebih. Jadi, aku ambil kotak dengan hiasan gambar menyeramkan dari saku kembali. Jariku menyentuh yang terakhir, satu-satunya linting tersisa namun tak segera aku lakukan. Perasaanku berat, pergelangan tanganku seperti ada penahannya, otakku pun berkata tidak dan mensinyalir syaraf untuk memainkan sebuah rekaman.
“Rokok itu kata guru aku gak baik loh, dad. Bikin batuk, bikin sakit. Gak cuma kamu yang sakit, tapi aku dan pap juga. Gak apa aku dan pap kalau sakit kan ada kamu yang bayar rumah sakitnya. Tapi, kalau kamu yang sakit aku dan pap gak bisa bayar karena nggak bekerja, nggak ada uang kita.”
Itu suara anakku, si kecil yang dulu buat aku dan suami kelimpungan cari cara agar dia bisa berbicara. Sekarang bicaranya melebihi bijaknya pemimpin negara. Senyumku pun terulas, dalam benakku bertanya-tanya sedang apa dia sekarang? Sudah makan atau belum? Sudahkah dia kerjakan tugas yang katanya lebih sulit daripada dokumen kantor?
Aku rindu rumah dan seharusnya memang begitu.
Aku mengurungkan niat untuk mengisi ragaku dengan lebih banyak nikotin. Baru aku sadar bahwa telah berdiri selama dua jam lebih. Aku harus pulang, mengisi daya energi untuk hadapi hari esok.
Nodt Point of View.
Hei mas! It's 9 p.m. pulang ga kamu?
Menunggu, entah berapa lama pun penantian ku, aku akan tetap menunggu. Aku menopang dagu dengan kedua lengan terlipat di atas meja makan. Netra ini bergantian melirik arah tudung saji pelindung makanan, dan sebuah pesan. Gendang telinga ini jadi lebih sensitif dengan sebuah suara. Harapannya hanya satu, terdengar dibukanya pintu kayu.
Pukul sepuluh tepat suara mesin berderu. Aku tak menyangka menanti kehadiran seseorang bisa semenyenangkan ini. Seperti menang perlombaan di bulan Agustus, kala jantung enggan melambat berdebar ketika namamu disebut untuk menerima hadiah sebagai juara utama dihadapan massa.
Aku menyingkirkan tudung saji. Asap tak lagi mengepul menandakan olahan ini telah dingin. Aku bawa satu persatu menuju dapur untuk dipanaskan kembali, sembari menunggu lelaki itu muncul.
Derit kaki kursi beradu lantai keramik mengganggu aktifitas sejenak. Dari celah dapur nampak lelaki diawal empat puluh tahun telah duduk termenung di atasnya.
He definitely not in a good mood. Seperti, dirinya baru saja melintasi jalanan penuh rintangan untuk mencapai rumah.
Dia yang menghela napas berat beberapa kali. Dia yang wajahnya lebih dingin daripada biasanya. Dia yang tengah menopang kepala dengan dua tangannya. Dia juga yang tengah memijat dua sisi pelipisnya. He's having a hard day.
Aku menghampirinya, membawa piring lauk terakhir dan sebuah teh hangat dalam cangkir. Aku sajikan di depannya sembari mendudukkan diri pada kursi kosong tepat di samping dirinya.
Inisiatif ku berkata untuk mengusap punggungnya. Aku bisa rasakan ketegangan menyelimuti tubuhnya. Aku selanjutnya mengambil lengan kirinya. Melepaskan pengait kemeja pada pergelangan tangan, lalu membantu menggulung ke atas.
Senyum kemenangan muncul kala atensinya berhasil aku rebut seutuhnya. Dia menyerahkan lengan satunya untuk diperlakukan sama. Dia membiarkanku pula untuk membebaskan lehernya dari belenggu kain dasi.
“You okay?” Tanyaku sambil merapihkan tatanan rambutnya.
Mendengar lagi helaan napas berat itu menjadi sebuah jawaban yang cukup bagiku untuk mendeskripsikan keadaannya.
“Have you eat?” Dia menggeleng.
“Nafsu ga kalo makan sekarang? Ini semua makanan kesukaan kamu.” Lanjutku yang akhirnya berbuah jawaban verbal dari bibirnya, “I don't think so. I'm sorry.”
Aku cukup mengerti untuk memahami kondisinya. Tak apalah makanan di atas meja kali ini jadi penonton belaka.
“It's ok, mas. Mau ngobrol ga? Apapun, ga harus tentang hari ini. I'm yours.”
Dia mengambil kesepuluh jariku dalam genggamannya. Dia mainkan sebentar layaknya anak kecil yang tengah memohon maaf pada ibunya. Dia itu lucu, terkadang aku suka dia yang lemah begini, aku suka dia yang bergantung padaku, aku suka mendominasi.
“Ta, is he sleeping?” Cicitnya.
“Hum”
“Syukurlah, jadi dia gak perlu lihat dad-nya pulang dengan keadaan berantakan seperti ini.”
“Dia tunggu kamu, tapi baru ucapkan niat lima menit kemudian menguap.”
Dia lepaskan tawa, kecil namun aku suka melihatnya. Harusnya Ta masih terjaga, aku yakin dia bisa jadi obat penat paling mujarab bagi dad-nya.
“Aku tadinya belum ingin pulang, pikiranku terlalu bercabang, emosiku gak stabil. Tapi wajah kamu dan Ta terlintas di pikiranku. Aku rasa benar adanya, rumah adalah tempat yang tepat untuk mengisi daya tenaga. Melihat senyum kamu menyambut kedatanganku, rasanya besok aku sanggup melawan kejamnya dunia.”
Aku tersipu, gila lelaki satu ini. Mulutnya kadang terlampau manis bak habis menelan madu. Mungkin bagi anak muda masa kini, tutur menggodanya cukup kuno dan terkesan menjijikkan. Tetapi bagiku, kata-kata itu bagai mantra ajaib yang mampu menggetarkan hati.
“Mengisi daya itu makan nasi, mas. Bukan godain suaminya.” Aku memukul pahanya ringan melampiaskan rasa malu yang belum mau pergi.
Tawa renyahnya kembali hadir kala sukses menggodaku. Dia membelai bibirku yang sedikit mengerucut sebal, lalu memainkan pipi yang belakangan ini nampak berisi gemas. Jemarinya bergerak mengunci tengkukku, ditariknya maju perlahan, mendekatkan daun telingaku pada bibir tebalnya.
Perasaan merinding ketika hembusan napasnya menerpa daerah sensitifku. Aku meneguk gumpalan air liur tanda mulai gugup.
Dia berbisik, pelan, gunakan suara bariton mencoba pamerkan dominasinya. “I'm not craving rice or any food, sayang.”
Namaku Nodt, aku hanyalah manusia biasa bukanlah dewa suci yang bodoh akan syarat yang dilantunkan. Dia memintaku, segalanya yang jadi milikku.
Sayang seribu sayang, hari ini aku bukanlah Nodt si penurut. Aku bilang suka melihatmu bergantung padaku. Khusus malam ini, aku yang jadi rajanya.
Nodt beranjak, memindahkan pantatnya dari alas kayu keras ke atas pangkuan paha kokoh sang suami. Peter menyeringai penuh kemenangan kala dua lengannya dapat merengkuh pinggang ramping lelaki awal tiga puluh ini.
Lelaki yang lebih muda kini membiarkan lengannya bertumpu pada sisi pundak Peter. Dia mainkan helai rambut sang suami, padahal dia sendiri yang rapihkan tadi.
“So, what do you want to eat for tonight, sir?” Tanyanya dengan nada seduktif.
Peter gemas sendiri, sepuluh jemarinya tak tahan hingga meremas dua buah persik kesukaan, menimbulkan pekikan lucu dari si pemilik. “Anything you serve, your majesty.”
“It's friday night, mas. You know exactly what's going on after this.”
“Friday night, satan party time.”
“Yep, they're partying in here. Whispering to me to serve myself for you.” Nodt mengecup bibir Peter, Ia gigit sedikit hingga robek keluarkan cairan merah.
Peter terkekeh, Ia usap bercak darah yang menempel di bibirnya. “How kind they're.”
“Right...” Nodt mengangguk setuju, “They're kind, but I'm not. Tonight I'm not yours, instead you're mine.” Finalnya.
“Please, your majesty... lead me.” Pintanya pasrah.
Kecupannya dimulai tanpa ada kelembutan. Salahkan nafsu birahi yang telah berada di puncak mencoba mencuri seluruh kewarasan.
Nodt terus menekan bibirnya, Ia raup bibir bawah milik Peter penuh semangat. Ia lumat, Ia hisap bak mengkonsumsi pil ekstasi dimana tiap penikmatnya akan terjerembab dalam candu.
Ia melayang, kala kegiatan saling memanggut itu bersamaan tubuhnya dimanjakan. Peter menyusupkan dua tangannya dalam kemeja longgar yang Nodt kenakan. Dalamnya polos, sebab lelaki di atas pangkuannya bukan pecinta kaus dalam. Pertama, Peter berikan usapan lembut pada punggung halusnya, Ia salurkan rasa aman dalam rengkuhannya. Selanjutnya, Peter meraba lekuk perut ratanya, Peter selalu suka proporsinya, tidak berlebihan, cantik sehingga cocok di badannya. Terkahir, Peter dengan instingnya bergerak ke atas, perlahan hingga...
Ahhh!
Ia tersenyum akan respon dari tubuh suaminya. Ia ulangi sekali lagi, sekali lagi, hingga dirinya putuskan untuk bermain sejenak dengan dua gundukan mungil di dadanya.
Ughh...
Ahh...Ssshh...
“I just know that you wear my shirt.” Ucap Peter ditengah dadanya yang naik turun.
“Aku sengaja...” Balas Nodt minim kata sebab terbata. Dirinya masih sibuk raup oksigen untuk mengisi kekosongan paru-parunya. “It's yours, the finest, the pricey one. Your birthday gift from me, so you would thinking twice to rip it.”
“Then rip mine, your majesty. Show your power over me.” Ujarnya menggoda. Peter menjilat, mengecup gemas pahatan tato bertuliskan 'HUMBLE' pada ujung bisep milik Nodt. Pemiliknya tak ayal tersipu malu hingga pipinya bertabur bubuk merah muda.
Lelaki di atas pangkuannya kini tertawa puas, Ia berikan sebuah kecupan di tiap titik parasnya sebagai kompensasi atas kesediaannya untuk mengabdi.
“Tapi jangan di sini, mas. Tomorrow is Friday, I don't want to get back pain after this.”
“Sure, sayang...Let's move to our real battlefield, we fight, we die, and fly to nirvana together.”
Benar apa kata mereka, bahwa kita dan rumah bagaikan ponsel lemah baterai bertemu pengisi daya. Lelah kita pulang, siapkan diri untuk esok kembali melalang.
`hjkscripts.