Sebuah pajero hitam berhenti menutupi pagar rumah sederhana diikuti satu hrv merah terparkir di belakangnya. Di dalam sana tengah duduk rapi ketujuh cowok SMA 14 dengan dandanan super necis khas orang berlibur. Ujian tengah semester telah mereka lewati dua hari lalu dan sesuai janji yang sudah direncanakan mereka berangkat liburan.
Chandra; supir pajero mengambil ponselnya. Dia tak menghiraukan godaan-godaan yang dilayangkan ketiga cowok lain dan tetap mencoba meraih Khalil yang masih bersiap diri di dalam rumah.
Beberapa menit menunggu akhirnya senyum Chandra merekah, lalu cowok itu tertawa geli memperhatikan raut merengut Khalil melalui kaca dalam mobil. Wajahnya khas bangun tidur, rambutnya masih mencuat kesana-sini, matanya sipit, serta sesekali mulutnya menguap. Chandra menekan tombol kunci agar gebetannya bisa masuk.
“Hai.” Sapa Chandra lengkap senyum tiga jari secerah matahari. Khalil tak menjawab, cowok itu memasukkan barang-barangnya terlebih dahulu dibantu Chandra.
“Kenapa sih pagi-pagi merengut aja.” Godanya ketika Khalil telah duduk di kursi sebelahnya. Chandra ga lupa nyubit pipi Khalil yang hari ini nampak lebih berisi. Kemudian, dengan penuh perhatian Chandra bantu rapihkan tatanan rambut gebetannya agar lebih rapih.
Chandra ga sadar bahwa di kursi belakang masih ada tiga sohibnya yang memperhatikan dengan raut tak terdefinisi. “Ekhem!” Sahut Arsa menginterupsi.
“Hehehe,”
“Lupa gue kalo banyak jomblo di mari.” Jawabnya dihadiahi satu toyoran oleh Yohan.
“Ngaca bos, emang situ berdua statusnya apaan.” Serang Yohan.
Chandra diem aja karena malu. Dia lanjut bantuin Khalil masang seatbelt dan siap-siap nyetir. “Ah! Bacot lu, Yoh!”
“Bicit li, Yih!” Ulang Yohan pake nada ngeselin bikin Arsa sama Jonathan ketawa ngakak.
Akhirnya kedua mobil itu lanjut perjalanan sebelum hari makin terang yang nantinya bakal menghambat estimasi waktu karena macet. Tujuan mereka kali ini mau ke danau di kaki gunung maka dari itu mereka memutuskan buat berangkat jam 1 pagi biar sampai sana masih kekejar matahari terbit.
Di tengah perjalanan cuma kedengeran alunan musik random berasal dari spotify Chandra buat isi keheningan. Chandra intip dari kaca ternyata tiga temennya udah pada lanjut ngorok, sisa dia berdua sama Khalil. Khalil masih betah diem, mungkin karena cowok ini juga masih ngantuk. Ya gak salah sih mereka berdua baru selesai telponan jam 9 malem kemarin padahal janjinya cuma ngobrol sebentar terus tidur.
“Tidur lagi aja kalo masih ngantuk.” Ujar Chandra sambil matanya fokus merhatiin jalan tol.
“Engga, entar lu ga ada temennya ngobrol ikutan ngantuk.” Jawabnya dengan suara serak khas orang ngantuk.
Chandra mau ga mau jadi mesem-mesem sendiri, padahal dia beneran ga papa kalo ditinggal tidur. Badannya fit dan seger. “Ngobrol apaan orang daritadi gue didiemin.” Sarkasnya.
Khalil benahi posisi duduknya jadi lebih tegak, kepalanya juga berpaling ngeliatin Chandra bukan lagi jalanan. “Ya udah ayok ngobrol.”
Pada akhirnya yang mereka lakuin hanya diam, ga ada obrolan yang tercipta. Bagi Chandra, denger suara napas halus Khalil di sampingnya udah cukup, denger cowok di sampingnya lagi humming lagu udah merubah suasana jadi ga sepi. Intinya, Chandra hanya butuh eksistensi Khalil berada di dekatnya.
“Mau makan jajan ga?” Ujar Khalil menawarkan. Ketika mendapat anggukan dari Chandra, Khalil beringsut ngambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Suapin tapi, Ik.”
“Kayak ga punya tangan lu!”
Khalil buka bungkusan ciki di tangannya, lalu dia lipet bagian atasnya biar isinya gampang di ambil, terus cowok itu taruh bungkusan ciki di cup holder mobil. “Nih makan, ambil sendiri!”
Suara mengecap mulai penuhi mobil, sesekali diselingi obrolan santai dari bangku depan. Memang saat makan itu jadi waktu terbaik buat buka percakapan.
“Lu sama mama papa gimana dah, Chan? Kok gue ga pernah denger lu cerita lagi ya?” Tanya Khalil membuka komunikasi.
Chandra masukkan beberapa ciki ke mulutnya, dia kunyah sebentar sebelum jawab, “Baik kok. Ini tadi sore gue pulang ke rumah ngambil mobil.”
“Ijin langsung ke mereka?”
“Iya, Iki. Sempet diajak makan rawon juga, mama yang masak.”
Jujur Khalil ikut seneng banget hubungan orang tua dan anak ini perlahan melebur es dinginnya. Dia sempet sedih denger cerita Chandra, namun waktu lihat mamanya sampe nangis pas Chandra pulang dia berpikir ada usaha perbaikan diri. Akui kesalahan masa lalu memang sulit, pun dia lebih bangga ke cowok satu ini yang super hebat mau memaafkan meskipun secara perlahan. Khalil ga mau cowok ini menyesal dikemudian hari, nahan rindu ke orang yang disayang tanpa kepastian seperti dirinya.
“Gue ikut seneng, Chan dan gue doain biar kalian harmonis terus.”
“Kalo ga karena lu ya gue masih stuck sampe sekarang,” Balasnya sambil masukin lagi beberapa ciki. “Makasih ya.” Finalnya sembari ngusap kepala Khalil sayang.
“Anjing tanganlu bekas megang ciki!!!” Khalil nepis tangan Chandra terus bersihin rambutnya sendiri. Sedangkan empunya tangan ketawa seneng banget liat ekspresi sebel Khalil.
“Udah dibersihin dulu padahal.”
“Jorok! Gue tau bersihinnya diemut pake mulut. Ah rambut gue dah wangi dikasih bau jigong.” Khalil sibuk ngomel sembari aplikasiin parfum yang dia bawa ke rambutnya.
“Ngomelnya jangan kenceng-kenceng, Ik. Ntar pada bangun”
“Ya elu abisnya!”
“Iyaa, gue yang salah. Sorry ya.”
Khalil tetep acuh sama permintaan maaf dari Chandra. Cowok ganteng banyak manisnya ini masih ngedumel entah apa Chandra ga denger semuanya bikin tingkat gemesinnya bertambah.
“Udah apa ngomelnya, masa kudu dicium dulu biar diem.”
Denger kata cium yang keluar dari bibir Chandra berhasil bikin Khalil kicep. Chandra ini emang ga tau apa pura-pura ga tau kalo Khalil lemah sama yang namanya cium mencium.
“Nih orang brengsek apa gimana, yang kemaren aja masih terngiang-ngiang di otak ini lagi mau nambahin. Bisa gila gue.” Monolognya dalam hati. Terus, mereka terjebak dalam ruangan sunyi kembali.
Tepat pukul 4.45 pagi mereka udah sampai di lokasi setelah mendaki hampir 1 jam lebih. Guratan oranye mulai nampak di atas kepala mereka, suara kicauan burung menyapa disertai sahut menyahut suara yang dihasilkan alam.
Ketujuh cowok itu berdiri berjejer menikmati angin dingin yang menyapu permukaan kulitnya. Dihirup kuat-kuat seolah membersihkan polusi dalam paru-paru yang mereka bawa dari ibu kota. Matanya dimanjakan oleh kabut tebal yang perlahan menipis bersama datangnya cahaya matahari pagi. Bak panggung pertunjukan, tirai hitam yang menyambut mereka pertama kali saat ini terbuka menampilkan hamparan air biru nan luas lengkap hijau mengelilingi.
“Alig, manteb banget di sini.” Seruan Hendra. Dia jinjit-jinjit sambil meregangkan otot.
Sejenak melepas penat, ketika matahari telah bersinar sempurna mereka baru melanjutkan aktivitas menyusun tiga tenda untuk bernaung. Ga butuh waktu lama tenda mereka akhirnya berdiri kokoh.
Mereka berangkat tanpa agenda pasti. Jadi setelah sampai di atas ga ada yang pusing acara selanjutnya apa, ya pokoknya menikmati waktu sesuka hati yang penting masih di area itu.
Khalil ngajuin diri jadi penunggu kompor, dia ngeratin jaketnya sembari nunggu Chandra ngambil beberapa bungkus makanan kaleng. Sedangkan temen-temen yang lain ada yang jalan di deket danau juga ada yang genjreng di dalem tenda.
Khalil jadinya termenung natap pergerakan air danau yang termasuk lambat. Entah kenapa perasaannya mendadak gelisah. Namun, dia berusaha buat nepis semuanya. Tujuannya ke sini mau seneng-seneng aja lepas capek dari hiruk pikuk kota.
“Mau makan bubur apa mie instan?” Chandra dateng, duduk di samping Khalil nyerahin banyak bungkusan makanan instan di hadapannya.
Khalil tersentak ketika kesadarannya ditarik kembali menuju realita, dia bergeming sebentar meneliti bungkusan warna-warni dan akhirnya memutuskan buat ngambil dua bubur instan buat sarapan.
“Bubur aja, bosen mie.”
“Sure.”
Chandra bantu Khalil buat nuang air panas dari ketel ke dalam mangkoknya. Terus, cowok itu bergegas mengaduk bubur dan bumbunya. Sudah tercampur, dia kasih satu mangkok untuk Chandra.
“Makasih.”
Bubur yang masih mengeluarkan kepulan asap ditiup agar mendingin. Rasa hangat mengalir ketika masuk tenggorokan.
“Abis ini mau jalan ga?” Tanya Chandra ditengah kegiatan makan buburnya.
“Bahaya ga sih kalo terlalu deket sama danau?” Khalil tanya balik.
“Hah?” Chandra cukup bingung dibuatnya. “Engga lah kalo ada jarak, ga yang deket-deket pinggirnya banget.” Timpalnya.
“Ohh.”
“Mau ga?”
“Hmm, boleh”
Khalil Point of View
Gue berjalan terus berjalan di atas hamparan luas beralas hijau. Gue melihat ke belakang ternyata sudah cukup jauh kaki ini melangkah. Di depan gue ada pemandangan danau luas yang gue sama sekali ga kepo bagaimana rasanya, dingin kah? hangat kah? Satu-satunya yang gue yakini akan danau ini adalah itu kumpulan air.
Air itu ga jahat, mereka bisa bikin badan kita bersih, bikin kita ga dehidrasi, pokoknya air ini jadi salah satu sumber kehidupan di bumi. Namun, di satu sisi dalam diri ini terus berseru bahwa air bisa jadi pembunuh terkejam.
Lupakan sejenak tentang hubungan gue dan kumpulan air. Gue sudah berjanji bahwa yah... ini jadi hari berlibur, dan berlibur itu yang dibawa hanya kesenangan. Maka gue dedikasikan diri gue untuk hari ini.
Kesadaran gue lagi-lagi harus ditarik dari alam tak terdefinisi. Gue menoleh dan mendapati jemari gue telah tertaut erat dengan milik Chandra. Kaki-kaki yang tadi terus berjalan tanpa arah seketika berhenti.
Chandra menarik tangan gue lebih mendekat dengan ujung danau. Gendang telinga gue lebih banyak mendengar suara angin diikuti binatang khas hutan daripada gurauan manusia. Di tempat ini lebih sunyi, sepi, dan tenang. Tapi ga bagi gue, bersama langkah yang semakin mendekat rasa cemas dalam diri gue berteriak minta tolong.
Gue meremas tangan Chandra, cowok itu berhenti menarik gue. “Kenapa?” Tanyanya. Terus tangannya yang bebas menyampirkan poni gue yang berantakan diterpa angin ke belakang teling.
“Jangan ke sana, bahaya! Di sini aja.” Pinta gue.
Chandra tentu menangkap raut ekspresi aneh yang gue tampilkan. Cowok itu ikut kasih raut ga kalah khawatirnya. Namun, bibirnya ga bisa keluarkan pertanyaan yang mungkin mengganjal di hatinya dan setuju untuk berhenti di jarak ini.
Gue dan Chandra berdiri bersisihan. Raga gue semakin ditarik mendekat sebab genggaman tangan kita di masukkan dalam saku jaket boomber yang dipakainya. Syaraf gue menangkap beberapa kali ibu jari besarnya mengusap punggung tangan gue di dalam sana, buat gue sedikit rileks.
“Lu suka nggak di sini?” Tanya dia tanpa melepas pandangan akan lukisan nyata di depan sana.
“Hmm...”
“Bohong, muka lu pucet gitu.” Chandra terkekeh pelan.
Gue mengambil napas dalam, lalu gue hembuskan sebelum menjawab, “I do like here. Tapi sepertinya gue punya pengalaman buruk sama air sebanyak ini.” Gue tersenyum pahit.
Memori itu, memori yang gue coba timbun di dunia gelap antah berantah dalam ingatan gue berlomba-lomba merayap keluar. Memori yang gue ga mau inget-inget lagi.
“Maaf gue ga tau.” Chandra pun menunduk, buat rasa ga enak muncul.
“Ga papa. Kan ga tau,” Gue lepas tarik tangan gue yang sedang digenggam. Gue berlari menuju pinggir danau, lalu gue berjongkok di depannya.
Gue melihatnya, refleksi wajah sendu gue sendiri dan di belakang gue ada Chandra yang berdiri tetap dengan raut khawatir. Gue menyunggingkan bibir, gue ratapi sekali lagi bayangan di permukaan air, meneliti apakah wajah gue telah nampak bahagia. Lalu, gue lanjut berbicara,
“Kalo gue ga mau, gue pasti nolak. Lagian, air ini ga semengerikan itu. Gue yakin ada yang jagain gue. Lihat wajah lu tuh khawatir berlebihan. I feel safe around you, Chan.”
Chandra ikut berjongkok di samping gue. Dia ambil tangan gue lagi. Dia letakkan telapak tangan gue di atasnya dengan dengan posisi terbuka. Lalu, dengan lembut dan perlahan dia celupkan tangan kami ke permukaan air danau yang dingin.
“How is it?” Dia memastikan.
Gue tersenyum haru. Ah beginikah rasanya dingin namun menyejukkan.
“Dingin.”
“It is.”
Dan ya, suasana ini akhirnya kembali bisa gue rasakan. Perasaan menegangkan pun menyenangkan hadir kembali percis seperti momen kencan pertama kali dulu.
Chandra yang menatap gue dengan manik elangnya seakan menghipnotis milik gue agar jatuh ke dalam sana. Gue seakan dibawa ke tempat sepi dimana hanya ada suara degup jantung dan napas halus yang bisa gue dengar.
Momen ini yang gue tunggu,
momen ini yang gue mau,
dan momen ini juga yang gue nantikan.
Ayo bawa gue melayang, bawa gue berkelana menuju angkasa dan mendarat di nirwana.
Gue janji dengan sebuah kecupan yang akan kami bagi nanti jadi satu momen dimana hubungan ini akan memiliki suatu kejelasan.
Chandra mulai mengikis, jarak kami semakin intens. Debaran yang gue rasakan semakin kencang dipacu waktu.
Gue menutup mata ketika hembusan napas halus menerpa pipi gue yang dingin berikan sapuan hangat. Dalam hitungan detik bibir akan bertemu bibir yang lain.
Satu
Dua
Ti-
“AAAAH!”
Gagal, ruangan solid yang gue dan dia bangun sedemikian rupa runtuh seketika akan suara teriakan.
Gue dan dia sama-sama menoleh dengan wajah kesal.
“Amara?!” Ucapan kami bebarengan.
Gue tentu kaget tiba-tiba mendapati Amara dan cowok yang gue tuduh sebagai selingkuhannya juga berada di sini. Wah, kebetulan macam apa yang sedang dirangkai empunya hidup.
Amara berdiri beberapa meter di sana. Namun, gue bisa pastikan bahwa keduanya tengah bersitegang. Amara meledak pun si cowok tak dikenal. Kobaran api seperti saling menyulut mengelilingi mereka.
Gue dan Chandra berdiri, niatnya ingin bantu tengahi. Gue berjalan setengah lari dan skenario setelahnya buat gue kaget setengah mati.
“Aahh! Tol- tolong!” Teriakan putus asa Amara sembari tangannya meraih udara. Amara jatuh tercebur danau.
Gue berhenti lari dengan napas tersengal-sengal. Gue bingung, takut, kesal karena ga ada satupun orang yang berani menolong. Mata gue memerah dan panas. Di saat genting seperti ini bayangan kesakitan yang terus mencoba mendobrak pertahanan gue perlahan hadir.
Papa!!!
PAPA!
Berkat dorongan dari dalam diri, gue pun memutuskan berlari dan menceburkan diri.
“IKI!”
Di dalam sini semuanya warna biru. Sunyi, senyap, sepi, hanya terdengar sayup-sayup riuh manusia di permukaan yang terus panggil nama gue.
Tubuh gue kaku, mata gue berat untuk terbuka. Gue biarkan tubuh jangkung ini diseret semakin dalam menuju dasar. Ketika sampai cukup dalam gue ga lagi dengar suara.
Mata gue akhirnya mau terbuka. Pandangan masih kabur hanya biru disertai gelembung. Perlahan namun pasti semakin jelas. Gue beberapa mengerjap, ketika apa yang gue lihat terasa jelas dan nyata gue semakin kaku.
Dari jauh sesuatu mendekat. Dari sini nampak setitik putih dikelilingi cahaya. Sesuatu itu terus mendekat, jadi semakin jelas dan tergambar tegas. Dan ketika sampai di hadapan gue di situ kepala gue pening seakan dilempar beton dari ketinggian. Gue refleks menutup daun telinga gue saat bunyi mengdenging terasa menusuk gendang telinga.
Memori itu, yang paling gue benci berhasil menerobos keluar bersamaan jumlah air yang tubuh gue serap. Mereka mengapung bebas di sekitar gue dan sosok yang tiba-tiba muncul di hadapan gue.
“Papa?” Sebut gue dalam hati.
Gue akhirnya dapat kendali atas diri ini. Gue amati sosok lelaki paruh baya yang telah lama pergi dari hidup gue. Sosok itu hanya bergeming, melayang dalam air sambil tersenyum.
“Papa!” Gue lagi-lagi memanggil dalam hati. Bibir gue mengatup tanpa bisa dibuka. Gue hanya dapat melihat, memahat wajahnya di hati kecil gue.
Lelehan air mata terus berlomba turun tanpa bisa gue cegah. Semua kejadian di masa lalu berputar layaknya film bertema tragedi. Gue bisa mengingat lagi, bagaimana malam itu bisa terjadi. Teriakan mama dan papa di suatu apartemen sepi. Gue ga inget pasti kata-katanya saking melengkingnya suara mereka. Hanya satu yang gue inget, papa terus meneriaki mama dengan sebutan tukang selingkuh.
Gue si anak kecil nan polos, digendong pergi meninggalkan mama gue masih tergugu di dalam sana. Gue bingung, ga paham dengan semuanya. Kenapa papa tinggalkan mama? Harusnya kita pulang bertiga. Kenapa papa malam itu terlihat begitu hancur dan kesakitan?
“Papa?” Malam itu kata papa adalah satu-satunya kata yang gue sebut. Papa yang memeluk gue dengan senyum palsunya, berkata bahwa kita akan baik-baik saja. Papa yang kecup puncak kepala gue dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi.
Gue takut, tapi gue ga nangis. Gue hanya anak kecil yang takut diajak ngebut-ngebutan. Naas, ketika melintasi sebuah jembatan papa harus rela banting setir menghindari kendaraan dari arah berlawanan dan mobil yang gue tumpangi jatuh menembus sungai.
Gue akhirnya menangis melihat perlahan air mulai memasuki. Papa berusaha keras buka pintu, dan ketika terbuka dia langsung peluk gue erat. Papa bawa gue menuju dasar, berusaha sebisa mungkin menaikkan tubuh gue di permukaan yang agak tinggi. Ketika gue selamat di situ tragedi terjadi. Papa berhasil menyelamatkan gue tapi gak untuk dirinya sendiri. Di malam yang dingin kala itu gue menjerit memanggil kata papa sembari menyaksikan tubuh dewasa itu perlahan jatuh menuju dasar.
Sekarang, saat ini, dan detik ini gue dipertemukan kembali. Gue ingin meluk raganya lagi, gue ingin meminta maaf karen gue dulu hanya sosok anak kecil yang lemah. Jika ingin mengulang waktu gue mau kembali ke sana, jadi Maliki Khalil Jafran yang kuat seperti sekarang, yang sanggup genggam tangan itu sebelum menghilang dari permukaan.
Sosok papa mendekat, beliau kasih senyum paling tulus yang pernah gue lihat. Beliau tepuk dada gue, tanpa mengucap satu kata pun, dan menghilang.
Gue kalut, tubuh gue ga lagi beku, sekarang gue mampu bergerak seakan ingin meraih sesuatu. Kala kekalutan gue, bola mata ini bertemu dengan tubuh yang terus ditarik ke bawah. Gue mengerahkan semua tenaga, gue anak kecil yang dulu gagal saat ini telah berubah menjadi cowok yang lebih mampu.
Gue raih tubuh itu, gue tarik dengan tenaga tersisa. Gue rengkuh wajah yang telah pucat pasi dan gue berenang menuju dasar. Gue kembali mendengar sayup-sayup ramai manusia.
“Maliki!” Itu adalah suara pertama yang gue tangkap.
Gue serahkan tubuh lemah dipelukan gue pada polisi yang telah datang. Lalu, gue ambil tangan cowok yang selalu hangat ini. Dia tarik tubuh basah gue.
Dia memeluk gue dengan mimik khawatirnya. Wajahnya merah dengan genangan air mata di pelupuk yang siap luruh kapan saja. Dia peluk erat tubuh gue, hangat. Dia kecup helaian rambut basah gue berkali-kali sembari ucapkan rasa syukur atas kembalinya gue.
Gue bergeming, suara ramai di sekitar gue berubah jadi dengungan. Gue ga bisa membalas semua perlakuan Chandra. Gue hanya mampu menatap tiap gerak-geriknya.
“Iki kamu gapapa kan?” Chandra mengguncang badan gue.
Kita berdua saling menatap dan saat air mata gue luruh miliknya pun begitu.
Detik kemudian gue merasa lelah. Tubuh gue jatuh menghempas tanah hijau dan awan biru yang gue lihat dari bawah sini perlahan menggelap.
Chandra Point of View
Gue sama sekali ga mengerti dengan apa yang ada dipikiran Maliki Khalil Jafran. Menceburkan diri di danau yang katanya bikin takut bener-bener gila, diluar nalar.
Namun, gue bersyukur lega setelah liat dia muncul lagi di permukaan bersama tubuh lemah Amara.
Di sinilah gue, duduk meratapi raga cowok yang terlentang pingsan di atas kasur. Wajahnya pucat, meskipun begitu napasnya masih ada teratur. Bajunya sudah terganti yang baru. Gue memutuskan buat bawa Khalil ke pusat kesehatan terdekat, meninggalkan temen-temen gue.
“Eungh..” Lenguhan halus itu tertangkap telinga gue. Dengan sigap gue genggam tangannya yang dingin.
“Iki? Bisa kenalin gue gak?” Pertanyaan pertama yang gue layangkan ketika mata cantik itu mulai terbuka. Dia mengangguk lemah dan gue bisa lega.
Khalil menggeliat minta bangun, gue bantu dengan sigap. Gue letakkan bantal untuk menyangga badannya yang lemes.
“Hei.” Gue mengusap kepalanya pelan. Dia tatap mata gue lengkap dengan senyuman kecil.
“Sorry.” Lirihnya.
“No, It's ok. Everything is fine. Ga usah dipikirin ya.” Gue lanjut mengusap kedua tangan dinginnya. Gue berikan usapan agar suhunya perlahan naik. “Let's talk about you instead, Iki.” Lanjut gue.
Dia pun bergeming, menatap nanar kedua tangannya yang berada digenggaman gue. Setelah satu tarikan napas dia bercerita semuanya. Gue ikut tampung bebannya, air matanya. Diakhir kisahnya, gue dekap dia, pinjamkan dada gue untuk tempatnya bersandar.
“Papa kamu senyum di sana sekarang. Anaknya, yang beliau selamatkan dengan nyawa jadi setangguh ini.” Ujar gue sembari menepuk punggungnya.
Gue lepas rengkuhan kami, gue merunduk menyetarakan tinggi kami. Gue tatap wajah sembabnya dan gue usap lelehan air matanya dengan ibu jari.
“Kamu berhasil, tebus yang kamu anggap sebuah penyesalan dimasa lalu. Sekarang papa akan pergi dengan perasaan tenang dan aku yakin beliau juga inginnya kamu di sini bahagia, lepas dari rasa bersalah kamu,jalani hidup kamu sebagai pemuda yang punya mimpi untuk diraih.”
“Kamu gak sendiri, di dunia kamu ga hanya ada kamu dan oma. Sekarang ada aku, ada aku yang tawarkan duniaku untuk kamu nikmati juga. Jika kamu ijinkan, biarkan aku masuk lebih dalam, jadikan aku tempat bagi susah senang sedihnya kamu. Jadikan aku teman, saudara, dan kekasih yang selalu ada untuk kamu. Bolehkah?”
Dia masih menatap gue dengan lamat. Jemarinya yang ada pundak gue mencengkram dengan erat. Dia menunduk, menangis, dan gue masih belum bisa pastikan jenis tangisannya. Ketika dia kembali menunjukkan wajahnya ada senyuman manis di sana.
Kesepuluh jemarinya telah bertengger manis melingkari tengkuk gue. Dia mendorong kepala gue mendekat mengikis jarak. Detik kemudian, bibir kemerahan basah itu berlabuh di atas milik gue, bergerak lembut tanpa nafsu, hanya ungkapan penuh cinta yang ga bisa disampaikan dengan kata.
Gue balas memanggut, gue kecup belah bibirnya. Gue lumat bagian bawahnya dan gue berikan gigitan kecil tanda gemas. Gue tersenyum dia pun begitu ditengah saling memanggut.
Lantas gue umumkan kepada dunia bahwa cowok manis ini resmi menjadi milik gue. Gue Chandra Pramudya kekasih dari Maliki Khalil Jafran.
`hjkscripts.