jobbas short au.
“Gimana kerjaan kamu, Job? Ada peningkatan?” Suara papa interupsi keheningan di atas meja makan. Paruh baya itu meletakkan alat makannya terbalik dan menyilang di atas piring tanda Ia telah selesai.
Job gugup, Ia sesap sedikit air putih untuk bersihkan sisa makanan dalam mulutnya, lalu Ia usap bibirnya dengan serbet sebelum menjawab, “Saya masih dibagian quality control cuma lebih sering di kantor daripada lapangan, pa.”
“Kamu saya lihat sulit sekali berkembang. Coba lihat anak papa ini, padahal umurnya lebih muda daripada kamu sudah jadi kepala.” Balasnya.
“Pa...”
Rengekan Bas enggan digubris, Ia lanjutkan kalimat setajam pisau yang menurutnya adalah sebuah motivasi. “Kalau gini gimana saya bisa percayakan anak saya sama kamu? Saya lebih percaya dia bisa hidup mandiri. Kalau sama kamu, yang ada kamu dihidupi sama dia.”
Ulasan senyum Job nampak getir. Jujur Ia terbiasa, namun terbiasa bukannya tidak menyakitkan. Job ingin keluar dari ruangan ini, Job ingin nyalakan sebatang penuh kesenangan hanya untuk uapkan kusutnya pikiran bersama asap.
Namun, kala telapak halus itu menyentuh permukaan tangannya, hangat menyeruak dalam diri. Job tahu, Ia harus bertahan hingga akhir.
Job Point of View
“Gue udah biasa...” Gumam gue pelan, namun gue yakin Build yang lagi sibuk sama kegiatan nyeduh kopi bisa denger.
Gue terus berucap pada diri gue bahwa hal seperti ini memang sudah biasa. Hal yang selalu menohok hati ini memang jadi konsekuensi si sederhana yang pacaran sama si sempurna.
Tapi tetap aja, hal yang biasa ini gue timbun, menumpuk, dan sekarang jadi kerat di hati, dimana jika gue berusaha buat ngilangin bakal kerasa perih.
“Apa gue nyerah aja yak?” Tawa getir lolos dari bibir gue. Pertanyaan itu selalu muncul ditiap momen keterpurukan gue, namun bisa sirna secepat gue dihadapkan akan senyumnya keesokan hari.
Dia yang punya nama Bas. Kita ketemu waktu kuliah, dia jadi si nerd yang kebetulan gue adalah kakak pembinanya waktu maba. Dia yang selalu manggil gue mas daripada kakak. Dia yang selalu hadir disetiap acara orientasi bahkan ketika temen-temennya bolos berjamaah.
Dia adalah Bas, si perfeksionis, yang akhirnya lulus duluan daripada gue kakak tingkatnya. Dia yang malah nyemangatin gue waktu skripsian sambil ngerintis karir di kantornya. Dia adalah pacar gue.
“Lu kalo putus ama Bas emang ada yang mau sama elu, sob?” Sahut Build sambil nyerahin satu gelas berisi kopi yang masih ngepul asapnya.
Gue senyum lalu menunduk malu karena pertanyaan sekaligus pernyataan Build itu bener.
“Bas mah putus sama elu yang gantiin banyak tinggal milih, bahkan speknya tinggi-tinggi.” Tambahnya.
Asli gue udah mau nangis aja, ngeliat Bas bahagia sama yang lain lewat dikepala gue aja sesek rasanya.
“Tapi itu Bas, sob. Cowok yang cinta matinya elu, dia itu Bas yang menganggap elu nih yang paling hebat di dunia. Dia itu Bas yang melihat elu apa adanya, tanpa embel-embel apapun.”
Bener lagi, dia itu emang Bas yang pernah bilang ke gue rela hidup miskin asalkan sama gue. Sampis emang, tapi gue deg degan. Kata-katanya dia yang satu itu jadi motivasi gue yang sekarang. Job yang dewasa, Job yang bekerja keras, Job yang selalu berusaha.
“Sialan lu!” Gue tonjok kecil lengan sohib gue sebagai tanda terima kasih.
“Besok samperin, ajak ngobrol baik-baik.”
“Siap bos!”
Job Point of View
Gue belum pernah sebaik hari ini. Tadi pagi jemput pacar, ngeboncengin dia sambil dipeluk dari belakang, terus sarapan soto bareng. Ibarat orang ngeliat udah mesra banget. Bahkan kerjaan numpuk di kantor gak bikin semangat gue luntur.
Perut keisi, gue pamit mau melipir ke kafe kantor dulu buat isi energi. Persetan tanggal tua dan harus ngeluarin tiga puluh ribu demi dua shots americano, gue butuh banget.
Saat masuk ke dalam aroma kopi kecium pekat. Gue mengedarkan pandangan untuk mencari pacar gue. Ketika gue kunci wajah manisnya, raut muka gue pun dibuat kesel. Dia nggak sendirian, ada Pak JJ selaku direktur operasional.
Gue mematung diambang pintu hingga tatapan gue dibales sama milik Bas diseberang sana. Dia memandang gue panik, sedangkan gue balas dengan tatapan kecewa dan berlalu menuju toilet.
“Mas?” Suara itu mengalun pelan. Bas ternyata ngikutin gue ke toilet. Gue gak pengen emosi, gue tarik napas dalam terus hembuskan perlahan demi meredam amarah gue.
“Mas...” Suaranya makin lirih dan ada nada ketakutan disana. Dia ngeraih kain lengan baju gue buat digenggam.
Bingung, gue juga gak tau kenapa gue belakangan ini jadi sensitif. Gue yang biasanya pasrah dan legowo jadi sering pengen meronta. Apapun pasal Bas serba nyentil hati kecil gue.
Sekali lagi gue buang nafas kasar, pejamin mata sejenak, lalu begitu aja amarah gue surut. Gue tarik tubuh berisi yang amat lebih pendek dalam pelukan. Dia dengan napas putus-putusnya masih berusaha jelasin kalo gak ada apa-apa bahkan sebelum gue dateng.
Bas itu paling gak suka kesalahpahaman diantara kita. Dia yang selalu gak bisa tidur kalo hari itu kita berantem. Dia si overthinking.
“Iya aku ngerti, maaf gak dengerin kamu dulu.” Kata gue menenangkan. Emang salah gue yang langsung ambil konklusi, emang salah gue dan mood gue yang lagi up and down gak jelas.
“Pak JJ udah balik kok, ayok ngopi berdua aja sama aku.” Cicitnya lucu.
Gue lepas dia, namun gue ganti tautkan jemari tangan kita. Gue gandeng dia posesif buat balik ke meja kafe.
Job Point of View
“Aku aja yang bayar.” Bas beranjak. Sebelum dia berlalu menuju kasir gue lebih dulu menahan tangannya.
“Aku aja.” Ujar gue yang juga ikut berdiri dihadapannya.
“Mas aku aja, tadi pagi kan kamu udah.” Bas bales masih sabar sambil senyum tulus.
Entah kenapa gue agak tersinggung. Semua tentang Bas belakangan ini bikin tingkat sensitivitas gue melambung jauh. Padahal, gue sama dia udah biasa gantian bayar-bayarin gini, malah kadang jadi bercanda aja kalau salah satu gak mau kalah yang akhirnya kita mutusin buat bayar setengahan.
Namun hari ini gue memilih sakit hati. “Kamu kira aku gak bisa bayar?” Celetuk gue dengan nada datar. Bas tentu bergeming sembari menatap gue tak percaya.
“Maksud aku gak gitu, mas.”
“Terus gimana maksud kamu?! Aku bilang aku yang bayar, aku bisa bayar. Aku dominan kamu Bas, jangan mentang-mentang finansial kamu lebih dari aku bisa kayak gini!”
Dan gue tanpa tau lokasi, tanpa tau malu, gue ungkapkan segala pikiran macem-macem dalam kepala gue. Gue ungkapkan segala insecure dalam diri ini yang susah payah gue pendam.
Gue sama Bas gak pernah menentukan siapa lebih dominan siapa karena semua cowok pasti punya pride masing-masing. Cuma, gak tau kenapa menjadi saksi segala kesempurnaan Bas yang semakin hari semakin berkembang bikin gue gak mau kalah. Apalagi ditambah raungan papanya yang seringkali bilang Bas mampu hidup mandiri, Bas yang akan hidupin gue.
No, gue lebih suka Bas yang butuh gue, gue lebih suka Bas yang bergantung sama gue.
Banyak pasang mata yang jadi saksi gak bikin gue gentar. Namun, Bas lebih memilih buat nyerah aja, dia ngalah dan biarin gue bayar. Terakhir, gue yang lagi mode jahat ini ninggalin dia gitu aja.
Job Point of View
Kala gue tau pertama kali gimana keluarga Bas, gue memutuskan perlahan mundur. Gue si anak sederhana yang hanya tinggal sama ibu tau diri kalau hubungan ini bakal gak mungkin.
Bas itu Bas, si cowok gigih. Gue baru menyadari itu, gak salah kantor milih dia jadi kepala pemasaran yang baru. Bas dengan kegigihannya tetep berlari mengejar gua meskipun kecepatan pelarian terus gue tambah. Sampai akhirnya gue lelah dan dia bisa jangkau gue lagi. Dia nangis waktu itu sambil peluk gue. Dia minta maaf karena terlahir dari keluarga berada, dan saat itu dia bilang secara impulsif kalo dia mau miskin asal sama gue.
Gue sadari kalimat itu hanya untaian kata-kata keju belaka. Gue harusnya malu karena gue menagih kalimatnya dibentengi ketidakpercayaan diri. Gue harusnya malu ngajak dia miskin bareng daripada nyoba bangkit bareng.
Mungkin gue dan Bas nantinya mau jatuh dan bangun bersama. Tapi, ketika kita sepakat buat punya anak pasti gak ada orang tua yang mau ngajak anaknya hidup susah. Gue paham, gue akui gue salah.
Pintu kaca itu, gue buka seraya berjalan masuk. Gue langsung jalan mendekati sosoknya karena kafe sedang sepi. Gue duduk dihadapannya yang tengah menunduk.
“Sayang?” Panggil gue selembut mungkin. Dia mendongak, tatapannya lurus sejajar manik mata gue. Dia kasih senyum, kecil, namun mengirimkan jutaan ungkapan penuh kesedihan.
Dia ulurkan kedua tangannya bersama dengan buku kecil. Oh, ini buku tabungan gue yang memang sengaja gue suruh dia simpen. Semua hasil jerih payah gue tercatat disana, semua jerih payah gue yang nantinya bisa wujudin mimpi kita berdua yang pengen bangun rumah impian.
“Kenapa dikembaliin? Kan aku suruh kamu simpen.”
Dia menggeleng, “I don't deserve this.” Balasnya.
“Kamu bisa lebih berkecukupan kalo ga lakuin ini, kamu bisa berkembang seperti yang kamu inginkan kalo ga sisain gaji kamu ke dalam sini, kamu mau kita selesai dan aku rasa ini sudah bukan hak aku untuk nyimpen.” Lanjutnya panjang lebar. Demi apa gue berdosa banget sama dia.
Bener kata Build dan Kak Tong. Gue jadiininsecure gue buat alat nyakitin pacar gue.
Gue gak peduli sama buku tabungan, gue ambil kedua tangannya buat digenggam. Gue bahkan gak lepasin sedetik pun ketika gue pindah buat bersimpuh dihadapannya. Tinggi kita jadi sejajar, gue jadi gampang amati wajah gantengnya yang lagi kusut. Gue gak suka, gue lebih suka lihat dia senyum, lebih suka lihat semburat merah muda yang muncul karena malu.
Bibirnya perlahan melengkung ke bawah. Matanya mendadak berkilau, pelupuknya berusaha membendung air mata agar tak luruh.
“Aku minta maaf.” Ungkap gue tulus.
Bendungan air mata dalam pelupuknya gak mampu buat nahan lebih banyak lagi. Dia nangis, tanpa malu-malu seolah melepaskan bebannya.
Gue senyum kecil, karna demi apapun Bas lucu banget kalo nangis. Gue bawa dia dalam pelukan gue, gue usap lembut punggungnya biarin dia nangis sepuas yang dia mau.
Gue tuh emang orang paling gak bersyukur. Harusnya gue jaga dia sepenuh hati, bukan bikin dia sedih begini.
“Mas, jangan tinggalin aku... nanti aku sedih...” Gue gak tahan buat gak ketawa. Pasalnya dia ngomong sambil sesenggukan.
Nggak Bas, harusnya aku yang minta begitu. Harusnya aku yang takut ditinggal sama kamu. Karena kamu itu segalanya buat aku. Terakhir, gue mengangguk yakin, gue sematkan kecupan penuh kata cinta di puncak kepalanya.