hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Satu hal yang dibutuhkan dari menjalin hubungan adalah sebuah progres. Sesuai dengan janji mereka satu sama lain bahwa keduanya setuju untuk memulai, mau untuk belajar, dan bersedia berkembang. Ya, begitulah ceritanya hingga mereka tiba, duduk bersisihan di atas rumput taman di bawah pandu lampu jalan sebagai penerang.

Berbeda dari 'yang disebut' kencan hari sebelumnya, kali ini semuanya telah direncanakan. Mereka punya waktu bersiap, pakai baju dan berdandan sebaik mungkin bukan dengan seragam sekolah masing-masing. Wangi parfum menguar, melebur jadi satu menambah kesan romantis.

Malam ini, hanya berbekal kata aku dan kamu mereka lakukan pendekatan diri.

“Gimana menurut lu alun-alun?” Tanya Chandra memulai sebab sedari tadi hening tanpa kata.

Jujur saja dibalik kata aku dan kamu menyimpan beban berat. Dihadapkan dengan kencan sungguhan buat keduanya banyak diam. Canggung, malu, takut jadi satu. Mereka bukan tipe makhluk penuh keseriusan. Keduanya nyaman satu sama lain dalam konteks hari biasa, namun berdasarkan judul khusus yaitu kencan pergerakan dan tuturnya seolah dibatasi.

“Seru,” Khalil mengangguk. Jika dilihat dari sisi selain waktu weekend, alun-alun bukan tempat yang buruk. Ramai, namun masih buat nyaman.

“Gue ga terlalu suka sama tempat rame juga terlalu sepi.” Lanjutnya.

Chandra menghela napas lega. Cowok ini sempat kebingungan mau bawa Khalil kemana selain warmindo. Pun, setelah melihat Khalil duduk nyaman meskipun beralas tikar tipis yang dia pinjam dari Yohan, dia bisa bernapas bebas.

Malam kian larut, hiruk pikuknya turut meningkat. Hanya saja, mereka berdua layaknya diselimuti kabut tebal anti tembus. Sepasang daun telinganya enggan menangkap suara lain selain deru napas beserta degup jantung yang saling bersahutan. Kedua netranya hanya tunduk pada paras yang ada di depannya.

Chandra menggeser duduknya hingga gelanyar aneh muncul ketika kulit bersentuh kulit. Tangannya, perlahan dengan pasti mengambil milik Khalil yang tengah bebas. Digenggam erat jarinya, diremas, lalu diusap memberikan sensasi hangat.

Khalil menatap lekat rupa tampan itu dari sisinya. Garis rahang lurus nan keras seolah bisa melukai jarinya ketika disentuh. Lalu, maniknya merubah haluan ke arah tangannya yang tengah digenggam. Rasa hangat begitu pelan, menjalar terangkut peredaran darahnya.

Dia tersipu, rasa ini baru. Khalil, si dingin dan antiromantis dibuat tergelitik akan sebuah getaran aneh yang diberikan oleh Chandra.

Weird, isn't it?” Ujar Chandra dibalas kerutan di dahi. “Piknik malem-malem rada aneh.” Lanjutnya dibarengi tawa geli.

Bibir Khalil turut dibuat tersungging, “Engga aneh, cuma unik.”

“Jadi, mulai darimana? Ga ada hal baru dan menarik tentang gue yang bisa gue bagi ke lu.” Khalil ubah posisi badannya jadi menyender pada batang pohon sedang di belakangnya. Mereka berhadapan, jemarinya masih berada dalam genggaman milik Chandra.

Chandra menyamankan duduknya, teliti lagi paras sekelas dewa kesukaannya. Tangannya melepas lima jemari panjang itu sejenak sebelum ditautkan kembali. “Gue juga bingung mau mulai darimana,” Balasnya.

Can we just like this? Do nothing but admire each other appearance and let the silence bring us closer?” Pintanya.

Khalil tertegun akan setiap tutur kata yang keluar dari bibir Chandra. Dia lagi-lagi hanya memperhatikan jemarinya dan miliknya bertaut serta bergerak bebas mengikuti kemana angin berhembus.

Of course.”

Berselimut pembatas tak kasat mata mereka menikmati kehadiran satu sama lain. Mereka semakin ditarik mendekat oleh keadaan, oleh cerita yang dibagikan, oleh setiap sentuhan yang diberikan. Hanya melalui tatapan, mereka tak perlu ungkapkan cinta.

Keduanya sama-sama tau bahwa debaran yang dihasilkan jantungnya kian lantang menjawab panggilan penuh gelora milik satu sama lain.


Khalil ditinggal seorang diri, memori beberapa menit lalu masih berputar hebat di kepalanya. Sentuhan lembutnya masih terasa di permukaan kulitnya.

Cowok rupawan ini tersenyum malu sembari menatap khalayak ramai tersaji dalam pandangnya. Gimana bisa hidup monotonnya seketika dijungkir balikkan dalam satu jentikan oleh cowok yang dengan kurang ajarnya menerobos masuk hidupnya.

Shit! Tadi itu gila, jujur gue takut meledak dibuatnya.” Batinnya.

Khalil mengedarkan pandangannya, tak sulit untuk menemukan Chandra si jangkung yang lagi antri jajanan. Khalil terkikik geli ketika sadar Chandra melambaikan tangannya dari sana.

Tunggu ya!” Katanya yang bisa Khalil tangkap berdasarkan gerakan bibir. Lalu, Khalil mengangguk.

Khalil berpindah arah menikmati lalu lalang kendaraan melintas kota besar, kemudian perhatiannya berpaling pada sekumpulan komunitas skateboard yang tengah beraksi. Dan matanya dikagetkan oleh pemandangan ganjil. Sosok wanita yang dikenal namun bersama lelaki yang tak dikenal.

“Hei!” Khalil terkesiap akan tepukan di pundaknya. Ia kembali ke posisi semula bersamaan Chandra yang juga duduk kembali.

“Liatin apa sampe ga kedip gitu?” Tanya Chandra sembari meletakkan satu persatu bungkusan camilan yang dia beli. Diambilnya beberapa untuk taruh di atas telapak Khalil yang masih diam. “Diminum!” Suruhnya.

Setelah kepergiannya Khalil mendadak diam. Minum, makan pun enggan bersuara.

Khalil layangkan kembali tatapannya pada dua sejoli yang berjalan menuju sekitarnya. Chandra turut ikuti kemana dua obsidian cantik itu berlabuh.

“Siapa?” Selidiknya penasaran.

“Amara,”

Ah, jadi itu rupa wanita bernama Amara. Wanita yang sempat mengusik hari-hari cowok satu ini. Wanita yang buat senyum cowok ini sempat menghilang kemarin.

Khalil enggan putuskan kontak matanya, makin terbelalak ketika cowok tak dikenal dengan berani mengecup pipi Amara. It's supposed to be you, Elkan.

“Dia sama cowok lain, bukan Elkan temen gue.” Lirihnya.

Sedih, Khalil seketika kepikiran perasaan Elkan di waktu begini. Temennya yang rela lepas sesaat tali persahabatan demi cewek satu itu harus mengalami pengkhianatan.

“Iki...” Panggil Chandra namun dihiraukan.

Khalil sibuk mengambil ponselnya, membuka aplikasi kamera untuk mengambil sebuah bukti, “Gue harus kasih tau El-”

“IKI?!” Kali ini Chandra pakai sedikit nada tinggi. Dia remas kedua lengan cowok yang sedang kalut untuk agar berhadapan dengannya.

Chandra tatap matanya tajam, dia pun mulai bersuara, “Inget nggak, hari ini tentang kita. Aku maupun kamu.” Tuturnya lembut.

Khalil diambang bingung, dia masih gigih alihkan fokusnya pada dua orang yang beranjak menjauh. “Tapi Elkan-”

Chandra menyentuh dagu Khalil lembut, Dia gerakkan sepelan mungkin agar bersitatap kembali dengan dirinya.

“Iki...” Panggilnya seduktif. Napas halusnya menyapu permukaan wajah putih yang kian menggoda dari jarak tiga senti.

Chandra kunci kedua matanya, pastikan fokus cowok ini hanya padanya. Lalu, si mata elang itu bergerak mengamati hidung bak seluncur. Terakhir, pandangannya jatuh pada bibir kemerahan yang sedikit terbuka.

Dia pandangi terus bagaimana benda kenyal itu bergerak. Chandra meneguk ludahnya sendiri ketika tanpa sadar Khalil membasahi permbukaan merah dengan lidahnya, membuat belah bibir itu berkilau di matanya.

Can I?” Chandra berbisik masih di posisi yang sama.

Tak mendengar penolakan maka kepalanya perlahan maju, miring, dan detik berikutnya mendarat mulut di atas landasan merah muda bertekstur kenyal nan basah.

Khalil terkejut hingga reflek memundurkan kepalanya, namun Chandra dengan seperkian nafsunya melayangkan kedua tangannya menahan, menekan tengkuk Khalil memperdalam ciumannya.

Keduanya terbuai, ditandai dengan bersembunyinya iris indah di belakang kelopak mata. Rematan jemari Khalil pada pundak Chandra perlahan mengendur.

Chandra melepaskan senjenak tautan antar bibir itu, memberikan jeda sejenak untuk mengambil sedikit oksigen. Tak ingin berlama-lama sifat adiktif yang ditimbulkan bibir Khalil telah mengundang kembali milik Chandra. Kali ini bukan hanya tempel belaka, namun ada nafsu yang membuat gerakan melumat, menghisap, bahkan menggigit kecil-kecil menghasilkan bunyi kecipak diikuti lenguhan halus.

Sekali lagi, keduanya tak perlu ungkapkan. Hanya dengan tatapan, sentuhan, serta beberapa detik kecupan berhasil sampaikan jutaan pesan dari lubuk hati terdalam.


`hjkscripts.


Chandra Point of View

Nanti, kita bicarain lagi

Satu kalimat itu terus berputar di kepala gue. Gue si manusia ceroboh yang sok-sokan mengungkapkan perasaan yang telah gue pendam untuk cowok satu ini. Perasaan yang masih sedikit rumit berwarna keabuan sebab belum ada keyakinan di sana. Perasaan menyenangkan, berdebar, sakit, cemburu, sedih, yang katanya disebut cinta.

Ada dua keadaan tubuh gue saat ini. Satu sisi gue meruntuki, sedangkan yang lain begitu lega. Namun, ketika gue sadar bahwa pembicaraan tentang satu topik berdasar cinta belum diputuskan maka gue ketakutan.

Itu Khalil yang sedang melangkahkan kaki masuk warmindo. Dia dengan cepat pula menemukan posisi duduk gue. Dia yang biasanya menyapa dengan sumringah kali ini duduk ragu bercampur malu.

“Hai! Gimana hari ini, Iki?” Sapa gue dengan kalimat seperti biasa. Nada bicara gue atur sedemikian mungkin agar ga nampak bergetar. Gugup? Tentu ada, jantung gue rasanya pengen misah aja.

“Hari ini gue lagi seneng,” Balasnya. Kepalanya beberapa kali nunduk, pun jika terangkat netranya enggan menatap milik gue dengan nyaman. “Awalnya begitu sampai gue dikejutkan oleh sebuah apa ya...confession?” Tambahnya.

Gue, si cowok yang lagi mencoba terlihat santai dan keren akhirnya menyerah juga. Ketika terdengar satu kata itu disebutkan gue refleks memajang wajah bego. Aduhh...beneran dibahas.

So...” Kedua tangan gue menggenggam erat dua lengan kursi, benahi posisi duduk yang semakin merosot.

“Tolong jujur sama gue, lu bercanda kan?” Lagi, pertanyaan satu ini yang terus dilemparkan.

Gue menghembuskan nafas kasar, harus gimana lagi menyakinkan juga udah kehabisan kata. “Apakah gue terlihat lagi bercanda, Ik?” Gue pun menjawab begitu, lengkap dengan ekspresi serius.

Khalil yang awalnya sudah berani menatap mata gue sontak menunduk. “Why me? Kenapa gue dari sekian banyak?” Bisiknya.

“Kalau gue jawab karena itu elu kedengerannya terlalu menstrem ya.” Gue terkekeh sembari menelisik tiap gerak-gerik canggung yang dibuat cowok di depan gue.

“Alasan hmm..,”

“Karena lu terlalu familiar buat gue. Otak gue mungkin terlambat mengenali lu, tapi hati gue mengenali keberadaan lu sejak awal. Gue manusia dengan beribu rasa penasaran sebenarnya juga bingung dan bertanya-tanya kenapa elu? Dan gue tau jawabannya. Seiring berjalannya waktu gue tanpa sadar menebar benih hingga tumbuh disirami terbiasa. Gue menikmati hadirnya lu di samping gue dan akhirnya seluruh raga gue terbuai jadi nyaman.”

Lama hening, baik gue maupun Khalil belum ada yang bersuara. Gue dan dia layaknya berada di kota mati yang hanya kita berdua. Seolah kita dibuat lupa jika disekeliling ada suara Mas Edi yang bersenda gurau dengan pelanggan yang lain.

Jantung gue berdebar lebih hebat dari biasanya ketika dua obsidian kami lagi bertemu. Gue tentu menunggu sebuah jawaban. Bohong kalau gue ga peduli, bohong kalau gue ga berharap. Jangan dipikirkan perasaan ini milik gue, itu semua hanya basa-basi.

Gue ga bisa menilai tatapan yang tengah dilayangkan oleh cowok manis satu ini. Satu yang pasti dia sedang bingung. Apakah dia punya rasa yang sama? Gue harap iya meskipun masih seujung kuku.

“Chandra...” Dia panggil nama gue.

“Gue gatau,” Lanjutnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Gue sedikitnya merasakan hal yang sama tapi gue belum berani ngartiinnya. Gue takut gabisa kasih apa yang lu minta.”

Kedua bahu tegang gue perlahan melorot. Gue terlalu berharap, ekspektasi gue ketinggian. Sekarang rasanya badan gue seenteng kardus indomie yang bisa dihempaskan begitu saja dan gue kecewa.

It’s ok, Iki kal-”

“Ssst!”

Gue mengatupkan bibir.

“Gue belum selesai ngomong, Chan.” Katanya. Gue pun mengangguk, mempersilahkan kembali dia untuk bersuara.

“Jujur sekarang memang gue sedang bingung tentang ini harus gimana. Gue memang takut gabisa balesnya. Tetapi, gue... gue ga pernah takut untuk mulai mencoba.”

“Pelan-pelan ya, Chan. Sanggupnya gue cuma segini. Gue persilahkan lu masuk untuk kasih afeksi berlebih sembari gue belajar mengenai tentang hati.” Ujarnya final.


`hjkscripts.


Chandra Point of View

Kata banyak orang di luar sana rumah paling berharga adalah keluarga. Bagi gue sebuah kalimat yang menyentuh hati itu hanya omong kosong belaka. Keluarga gue masih utuh, harmonis, masalahnya ada di gue. Gue si anak kurang afeksi.

Gue memang nampak seperti anak biasa pada umumnya. Hampir nihil kegundahan dalam hidup gue tutupi. Jika gue berkata gue bahagia, maka gue benar begitu. Jika gue merasa sedih, maka gue akan ungkapkan. Gue bukan sosok pendendam, gue cukup tau diri bahwa tumbuh kembang gue selama ini tercukupi karena ya kerja keras orang tua. Hanya saja, untuk berada di satu atap gue merasa ga nyaman.

Hari ini, untuk yang sekian kali dan pertama kali bersama cowok satu ini gue mencoba lagi. Jujur, gue lakukan ini ga ikhlas. Namun berkat kata-kata cowok ini kemarin berhasil nyihir hati dan pikiran gue.

Gimana kalau mereka mau perbaiki ga sempurnanya dulu?

Terakhir kali gue datang penuhi panggilannya, yang gue dapat hanya amarah. Papa gue yang emosi tau alasan gue kabur, pun gue yang kesulut sebab dapet amukan. Sejak detik itu gue bertekad enggan datang lagi meskipun mereka memohon.

Motor gue melaju kencang belah jalanan kota yang cukup ramai. Sesekali gue ngintip Khalil melalui spion. Cowok itu keliatan excited daripada gue. Dalam hati terus merapalkan doa semoga apa yang diucapkan Khalil benar adanya.

Tiga puluh menit berada di jalan raya utama, sekarang laju motor gue melambat saat gapura sebuah perumahan elit mulai nampak. Ini perasaan gue aja atau gimana bahu gue diremes lumayan kenceng sama Khalil.

Gue lagi-lagi mengintip lewat kaca spion. Di situ Khalil udah buka kaca helmnya, mandangin rumah-rumah gede yang ada. Namun, raut wajahnya bukan penasaran melainkan sedih dan ketakutan.

Gue menarik pegas rem tepat di depan rumah modern berpager kayu coklat. Khalil turun masih dengan pandangannya yang ga lepas dari sebuah rumah.

Helm gue sampirkan di spion, nata rambut sejenak dan buka jaket, “Iki?” Panggil gue.

Khalil tersentak ketika tangan gue nyentuh pundaknya.

“Eh?”

Are you ok?”

Khalil gelagapan, seluruh gerak-gerik canggungnya ketangkep sama obsidian gue.

Dia senyum, “Nervous dikit.”

Take your time,Ik.”

“Gapapa, ayok!”

Gue mendekat berdampingan ke arah pager yang menjulang. Gue narik napas dalam, lalu hembuskan kasar.

“Apapun yang terjadi hari ini gue harap ga bikin lu hilang nyaman ada di dekat gue.” Celetuk gue. Gue hanya mewanti-wanti takut kedatangan ini ga sesuai ekspektasi. Gue jelas ga bisa menjanjikan pertemuan ini akan berjalan mulus, penuh haru. Gue takut jika emosi gue akhirnya meledak bakal buat Khalil punya side thought negatif tentang gue.

We're in this together.”

Ok.” Gue berakhir memencet bel.

Sekali lagi gue hanya mampu berharap yang terbaik. Biar yang punya hidup tentukan jalan pilihan yang tepat.


Khalil Point of View

Gue teramat gelisah. Hari ini gue akan temani Chandra buat pulang ke rumahnya. Gue yang merasa punya banyak hutang budi ke cowok ini jadi menawarkan diri untuk menemani.

Awalnya perjalanan terasa asik, terpaan angin dan mata yang dimanjakan gedung tinggi pencakar langit jadi healing sesaat dari segala pemikiran keruh yang sedang gue alami.

Hingga, gue melihat gapura perumahan elit yang sangat gue kenali. Dulu gapuranya tidak setinggi ini dan ga sebagus ini. Namun, gue masih mengenali betul di mana lokasi gue berada saat ini.

Bener, perumahan ini tempat gue tumbuh. Tempat di mana gue habiskan masa kecil gue bersama dua orang tua.

Perasaan gue menjadi sendu. Gue ga nyaman, memori itu perlahan balik lagi satu persatu tanpa bisa dicegah. Jantung gue rasanya mau copot ketika motor yang kami tumpangi berhenti di salah satu rumah. Mata gue terbelalak saat melihat satu rumah yang ada di sampingnya. Sudah lebih bagus, namun pondasinya masih mirip dulu.

Kebetulan macem apa ini? Rumah lama gue berada tepat di sebelah rumah orang tua Chandra.

Ketika pintu dibuka, gue mempersiapkan diri. Meskipun seluruh badan mulai keringetan, gue harus tampil profesional. Bayang-bayang dari masa lalu gue tepis dahulu.

“Adek?”

Gue tersenyum lebar saat muncul wanita paruh baya. Wajahnya mulai keriput namun masih ayu. Pakaiannya pun cantik, gue bisa menyimpulkan oh.. ini mamanya Chandra?

Gue hanya berdiri mengawasi. Menjadi saksi bagaimana seorang ibu memeluk anaknya dengan derai air mata. Sedangkan yang dipeluk hanya mampu bisu dengan pandangan tak percaya.

“Adek ke mana aja? Mama kangen sekali. Mama minta maaf ya kalau banyak salah sama adek.” Tuturnya sang mama terbata. Penyesalan sungguh terasa jelas disetiap katanya.

Pelukan itu dilepas, sang ibunda masih menatap lekat sembari merasakan garis-garis wajah tegas sang buah hati. Melihat sang anak masih baik, gue bisa melihat bahwa beliau merasa lega.

“Ayo masuk, papa nunggu kamu,” Ajaknya. “Eh maaf ini siapa ya? Ganteng.” Mama Chandra akhirnya bisa melihat sosok gue.

“Saya Iki temannya Chandra.” Gue sapa lembut sambil memperkenalkan. Gue serahkan buah tangan yang sempet kita beli di tengah perjalanan menuju ke mari.

Lalu, beliau mempersilahkan masuk. Gue duduk menyamankan diri di ruang tamu sembari ngobrol sama mamanya. Sedangkan, Chandra masuk lebih dalam ga tau mau ke mana.


Chandra dan Khalil berakhir termenung di sebuah bangku taman perumahan. Sebenernya Khalil dibuat bingung, setelah menampakkan diri kembali di ruang tamu Chandra langsung narik paksa Khalil pergi. Mereka ga langsung pulang melainkan duduk di sini.

Chandra sejak tadi diem, wajahnya ga menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Pun Khalil ga berani ngucap satu kata. Khalil cuma bisa perhatikan setiap gerak-gerik cowok itu yang dari awal langsung ngeluarin satu batang rokok dan korek.

Chandra sesap batang rokoknya dalam lalu dihembuskan bersamaan dengan beban di pundaknya. Gerakannya cepat, Khalil ga bisa nyegah. Chandra kesetanan, dalam satu duduk sisa rokok dalam wadahnya habis tak bersisa.

“Ayo pulang udah abis kan?”

Shit!” Chandra buang putung kecil terakhir. Dia usap wajahnya yang berantakan.

“Gue udah coba ngerti semuanya, Ik. Gue coba terima semua penjelasan logis yang bisa mereka utarakan sebagai anak yang lahir di waktu yang ga tepat. Susah, bagi hati nurani gue apapun alasannya sulit diterima.” Ungkapnya tiba-tiba.

Chandra menunduk, dia lemah, dia jatuh, dan dia akhirnya tumpah. Pundak kokohnya bergetar hebat bersamaan suara isakan kuat.

“Mereka meluk gue, mereka nangis di depan gue minta ampunan. Tapi gue terlanjur mati rasa.”

Khalil ga tau harus berbuat apa. Khalil ga pandai merakit kata menenangkan. Maka, dia menggeser duduknya, mengikis jarak antara mereka. Khalil rengkuh tubuh besar nan rapuh dalam dekapannya. Dia berikan tempat ternyaman untuk Chandra serukan sedihnya.

“Gapapa, keluarin semuanya.” Bisiknya. Jemari panjang sekaligus cantik itu tak pernah berhenti untuk memberi belaian lembut pada rambut yang sedang sedih.

“Gue belum bisa kasih kata maaf untuk mereka.”

“Ssttt,”

“Gapapa, sekarang masih sulit gapapa. Nanti coba dimengerti lagi, dipahami lagi sampai lu udah siap waktunya untuk memaafkan.”

Detik itu giliran Khalil yang menjadi saksi bagaimana Chandra si manusia biasanya tunjukkan kerapuhannya.


`hjkscripts.


Chandra seperti biasa nunggu di warung kecil depan SMA 16. Nunggu siapa lagi kalau bukan si Iki alias si Khalil. Sambil nyedot nutrisari jambu biji dia ngamatin satu persatu siswa yang mulai keluar dari gerbang.

Lama Chandra di posisi begitu, cowok yang ditunggu enggan menampakkan batang hidungnya. Hingga dia dibuat berdiri ketika gerombolan anak futsal yang juga baru keluar nyamperin dia.

“Yo!” Sekitar lima motor menepi. Chandra nyambut mereka satu satu pake fist bump.

“Ngapain sob di mari?” Jeno yang motornya berada paling depan nanyain. Cowok dengan badan gede itu refleks nyari anak 14 lain. Nihil, Chandra cuma seorang diri.

“Nungguin temen gue,” Jawab Chandra. “Mau maen lu pada?” Chandra kembali melempar tanya, dia ngabsen wajah-wajah yang cukup familiar.

Sampai di motor paling belakang, dia ga sengaja berselisih tatap sama Hasan. Si cowok yang sering dipanggil Ipul sama Khalil.

Cowok yang lagi diusahain maafnya sama Khalil.

Chandra ngelempar senyum ramah dan balesannya Hasan cukup bikin dia tertegun. Hasan cuma natap Chandra dengan ekspresi datar, ga seramah biasanya. Chandra udah denger semuanya dari Khalil kalau fotonya waktu jemput si cowok itu kesebar di akun base SMA 16.

“Ya udah bro duluan gue sama bocahan, keburu sorean!”

Rombongan tim futsal berlalu pergi ninggalin Chandra sendiri lagi. Ga lama kemudian senyum Chandra ngembang, ganteng, ketika nangkep paras cowok tinggi yang lagi ditunggu.

Cowok manis ini mendekat, sedikit berlari sebab ga mau Chandra kelamaan nunggu.

“Kaga usah lari ngapa! Kaga ditinggal juga.” Chandra ngangkat tangannya, bergumam permisi lantas ngerapihin rambut Khalil yang jadi berantakan.

“Nunggu lama ga? Sorry tadi ketemu sama anak ekskul jadinya ngobrol.”

Chandra geleng, “Engga. Ayok lah kita gas. Ga enak diliatin mulu.”

Ucapan Chandra bikin gerakan kepala Khalil nengok sekitar. Bener aja dia jadi bahan tontonan.

Hadeh.. Masih aje.” Batinnya. Terus, Khalil mutusin buat bodo amat. Si cowok ini ngekorin Chandra menuju motornya.


Hal pertama yang Khalil lakuin saat sampai di rumah kos adalah turun dan bantu bukain pager biar motor Chandra bisa masuk. Khalil udah pakai baju kasual, kaus biru dengan celana sekolah karena sempet pulang.

Khalil ngikutin cowok itu dari belakang menuju kamarnya. Sesekali menerawang rumah kos yang lumayan besar. Tampak dari bentuk kosnya, Khalil jadi bisa sedikit memastikan kalau Chandra bukan orang sederhana seperti yang dia kira.

“Taruh aja sandal lu di rak!” Suruhnya sambil coba buka pintu kamar nomor 5. Kamarnya ada di lantai bawah depan ruang tamu.

Khalil ngelepas sandalnya lalu ditata sesuai perintah yang punya kamar. Dia masuk sambil celingukan. Kamarnya luas, bersih, tertata rapih, baunya wangi khas bau badan si cowok. Chandra bukan tipe yang suka nempelin poster idolanya di tembok. Kebukti sama temboknya yang masih putih bersih. Kalau Khalil boleh sotoy Chandra suka sama karakter superhero, sebab ada banyak action figure dari series marvel tertata rapih di lemari kaca bawah TV. Selebihnya kamar ini cuma kamar anak cowok pada umumnya lengkap sama gitar yang tergeletak di atas kasur.

“Cakep juga kosan lu.”

“Mayan lah.”

“Kenapa milih ngekos? Lu bukan asli orang sini?” Khalil duduk di atas karpet bulu, merhatiin Chandra yang sibuk mondar-mandir bikin minum.

“Asli gue, cuman ya pengen bebas aje Iki.”

“Orang tua lu?” Khalil ga sadar udah terlalu kepo.

Chandra duduk pelan-pelan, nuangin air warna merah di dua gelas, “Makasih.”

“Papa mama gue ada kok. Mereka tinggal sama kakak gue. Cuman gue aje yang ga betah tiap hari diomelin, tau sendiri kan gue suka ngayap begini hahaha.”

Khalil cuma ngangguk sambil nge-oh. Dia nyeruput air sirup yang disediain.

“Maaf gue ga maksud ngorek privasi lu.” Lirihnya.

Si Chandra ketawa ringan, dia merasa ga keberatan sama sekali. Dia bukan orang yang suka menutup diri, malah seneng kalo orang yang jadi temennya pengen tau lebih dalam tentang dia. Pokoknya asal ga berlebihan dan melampaui batas dia dengan senang hati cerita.

“Santai, Iki...”

Chandra beringsut ke kanan. Manfaatin tangannya yang panjang buat narik stick psnya.

“Main sekarang?”

Khalil geleng, semenjak duduk di sini dia jadi kehilangan selera buat ngegame. Dia jadi nyaman cuma dengan duduk. Apa mungkin karena dia ga sendirian? Yang dia butuhin sekarang hanya temen. Dengan presensi Chandra di deketnya sudah lebih dari cukup.

“Ntar aja, masih pewe begini.”

“Oh, yaudah. Ngobrol-ngobrol aja ya kita.”

Setelah itu mereka jadi asik ngobrol. Mereka tanpa sengaja memperkenalkan diri lebih dalam. Dari yang awalnya bahas hal umum berakhir nyerempet privasi. Sekarang mereka sama-sama tau kalau makanan favorit Chandra bukan nasi goreng melainkan nasi kuning pake ayam, mie bihun, sama sambel. Khalil masuk jurusan IPA sebab nurutin mendiang ayahnya jadi dokter, sekarang cowok ini udah punya target fakultas sesuai minatnya meskipun harus lintas minat.

Saking banyaknya yang dibahas, mereka jadi lupa tujuan utama. Hingga, ga terasa di luar udah mulai gelap.

Obrolan mereka terpaksa berhenti sama dering ponsel milik Chandra. Chandra permisi sebentar masuk kamar mandi buat ngangkat telepon. Khalil bisa denger suara si cowok nadanya tinggi. What happened?

Ketika panggilan itu berhenti Chandra keluar dari sana. Dia ngeliat Maliki pake wajah ramah yang terkesan dibuat-buat.

“Mau indomie ga?” Tawarnya tiba-tiba.

“Hah?”

“Ma-mau..”

“Oke”

Suasananya berubah jadi ga enak. Chandra milih diem sambil menyibukkan diri bikin indomie, cowok itu seakan enggan bersitatap sama Khalil. Raut wajahnya ga setenang tadi, udah berganti sama kesal(?). Khalil ga bisa deskripsiin.

Chandra duduk lagi, nyerahin mangkok berisi mie kuah kare. Bibirnya tanpa sadar keangkat. Namun, waktu dia natap Chandra mau mengucap terima kasih, senyumnya pudar gitu aja.

“Selesai ngabisin mie gue balik ya?” Chandra seketika nengok pake tatapan penuh tanya.

“Katanya sampe malem?”

“Lu-nya lagi badmood mungkin butuh waktu sendiri.”

Chandra gelagapan sendiri, ga sadar sama perubahan perilakunya. “Sorry sorry gue kebawa suasana.”

“Gapapa kalo lu mau sendiri.”

“Nggak, lu tetep di sini aja lanjutin ngobrol.”

“Yeah?”

“Hm..”

“Oke.”

Dentingan alat makan yang mengisi kamar seluas 6×6 meter itu. Ga ada obrolan dikarenakan belum ada yang mau memulai. Masih ga enak satu sama lain.

Lalu, ditengah keheningan yang terjadi Chandra mulai bersuara.

“Tadi papa gue yang nelpon. He asked me to coming home.”

Chandra kasih jeda, dua obsidian mereka bertemu.

Go on”. Khalil mempersilahkan.

“Gue kabur dari rumah, Ik. Orang tua gue ga pernah tau di mana gue berada. Gue hidup di sini semua dibiayain kakak gue. Gue yang minta dia rahasiain semuanya. Belakangan ini semua orang meminta gue pulang dan gue tentu menolak.” Chandra buang napas kasar. Dua netranya kosong natap entah apa.

“Kenapa nolak?”

My home doesn't feel like home, Iki. Gue ga pernah nemu kenyamanan di dalemnya.”

“Gue anak hasil kecolongan yang lahir di tengah ketidaksiapan both mentally and physically kedua orang tua gue. Saat itu orang tua gue yang baru ngerasain bahagia punya anak pertama harus dihadapkan dengan kehamilan kedua yang ga pernah mereka duga dan rencanakan sebelumnya. Saat itu orang tua gue masih hidup sederhana, mampunya biayai hidup mereka bertiga, harus putar otak untuk penuhi kehadiran gue. Dan gue hanya jadi anak bayi yang sering berada digendongan tetangga gue karena mama gue memilih bekerja lagi. Gue anak balita yang merengek minta hak afeksi dihadapkan jawaban akan pengandaian.”

Coba aja kamu ga ada, mama ga bakal bekerja.

Coba kamu hadirnya di waktu yang tepat, jadi mama bisa urus kamu.

Kamu jangan manja, kamu ngertiin mama sama papa yang bekerja buat penuhi perut kamu.

“Gue si anak yang ga pernah merasakan bagaimana perhatian orang tua. Bagaimana hangatnya sentuhan ibu. Bagaimana bijaksananya bapak dalam membimbing anaknya. Lucu ga sih, mereka yang ngewe pake consent, memutuskan buat nanggalin kondom tapi pas hamil bilangnya ga siap punya anak lagi.”

Chandra ketawa pahit, ngetawain begitu lucu perjalanan hidupnya sampai kini.

“Emang apa anjing yang mereka bakal dapet dari kegiatan pemenuhan biologis diantara suami dan istri yang saling mencintai kalo ga anak? Ya kali abis ngewe keluar emas. Sekarang, waktu mereka udah kaya dihadapkan hilangnya gue kelimpungan sendiri. Mohon mohon nyuruh pulang. Bangsat!”

Chandra neguk air minumnya yang udah ga dingin. Selalu capek waktu nyeritain kisah keluarganya. Bagi Chandra kisahnya yang ini bukan privasi yang dia pendam. Sohib-sohibnya tau semua mangkanya dia keliatan biasa aja waktu cerita.

Khalil dibuat tertegun sama cerita panjang si cowok. Sampai dia ga tau mau nanggepin gimana. Satu-satunya yang dia lakuin adalah nepuk punggung cowok itu biar tenang.

What if?” Celetuk Khalil tiba-tiba.

“Hm?”

“Gimana kalo orang tua lu udah merasa bersalah. Dia mau lu pulang buat nebus ga sempurnanya dulu? Emang lu ga pengen ngerasain afeksi yang ga pernah lu dapet dulu?”

“Udah telat-”

“Ga ada kata telat buat kata maaf, Chan. Percaya sama gue.”

“Gue takut sendirian, gue takut meledak di sana, Ik.” Chandra nunduk. Sebenernya Chandra udah pernah pulang beberapa kali berakir dia yang emosi.

“Kalau gue temenin apa bisa ngurangin rasa takut lu?”

“Hah?”

“Kalau lu ijinin, gue mau ikut nemenin lu pulang ke rumah. Seperti sekarang lu yang nemenin gue.”


`hjkscripts.


Khalil Point of View

Gue taruh ponsel di saku, segera balik fokus sama kerjaan. Gue lagi di kantin, nikmatin waktu istirahat kedua yang lumayan lama. Kali ini banyak berbeda, temen gue mendadak sibuk semua, cuma tersisa gue dan Elkan.

Jujur menurut gue ini terasa canggung. Otak gue terus ngalirin sugesti kalau cowok yang lagi bersama gue bukan temen biasa. Dia punya perasaan ke gue, I mean gue terus berpikir apapun yang sedang dia lakukan di dekat gue artinya dia sedang cari perhatian gue.

Namun, suasana ga nyaman ini untungnya cepat berlalu ketika dua cewek yang gue kenal datang menghampiri. Well antara baik dan buruk tapi mending lah. Ternyata Ayana, si cewek tinggi keturunan arab ini ga dateng sendirian melainkan diikuti Nana di belakangnya.

What a wonderful day.

Gue senyum mempersilakan dua cewek ini duduk. Ayana di samping gue dan Nana dengan keraguannya; yang mana gue bisa lihat dari air mukanya, dia duduk di sebelah Elkan.

“Tumben berduaan doang?” Tanya Ayana saat menyadari anggota sohib gue ilang dua, “Mana tuh si Ipul sama siapa temen lo yang namanya kayak cewek?”

Gue tertawa denger nama Jihan dibilang kayak cewek. Sedikit setuju sih, wajahnya juga emang ayu.

“Ipul lagi ngumpul di lapbas, terus si Jihan kaga masuk, lagi sakit bocahnya.”

Ayana bales pakai anggukan. Terus dua cewek ini mulai makan siangnya. Sedangkan gue memilih fokus sama sketsa gambar gue.

Ga lama kemudian, gue bisa rasain gimana hawa aneh mulai menyelimuti seisi kantin. Sedetik lalu gue bisa dengerin gimana ramenya, namun sekarang perlahan sunyi disertai bisik-bisik.

Gue tetep ga peduli, masih asik aja sama dunia gue. Detik kemudian, lengan gue disentuh dari arah depan. Gue jeda sejenak, kasih atensi ke Nana. Cewek itu rautnya berubah khawatir sambil liatin layar ponsel pintarnya.

“Khalil?” Lirihnya nyebut nama gue.

Gue tentu bingung, dahi gue penuh kerutan saking penasarannya, “Kenapa, Na?”

Nana sodorin ponselnya ke gue. Ayana maupun Elkan pun maju buat sekedar ikutan baca. Saat itu juga rasanya waktu seakan dihentikan paksa.

Sudah beberapa kali gue neguk ludah sendiri. Mata gue mulai ga fokus. Gue sontak ngeliatin sekitar di mana mereka berlomba-lomba ngeliatin gue, nyari keberadaan gue. Gue panik, kalut, takut. Who the fuck shared this shit?

Foto gue diedit sedemikian rupa bersama cowok yang belakangan ini deket sama gue. Semuanya sudah terlalu terlambat buat dicegah, kolom komentar menfess sekolah mendadak ramai, apalagi dibumbui caption berlebihan.

Yang gue lakukan setelah itu adalah diem dan ngelamun. Kata-kata semangat yang keluar dari bibir tiga temen gue ga kedengeran. Isi kepala gue berisik, penuh sesak sampai ga bisa mikir ngambil langkah. Pada waktu itu juga gue dihadapkan sama pelakunya.

Amara, cewek cantik anggota kelompok pemandu sorak yang belakangan ini sedikit ngusik hidup menimba ilmu gue. Sebenernya gue ga merasa terganggu sama kekonyolannya belakangan hari ini. Tapi hari ini gue beneran muak, gue ga percaya ini cewek bakal bawa masalah ini ke ranah publik.

Lihat Amara berdiri di depan gue sama muka angkuhnya bikin kantin jadi sunyi. Semua mata menyorot ke arah gue. Shit gue ga terbiasa dengan semua atensi publik begini. Gue Khalil si cowok biasa-biasa aja ga pernah bermimpi bakal jadi bahan tontonan anak sekolah.

“Ini lu yang ngirim di base?” Gue tanya langsung to the point. Amara senyum licik.

“Kamu liat ini, cowok yang lagi kamu taksir sampe sanggup kamu putusin aku ga serius sama kamu. Dia mainin perasaanmu aja!”

Gue tersentak hingga mata gue sedikit terbelalak. Suara Amara keras, penuh penekanan, dia emang ngomong sama Elkan pun dengan sengajar agar di dengar seluruh kantin.

Denger apa yang dia omong tentu bikin gue sedikit emosi. Gue masih nahan-nahan karena yang gue hadepin anak cewek, gue ga bisa pake kekerasan.

Akhirnya gue berdiri, badan gue tegas di depan dia. Amara mundurin badannya, mungkin takut gue bakal mukulin dia.

“Sebenernya apa yang lu rencanain sih, Mar? Kalo lu bertindak sejauh ini masih berhubungan soal putusnya lu sama Elkan, gue tegesin sekali lagi! Gue ga pernah minta perasaan Elkan, gue ga pernah ngasih afeksi berlebih ke cowok lu. Harusnya lu tanya sama diri lu sendiri, ketika cowok yang lu sayang sampe punya rasa ke orang lain berarti ada yang salah sama lu. He didn't get enough from you, Amara!

Gue emosi, dua tangan gue udah terkepal kuat siap buat mukul. Di sini gue cuma nguatin hati, meskipun nyut-nyutan tapi dia masih bisa ngirim sinyal ke otak. Nenangin otak gue yang terus-menerus menyuarakan kekerasan.

Amara bungkam, terpukul telak sama omongan gue. Dia natap gue ga percaya, ga bisa bales omongan gue.

Stop it, Mar. Bukannya kita udah pernah ngomongin ini. Gue pikir apa yang gue jelasin ke lu waktu itu udah cukup. Nyatanya lu terus paksa gue buat meledak. Berhenti, gue udah terlalu capek buat ngurusin masalah yang sebenernya bukan ranah gue.”

Apa yang gue bilang bukannya berlebihan. Gue udah terlalu capek sama semuanya.

Dan belum sempat kegaduhan ini berakhir, dengan secepat kilat Elkan jatuh tersungkur. Sudut bibirnya ngeluarin darah.

“COWO BRENGSEK LU ANJING!”

“Ipul?!”


`hjkscripts.


Khalil tiba di warmindo tepat setelah maghrib. Dia celingukan nyari seseorang padahal hari ini banyak bangku yang kosong. Khalil jalan menuju kiri di mana ada bangku yang udah ada satu anak cowok sebayanya.

Dia ga langsung duduk, memilih jatuh pada pesona cowok di depannya. Gimana si cowok santai natap jalanan lewat jendela yang kebuka lebar sembari bibirnya menghisap dan menghembuskan asap di udara. He is kinda sexy?

Cowok tinggi itu narik bangku kosong bikin cowok yang lain ngalihin perhatiannya.

Dia senyum, sumringah banget ketika tau sosok yang ditunggu sejak senja hingga gelap akhirnya datang.

“Hai!” Sapanya.

Khalil duduk, bales pake senyum sekenanya. Dia ga tau kenapa padahal tujuannya ke warmindo bukan buat ketemu sama si pemilik nama Chandra. Tetapi, ketika Khalil tiba dan keinget bahwa Chandra juga ada di sana, matanya jadi refleks nyari cowok itu. Dia yang biasa sendiri, duduk di depan mas yang jaga mendadak suka konsep pendamping.

He kind of used with this situation. Dia suka Chandra yang bawel nanya apapun. Bahkan kalau cuma ada hening diantara mereka berdua, he is still love it. Apapun kondisinya, asalkan berdua sama cowok ini, dia nyaman.

“Habis berapa putung itu?” Tanya Khalil tanpa ngeliat Chandra, cowok yang lebih manis ngeluarin sketchbook sedang dan alat tulisnya.

Yang ditanyain nyengir aja, ga berniat matiin batang yang masih setengah, “Tiga doang sama ini,”

“Gimana hari ini?” Timpalnya kemudian.

Khalil ga langsung jawab, jemarinya yang lagi pegang pensil mulai nari dengan cekatan di atas kertas putih.

So so.”

Chandra ngangguk. Cowok itu ga berniat nyari bahan obrolan seperti hari biasanya. Dia cukup tau diri waktu liat Khalil lagi fokus gambar semacam kaos gitu. Bahkan, Chandra bantu nerima minuman yang dipesen Khalil. Dia taruh gelas yang sedikit basah agak jauh biar airnya ga meleber kena kertas gambarnya Khalil.

Suara jangkrik khas malem hari bercampur sayup-sayup orang sekitar ngobrol jadi satu-satunya suara yang didenger. Khalil bingung sendiri kenapa mulut Chandra bisa sesunyi ini. Padahal kalau cowok itu ngajak dia ngobrol ringan ga jadi masalah.

Khalil ngerasa suasananya canggung. Salah dirinya juga yang terlalu larut sama kerjaan. Terus, dia milih break sejenak, letakkin pensil dan angkat kepalanya.

Khalil agak tersentak ketika dua obsidiannya ketemu tatap sama milik Chandra. Mereka terjebak dalam keadaan itu cukup lama, keduanya nikmatin gelanyar yang hadir dalam diri masing-masing. Rasanya baru, aneh, ga nyaman, namun menyenangkan. Euphoria meriah, dalam perutnya seolah ada festival kembang api yang tengah meletup-letup bikin sensasi geli, sedikit gejolak bikin mual.

Beautiful.” Celetuknya.

“Hm?”

“Oh-” Chandra lebih dulu mutus kontak mata keduanya, “Itu gambar lu cantik.” Elaknya.

Khalil senyum tipis, dia milih buat nyeruput minumannya buat nutupin rasa nervousnya. Jantungnya lagi-lagi susah dia kendaliin ketika berada disatu keadaan lumayan intim sama cowok di depannya.

“Oh ya?” Khalil naruh gelasnya. Dia kasih atensi penuh ke Chandra yang keliatan mulai keringetan.

But you definitely staring at me not my sketch.” Kata cowok manis itu lagi lengkap dengan gurat jahilnya. Ga tau dari mana tiba-tiba mulutnya bisa seberani itu. Well, he's pretty satisfied ya sama ekspresi cengonya Chandra.

Wah, you caught me.” Jawab Chandra pasrah akhirnya.

Keduanya pun ketawa. Chandra karena malu ketangkep basah nikmatin parasnya Khalil, pun Khalil yang sebenernya nutupin suara degub jantungnya. Dia cuma bercanda, ga ngira Chandra bakal jujur, toh kalau Chandra ngeles juga dia bakal percaya.

“Banyak yang bilang gue cakep sih emang.” Khalil masih lanjut godain Chandra.

“Haha,”

Please, stop it gue malu banget.”

“Oke.”

Tanpa mereka sadar, disetiap pertemuan mereka ada level yang terus meningkat. Mereka berhasil jalin hubungan dari nol.

Perlahan namun pasti, dari yang tanpa senyum sampai tawa bersama, mereka berhasil lewatin semua. Ga perlu target, ga perlu ambisi, ikuti alur, cukup nikmati semua waktu yang ada.


Waktu terus jalan hingga nunjuk angka delapan. Namun, dua cowok yang duduk berhadapan belum ada tanda-tanda buat beranjak. Meja mereka seketika berantakan sama gelas kosong.

Kali ini hawanya telah kembali normal. Nyaman seperti biasa. Khalil masih fokus entah udah berapa gambar yang dia hasilkan dalam sekali duduk. Hanya saja kali ini diisi sama cerewetnya Chandra.

“Lu tuh emang hobi gambar desain baju gitu ya? Pasti cita-cita lu jadi desainer.”

“Sotoy.”

“Oh jadi sotoy?”

“Dih!”

“Mangkanya kalo ditanya jawabnya yang bener, Iki.” Chandra sambil nyeruput susu putih dinginnya.

Belum sempet Khalil nanggepin, bahu lebarnya ditepuk sama orang.

“Di sini elu, Lil?”

“Eh, Bund!”

Elkan tiba-tiba dateng, entah apa tujuannya. Dia udah pake baju kasual yang Khalil tebak anak ini dari rumah. Ketimbang ngobrol sama Elkan, Khalil lebih milih nengok dulu ke sekitar. Nihil, Elkan dateng ke warmin sendiri.

Elkan tanpa sungkan buat langsung gabung. Dia ga sama sekali peduli sama cowok asing yang duduk hadepan sama Khalil. All his attention semua buat Khalil. Senyumnya anti luntur.

“Dari tadi di sini?” Elkan nyamanin dirinya duduk. Punggungnya nyender sambil jemarinya benerin rambutnya yang berantakan kena angin.

“Hooh, ngegarap ini nih.” Khalil nunjukkin sketsa kaosnya.

Elkan ngangguk santai, “Oalah yang kata lu mau jualan t-shirt?”

“Hm.”

Chandra hanyalah seonggok daging sisa yang terbuang. Semenjak entah siapa ini dateng, semua atensi Khalil diinvasi seluruhnya.

Rasanya mau protes aja. Siapa lu berani giniin gue?, tolonglah pergi dari waktu gue berduaan sama Iki. Siapapun elu, gue rada ga suka sama kehadiran lu.

Chandra tersisih gitu aja jadi pengamat. Dianya juga ga niat interupsi buat sekedar perkenalan diri. Khalil sama cowok ini keliatannya emang deket, cuma ada satu sisi Khalil yang berhasil Chandra tangkep. He doesn't seems comfortable sama kehadiran cowok satu ini.

Chandra bukannya kelebihan percaya diri. Cuma apa yang dirasain tadi, gerak-gerik maupun ekspresi yang diungkapin cowok ganteng bin manis ini lebih nyaman, enjoy waktu mereka cuma berdua.

Khalil kayak bingung, khawatir, berusaha bentengin diri. Tutur katanya singkat, ya walaupun sama dia juga jawab seadanya. Pokoknya beda rasanya. Khalil seperti mau lari saat ini juga, seperti mau cowok ini segera sudahi pembicaraan sama dia dan lekas pergi menjauh.

Chandra kali ini cukup berperang sama batinnya. Ada apa kamu sama cowok satu ini?


`hjkscripts.


Khalil turun dari boncengan motor Hasan. Dia rapihin baju putih abu-abunya yang sedikit lecek. Cowok jangkung itu senyum, ga lupa ngucap makasih udah dianterin sama sohibnya.

Hasan akhirnya memilih cabut setelah beberapa saat mastiin bahwa Khalil baik buat pergi sendiri. Khawatir masih menyelimuti sebab entah siapa yang akan cowok ini temui. Tetapi, Hasan coba percaya. Ketika Khalil bilang ga papa berarti semua akan baik-baik saja.

“Ati-ati di jalan.” Ujar Khalil nganter kepergian Hasan bersama motornya. Hasan ngangguk aja toh dia juga ga bisa stay lama-lama.

Cowok jangkung itu masih setia berdiri sambil nenteng helmnya ngeliatin motor dan sohibnya perlahan menjauh.

Setelah dia rasa Hasan hilang dari jarak pandangnya, dia jalan masuk ke warmindo. Sore ini warmindo lumayan rame. Bukan anak muda seperti biasa melainkan bapak-bapak jaket ijo alias ojol. Perhatiannya jatuh sama punggung cowok sebaya. Seragamnya sama putih abu-abu, cuma beda di bet sekolah.

I know it's you.” Khalil letakkin pantatnya cukup dekat sama cowok yang masih fokus main ponsel.

Dia sempet nimbang-nimbang anak mana yang berani gangguin dia, dan keraguannya kejawab sudah. Siapa lagi kalo bukan yang menyebut dirinya Chandra Pramudya anak 14. Si cowok aneh yang belakangan ini banyak ketemu sama dia.

Chandra nyimpen ponselnya di saku. Terus cowok ini noleh lengkap sama senyum menawannya.

“Hai, Iki!” Sapanya sambil naik turunin alis tengil.

“Tck,” Khalil mendecak. Harusnya dia sadar dari awal kalo yang muncul ya cowok ga jelas ini. But still, He was too curious.

Too the point aja, lu mau apa dari gue? Gue ga punya banyak waktu buat ladenin cowok macem lu.”

Seperti biasa, Khalil dan gaya sengaknya. Mungkin bagi orang lain diperlakukan kayak gini bikin males buat urusan sama dia. Namun, buat Chandra dia udah kebal.

“Gue udah bilang, mau gue ya ketemu sama lu, Iki.”

“Ya sekarang gue udah ada di sini. Then what do you want?

Suara Khalil makin tinggi, cuman cowok di hadapannya ga gentar. Masih kasih senyum, tuturnya tenang, sabar banget. Chandra genggam pergelangan Khalil perlahan, dia tarik cowok sepantarannya biar duduk dengan posisi sama seperti dia.

“Santai dulu.” Katanya. Chandra geser good day cappuccino yang masih anget ke arah Khalil, “Ini buat lu, diminum.”

Khalil ga langsung nyeruput gitu aja, matanya gantian liatin cangkir dan mukanya Chandra.

“Kaga gue kasih racun, percaya deh.”

Chandra ketawa nyaksiin wajah ragu bercampur takut. Dia kayak cenayang bisa nebak isi pikiran Khalil. Selepas itu, Chandra senyum puas waktu Khalil dengan nyaman mulai minum.

“Lu free?” Chandra nanya.

Khalil letakkin gelasnya yang setengah abis. Dia diem sebentar, mikir.

“Hm?”

“Ikut gue mau kaga?”

“Ke mana?” Khalil nanya sanksi, dua alisnya sampe nyatu.

Chandra ngendikkan dua bahunya. Dia sendiri belum ada rencana mau ke mana. Refleks aja dia ngajak.

“Aneh.”

“Gue juga ga bakal nyulik lu lagi.”

If you do that?

“Lu cowok kan? Punya dua tangan? Tonjok kalo gue macem-macem. Ayok!”

Chandra berdiri, ngeluarin dompet dan bayar. Cowok itu sempetin lempar guyonan ke Mas Edi sambil masang jaket dan tas selempangnya. Terakhir, dia jalan duluan ke luar, ga lupa Khalil ngintilin meskipun masih ragu.

Let's give it a try, Khalil.” Ucapnya dalam hati. Kali kedua dia berada diboncengan Chandra, ga tau mau ke mana. Dia pun pasrah ikutin alurnya.


Khalil dan Chandra mengakhiri motoran sore tanpa tujuan ke suatu tempat yang lumayan rame. Sebenernya tempat ini bukan yang kebetulan mereka temuin, Chandra ga sengaja liat tweet event ini di beranda sosial medianya. Mengingat Khalil yang ga berhenti ngomel nanyain tujuan mereka, jadilah Chandra bawa motornya ke sini.

Chandra cukup impresif sama tempat ini. Cocok lah ya buat sekedar jalan nyari angin, daripada plan lainnya yang mau ngajak nongkrong di alun-alun aja.

“Pasar malem?”

Khalil dibuat bingung sama cowok satu ini. Gimana bisa nemuin pasar malem di era yang bahkan udah terlalu modern. Terakhir dia tau pasar malem dulu banget pas waktu kecil.

“Kenapa ke sini?” Khalil nanya sebab penasaran, “Ini semua udah lu rencanain apa gimana?” Desaknya lagi.

Chandra terkekeh, bingung juga mau jawab gimana.

“Muka lu keliatan banyak beban. Orang sekarang mah nyebutnya healing gitu.”

Cowok itu jalan duluan deketin penjual tiket. Dia nyerahin uang dua puluh ribu dan diganti sama dua kertas panjang.

Khalil perhatiin tiap gerak-gerik Chandra. Ga tau kenapa cowok ini daritadi cengar-cengir bahagia gitu. Aura positifnya nyampe ke dia. Khalil yang tadinya ragu, penuh sanksi, sekarang jadi kalem. Seolah otak dan hatinya setuju buat nikmatin malem ini. Well, he kinda need this so called healing ya.

“Maaf, permisi..”

Khalil yang daritadi diem belum sempet reaksi. Dia cukup kaget waktu pergelangan tangannya lagi disentuh. Namun, kali ini dia ga bisa marah. Tegang, pipinya panas, napasnya berantakan, degup jantungnya meningkat. Dia masih belum bergerak, netranya fokus liat tiket yang berhasil dipasang melingkari pergelangannya.

“Iki?” Panggil Chandra nyadarin lamunannya,

“Tunggu apaan lagi? Hayok!”

Di dalem lebih ramai, berisik, gemerlap lampu bikin silau. Apalagi hari sudah jadi gelap, bikin warna-warni hiasan jadi makin nyala.

“Gila sih, gue jadi inget masa kecil sering dateng ke tempat gini.”

Khalil ngangguk setuju, dia juga punya memori indah khusus buat pasar malem. Khalil kecil bersama senyum polosnya dan kedua orang tua.

“Iya, gue juga.” Jawab Khalil sekenanya.

“Lu dulu sering ke sini sama siapa, Iki? Gue inget banget seringnya sama bocahan temen main. Asli seru.”

Khalil senyum getir ketika memori itu kembali hadir, dua tangannya menggenggam erat nahan segala gejolak emosi yang hadir bersamaan.

“Sama mama, papa gue.”

Dua cowok itu berhenti di salah satu penjual permen kapas. Chandra nyerahin sepuluh ribu, mereka nunggu sambil nyaksiin butiran gula perlahan berubah jadi helaian serupa kapas.

“Mereka pasti sekarang sibuk ya? Sama kayak orang tua gue.”

Dahi Khalil mengkerut, dia milih natap apapun sebab matanya mulai panas.

“Mungkin..” Balesnya lirih, “Gue ga tau mama gue lagi sibuk apa, but, maybe my dad is dancing with the angels up there.”

“Iki... sorry, gue ga tau.”

“Nggak, ga papa.”

Chandra jujur aja jadi ga enak hati. Niatnya ke sini buat nyari seneng-seneng, tapi dia tanpa sengaja mencet tombol yang ga seharusnya dia sentuh. Lalu, dua tangan Chandra nerima permen kapas.

“Nih, mulai sekarang gue bakal ajak lu seneng-seneng aja seperti janji awal. Sebagai simbol satu permen kapas ini gue serahin ke lu. Gue bakal berusaha ciptain kenangan yang manis, semanis permen kapas ini.”

Khalil mau ga mau senyum, tipis banget. Obsidian elang Chandra nangkep semua momennya. Ganteng, manis, lucu campur jadi satu. Ternyata ini yang bikin si galak nunjukin senyumnya. Bukan guyonan sampis, bukan juga gombalan dari mulut manis.

Menurut Chandra tingkat keponya udah naik beberapa tingkat. Dari yang cuma penasaran sesaat sekarang jadi yang gue pengen deket sama lu, gue pengen jadi saksi yang tau semua ekspresi dari dalam diri lu. His curiosity beyond everything.

Malem itu mereka habisin waktu sesuai rencana. Ga ada keraguan, ga mikirin beban, cuma main semua permainan, nyicip semua makanan.


`hjkscripts.


dan ketika momen itu hadir, dipertemukanlah dua insan untuk saling mengenal.

Sabtu sore yang meriah akhirnya hadir. Panggung megah di lapangan luas yang tadi masih kerangka sekarang udah cantik ditambah hiasan serta lampu.

Hari masih terang, namun sepanjang mata memandang satu persatu anak muda berdandan tak seperti biasanya mulai datang. Mereka bergandengan, jarang yang nampak sendirian. Mereka mulai penuhi ruang kosong tersedia.

Ketika malam datang, riuhnya semakin menggelegar. Habis sudah ruang lenggang diisi manusia. Lampu sorot yang tadi belum nyala, kini terang sempurna. Suara lantang dari sound system redam pita suara mereka.

Suara nyanyian pengisi acara di depan iringi tiap kegiatan. Beberapa dari mereka pilih duduk sembari nikmati jajanan yang ada. Canda gurau jadi penepis terbaik kaki-kaki yang pegal sebab lama berdiri.

Nampak gerombolan remaja lelaki tengah berdiri tak tau arah di tengah lautan manusia. Mereka hanya berdiri tanpa obrolan memandangi khalayak.

“Gini doang?” Celetuk salah satunya buyarkan keheningan yang tercipta.

“Mau gimane?”

“Gue pikir mirip konser yang jedug-jedug gitu.”

“Ke masjid sono lu, mukul bedug.” Sahut Yosi ngundang kekehan yang lain.

Jonathan seketika nimbrung, wangi dari asep makanan yang dia bawa bikin semuanya noleh.

“Anjing ini bocah udah jajan bae, kapan ngilangnya coba?” Hendra yang berdiri di sebelah Jonathan nyaut sambil ngambil gitu aja kentang goreng yang masih anget.

Jonathan jadi ngulurin jajanannya, nawarin ke yang lain. Terus, mereka rame-rame ngunyah kentang goreng.

“Lu pada lagi melongo nontonin cewek-cewek saking fokusnya.”

Mereka ngangguk aja, kentang goreng jumbo yang tadinya masih banyak cepet banget berkurang tanpa sadar. Mereka bertujuh jadi ngobrol apa aja, kadang ketawa ngakak ga peduli acara di belakang mereka.

“Set, suaranya gini amat dah.” Yosi mulai topik. Dia biasanya tugas nyari bahan buat diomongin, nanti satu persatu nyeletuk sampe dapet komentar paling lucu yang bikin ketawa.

“Au yak, rusak kuping gue.”

“Bangsat lu pada segala bintang tamu lu roasting.”

“Asli parah banget ni bocah.”

Lagi, mereka ketawa. Entah sampai berapa lama. Mereka ga butuh hiburan sebab kehadiran satu sama lain udah mirip open mic stand up comedy.

Saat malam semakin larut, mereka mutusin buat mencar. Udah bayar tiket mahal, daripada bosen nikmatin musik band sekolah yang mereka ga cocok mending hunting jajanan di stan yang tersedia.

Chandra jalan sendiri, aslinya tadi dia barengan Arsa sama Yohan sebelum dua cowok itu milih berhenti di stan sate taichan. Chandra ijin mau lanjut liat-liat aja yang diiyain sama mereka.

Harusnya daritadi aja dia geser ke paling belakang, di daerah stan ga seberapa rame. Cuma ada beberapa anak seumurannya lagi makan. Di sini enak, banyak yang bisa diliat atau di cobain. Ga cuma ada makanan, bahkan ada stan games atau merchandise.

Cowok dengan setelan jeans dipadu kaos hitam berlapis kemeja flanel ini kadang berhenti. Dia excited sendiri liat orang lagi main. Kadang cowok ini ikut greget sama kecewa waktu pemain ga berhasil selesaiin misinya.

Chandra jalan makin ke tepi. Dia mendadak ga selera lagi beli jajan. Sekarang tubuhnya di bawa sama kaki ke bagian pernak-pernik. Dia jalan makin lambat, sesekali mampir, lihat lebih detail barang yang ngundang nafsunya buat beli. Dia balik depan-belakang, kadang nyobain juga sambil denger yang jualan jelasin. Sampai pada akhirnya dia milih buat ga beli.

Chandra hembusin nafas, capek juga. Dia berhenti gerak, sejenak noleh ke belakang. Ternyata dia udah jalan sejauh ini. Musik yang mengalun udah ga seberapa kedengeran di bagian ujung belakang tempatnya berdiri.

Namun, satu hal yang buat dia enggan melangkah menuju kembali. Ketika netranya menangkap sosok yang sudah lama dia cari. Dia di sana, nyata tengah berdiri. Chandra siapkan hati, dia kunjungi Maliki yang telah dia nanti.


Khalil dapet giliran buat jaga stan barengan sama Nana. Anggota ekskul yang lain mencar buat tawarin hasil tangan mereka.

Stan mereka ada di sudut, ga banyak orang yang sampe ke sana buat sekedar kepoin. Jadinya mereka berdua duduk aja buang waktu.

Kadang keduanya ngobrol, cuman ga tau hari ini kenapa hawanya ga mendukung buat obrolan santai. Bukan di Khalil, tapi lebih ke perasaan Nana aja.

Sejak ditinggal berdua cewek itu banyak diem, jadi canggung. Ga biasanya mereka terjebak pada situasi sulit kek gini. Dia runtukin cowok yang lagi sama dia. Khalil yang dikenal ga bakal ninggalin suasana jadi sepi kayak gini, pasti ada aja yang ditanyain.

Khalil sendiri juga ga sadar kalo dirinya ga seaktif biasa. Entah dorongan darimana cowok ini lagi ga mood buat jalin komunikasi. Dia bakal nerima pertanyaan dan jawab, cuma ga lagi pengen bangun dari sisinya.

“Lil?” Nana letakkan telapak tangan halusnya di atas milik Khalil. Belaian lembut berhasil ambil atensi dari si cowok.

Khalil lirik sejenak punggung tangannya yang telah terbalut jemari putih pucat. Honestly, he doesn't feel right with this kind of situation.

Khalil coba bersikap normal, ga mau buat Nana jadi kurang nyaman.

“Hm?”

You ok?”

Sure.”

Balesnya, Khalil berikan sedikit senyum biar temennya yakin bahwa dia ga papa.

Belaian yang tadinya pelan, malu-malu jadi semakin berani. Khalil gantian tatap arah tangannya dan mata Nana yang lagi senyum ke arahnya.

“Hei, lo bisa cerita ke gue apapun.”

Khalil ngangguk, paham. “I will.”

Mereka bisa rasain bahwa tensi disekitarnya meningkat. Suasana sepi ditambah angin malam berhembus dingin berhasil bikin bulu kuduk merinding. Di depan sana sayup-sayup suara musik mengalun.

You have me, Lil.”

Khalil bisa lihat gimana kepala cewek di depannya perlahan mendekat ke arahnya. Napas tipisnya terasa menyapu wajahnya. Halus, wangi daun mint bisa dicium.

Bersama detik-detik jarak terkikis degub jantung kian lantang. Baik milik Khalil yang terdengar gelisah, maupun milik Nana yang berderu semangat.

“Woy Maliki!”

Wajah berjarak tiga senti sontak menjauh. Panik sesaat sebelum Khalil pilih berdiri deketin anak cowok tinggi yang udah sampe depan mejanya sambil nyengir. Cowok itu lagi kacak pinggang, natap Khalil tajam sampai dia tepat berhadapan satu sama lain.

“Oh, elu?”

Cowok yang punya nama Chandra mendengus kecewa akan respon Khalil.

“Gitu doang?”

“Terus,”

“Emang gue kudu gimana lagi?”

Surprised mungkin? Kita ketemu secara ga sengaja empat kali di tempat yang berbeda. Aneh ga sih?”

Iya. Aneh, banget.

No?”

Komunikasinya putus karena hadirnya sepasang kekasih mendekat. Khalil belum dipanggil namun instingnya katakan dia harus noleh saat itu juga. Khalil ingin semangat, sapa dia layaknya biasa. Namun, setelah irisnya bersitatap dengan cewek yang ada di belakang, ada baiknya dia urungkan. Khalil hanya beri sapaan berupa senyum setipis kapas.

“Yo?” Sapa Elkan.

Khalil angkat alisnya gitu aja. Dalam hatinya teriak, woy situasi macem ape ini?!

Well, he needs to escape right away.

“Nengok juga lu?” Khalil coba rileks, bicaranya dibuat senormal mungkin. Nana berdiri mendamping nyapa Elkan sama Amara yang dateng.

“Katanye disuruh beli.”

“Borong dah tuh, awas cuman ngambil sebiji.”

“Hahaha,”

“Meres kantong gue lu anjing.”

Tepat memasuki suasana canggung, Jeni dateng barengan sama Mikael. Keranjang yang tadinya penuh, sekarang tinggal beberapa.

Thank God you save me.

“Nah kebetulan, Jen ini ada pelanggan mau borong. Lu jabanin dah, gue mau keluar dulu urusan sama ini bocah.”

Ga ada yang ga kaget sama omongan Khalil yang kesannya mendadak, ga pake skrip. Chandra yang dijadiin alesan ikut bingung. Cuman, cowok itu bungkam aja setelah dikedipin sama Khalil.

Khalil ga tau akhirnya bakal gimana, terpenting raganya lepas dari sumber perkara yang mulai masuk jalan hidupnya. Terpenting, malem ini dia mau lari.


Chandra Point of view

Gue ga tau gimana, pokoknya skenario yang jalan dua puluh menit lalu menuntun gue berdiri di bawah kegelapan bersama cowok yang udah bikin hari-hari gue cukup berantakan.

Gue ga paham, gue bungkam, gue persilahkan pergelangan tangan gue ditarik gitu aja, menjauh dari stan yang dia jaga dalam keadaan ramai.

Gue ga punya keberanian buat nanya. Terpenting, ketika gue dateng suasananya sedikit canggung. Mungkin gue yang datang di waktu ga tepat. Gue muncul sebagai dewa perusak tensi yang udah susah payah dibangun oleh mungkin sepasang kekasih dimabuk asmara.

Sekarang gue lagi nyandarin punggung di tembok salah satu kelas. Udah beberapa saat kita ada di sini tanpa kejelasan. Gue kasih ruang da waktu buat cowok ini nenangin pikiran. Cowok ini cuma duduk di bangku, pandangannya kosong natap keramaian. Rada kasian, namun gue bingung mau mulai dari mana.

“Ekhem?” Gue pura-pura batuk. Dia yang peka lirik gue sesaat.

Ga ada jawaban, di situ gue pelan-pelan bangun komunikasi.

“Mau cabut?” Gue berhasil dapet lirikannya lagi. Kali ini obsidiannya ga berpaling, keduanya natap punya gue penuh tanda tanya di dalemnya.

“Kemana? Gue ga ada motor.”

“Helm ada?” Tanya gue dijawab anggukan.

“Ya udah, yok?”

“Kemana?”

“Nagih utang.”

Kita berhasil cabut dari venue acara yang makin malem makin padet manusia. Gue matiin mesin motor ketika masuk ke parkiran tempat yang kita berdua sama-sama tau.

“Warmindo?”

“Turun.”

Khalil ngikutin perintah gue, dia turun meskipun ragu. Dia buka helmnya dan gantung di spion kiri.

Gue jalan duluan layaknya gue yang paling paham seluk beluk tempat ini. Khalil ngekor di belakang gue. Lihat kedatangan gue, mas yang jaga senyum nyapa gue.

Wes suwe mas gak ndelok raimu? Nang ndi ae?”

(lamanya ga lihat mukamu?, kemana aja?)

Gue fist bump sama mas Edi; nama yang jaga warmindo. Gue ga jawab cuma ngikik terus duduk di depannya.

Khalil lepas slight bag, dia taruh di atas meja. Cowok itu ikut duduk, berjarak di samping gue.

“Lu biasanya kalo ke sini pesen apa?” Gue nanya sambil ngeluarin bungkusan rokok lengkap sama korek dari saku celana.

“Tergantung mood.”

Gue selipin satu batang di bibir, gue fokus nyalain korek dan bakar putung rokok. Gue isep kuat-kuat, lalu gue hembusin ke atas.

“Sekarang lagi mood apa?”

Khalil ngerlingin matanya jengah, gue senyumin aja. Buset, gue nanya doang?

“Mas Edi, americano fire ship satu, good day cappuccino satu, mie goreng nyemek satu, sama mie kare nyemek satu.”

“Oke siap!”

Habis disahutin, gue nengok ke Khalil masang wajah songong. Cowok yang punya wajah datar mendengus.

Seriously?”

“Hebat kan gue?”

“Jujur sama gue, lu stalker apa gimana?”

Gue ketawa, “Kinda.”

Khalil geser duduknya agak menjauh, “Serem lu, njing!”

Gue makin ketawa, asik juga godain ini anak. Ekspresinya, responnya, buat gue ini lucu.

“Yallah, enggaaaa Iki.”

“Ga usah sokap Ika, Iki.”

“Kenapaa Ikiiii?” Gue, Chandra Pramudya makin dilarang makin gue lakuin. Menurut gue agenda godain cowok ini bakal jadi keseruan baru buat gue.

Sejak pesenan disajiin, kita berdua sibuk makan. Mungkin akibat perut belum diisi sejak tadi. Gue masih berusaha ngajak ngobrol Khalil, tapi cowok ini masih kekeh nutup dirinya. Tiap pertanyaan yang gue ajuin selalu dimatiin sama dia.

“Tadi itu stan lu?”

“Iya.”

“Ohh, anak apesih yang jahit-jahit gitu? Tata busana bukan?”

“Hm”

“Enak emang mie kare?”

“Enak.”

“Jadi cowok gue mau?”

Kaga, gue cuma bercanda sumpah dah. Gue makin ketar-ketir waktu Khalil taruh sendok sama garpu dan nolehin wajah seremnya ke gue.

“Ngomong sekali lagi gue tonjok muka lu sampe mampus.”

Astaghfirullah, batin gue refleks ngucap doang. Ngobrol sama Khalil nguji kesabaran banget.

Selang beberapa menit, dua piring udah tandas. Gue neguk kopi di cangkir yang udah lumayan adem. Gue perhatiin Khalil yang juga lakuin hal serupa, cuma matanya lagi fokus sama ponsel.

“Gue kudu balik,”

“Temen-temen gue nyariin” Gumamnya.

“Ya udah ayok gue pulangin ke sekolah.”

Gue masukin barang-barang ke saku. Ga berniat ngeluarin dompet sebab gue liat Khalil inisiatif bayar semuanya.

Gue raba saku dari atas sampe bawah, pasang muka panik bikin Khalil yang juga udah siap cabut ikutan bingung.

“Napa lu?”

“Hape gue, Ik”

Khalil celingukan, nyari ponsel gue di sekitarnya.

“Di saku!”

“Kaga ada. Minjem punya lu ngapa buat misscall

Cowok itu ngedecak, ga ikhlas nyerahin ponselnya ke gue.

“Tsk, ada ada aje lu”

Gue deketin benda persegi panjang setelah mencet nomor gue sendiri. Gue ga bisa nahan senyum waktu ngerasain getaran di paha.

“Eh ada di sini, thanks.” Gue nyengir sambil keluarin ponsel gue yang emang sedari tadi ada di sana.

“Nyusahin lu!”

“Yallah, namanya juga musibah lupa.”

“Ya udah hayuk buruan cabut balik!”

“Iyaa Ikiiii”


`hjkscripts.


Pagi sekali Khalil sama Kael udah kebangun dari tidurnya. Jujur aslinya mereka berdua ga bisa tidur gegara semalem denger suara-suara aneh dari luar. Alhasil, mereka baru tidur jam 2 dini hari.

Berlapis jaket bomber, celana training, dan muka bantal keduanya jalan ke arah lapangan sekolah.

Masih awal namun sekolah sudah ramai. Suara orang-orang entah ngobrol atau teriak penuhi lapangan luas. Bunyi besi bertarung dengan aspal juga ikut meramaikan. Ga cuma itu, suara kompak dari tim cheers sekolah sudah mulai terdengar.

Mikael jalan duluan, diikuti Khalil setelah itu menuju stan mereka yang 90% jadi. Mereka berdua berdiri, diem aja sambil liatin. Nyawa belum ngumpul jadi susah buat mikir.

Khalil masih diem aja ketika Kael udah mulai sibukin diri masang pernak-pernik yang belum jadi. Tangan kanannya pegang lem tembak sedangkan yang kiri lagi nentuin posisi bunga-bunga palsu buat ngehias.

Cowok jangkung itu akhirnya ngusap mukanya. Sugesti diri biar cepet bangun. Lalu, dia gerak buat bantu temennya. Khalil megang bagian atas, sedangkan sisanya Kael yang urus.

“Anak cheers giat amat yak jam segini udah pada latihan.” Obrolannya disela-sela kerja.

“Ambis biasa, tim sorak sini kan emang kudu serba perfek.”

“Hm.”

“Oiya, Lil. Si Jeni sama Nana bakal nyampe jamber dah? Gue udah pengen rebahan bentar anjir.”

Cowok yang lebih tinggi letakkan alat di genggamnya. Ia raba kantung dalam jaketnya, cari benda persegi yang selalu ada. Kali ini nihil, pasti dia tinggal di ruangan ekskul.

Khalil garuk kepala belakangnya, terus dia nyisir rambut depan yang berantakan.

“Hape gue tinggal di ruangan. Bentar gue ambil dulu,”

“Nunggu di sini benetar kaga ngapa lu?”

“Hooh”

“Ya udeh.”

Cowok tinggi sedikit lari menuju belakang, ga mau bikin temennya nunggu. Dia masuk, jalan jinjit-jinjit soalnya ga lepas sepatu. Dia cabut kabel yang nancep di ponsel pintarnya terus jalan ke luar. Khalil ga langsung balik ke lapangan, dia milih duduk menuhin space pintu.

Ketika bertemu sama ponsel dianya jadi serius. Tangannya gerak seraya selancar di atas layar sembari yang lain ngucek mata bersihin belek yang nempel. Khalil beberapa kali nguap, kantuk semakin mendera bikin dia pengen cepet-cepet suruh dua temennya dateng.

“Khalil ya?”

Khalil refleks tutup beranda ponselnya. Dia rada menengadah buat tau suara siapa yang interupsi kegiatannya.

“Eh, Mar.”

Khalil berdiri, ponselnya dia masukkin ke saku celana hirauin sensasi geter-geter dari notifikasi yang masuk. Khalil ngusap wajahnya, dilanjut nyisir rambutnya ke belakang. Seenggaknya biar keliatan lebih seger dikit.

Amara; cewek yang lagi berdiri di depannya lengkap dengan peluh ubah posisi lengannya jadi bersedekap.

Khalil berdiri agak miring, bahu sebelah kirinya dia tumpu di tembok. Khalil angkat alisnya ketika bersitatap dengan Amara.

“Kenapa, Mar? Mau nanya-nanya Elkan apa gimana?”

Denger nama Elkan; pacarnya disebut bikin perangainya mendadak gelisah. Cewek dihadapannya punya emosi yang lagi berusaha dia redam. Dia kalut, takut, cuma dia ada di titik udah ga bisa nahan semuanya.

“Khalil, bisa ga lo tolong jauhin cowok gue?” Katanya.

Khalil senyum miring, menurutnya lucu aja gitu. Ini dia lagi dilabrak?

“Gue mana bisa, Mar.” Jawabnya enteng.

Emosi si cewek ketrigger akan jawaban Khalil. Raut wajahnya yang tadi lumayan tenang sekarang perlahan merah.

“Gue ke sini ngajak ngobrol lo baik-baik, Lil. Please, sebelum semuanya jadi kacau. Sebelum apa yang dirasain Elkan ke lo semakin besar.”

Bentar-bentar, kok makin lucu ya didenger? Khalil hela napasnya kasar, dia putus kontak pandang dengan cewek cantik di depannya.

“Mar, semuanya jadi ga make sense. Elkan yang punya perasaan kenapa gue yang harus tanggung jawab?”

“Gue ga bisa putus tali temenan sama Elkan, murni karena kita udah klop sohiban. Selama ini gue perlakuin mereka sepadan, ga ada yang gue kasih berlebihan. Perkara gimana cara tafsir mereka akan afeksi gue bukan lagi ranah gue.”

Amara tanpa Khalil sadari udah nangis. Cewek itu nunduk, dia jalan tertatih nahan badannya yang lemes buat duduk di tempat Khalil tadi. Khalil jujur ga tega, dia juga baru ngeh kenapa temennya bisa sebrengsek itu. But he doesn't deserve all this blame, dia diem, berdiri tegak sebagaimana mestinya. He gives as much as his friends give, and take it in right amount.

Khalil jalan dari tempatnya berdiri ke sisi yang lain, badan bongsornya cukup buat nutupin si cewek yang lagi gundah. Khalil sesekali senyum sapa anak sekiranya dia kenal yang kebetulan lewat ruang ekskulnya.

I'm lost and desperate, Lil. Gimana gue ga bingung denger cowok lo nyebut orang lain pas lagi make out.”

Khalil diem, lebih tepatnya tertegun. Alasan yang dibongkar ga bisa bikin dia ngelak kalo dia sendiri juga begitu kaget.

“Tolong gue, kalo gue ga bisa bikin dia berhenti maka lo bisa. Lo bisa bikin dia mundur kecuali lo juga cowo brengsek yang mau mainin perasaan dia ke lo.”


`hjkscripts.


Pulang sekolah Khalil berakhir duduk di atas jok motor Hasan. Padahal, cowok itu udah berencana buat naik angkutan umum yang sekiranya lewat depan halte sekolah. Pun bertemu dengan Jihan dan motor beat hitamnya dia menolak. Lagi, warasnya dikalahkan prinsip.

Kalau gue bilang akan lakuin sendiri, then I will do.

Seketika prinsipnya runtuh bersama datengnya Hasan tepat satu jam penantian kosongnya. Entah dunia ini ga ingin berpihak sama prinsipnya atau gimana. Pokoknya, Khalil turunkan ego dan setujui uluran tangan Hasan.

Sore itu, jalan kota besar ga seberapa macet. Namun, laju motor Hasan bergerak konstan tak seperti biasa berpacu dengan patasnya kendaraan lain.

Dalam perjalanan penuh jalan lurus, dua anak adam enggan berbagi cerita. Bukan, bukannya Khalil kehabisan kata, hanya saja instingnya perintahkan bibirnya untuk bungkam. Sosok lelaki yang tengah fokus jalanan sedang pancarkan aura mendung.

Khalil intip ekspresi Hasan lewat kaca spion. Datar, namun mengintimidasi. Alis tebalnya menyatu sebab keningnya beberapa kali tertangkap mengernyit. Khalil ga mau main tebak-tebakan dengan apa yang ada di dalam otak Hasan. Pun, dirinya super penasaran apa yang buat cowok se-easy going Hasan nampak sangat frustasi.

Khalil beranikan diri untuk lebih intim, dia dekatkan dadanya pada punggung Hasan. Lalu, dua lengannya melingkar masuk dalam saku hoodie milik sohibnya. Dagunya dia letakkan pada bahu lebar itu.

Hasan gerakan sisi kiri bahunya yang seketika berat, “Jangan tidur lu anjir.”

“Enggaaa” Balasnya pelan beradu angin sore.

“Kalo iya ya kaga ngapa, cuman jangan ngiler.”

“Ish!”

Khalil angkat kepalanya, dia juga tarik dua lengannya. Satu tangannya refleks geplak helm Hasan buat cowok yang lagi nyetir akhirnya ketawa.

Denger kekehan temennya Khalil ikut senyum, tipis, ikut lega.

“Nah gitu tawa”

“Salah gue diem aje?”

“Hmm,” Khalil ngangguk meskipun Hasan ga bakal liat.

“Serem muke lu.”

“Ya udeh ini ketawa,”

“HAHAHAHAHAHA”

Hasan itu aneh, cowok itu ketawa kenceng banget sampe pengendara lain nengok ke arah motor mereka. Khalil dibuat malu sama sohibnya. Tapi, ketimbang rasa malu lebih besar rasa lega, nyaman, campur bahagia tiap deket sama Hasan.


Khalil nengok kanan-kiri sebelum nyebrang jalanan. Sekiranya sepi, dia bawa kaki jenjangnya melangkah dengan cepat menuju warung jajanan.

Khalil duduk di kursi kayu panjang punya warung yang lagi kosong, tangannya ngusap peluh di dahi, lalu turun ke leher. Dia noleh ketika kursi yang didudukin gerak terus dia nerima botol air mineral dingin dari Hasan.

“Belom jadi?”

Khalil geleng, dia tenggak air dingin. Seketika rasa seger lewati tenggorokannya.

“Ternyata masnya ngechat gue mau minta persetujuan buat ganti beberapa sparepart.”

“Udeh?”

“Beres, gue bayar langsung. Cuman motornya baru dikerjain besok. Orangnya keburu ngerjain motor yang lain.”

Hasan lahap beberapa kacang yang dia beli. Cowok itu lagi sibuk ngunyah dan ga sengaja matanya natap sebrang dimana bengkel lagi lumayan rame padahal udah sore. Dia lihat motor vario merah muda yang dia tau punya Khalil dibiarin gitu aja.

“Hayuk dah cabut! Besok gue anterin kemari lagi.”

Hasan berdiri sembari masukin segenggam kacang terakhir ke mulutnya. Dia jalan duluan ke motor yang di parkir gitu aja di pinggir jalan sambil ngunyah. Setelah deru motor Hasan kedengeran, baru Khalil hampirin sohibnya.

Keduanya kembali nyusurin jalan. Langit yang tadinya masih biru sekarang berangsur jingga. Sinar matahari perlahan hilang sumbangkan semilir angin adem nerpa wajah mereka.

“Makan kaga?” Hasan nanya.

“Hah?”

“Makan kaga?!” Hasan ulang lagi pertanyaannya cuma lebih kenceng intonasinya.

“Di rumah aje gue.” Khalil nolak.

“Oma masak?”

“Ga tau.”

“Kalo ga masak terus lu nanti makan apaan?”

“Gampang”

Jawaban singkat Khalil akhiri percakapan keduanya. Kini, cowok jangkung milih buat liatin gedung-gedung, pokoknya apapun yang mereka lewatin. Hasan gantian liatin ekspresi temennya dari spion sebentar. Khalil boleh tenang, namun Hasan bisa nangkep raut khawatirnya.

“Mampir ampera mau?”

“Enggaa”

“Gue traktir elah, Lil.”

“Ga usah, repot.”

“Yallah kek sama sape lu,”

“Mau ga? Mumpung belom belokan nih,”

“Ya udah, ngikut.”

“Oke”


Hasan sama Khalil jadi mampir ke rumah makan padang. Masing-masing piring lengkap sama es jeruk udah di depan mata, tinggal nunggu mas pelayannya nyediain mangkok buat cuci tangan.

“Makasih, mas.” Ucap keduanya bareng waktu mas pelayan taruh dua mangkok isi air dengan potongan jeruk nipis di dalemnya.

Dua anak cowok itu lantas basahin tangannya, terus mulutnya komat-kamit bentar haturkan doa makan.

“Gimane stan lu? Lancar?” Tanya Hasan disela kegiatan makan.

Khalil lahap satu cakupan nasi sembari ngangguk. Dia kunyah bentar sebelum jawab, “Besok Jum'at udah siap nata. Lu gimana?”

Juggling-juggling doang mah gampang.”

“Ohh”

Terus Khalil diem sejenak, matanya lirik Hasan dengan perasaan sungkan. Dia kepikiran satu pertanyaan yang bikin dia cukup penasaran. Dia udah lumayan lama coba ga peduli tentang hal ini, cuman semakin lama nambah parah yang bikin bertanya-tanya.

“Pul?” Panggilnya pelan, namun cukup buat ngambil perhatiian cowok di depannya.

“Hm?”

“Lu sama Bunda Maya pada kenapa dah? Gue perhatiin rada slek gitu?”

Skak mat Hasan dibuat tak berkutik oleh pertanyaan Khalil. Ekspresinya sejenak tegang, detik kemudia dia coba ubah senetral mungkin.

Hasan senyum miring, keliatan banget dia diambang bingung sama ga nyaman sama pembahasan kali ini.

“Lu mau jawaban beneran apa bercandaan?”

Khalil ngerutin dahinya, “Maksudnya? Emang kalo bercandaan gimana?”

“Kaga kenapa-napa.”

“Bercanda lu.”

“Noh kan.”

Khalil ngedecak ga suka sama jawaban Hasan. Jelas ada apa-apa yang disembunyiin.

“Ayo ah yang beneran?! Perasaan gue mulai ga enak anjir. Entah guenya yang sotoy apa begimana tapi ceweknya Elkan rada sinis pas ketemu gue.” Pintanya agak maksa.

“Masa?”

Khalil mengendikkan bahu, itu baru hipotesanya aja. Belakangan ini memang pacar dari Elkan lumayan posesif, dimana mereka nongkrong si cewek pasti berusaha ikut. Ga hanya itu, tatapan matanya juga ga enak ke dia.

“Mangkanya lu jangan terlalu baik-baikin orang, baper kan?”

“Bentar-bentar,”

“Gue baik karena dia temen gue, orang yang gue kenal. Dimana letak salahnya? Gue bodo amat anjir mau doi salah artiin sikap gue. Gue ga bisa kontrol perasaan dia ke gue.”

“Tapi lu punya hak buat tegesin semuanya, Lil”

I will.”

“Gue bukannya ngatur-ngatur lu apa gimane, gue cuma khawatir lu kenapa-napa. Ngertikan gimana geng ceweknya Elkan?”

“Hmm..Thanks.”


`hjkscripts.