kencan sungguhan.
Satu hal yang dibutuhkan dari menjalin hubungan adalah sebuah progres. Sesuai dengan janji mereka satu sama lain bahwa keduanya setuju untuk memulai, mau untuk belajar, dan bersedia berkembang. Ya, begitulah ceritanya hingga mereka tiba, duduk bersisihan di atas rumput taman di bawah pandu lampu jalan sebagai penerang.
Berbeda dari 'yang disebut' kencan hari sebelumnya, kali ini semuanya telah direncanakan. Mereka punya waktu bersiap, pakai baju dan berdandan sebaik mungkin bukan dengan seragam sekolah masing-masing. Wangi parfum menguar, melebur jadi satu menambah kesan romantis.
Malam ini, hanya berbekal kata aku dan kamu mereka lakukan pendekatan diri.
“Gimana menurut lu alun-alun?” Tanya Chandra memulai sebab sedari tadi hening tanpa kata.
Jujur saja dibalik kata aku dan kamu menyimpan beban berat. Dihadapkan dengan kencan sungguhan buat keduanya banyak diam. Canggung, malu, takut jadi satu. Mereka bukan tipe makhluk penuh keseriusan. Keduanya nyaman satu sama lain dalam konteks hari biasa, namun berdasarkan judul khusus yaitu kencan pergerakan dan tuturnya seolah dibatasi.
“Seru,” Khalil mengangguk. Jika dilihat dari sisi selain waktu weekend, alun-alun bukan tempat yang buruk. Ramai, namun masih buat nyaman.
“Gue ga terlalu suka sama tempat rame juga terlalu sepi.” Lanjutnya.
Chandra menghela napas lega. Cowok ini sempat kebingungan mau bawa Khalil kemana selain warmindo. Pun, setelah melihat Khalil duduk nyaman meskipun beralas tikar tipis yang dia pinjam dari Yohan, dia bisa bernapas bebas.
Malam kian larut, hiruk pikuknya turut meningkat. Hanya saja, mereka berdua layaknya diselimuti kabut tebal anti tembus. Sepasang daun telinganya enggan menangkap suara lain selain deru napas beserta degup jantung yang saling bersahutan. Kedua netranya hanya tunduk pada paras yang ada di depannya.
Chandra menggeser duduknya hingga gelanyar aneh muncul ketika kulit bersentuh kulit. Tangannya, perlahan dengan pasti mengambil milik Khalil yang tengah bebas. Digenggam erat jarinya, diremas, lalu diusap memberikan sensasi hangat.
Khalil menatap lekat rupa tampan itu dari sisinya. Garis rahang lurus nan keras seolah bisa melukai jarinya ketika disentuh. Lalu, maniknya merubah haluan ke arah tangannya yang tengah digenggam. Rasa hangat begitu pelan, menjalar terangkut peredaran darahnya.
Dia tersipu, rasa ini baru. Khalil, si dingin dan antiromantis dibuat tergelitik akan sebuah getaran aneh yang diberikan oleh Chandra.
“Weird, isn't it?” Ujar Chandra dibalas kerutan di dahi. “Piknik malem-malem rada aneh.” Lanjutnya dibarengi tawa geli.
Bibir Khalil turut dibuat tersungging, “Engga aneh, cuma unik.”
“Jadi, mulai darimana? Ga ada hal baru dan menarik tentang gue yang bisa gue bagi ke lu.” Khalil ubah posisi badannya jadi menyender pada batang pohon sedang di belakangnya. Mereka berhadapan, jemarinya masih berada dalam genggaman milik Chandra.
Chandra menyamankan duduknya, teliti lagi paras sekelas dewa kesukaannya. Tangannya melepas lima jemari panjang itu sejenak sebelum ditautkan kembali. “Gue juga bingung mau mulai darimana,” Balasnya.
“Can we just like this? Do nothing but admire each other appearance and let the silence bring us closer?” Pintanya.
Khalil tertegun akan setiap tutur kata yang keluar dari bibir Chandra. Dia lagi-lagi hanya memperhatikan jemarinya dan miliknya bertaut serta bergerak bebas mengikuti kemana angin berhembus.
“Of course.”
Berselimut pembatas tak kasat mata mereka menikmati kehadiran satu sama lain. Mereka semakin ditarik mendekat oleh keadaan, oleh cerita yang dibagikan, oleh setiap sentuhan yang diberikan. Hanya melalui tatapan, mereka tak perlu ungkapkan cinta.
Keduanya sama-sama tau bahwa debaran yang dihasilkan jantungnya kian lantang menjawab panggilan penuh gelora milik satu sama lain.
Khalil ditinggal seorang diri, memori beberapa menit lalu masih berputar hebat di kepalanya. Sentuhan lembutnya masih terasa di permukaan kulitnya.
Cowok rupawan ini tersenyum malu sembari menatap khalayak ramai tersaji dalam pandangnya. Gimana bisa hidup monotonnya seketika dijungkir balikkan dalam satu jentikan oleh cowok yang dengan kurang ajarnya menerobos masuk hidupnya.
“Shit! Tadi itu gila, jujur gue takut meledak dibuatnya.” Batinnya.
Khalil mengedarkan pandangannya, tak sulit untuk menemukan Chandra si jangkung yang lagi antri jajanan. Khalil terkikik geli ketika sadar Chandra melambaikan tangannya dari sana.
“Tunggu ya!” Katanya yang bisa Khalil tangkap berdasarkan gerakan bibir. Lalu, Khalil mengangguk.
Khalil berpindah arah menikmati lalu lalang kendaraan melintas kota besar, kemudian perhatiannya berpaling pada sekumpulan komunitas skateboard yang tengah beraksi. Dan matanya dikagetkan oleh pemandangan ganjil. Sosok wanita yang dikenal namun bersama lelaki yang tak dikenal.
“Hei!” Khalil terkesiap akan tepukan di pundaknya. Ia kembali ke posisi semula bersamaan Chandra yang juga duduk kembali.
“Liatin apa sampe ga kedip gitu?” Tanya Chandra sembari meletakkan satu persatu bungkusan camilan yang dia beli. Diambilnya beberapa untuk taruh di atas telapak Khalil yang masih diam. “Diminum!” Suruhnya.
Setelah kepergiannya Khalil mendadak diam. Minum, makan pun enggan bersuara.
Khalil layangkan kembali tatapannya pada dua sejoli yang berjalan menuju sekitarnya. Chandra turut ikuti kemana dua obsidian cantik itu berlabuh.
“Siapa?” Selidiknya penasaran.
“Amara,”
Ah, jadi itu rupa wanita bernama Amara. Wanita yang sempat mengusik hari-hari cowok satu ini. Wanita yang buat senyum cowok ini sempat menghilang kemarin.
Khalil enggan putuskan kontak matanya, makin terbelalak ketika cowok tak dikenal dengan berani mengecup pipi Amara. It's supposed to be you, Elkan.
“Dia sama cowok lain, bukan Elkan temen gue.” Lirihnya.
Sedih, Khalil seketika kepikiran perasaan Elkan di waktu begini. Temennya yang rela lepas sesaat tali persahabatan demi cewek satu itu harus mengalami pengkhianatan.
“Iki...” Panggil Chandra namun dihiraukan.
Khalil sibuk mengambil ponselnya, membuka aplikasi kamera untuk mengambil sebuah bukti, “Gue harus kasih tau El-”
“IKI?!” Kali ini Chandra pakai sedikit nada tinggi. Dia remas kedua lengan cowok yang sedang kalut untuk agar berhadapan dengannya.
Chandra tatap matanya tajam, dia pun mulai bersuara, “Inget nggak, hari ini tentang kita. Aku maupun kamu.” Tuturnya lembut.
Khalil diambang bingung, dia masih gigih alihkan fokusnya pada dua orang yang beranjak menjauh. “Tapi Elkan-”
Chandra menyentuh dagu Khalil lembut, Dia gerakkan sepelan mungkin agar bersitatap kembali dengan dirinya.
“Iki...” Panggilnya seduktif. Napas halusnya menyapu permukaan wajah putih yang kian menggoda dari jarak tiga senti.
Chandra kunci kedua matanya, pastikan fokus cowok ini hanya padanya. Lalu, si mata elang itu bergerak mengamati hidung bak seluncur. Terakhir, pandangannya jatuh pada bibir kemerahan yang sedikit terbuka.
Dia pandangi terus bagaimana benda kenyal itu bergerak. Chandra meneguk ludahnya sendiri ketika tanpa sadar Khalil membasahi permbukaan merah dengan lidahnya, membuat belah bibir itu berkilau di matanya.
“Can I?” Chandra berbisik masih di posisi yang sama.
Tak mendengar penolakan maka kepalanya perlahan maju, miring, dan detik berikutnya mendarat mulut di atas landasan merah muda bertekstur kenyal nan basah.
Khalil terkejut hingga reflek memundurkan kepalanya, namun Chandra dengan seperkian nafsunya melayangkan kedua tangannya menahan, menekan tengkuk Khalil memperdalam ciumannya.
Keduanya terbuai, ditandai dengan bersembunyinya iris indah di belakang kelopak mata. Rematan jemari Khalil pada pundak Chandra perlahan mengendur.
Chandra melepaskan senjenak tautan antar bibir itu, memberikan jeda sejenak untuk mengambil sedikit oksigen. Tak ingin berlama-lama sifat adiktif yang ditimbulkan bibir Khalil telah mengundang kembali milik Chandra. Kali ini bukan hanya tempel belaka, namun ada nafsu yang membuat gerakan melumat, menghisap, bahkan menggigit kecil-kecil menghasilkan bunyi kecipak diikuti lenguhan halus.
Sekali lagi, keduanya tak perlu ungkapkan. Hanya dengan tatapan, sentuhan, serta beberapa detik kecupan berhasil sampaikan jutaan pesan dari lubuk hati terdalam.
`hjkscripts.