way to coming home.


Chandra Point of View

Kata banyak orang di luar sana rumah paling berharga adalah keluarga. Bagi gue sebuah kalimat yang menyentuh hati itu hanya omong kosong belaka. Keluarga gue masih utuh, harmonis, masalahnya ada di gue. Gue si anak kurang afeksi.

Gue memang nampak seperti anak biasa pada umumnya. Hampir nihil kegundahan dalam hidup gue tutupi. Jika gue berkata gue bahagia, maka gue benar begitu. Jika gue merasa sedih, maka gue akan ungkapkan. Gue bukan sosok pendendam, gue cukup tau diri bahwa tumbuh kembang gue selama ini tercukupi karena ya kerja keras orang tua. Hanya saja, untuk berada di satu atap gue merasa ga nyaman.

Hari ini, untuk yang sekian kali dan pertama kali bersama cowok satu ini gue mencoba lagi. Jujur, gue lakukan ini ga ikhlas. Namun berkat kata-kata cowok ini kemarin berhasil nyihir hati dan pikiran gue.

Gimana kalau mereka mau perbaiki ga sempurnanya dulu?

Terakhir kali gue datang penuhi panggilannya, yang gue dapat hanya amarah. Papa gue yang emosi tau alasan gue kabur, pun gue yang kesulut sebab dapet amukan. Sejak detik itu gue bertekad enggan datang lagi meskipun mereka memohon.

Motor gue melaju kencang belah jalanan kota yang cukup ramai. Sesekali gue ngintip Khalil melalui spion. Cowok itu keliatan excited daripada gue. Dalam hati terus merapalkan doa semoga apa yang diucapkan Khalil benar adanya.

Tiga puluh menit berada di jalan raya utama, sekarang laju motor gue melambat saat gapura sebuah perumahan elit mulai nampak. Ini perasaan gue aja atau gimana bahu gue diremes lumayan kenceng sama Khalil.

Gue lagi-lagi mengintip lewat kaca spion. Di situ Khalil udah buka kaca helmnya, mandangin rumah-rumah gede yang ada. Namun, raut wajahnya bukan penasaran melainkan sedih dan ketakutan.

Gue menarik pegas rem tepat di depan rumah modern berpager kayu coklat. Khalil turun masih dengan pandangannya yang ga lepas dari sebuah rumah.

Helm gue sampirkan di spion, nata rambut sejenak dan buka jaket, “Iki?” Panggil gue.

Khalil tersentak ketika tangan gue nyentuh pundaknya.

“Eh?”

Are you ok?”

Khalil gelagapan, seluruh gerak-gerik canggungnya ketangkep sama obsidian gue.

Dia senyum, “Nervous dikit.”

Take your time,Ik.”

“Gapapa, ayok!”

Gue mendekat berdampingan ke arah pager yang menjulang. Gue narik napas dalam, lalu hembuskan kasar.

“Apapun yang terjadi hari ini gue harap ga bikin lu hilang nyaman ada di dekat gue.” Celetuk gue. Gue hanya mewanti-wanti takut kedatangan ini ga sesuai ekspektasi. Gue jelas ga bisa menjanjikan pertemuan ini akan berjalan mulus, penuh haru. Gue takut jika emosi gue akhirnya meledak bakal buat Khalil punya side thought negatif tentang gue.

We're in this together.”

Ok.” Gue berakhir memencet bel.

Sekali lagi gue hanya mampu berharap yang terbaik. Biar yang punya hidup tentukan jalan pilihan yang tepat.


Khalil Point of View

Gue teramat gelisah. Hari ini gue akan temani Chandra buat pulang ke rumahnya. Gue yang merasa punya banyak hutang budi ke cowok ini jadi menawarkan diri untuk menemani.

Awalnya perjalanan terasa asik, terpaan angin dan mata yang dimanjakan gedung tinggi pencakar langit jadi healing sesaat dari segala pemikiran keruh yang sedang gue alami.

Hingga, gue melihat gapura perumahan elit yang sangat gue kenali. Dulu gapuranya tidak setinggi ini dan ga sebagus ini. Namun, gue masih mengenali betul di mana lokasi gue berada saat ini.

Bener, perumahan ini tempat gue tumbuh. Tempat di mana gue habiskan masa kecil gue bersama dua orang tua.

Perasaan gue menjadi sendu. Gue ga nyaman, memori itu perlahan balik lagi satu persatu tanpa bisa dicegah. Jantung gue rasanya mau copot ketika motor yang kami tumpangi berhenti di salah satu rumah. Mata gue terbelalak saat melihat satu rumah yang ada di sampingnya. Sudah lebih bagus, namun pondasinya masih mirip dulu.

Kebetulan macem apa ini? Rumah lama gue berada tepat di sebelah rumah orang tua Chandra.

Ketika pintu dibuka, gue mempersiapkan diri. Meskipun seluruh badan mulai keringetan, gue harus tampil profesional. Bayang-bayang dari masa lalu gue tepis dahulu.

“Adek?”

Gue tersenyum lebar saat muncul wanita paruh baya. Wajahnya mulai keriput namun masih ayu. Pakaiannya pun cantik, gue bisa menyimpulkan oh.. ini mamanya Chandra?

Gue hanya berdiri mengawasi. Menjadi saksi bagaimana seorang ibu memeluk anaknya dengan derai air mata. Sedangkan yang dipeluk hanya mampu bisu dengan pandangan tak percaya.

“Adek ke mana aja? Mama kangen sekali. Mama minta maaf ya kalau banyak salah sama adek.” Tuturnya sang mama terbata. Penyesalan sungguh terasa jelas disetiap katanya.

Pelukan itu dilepas, sang ibunda masih menatap lekat sembari merasakan garis-garis wajah tegas sang buah hati. Melihat sang anak masih baik, gue bisa melihat bahwa beliau merasa lega.

“Ayo masuk, papa nunggu kamu,” Ajaknya. “Eh maaf ini siapa ya? Ganteng.” Mama Chandra akhirnya bisa melihat sosok gue.

“Saya Iki temannya Chandra.” Gue sapa lembut sambil memperkenalkan. Gue serahkan buah tangan yang sempet kita beli di tengah perjalanan menuju ke mari.

Lalu, beliau mempersilahkan masuk. Gue duduk menyamankan diri di ruang tamu sembari ngobrol sama mamanya. Sedangkan, Chandra masuk lebih dalam ga tau mau ke mana.


Chandra dan Khalil berakhir termenung di sebuah bangku taman perumahan. Sebenernya Khalil dibuat bingung, setelah menampakkan diri kembali di ruang tamu Chandra langsung narik paksa Khalil pergi. Mereka ga langsung pulang melainkan duduk di sini.

Chandra sejak tadi diem, wajahnya ga menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Pun Khalil ga berani ngucap satu kata. Khalil cuma bisa perhatikan setiap gerak-gerik cowok itu yang dari awal langsung ngeluarin satu batang rokok dan korek.

Chandra sesap batang rokoknya dalam lalu dihembuskan bersamaan dengan beban di pundaknya. Gerakannya cepat, Khalil ga bisa nyegah. Chandra kesetanan, dalam satu duduk sisa rokok dalam wadahnya habis tak bersisa.

“Ayo pulang udah abis kan?”

Shit!” Chandra buang putung kecil terakhir. Dia usap wajahnya yang berantakan.

“Gue udah coba ngerti semuanya, Ik. Gue coba terima semua penjelasan logis yang bisa mereka utarakan sebagai anak yang lahir di waktu yang ga tepat. Susah, bagi hati nurani gue apapun alasannya sulit diterima.” Ungkapnya tiba-tiba.

Chandra menunduk, dia lemah, dia jatuh, dan dia akhirnya tumpah. Pundak kokohnya bergetar hebat bersamaan suara isakan kuat.

“Mereka meluk gue, mereka nangis di depan gue minta ampunan. Tapi gue terlanjur mati rasa.”

Khalil ga tau harus berbuat apa. Khalil ga pandai merakit kata menenangkan. Maka, dia menggeser duduknya, mengikis jarak antara mereka. Khalil rengkuh tubuh besar nan rapuh dalam dekapannya. Dia berikan tempat ternyaman untuk Chandra serukan sedihnya.

“Gapapa, keluarin semuanya.” Bisiknya. Jemari panjang sekaligus cantik itu tak pernah berhenti untuk memberi belaian lembut pada rambut yang sedang sedih.

“Gue belum bisa kasih kata maaf untuk mereka.”

“Ssttt,”

“Gapapa, sekarang masih sulit gapapa. Nanti coba dimengerti lagi, dipahami lagi sampai lu udah siap waktunya untuk memaafkan.”

Detik itu giliran Khalil yang menjadi saksi bagaimana Chandra si manusia biasanya tunjukkan kerapuhannya.


`hjkscripts.