cerita dari masa lalu.
Keesokan hari di rumah duka, Khalil belum lihat kehadiran mamanya. Iya, mama kandung yang sudah lahirkan dia ke dunia. Mama yang sempat rawat dia di waktu kecil.
Hingga waktu masuk ashar akhirnya Khalil ikhlas jenazah sang oma dikebumikan.
Mama, oma sudah ga ada lagi. Raganya sudah masuk melebur bersama tanah. Setelah ini, Iki hanya anak remaja sebatang kara.
Malam hari, tamu masih berdatangan. Khalil hampir tak mengenali siapa-siapa. Khalil serahkan seluruh acara pada Tante Erna dan tetangga lain. Badannya lemas, untuk berbicara pun ga sanggup.
“Sayang...” Panggilan lembut itu diutarakan Chandra. Cowok jangkung berpakaian rapih serba hitam duduk di sebelahnya.
“Aku pergi ke luar sebentar kamu gapapa ya?” Tanya dia dan Khalil hanya mengangguk lemah.
Chandra peluk sebentar tubuh seperti tak bernyawa itu. Dia berikan satu kecupan sebelum beranjak pergi. Khalil berakhir sendiri lagi.
Beberapa menit setelah perginya Chandra, sayup-sayup suara ramai dari luar. Khalil tak peduli, malah semakin melamun di tempatnya.
“Khalil!” Seruan Jihan. Cowok yang sedikit berisi itu berlari dari luar menuju dapur tempat Khalil berada.
Khalil menoleh, tersenyum sendu menyambut hadir kawannya.
“Khalil, maaf gue dateng terlambat.” Katanya sembari memeluk Khalil.
Khalil hanya tertegun menahan tangis yang ingin keluar kembali. Pelukannya makin sesak tatkala satu lelaki yang lain ikut merengkuh.
“Khalil, gue turut berduka cita.” Ujar Elkan.
Lalu, satu persatu teman-temannya yang datang peluk dia beri kekuatan agar lebih tegar.
“Khalil?”
“Amara.”
Amara ga sanggup bendung air matanya. Ada sedikit rasa bersalah atas apa yang menimpa Khalil.
Harusnya dia langsung temui Khalil waktu itu.
Harusnya dia ga perlu punya rasa malu atas perbuatan di masa lalu.
“Im sorry.”
“Gue minta maaf dan terima kasih atas baiknya lo ke gue.”
“Mar, udah. Semuanya sudah lewat, gue ikhlas dan gue harap lo bisa ambil yang baik-baik dari hal ini.”
Khalil pandangi wajah sedih semua sahabatnya yang datang. Dia ucapkan terima kasih sudah mampu datang. Khalil sedikit kuat.
Namun, ternyata Tuhan masih berikan kejutan lain. Ketika matanya mengedar, dia menangkap siluet sosok yang masih dia ingat. Sosok yang ga pernah dia bersihkan dari memorinya.
“Mama?!”
kilas balik satu bulan setelah kepergian Papa Khalil
“Bu, saya sudah putuskan kalau saya memilih terima dipindah kerjakan ke Taiwan.”
Kala itu kondisi keluarga sedang tidak baik. Satu minggu setelah papa Khalil meninggal, mereka berdua putuskan pindah ke rumah sang oma. Hari-hari Khalil berubah, mamanya sibuk kerja demi penuhi kebutuhan. Tinggalah Khalil di bawah asuhan sang oma.
“Kamu ini seorang ibu, anak kamu masih kecil, masih butuh kamu buat mendidik. Terlebih, anak ibu satu-satunya sudah pergi. Kamu tetaplah di sini, temani ibu dan Iki.”
Masih ada dalam ingatan Khalil bagaimana hari itu terjadi. Mama yang termakan ambisi meledak di depan oma.
“Saya ini kerja sekeras mungkin cari uang, bu. Untuk penuhi kebutuhan anak saya, untuk ibu juga. Materi yang ditawarkan Taiwan besar, bisa kembalikan hidup kita seperti dulu.”
“Yasmine... tolong dipikirkan lagi.”
“Keputusan saya sudah bulat, bu. Jika ibu tidak merestui pun saya tetap akan pergi bersama Iki.”
Khalil sepuluh tahun waktu itu hanya anak kecil yang polos. Mentalnya sudah hancur beberapa atas meninggalnya sang ayah, mendengar dia akan dipisahkan sang nenek, dia melempar tantrum pada ibundanya.
“Iki mau sama oma!”
“MALIKI!”
“Oma!!!”
“Kamu kalau tidak ikut mama lantas mau makan apa di sini?! Oma sudah tua, tidak sanggup mau rawat kamu!”
Khalil bersimpuh di bawah kaki omanya. Si kecil itu berpegang erat seakan takut dipisahkan.
“Ga mau! Mama jahat! Oma tolong Iki, Iki ga mau pergi!”
“Iki ayo nanti tertinggal pesawat!”
“Omaaa!!! Papa!!!” Tangisnya tergugu.
“Cukup!” Teriak sang oma buat keduanya tersentak.
“Kamu pergi silahkan pergi, ibu yang akan rawat Iki.” Finalnya.
“Bu..”
“Ibu yang akan rawat dia semampu ibu. Ibu janji akan besarkan dia sebaik mungkin.”
Hari itu ternyata hari terakhir dia rasakan keberadaan sang mama. Hari itu sang mama tak pernah lagi hadir di kehidupannya.
Khalil Point of View
Malam ini, untuk yang pertama kali setelah kian tahun berlalu mama kembali. Gue kira setelah lama ga melihat wajahnya gue akan menangis, melimpahkan rasa rindu gue dipelukannya. Ternyata gue salah, hati gue sudah lama mati.
Rasa rindu ini memang ada tapi tidak membuncah.
“Iki!” Mama memeluk gue yang masih bergeming. Rasanya memang hangat, namun tidak amat menyenangkan. Air mata gue kering untuk dia.
Gue ga ngerti kenapa tubuh gue bereaksi seminim ini. Gue ingin meledak, ungkap campur aduk perasaan gue untuk dia. Gue ingin ceritakan banyak kisah yang telah gue lalui bersama oma. Namun, gue ga bisa bibir gue bungkam begitu aja.
“Mama di sini untuk jemput kamu.”
“Ayo pulang ikut dengan mama dan keluarga baru mama.”
Sekujur tubuh gue menegang. Mama datang bukan untuk menyesal. Mama datang bukan karena dia ingin tebus salahnya. Mama datang ingin bawa gue pergi.
Gue amat sangat marah dengan alasan satu ini. Gue menahan diri agar tak melimpahkan penyebab kematian papa atas perbuatannya. Gue masih percaya bahwa malam itu papa memang pergi karena takdir, bukan karena mama yang tertangkap mendua.
Kalau mama tak berbuat itu papa tak akan cari mama.
Kalau papa tak melihat mama dengan lelaki itu papa tak akan hancur.
Kalau papa tak hancur maka papa akan menyetir mobil dengan akal sehat.
Gue enggan meyakini itu. Gue selalu lekatkan kata-kata oma,“Iki, papa meninggal karena sudah takdirnya begitu.”
Tetapi apa balasannya? Mama seperti tak punya beban. Mama hidup bergelimang harta di negara sana. Ketika mama kembali bukannya menyesali, dia malah ingin bawa gue pergi.
“Iki kecewa sama mama.”
Satu kalimat penuh kekecewaan itu gue utarakan. Lantas, ditengah suasana rumah penuh keramaian gue tinggalkan begitu saja.
`hjkscripts.