rumah sakit dan keputusasaan.
Khalil Point of View
Ketika gue melihat oma hanya bisa terbaring lemah, hati gue amat hancur. Seperti kembali ke masa lalu, dimana oma dipaksa untuk berubah dari beliau yang sehat jadi beliau yang lemah. Deja Vu menghampiri gue saat ini.
Gue hanya bisa genggam jemari ringkih dengan hiasan jarum infus sambil mengusapnya. Dalam hati, gue rapalkan doa-doa apapun yang gue mampu. Satu pengharapan gue yaitu oma cepet kembali sembuh. Asal oma bisa membuka mata, gue menjauh dari ambang kehancuran. Hidup gue tergantung akan sehatnya oma.
Derit engsel pintu mengusik ketenangan ruang rawat inap. Gue pun mendongak memastikan siapa. Senyum sendu yang hanya bisa gue sajikan dibalas miliknya yang lebih bersahaja. Dia berjalan mendekat, pelan, minim suara. Dia gunakan tangannya yang bebas dari begitu banyak kantung untuk membelai surai gue yang sedikit berantakan.
“Hai, sayang!” Sapanya berbisik.
Cowok itu menunduk sedikit, menyematkan kecupan sayang di puncak kepala gue. Hangat, kehadirannya selalu berhasil menghangatkan tubuh gue. Gue pun meraih tangannya, gue tautkan jemari kita, dan gue cium punggung tangannya beberapa kali.
“Oma baru tidur.” Kata gue sesaat dia duduk di kursi yang kosong.
Dia yang bernama Chandra ini hanya pandangi oma dari tempatnya tanpa berniat menganggu. “Ga usah dibangunin, yang.” Ujarnya seperti tau isi kepala gue.
Lantas dia berpaling memperhatikan gue. “Udah makan kamu?” Tanya dia dan gue hanya bisa menggeleng.
Gimana bisa makan ketika bernapas saja rasanya sulit.
“Oma dititipkan ke suster dulu gapapa yang? Aku temenin kamu makan.” Ajaknya.
Gue pun menyanggupi, setidaknya gue butuh udara segar di luar, gue butuh melihat pemandangan supaya otak gue fresh. Berdiam diri sembari memandang oma yang begitu lemah bikin rasa takut itu terus menerus muncul.
Kami memutuskan taman rumah sakit sebagai persinggahan. Di bawah pandu langit jingga gue dan dia menikmati sebungkus nasi campur dan sebotol air putih dingin.
“Makan yang banyak!” Suruhnya.
“Thanks.” Gue berterima kasih atas apa yang dilakukan cowok gue. Dia yang selalu ada, dia yang perhatian luar biasa ga pernah absen bikin hati kecil ini tersentuh.
Senyap terasa ketika tak satupun suara terdengar. Sayup-sayup kicauan burung perandai yang terbang ke arah pulang jadi pengiring satu-satunya.
Gue terdiam, makanan dipangkuan gue ga sama sekali membangun selera. Jadilah nasi putih berisi sayur dan bihun itu hanya gue aduk.
Tubuh gue berjengit sebab merasakan sebuah sentuhan lembut. Chandra mengusap punggung lebar gue sambil terus memakan, makanan miliknya.
“Oma gapapa.” Ujarnya.
Gue mengangguk, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa oma memang akan baik-baik saja. Pun, entah kenapa dalam diri gue sulit dikendalikan. Perasaan takut tak henti-hentinya diproduksi.
Gimana kalau oma kenapa-napa?
Gimana kalau oma menyerah saat ini?
Gimana kalau oma ga ada?
Narasi-narasi kepergian itu terus mengelilingi tubuh gue. Rasanya sesak, gue ga tahan hanya sebatas bayanginnya. Gue sedih, ga bisa dibendung. Gue mau percaya, gue ga bakal berhenti berdoa dan berharap kesembuhan, namun mengingat setiap kejadian ada sebuah kemungkinan buat gue jadi ga percaya diri.
“Iki...” Chandra menyerukan nama gue.
Gue menunduk sebentar kuatkan hati sebelum akhirnya sanggup menatap wajahnya. Chandra menangkup pipi gue, memandang wajah gue sembari menguatkan.
“Gapapa.” Katanya sekali lagi.
Dan gue kali ini ga setuju. Gue lemah, gue kenapa-napa, gue gak baik-baik aja.
“Aku takut.” Lirih gue bersamaan air mata ini luruh.
“Kalo oma ga ada-” Gue tercekat, ga sanggup ungkapkan kelanjutan yang akan lebih menyakitkan. Dada gue sesak, tangis gue semakin keras.
Chandra mengikis jarak di antara kami, dia rengkuh tubuh gue tanpa bersuara apapun.
Gue meremas bajunya hingga kusut, gue meraung, gue buat basah kaus putih itu.
“Aku takut sendiri.” Hanya itu yang sanggup gue utarakan.
Gue takut sendiri, gue ga sanggup ditinggal untuk kesekian kalinya. Gue benci ungkapan selamat tinggal.
“Enggak sayang, kamu ga akan sendirian. Ga ada yang mau meninggalkan kamu.” Ungkapnya dengan nada ga kalah bergetar.
Gue ingin yakini semuanya, gue ingin serakah.
Dalam dekapannya di sore hari ini, gue rapalkan sekali lagi doa tanda keputusasaan gue. Gue serahkan semua keputusan hidup mati manusia pada pemiliknya.
`hjkscripts.