confession.
Chandra Point of View
Nanti, kita bicarain lagi
Satu kalimat itu terus berputar di kepala gue. Gue si manusia ceroboh yang sok-sokan mengungkapkan perasaan yang telah gue pendam untuk cowok satu ini. Perasaan yang masih sedikit rumit berwarna keabuan sebab belum ada keyakinan di sana. Perasaan menyenangkan, berdebar, sakit, cemburu, sedih, yang katanya disebut cinta.
Ada dua keadaan tubuh gue saat ini. Satu sisi gue meruntuki, sedangkan yang lain begitu lega. Namun, ketika gue sadar bahwa pembicaraan tentang satu topik berdasar cinta belum diputuskan maka gue ketakutan.
Itu Khalil yang sedang melangkahkan kaki masuk warmindo. Dia dengan cepat pula menemukan posisi duduk gue. Dia yang biasanya menyapa dengan sumringah kali ini duduk ragu bercampur malu.
“Hai! Gimana hari ini, Iki?” Sapa gue dengan kalimat seperti biasa. Nada bicara gue atur sedemikian mungkin agar ga nampak bergetar. Gugup? Tentu ada, jantung gue rasanya pengen misah aja.
“Hari ini gue lagi seneng,” Balasnya. Kepalanya beberapa kali nunduk, pun jika terangkat netranya enggan menatap milik gue dengan nyaman. “Awalnya begitu sampai gue dikejutkan oleh sebuah apa ya...confession?” Tambahnya.
Gue, si cowok yang lagi mencoba terlihat santai dan keren akhirnya menyerah juga. Ketika terdengar satu kata itu disebutkan gue refleks memajang wajah bego. Aduhh...beneran dibahas.
“So...” Kedua tangan gue menggenggam erat dua lengan kursi, benahi posisi duduk yang semakin merosot.
“Tolong jujur sama gue, lu bercanda kan?” Lagi, pertanyaan satu ini yang terus dilemparkan.
Gue menghembuskan nafas kasar, harus gimana lagi menyakinkan juga udah kehabisan kata. “Apakah gue terlihat lagi bercanda, Ik?” Gue pun menjawab begitu, lengkap dengan ekspresi serius.
Khalil yang awalnya sudah berani menatap mata gue sontak menunduk. “Why me? Kenapa gue dari sekian banyak?” Bisiknya.
“Kalau gue jawab karena itu elu kedengerannya terlalu menstrem ya.” Gue terkekeh sembari menelisik tiap gerak-gerik canggung yang dibuat cowok di depan gue.
“Alasan hmm..,”
“Karena lu terlalu familiar buat gue. Otak gue mungkin terlambat mengenali lu, tapi hati gue mengenali keberadaan lu sejak awal. Gue manusia dengan beribu rasa penasaran sebenarnya juga bingung dan bertanya-tanya kenapa elu? Dan gue tau jawabannya. Seiring berjalannya waktu gue tanpa sadar menebar benih hingga tumbuh disirami terbiasa. Gue menikmati hadirnya lu di samping gue dan akhirnya seluruh raga gue terbuai jadi nyaman.”
Lama hening, baik gue maupun Khalil belum ada yang bersuara. Gue dan dia layaknya berada di kota mati yang hanya kita berdua. Seolah kita dibuat lupa jika disekeliling ada suara Mas Edi yang bersenda gurau dengan pelanggan yang lain.
Jantung gue berdebar lebih hebat dari biasanya ketika dua obsidian kami lagi bertemu. Gue tentu menunggu sebuah jawaban. Bohong kalau gue ga peduli, bohong kalau gue ga berharap. Jangan dipikirkan perasaan ini milik gue, itu semua hanya basa-basi.
Gue ga bisa menilai tatapan yang tengah dilayangkan oleh cowok manis satu ini. Satu yang pasti dia sedang bingung. Apakah dia punya rasa yang sama? Gue harap iya meskipun masih seujung kuku.
“Chandra...” Dia panggil nama gue.
“Gue gatau,” Lanjutnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Gue sedikitnya merasakan hal yang sama tapi gue belum berani ngartiinnya. Gue takut gabisa kasih apa yang lu minta.”
Kedua bahu tegang gue perlahan melorot. Gue terlalu berharap, ekspektasi gue ketinggian. Sekarang rasanya badan gue seenteng kardus indomie yang bisa dihempaskan begitu saja dan gue kecewa.
“It’s ok, Iki kal-”
“Ssst!”
Gue mengatupkan bibir.
“Gue belum selesai ngomong, Chan.” Katanya. Gue pun mengangguk, mempersilahkan kembali dia untuk bersuara.
“Jujur sekarang memang gue sedang bingung tentang ini harus gimana. Gue memang takut gabisa balesnya. Tetapi, gue... gue ga pernah takut untuk mulai mencoba.”
“Pelan-pelan ya, Chan. Sanggupnya gue cuma segini. Gue persilahkan lu masuk untuk kasih afeksi berlebih sembari gue belajar mengenai tentang hati.” Ujarnya final.
`hjkscripts.