Journey.
“Permisi, kak. Perkenalkan nama saya Watanabe Haruto dari gugus kupu-kupu. Boleh minta tanda tangannya?”
Hari itu aku pertama kali melihatnya. Perutku rasanya tergelitik ketika mendengar lantunan nada bicaranya. Ia hanya bocah lelaki dengan suara baritone rendah diumur 13 tahun.
Aku menyerahkan kembali buku saku yang telah terisi beberapa tanda tangan. Bibirnya tersungging sumringah begitu semangat. Aura positifnya terpancar hingga diriku mau tak mau ikut tersenyum.
“Terima kasih, kak?”
Ucapnya terhenti sejenak. Manik kami bertemu tatap seperkian detik. Sosok ini memandangku dengan tatapan seolah menunggu sebuah jawaban.
“Junkyu. Namaku Kim Junkyu.”
Anak ini mengangguk setelahnya, Ia menuliskan namaku pada baris dibukunya.
“Terima kasih, Kak Junkyu.”
Aku teringat bahwa diri ini hanyalah manusia yang diciptakan untuk meninggali bumi. Tanah yang kupijak, menyimpan berbagai rahasia yang tak bisa diraih nalar manusia. Termasuk bagaimana konsep takdir berkerja.
“Kak Junkyu!” Sapa anak ini pada satu hari yang panas.
Mendengar namaku diserukan dengan nada rendahnya, aku sangat suka.
Mataku terbelalak kaget, kepalaku bergerak meneliti sekitar lingkungan komplek. Ia seorang diri, berdiri dihadapanku dengan wajah berseri.
“Kamu ngapain di sini?” Tanyaku penasaran.
Ia membenahi tas slempangnya sekalian jas hitam yang digunakan. Kami berjalan menyusuri komplek bersisian.
“Baru pulang kerja kelompok, kak. Ini jalan menuju rumah. Tuh rumahku yang diujung sana.”
Aku pun terbahak dalam hati akan skenario semesta yang suka bercanda.
“Kak Junkyu, Haruto suka sama kamu.”
Tubuhku rasanya kaku, pikiranku dibawa ke beberapa minggu lalu ketika kami terlentang di atas rumput hijau, di tengah lapangan luas, dan di bawah pandu langit gelap bertabur bubuk bintang.
“Kalau aku jadi lulusan terbaik, aku mau ungkapkan perasaanku untuk seseorang.”
Dan seseorang itu adalah Aku
“Maaf, Haruto.”
Aku, Kim Junkyu hanya memandangi sebuah pesan perpisahan yang Ia kirim tanpa berani membalasnya.
Aku hanya mampu meringkuk dalam kamar, enggan mengantar atau setidaknya memberikan pelukan selamat tinggal.
“Kak, aku dapat kuliah di luar.”
Katakan Haruto, katakan bagaimana bisa aku baik-baik saja melihat ragamu diam di atas kasur putih. Kulit putih nan halus yang sering menyentuhku telah kacau dengan luka dan tertancap alat-alat yang entah apa namanya.
Maafkan aku yang tak jujur akan perasaan milikku sendiri. Maafkan aku yang kurang percaya diri ini. Maafkan aku yang terlambat menyadari bahwa jauh darimu aku kehilangan separuh hidupku.
“Tuan Kim Junkyu?”
“Ya?”
“Kami dari pihak rumah sakit mengabarkan bahwa Tuan Watanabe Haruto mengalami kecelakaan dan telah dilarikan ke rumah sakit.”
Mendengar kabar dirimu jatuh, membawa seluruh kewarasanku.
“Jangan... jangan pergi!”
“Kak Junkyu?”
Aku sudah pernah bilang bukan, aku sangat menyukai ketika namaku dipanggil dengan lantunan nadanya. Degup jantungku berdebar lebih cepat dari normalnya.
“Kak Junkyu, sudah jangan menangis. Aku gapapa.”
Ketika obsidian elangnya terbuka kembali. Ketika aku bisa menangkap senyum kecil dibibirnya kembali, aku pun memeluknya, erat sembari menumpahkan segala kelegaan dalam diri melalu air mata bahagia.
“Haruto... Haruto.” Aku gumamkan namanya sembari mengukir setiap hurufnya di hatiku.
“Haruto... Haruto... aku mau jadi milikmu.”
Terakhir, aku balas permintaannya. Kuberikan separuh hatiku untuknya sebagaimana dia berikan miliknya padaku.
5 April
Aku tak sanggup menahan bulir bening yang luruh melewati pipi. Kupandangi benda bulat berwarna silver menawan yang resmi melingkar apik pada jari manis tangan kiri.
Haruto, sosok gagah dihadapanku kini menatapku penuh harap akan sebuah jawaban percis seperti dirinya ketika pertama kali bertemu.
Aku berucap, “Ya, aku mau.” Sebagai hadiah yang bisa kuberikan dihari bahagiamu.