talked it out.


Nodt Point of View

Ngobrol katanya, dari hati punya hati ujarnya. Aku tak tahu seberapa besar batas kekuatan komunikasi, pun aku menyadari cara itu banyak berhasilnya. Dua kali pasalnya dan aku berakhir semakin jatuh akan pesonanya. Dia dengan mata tajamnya tersirat memohon, dia dengan bibir tebalnya melantunkan kata demi kata berupa penjelasan, dia dengan gestur afeksi lembutnya menjadi penutup, dan aku akan jadi si pendengar yang pada akhirnya mencoba mengerti serta memaafkan.

Aku membawa dua gelas teh hangat dengan kepulan asap masih membumbung di udara. Sebelum kuletakkan di atas meja ruang santai, Peter turut berdiri membantu. Aku menyesap demi sedikit, rasa hangat merasuk dalam tenggorokan. Peter di sampingku, aku tau dia tengah memandangi dari posisinya. Tubuhku terlonjak kala jemari besar nan panjang menyentuh helai rambutku. Ia merapihkan yang berantakan telaten, menyempatkan membelai sebentar, lalu menyampirkan beberapa ke belakang telinga mencegahnya agar tak masuk dalam cangkir.

Derit sofa terdengar sebelum guncangan kecil terjadi akibat raga berisinya bergeser. Aku terhimpit di antara lengan sofa dan dirinya, jarak kami semula selebar lautan, sekarang hanya disekat debu. Aku meletakkan cangkir kembali pada asalnya, kemudian membiarkan fase talked it out mendekati sebuah momentum. Dia melingkarkan satu lengannya mendekap bahuku. Dia menarikku pelan takut-takut jika aku menolak. Aku melemas, aku pasrah, aku lagi-lagi dengan mudah masuk dalam pelukannya.

Nyaman, hangat, aku sangat suka. Jika keadaan akan lebih baik nantinya, aku ingin lakukan ini seharian, tanpa waktu jeda, sembari menghitung helai rambut halus yang tercetak di dadanya. Entah butuh berapa lama, tak peduli berapa banyak. Karena di sini, dalam rengkuhannya aku merasa dilindungi.

I miss you.” Bisiknya bersamaan nafas lega meluncur begitu saja. Dia mengecup puncak kepalaku beberapa kali, kian detik semakin erat dekapannya seakan takut aku pergi.

I miss you.” Bisiknya sekali lagi.

Apakah benar itu untukku?

Apakah benar penampakanku yang tengah kau lihat saat ini?

I miss-”

“Siapa Thana?” Tembakku langsung, cepat, tepat menembus ulu hati. Belaian menyenangkan pada kepalaku berhenti, Aku bisa rasakan syarafnya menegang hingga raganya kaku.

“Dia...dia-” Tuturnya ragu. Aku bisa rasakan degub jantungnya bertalu.

“Tolong, tolong aku agar bisa lepas dari keraguan ini. Kamu terlalu sulit untuk aku pelajari sebab kamu seputih susu bukan sebening air. Kamu terlalu sulit untuk aku baca bak buku kehilangan beberapa halamannya. Kamu tak terduga, kamu abstrak hingga terlalu sulit bagi aku untuk menebak isinya.”

Peter terpaku akan ucapanku, dia alihkan gugupnya dengan berikan banyak kecupan di dahiku. “Thana masa laluku...” Mulainya. Dia berhenti sejenak, memilah tatanan kata mana yang harus diungkapkan.

“Dia masa laluku, dia yang pertama buat aku.” Lanjutnya. Peter menarik napasnya berat, lalu menghembuskan perlahan. “Dan dia masih jadi yang pertama buat aku, belum terganti sampai detik ini.”

Hancur, hatiku hancur berkeping-keping

Runtuh, duniaku runtuh sisa debu

“Aku minta maaf.”

Tidak, jangan dengar maafnya lagi. Jangan terima begitu mudah kembali. Aku sakit, seluruh badanku seakan dihantam beban berpuluh kilo. Aku ingin lari, menyendiri, tak mau dikenali. Hanya Nodt satu ini bodoh bukan main karena cinta, berakhir selalu bertahan bersama rasa sakitnya.

“Thana sudah pergi jumpa dengan bahagianya. Tapi aku masih terperangkap dalam sumur masa lalu. Aku sendirian dan aku kebingungan cari jalan keluar.”

“Aku butuh seseorang untuk menarikku, untuk jadi cahaya penerang jalanku. Karena aku ingin bebas, karena aku ingin bahagia juga. Maka dari itu aku mengikatmu, tolong aku sayang... selamatkan aku dari penderitaan ini.”

Pada akhirnya, cerita ini kembali selesai dengan aku yang kembali kalah. Aku si lemah akan cinta kembali mencoba mengerti dan memaafkan.


`hjkscripts.