people come and go.


Peter Point of View

Datang dan pergi dalam sudah semestinya terjadi dalam periode siklus kehidupan. Namun saya masih bingung, mengapa datang selalu bawa kegembiraan sedangkan kepergian menimbulkan luka. Saya sebenarnya benci jika harus menghadiri pemakaman meskipun saya tahu yang dikebumikan bukanlah orang terdekat saya.

Kala langkah kaki pertama menginjakkan rumah kediaman, pilu tangis menggema dalam ruangan. Saya tak dapat mengidentifikasi siapapun di sana akibat semuanya berpakaian hitam. Mami menggapai lengan saya, genggamannya erat hingga saya harus menopang tubuhnya. Dahi saya mengernyit, pertanyaan pasal siapa yang ada di dalam peti jenazah mulai menghantui.

Mami mulai terisak sembari kami berjalan mendekat ke arah peti perlahan. Kumpulan manusia di depan beri jalan bak pintu istana terbuka. Bersamaan itu pula, suara raungan menyesakkan kian lantang. Sosok pemuda bersimpuh disamping beku tubuh sang ibunda, Ia mengutarakan kesedihan dan penyesalan berharap itu semua mampu menghidupkan jasadnya kembali.

“Nodt?” Mami menghambur memeluk pemuda yang dipanggil Nodt.

Seolah berada dalam pertandingan lari estafet, kini giliran mami yang menangis. Mimik pemuda itu bingung hingga Ia lupa tangisnya, pun begitu Ia tetap memberikan tempat ternyaman bagi mami dalam dekapannya.

“Nodt, maaf saya baru datang ketika Irene sudah tak lagi di dunia. Maaf saya tak pernah ada untuk Irene waktu dia sakit.”

No, it's ok. Boleh saya tau hubungan anda dengan mama saya?”

Saya tanpa sadar terseret masuk dalam percakapan mereka. Rasa penasaran akan pemuda ini membuka lebar-lebar indra pendengar saya. “Perkenalkan saya Maya, sahabat Irene dari masa SMA.” Mami memperkenalkan dirinya.

“Ini anak saya, Peter. Peter ini anak mendiang teman mami, Nodt.”

Binar sembab itu pertama kali bersitatap dengan milik saya. Sendu, suram, kebahagiaannya hilang entah kemana. Saya mengulas senyum kecil membalasnya dan hanya butuh waktu tiga detik sebelum Ia memutus kontak. Dalam waktu singkat itu, hanya dalam tiga detik itu alam mampu mengetik lembar jalan cerita tak terhingga jumlahnya dengan nama kami berdua menjadi sang pemeran utama.


unexpected letter.


Nodt Point of View

Benar kata desas-desus disana bahwa yang namanya orang tua itu pusat dunia, bahwa orang tua itu segalanya. Aku baru sadari sekarang ketika telah ditinggal keduanya. Nodt sekarang adalah si sendiri, Nodt hari ini dan seterusnya yang akan ditemani sepi.

Aku amati kamar besar yang telah sunyi. Bau pengap bercampur debu jadi penyambut ketika kuberanikan diri membuka pintu kayu. Aku menyusuri tiap sudutnya, aku berjalan kecil beriringan serta tiap kenangan yang berputar dalam memori. Terakhir aku berdiri, dihadapan lemari jati yang nantinya akan menyeretku lebih dalam menuju dunia lama sang mama.

Kubuka perlahan keempat pintu lemari. Telah kusiapkan pula banyak kardus untuk menampung isinya. Aku telah putuskan untuk membagikan segenap memori dalam sebuah benda pada orang lain yang membutuhkan daripada menyimpan sendiri bersama duka.

Satu persatu kain aku pilah. Perlahan namun pasti aku turunkan banyak dokumen di atasnya. Aku duduk diantara dinginnya lantai, detik kemudian aku tersenyum kala album foto tak sengaja mulai kujelajahi.

Mama dulu sangat muda, dia si wanita pecinta olahraga, banyak gunung yang berhasil dia taklukkan. Sekarang aku percaya bahwa ceritanya bukannya dongeng belaka, energi mudanya banyak diturunkan padaku saat ini.

Maya dan Irene sahabat selamanya.

Jemariku mengukir tiap huruf yang ditulis dengan cantik. Aku telah sampai pada album kesekian. Album satu ini unik, kesannya ceria dan menyenangkan ketika membukanya. Aku sontak teringat satu rupa wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Maya.

“She was coming for you, ma.” Gumamku dengan nada lirih.

Aku pun melanjutkan perjalanan mereka berdua. Sungguh benar, buku ini adalah sebuah petualangan dua remaja perempuan yang menyenangkan. Hingga terakhir hatiku dibuat sedih.

Hari terakhir bersama Maya.

Sampai bertemu saat cita-cita kita tercapai nanti!

Begitu mama menulisnya. Foto itu diambil ketika hari wisuda. Mereka mengenakan kebaya dilapisi toga dengan senyum menawan.

Sebelum aku benar-benar menutup kisahnya, sebuah surat tersemat di dalamnya. Aku pun mengambilnya, masih cantik, tersegel dalam amplop. Aku tahu ini mama yang menulisnya, aku hafal sekali tulisan tangannya.

Surat ini untuk sahabatku Maya.


first time talk.

Nodt terpukau akan asrinya rumah paruh baya yang Ia datangi. Rumah berpondasi batu bata merah nampak menyejukkan dilengkapi interior rotan dan tanaman hias. Bau khas taman tercium kala langkah kaki terus melaju mendekat ke arah pintu.

Diketuk dengan nada sebanyak tiga kali, tak perlu lama menanti pemiliknya hadir menyambut. Wanita bernama Maya kini memeluk Nodt layaknya putra sendiri.

Tubuh jangkung itu dituntun masuk. Nodt sedikit kecewa karena menolak tawaran wanita dermawan untuk tinggal bersama. Rumah ini cocok dengan style-nya, rumah seperti ini masih ada dalam angannya.

“Mau minum apa?” Tawarannya ramah. Nodt tak lupa dipersilahkan duduk.

“Air mineral cukup kok tante.” Jawabnya tak kalah sopan.

“Kamu tuh jauh-jauh kok cuma minta air putih, tante buatin sirup ya? Suka manis apa enggak?”

Nodt tersenyum kikuk, Ia hanya mampu mengangguk lalu berucap terima kasih.

Ketika Tante Maya telah kembali dengan gelas berisi minuman dikedua tangannya, Nodt menyerahkan sepucuk surat yang jadi maksud dirinya bertandang. Nodt perhatikan binar wajah wanita dihadapannya yang tak dapat Ia definisikan.

Butuh waktu setengah jam untuk membaca lembaran kertas berisi tulisan yang Nodt sendiri belum tau apa isinya. Hanya yang Ia tau didalam sana berisi setiap emosi yang mamanya simpan sendiri.

Terakhir, setelah Tante Maya menyelesaikan seluruhnya, beliau beranjak mendekat ke arah Nodt lalu memeluk pemuda itu penuh kasih sayang.


Deru mesin mobil terdengar mendekati rumah. Beberapa detik kemudian riuhnya berganti senyap. Selanjutnya, langkah kaki berat akan sepatu yang beradu tanah mulai berdendang.

Tante Maya tersenyum berarti seolah tau siapa yang datang. Sosok ibu kini berdiri penuh harap menghadap pintu masuk. Ketika dibuka dari luar oleh seseorang, layaknya datang ke acara pesta ulang tahun, sosok itu disambut meriah.

“Nah ini akhirnya datang! Kamu ya mami suruh datang pagi jam segini baru sampai.” Gerutunya sebal sebab beliau memang menunggu kedatangan sang putra.

Peter itu wajahnya datar, minim ekspresi, beda sekali dengan ibunya yang penuh warna. Apalagi dia berdandan layaknya malaikat kematian, serba hitam dari ujung kepala hingga sepatu yang Ia kenakan.

Jujur Nodt tak suka dengan suasana ini, dimana ada orang lain yang tak Ia kenal tiba-tiba datang. Nodt sendiri gak jago pasal bertemu orang baru. Mana kala tubuh Tante Maya sedikit bergeser, Nodt dapat melihat sosok Peter dengan kasat. Ia sempat membeku, bingung harus bagaimana dirinya berlaku.

Senyum kecil dari bibirnya Ia jadikan pilihan, namun dijawab raut datar. Nodt putuskan kontak mata secepat mungkin sebelum Ia semakin terintimidasi. Nodt ingin pulang saat ini.

“Maaf tante, saya izin pamit pulang kebetulan hari sudah sore.” Tutur Nodt sedikit menyela interaksi ibu dan anak.

Tante Maya menatap Nodt dengan raut dibuat kecewa. Belum ada setengah jalan ceritanya dan sang mama sempat diungkapkan kembali. Namun memang, melihat awan dengan semburat ungu mendadakan waktu hampir jadi malam.

“Oh iya, kamu pulang naik apa ganteng?” Tanya beliau. “Tante nggak lihat tuh ada kendaraan pas kamu datang.” Lanjutnya.

“Saya naik taksi online.”

“Kalau gitu, nih mumpung ada anak tante mau ya dianter?”


Nodt ingin pulang, begitu doanya lima menit yang lalu. Tuhan memang benar tak pernah tidur, buktinya doanya langsung terkabul. Dia memang pulang, namun bukan sendiri melainkan bersama orang yang entah mengapa ingin Ia hindari.

Nodt lagi-lagi benci dengan keadaan. Kali ini dia benci karena harus duduk berdampingan di dalam ruangan sempit berbentuk mobil. Peter memang diam, terlampau sunyi malah, pun begitu aura yang dikeluarkan membuat Nodt merasa kecil. Sebutlah Nodt berlebihan sampai harus mengeratkan jemarinya pada sabuk pengaman.

“Rumah duka kemarin, rumah kamu?” Akhirnya, keterdiaman ini usai. Akhirnya, ada kalimat yang terlontar. Harus dirayakan, sebab kalimat yang keluar dari bibir Peter merupakan yang pertama dalam komunikasi yang mereka bangun.

Nodt mengangguk meskipun Peter tak lepas pandang sedikitpun dari jalan, “Betul, itu rumahku.”

Sekian dari mereka berdua, author akan undur diri. Author benci menggambarkan betapa sepinya diantara mereka. Peter sebagai pemilik armada enggan pula menyalakan radionya.

Tunggu, belum waktunya scene ini selesai, sebab detik kemudian Nodt beranikan diri membangun jembatan komunikasi.

“Saya Nutthasid, Nodt Nutthasid.” Celetuknya tiba-tiba. Nodt merasa Ia butuh memperkenalkan diri lebih proper daripada waktu lalu Ia sibuk menangis.

Ungkapan Nodt tak langsung berbalas. Hingga Nodt meruntuki dirinya sendiri karena merasa sok akrab.

“Peter Knight.” Balas si pria dingin singkat.

Nodt tersenyum malu-malu, menurutnya nama itu cocok dengan kepribadiannya, “Right, Kak Peter. Sounds good.”

“Saya bukan kakak kamu.”

What the name of hell?

Nodt pikir inisiatifnya membawa kembali balasan positif. Namun, Ia salah kaprah, Peter Knight bukan manusia yang mudah ditebak.

“Kalau begitu Peter. Just Peter.”

“Saya yakin, saya jauh lebih tua daripada kamu.”

God, Please help Nodt getting out from here asap!

Terakhir, ini akan jadi yang terakhir Nodt berbicara dengan orang satu ini.

“Mas Peter?”

Hening... Nodt beranikan diri menoleh tuk meneliti tiap perubahan rupa lelaki disebelahnya.

“Mas Peter? How is it?” Nodt mengulang sekali lagi.

“Hmm... Whatever suit you.”

Nodt tak pernah tau bahwa jawaban Peter yang satu itu bisa membuatnya amat bahagia.

“Mas Peter it is.”