how i met him.
Nodt Point of View.
Gue meletakkan ponsel sembari buang napas panjang. Hembusannya berat dan juga pasrah. Iya, gue bisa apa memang sama keadaan ini selain duduk, terima, dan bilang makasih.
Fokus gue sejenak ilang, kesadaran gue dihisap menuju alam bawah. Pandangan gue kosong, pikiran kosong, alias gue ngelamun natap apalagi selain tembok di ruangan penuh bau obat-obatan satu ini.
Lengan gue mendadak hangat akan sebuah sentuhan. Rasa itu mensinyalir kinerja sel-sel dalam tubuh gue untuk kembali aktif. Gue akhirnya kembali menghadap kepada realita. Dimana saat bingung pun gue dipaksa untuk tetap tersenyum.
“Iya, ma?” Sahut gue merespon sentuhan perempuan yang paling gue cinta.
Perempuan satu ini dulunya yang paling tangguh. Manusia paling legowo yang pernah gue temui. Perempuan satu ini yang bikin hidup gue tetep gapapa meskipun dihadapkan fakta punya bapak bajingan yang hobinya main daun muda. Perempuan ini yang paling semangat bangun pagi buat kerja biar bisa hidup dan sekolahin gue.
Namun, semuanya hanya tentang dulu. Sebelum mama sering merasakan gejala aneh yang timbul dalam tubuhnya. Tanpa siapa pun sadari, bidadari gue yang terkenal cantik dan sehat ini punya sel kanker yang hobi makan sel baik dalam tubuhnya. Mama yang ceria, mama yang semangat, mama yang selalu punya cerita lucu tentang temen satu kantornya perlahan jadi lemah hingga tak berdaya.
“Mama butuh apa?” Gue kembali bertanya sebab mama hanya tersenyum lemah. Jemari ringkih yang tengah menyentuh permukaan tangan gue mengerat.
Mama menggeleng, tangan gue beliau tarik dan digenggam kuat. “Kuliahnya gimana? Lagi ada kesulitan ya?” Dia kembali bertanya meskipun suaranya terbata.
“Biasalah, ma. Sekolah kan memang tiap hari makin susah.” Gue mengiyakan aja meskipun masalah gue bukan perkara kuliah.
“Kamu istirahat aja, mama gak apa. Udah makan belum?” Gue menggeleng. “Makan dulu sana!” Perintahnya.
“Iya sebentar lagi.”
Pas banget, ketika gue baru akan cek notifikasi yang masuk, ada satu yang curi atensi gue sepenuhnya.
Saya sudah sampai.
Maka, gue putuskan untuk pamit tinggalkan mama sejenak.
Jika diperintahkan untuk menceritakan secara runtut proses pertemuan gue dan yang ternyata bapak dosen mata kuliah program studi. Gue akan jadi bingung dan berakhir menjawab...
ga tau juga gue bingung.
Itupun kalau ada yang nanya, duduk perkaranya sekarang adalah apakah ada yang tau pasal hubungan gue dan pak dosen? Tentu tidak. Sebutlah hubungan kita ini tabu, terlarang atau banyak dari mereka menyebutnya sugar baby-sugar daddy relationship. Apapun itu gue ga peduli, karena tujuan gue adalah tentang uang.
Gue tau kok, pekerjaan yang sedang gue jalani ini negatif dimata khalayak umum. Namun gue, si pemilik nama Nodt Nutthasid adalah sosok yang pola pikirnya udah pergi ga tau kemana kala mama dinyatakan sakit stadium empat dan harus menjalani pengobatan dengan biaya yang ga murah.
Gue si Nodt Nutthasid ini, selain udah hilang kewarasan berubah layaknya superhero jadi insan impulsif yang terima apapun, bagaimana pun caranya untuk dapatkan puluhan juta dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Di sanalah, sosok itu dimunculkan dalam skenario film kehidupan gue. Si sederhana yang sekarang hidup layaknya sultan lengkap tawa luwesnya sembari ongkang kaki. Si sederhana yang tak lagi punya rasa takut akan kekurangan meskipun banyak harta telah dihamburkan. Peran itu dimainkan oleh teman satu angkatan gue, Pong Pongsakorn.
Dari Pong ini gue akhirnya menemukan benang merah baru, dimana ketika gue ikuti sembari menggulung, diujungnya ada seorang pria. Pria yang jauh lebih dewasa dan tua dari gue, yang mana adalah dosen gue sendiri.
Pria yang gue maksud ini, yang lagi berdiri berhadapan dengan jarak ga lebih dari seratus meter dengan gue. Pria yang perlahan kikis jarak di antara kita.
Semakin dekat...semakin dekat...sampai gue hanya bisa menangkap ketukan sol sepatu mahalnya tengah beradu dengan lantai, suaranya senada dengan degup jantung milik gue. Kala akhirnya gue jatuh dalam perangkap tubuhnya, bau parfum khas miliknya selalu buat diri ini terbuai, nyaman. Pelukannya mana pernah gagal buat tempat peraduan.
“Saya rindu, amat rindu sama kamu.” Tuturnya berbisik.
Dia semakin menarik tubuh gue dalam pandunya. Dia jatuhnya bobot kepalanya di atas bahu gue, seakan dia tengah melepaskan segala beban penat yang sudah lama dipikul. Dan gue yang akan berikan usapan lembut penenang.
Inilah tugas gue, sebagai pelarian, menyediakan rumah kedua bagi dia, sebagai tempat pembuangan keluh kesahnya. Sebagai gantinya, uanglah yang berbicara selanjutnya.
`hjkscripts.