dua ; anan lawana


Anan Lawana, setiap kali gue nanya sama ayah apa arti nama gue? Kenapa gue dinamai demikian? Jawaban ayah nggak pernah berubah.

Anan artinya cakrawala, langit dan Lawana artinya samudera. Ayah harap kamu jadi lelaki yang selalu punya cita-cita, pendirian, kehormatan setinggi langit sehingga orang disekitar kamu segan. Ayah juga berharap kamu diberkahi hati yang lapang seluas samudera apapun cobaan yang akan kamu hadapi.

Gue nggak tau apa ini efek dari doa yang diselipkan pada nama gue. Kalau bener gitu doanya mujarab.

Diumur belia kelapangan hati gue udah diuji akan meninggalnya bunda. Wanita cantik nan baik hati yang dengan ikhlas melahirkan gue ke dunia. Entah mengapa, pada hari kematian bunda gue nggak nangis, sedih tapi tanpa air mata. Gue ikhlas bunda pergi, sebab gue sudah cukup tersiksa melihat bunda sakit menahun. Habis air mata yang banyak gue tumpahkan selama merawat bunda. Berakhir, gue menjalani hidup berdua dengan ayah hingga kini.

Doa selanjutnya yang terkabul ada bersama nama panggilan gue yaitu Anan. Diumur yang baru menginjak 21 Tahun, gue banyak disegani temen-temen sekitar lingkungan. Gue nggak tau apakah doa memang harusnya spesifik. Sebab gue yang biasa dipanggil Nan ini udah jadi ketua geng yang dimata orang-orang hal negatif.

Akibat yang harus gue tanggung kali ini adalah tempat nongkrong kena razia dan siapapun yang ketangkep harus masuk penjara. Butuh orang tua buat ngeluarin dengan bayar denda.

Akhirnya gue bisa bernapas lega setelah mendongak lalu mendapati ayah yang berdiri dengan tatapan begitu kecewa di luar jeruji besi.

Sampai di rumah, ayah belum mengucap satu kata pun. Masih beliau dengan wajah kecutnya. Gue melihat ayah keluar dari kamarnya dengan kaus putih tipis dan bawahan celana training panjang. Tanpa pedulikan sekitar dia segera buang baju kerjanya ke rak cuci, lalu dia ambil handuk mandi dan segera memasuki kamar mandi. Lima belas menit ayah keluar dengan wajah segar, dia gantung kembali handuk biru yang entah sejak kapan dia pakai. Ayah menuju kulkas, mengambil beberapa bahan masakan dan memproses semuanya sendiri, tanpa suara. Biasanya, gue akan menawarkan diri untuk membantu. Namun, untuk yang satu ini gue harus paham bahwa semua yang ayah lakukan adalah bentuk coping mechanism beliau.

Setelah masakan sederhananya mendarat di meja, satu kata pertama muncul.

“Makan, bang!”

Seperti janji ayah beberapa waktu lalu, ayah bakal masak buat quality time hari ini. Meksipun tanpa obrolan ringan, meskipun tanpa pertanyaan random ayah tentang gue, meskipun tanpa cerita dia tentang bosnya yang banyak demanding.


Ayah akan ngobrolin semuanya saat dia dan gue sudah tenang. Beliau itu paling pinter cari timing, beliau belum pernah meleset, kelepasan emosi membumbung tinggi saat hadapi gue yang beranjak remaja.

Mungkin, malam ini segalanya jadi serba salah. Perhitungannya kurang tepat, gue yang sedang dipuncak kenakalan remaja, dan ayah yang udah kelewat muak sama pergaulan gue.

“Abang, kalau ayah minta tolong berhenti bergaul sama teman-teman abang boleh nggak?” Kalimat pertamanya dengan lantunan tenang.

Tapi maaf ayah, anak lanangmu ini bukan yang punya banyak teman. Gue bukan yang pintar bergaul. Gue dengan berbagai title kehormatan di lingkungan gue, nggak akan semudah itu untuk ngundurin diri.

“Maaf, abang nggak bisa.”

“Bang, teman kamu itu gak baik. Lihat kamu barusan gimana. Bukan sekali dua kali ayah dilaporin begini.”

Ayah nggak salah, tapi gue juga nggak mau nurut semudah itu. Ini dunia gue, ini kenyamanan gue.

“Ayah gak pernah kekang kamu, bang. Tapi kamu udah keterlaluan, ayah capek, ayah banyak pikiran.”

Dan gue beranjak kasar hingga kursi yang gue duduki terdorong kebelakang dan jatuh, menimbulkan suara gebrakan kuat.

“Abang juga capek, yah. Capek nungguin janji-janji ayah. Capek dengerin ayah bikin janji yang sampai sekarang nggak ada buktinya. Abang kesepian, ini dunia abang, ini kesenangan terakhir abang. Ayah pikir siapa yang akhirnya nemenin abang ketika ayah ingkar sama janji sendiri. Mereka yah! Temen-temen abang! Ayah pikir siapa yang bikin abang nggak punya keputusan lain buat join sama mereka?! Abang sendirian yah, abang cuma punya ayah, tapi ayah nggak ada waktu buat abang!”

“Anan!!!”

Dan upaya dari mengatur emosi beliau hancur lebur seketika.

“Kamu pikir ayah kerja mati-matian untuk siapa? Hah? Ayah gak punya waktu itu kerja bukan main-main. Ayah punya tanggung jawab buat nafkahi kamu! Buat cukupi kebutuhan kamu!”

“Tapi Abang cuma minta waktu ayah sedikit... nggak bisa kah? Abang cuma minta sedikit buat abang ngajuin pertanyaan abstrak yang abang belum paham tentang jadi dewasa. Abang juga nggak mau tersesat, tapi abang nggak ada pilihan.”

Gue pergi, ninggalin ayah dengan beban pikirannya. Ninggalin ayah dengan emosi yang belum beliau ungkapkan.


Di hari penuh tekanan seperti ini yang paling gue pikirkan adalah sosok bunda. Gue berharap bunda ada di antara kita. Gue masih berharap keluarga gue sekarang lengkap.

Kalau bunda masih ada, akan seharmonis apa keluar gue?

Kalau bunda masih ada, akan menjadi apa gue sekarang?

Yang pasti ketidakhadiran bunda bikin gue jadi anak yang emosinya nggak stabil. Anak yang kalau emosi memilih keluar rumah, night drive ngebut-ngebutan, terakhir berhenti di antah berantah sambil nyalain batang penuh kenikmatan.

Ketika mencoba menyalakan korek api, gue dikagetkan dengan kobaran berlebihan. Mata gue sontak menutup sebab takut api. Ketika insting gue berkata aman, perlahan gue buka kembali. Aneh, dunia jadi silau. Dua netra gue menyipit berusaha menyesuaikan keadaan.

Anjing! Lampu mobil bajingan mana yang sesilau ini?!

Gue akhirnya bisa melihat setelah cukup lama beradaptasi. Dari kaca spion gue cukup kaget diperlihatkan sebuah video kehidupan. Mereka adalah dua sosok lelaki dewasa, tengah bercerita dengan tawa bahagia.

“Siapa?” Gumam dalam hati.

Lalu, di antara mereka sosok remaja ikut hadir, disambut hangat oleh keduanya. Keluarga ini seperti yang gue impikan.

Gue hanya bisa terbelalak ketika wajah remaja itu berhasil diperlihatkan... Itu, gue?!


`hjkscripts.