kembali.


Mark Point of View

Masa paling bahagia dalam hidup gue ketika jadi salah satu dari jutaan bayi yang dibuang akibat bejat orang tuanya dan dipilih untuk diadopsi. Gue mungkin gak akan inget gimana waktu pertama kali bapak dan didi datang ke panti asuhan tempat gue bernaung. Terpenting saat dewasa kini gue bisa tinggal di rumah bagus, serba kecukupan bersama dua orang tua yang sayang tak terhingga.

Bahkan saking bersyukurnya, tatkala orang tua gue memberitahu fakta asal-usul gue, bukan kecewa yang hadir bersarang melainkan kelegaan. Gue lega sebab ditakdirkan ketemu mereka. Hingga saat ini gue pun dua orang tua gue gak ada terbangun tembok tinggi yang membatasi.

Kita setuju bahwa darah yang mengalir di tubuh masing-masing berasal dari sumber yang sama. Darah gue adalah percampuran kasih sayang bapak dan didi yang telah mereka bangun. Gue juga sebagai peran utama dari kisah perjalan cinta mereka.

Sedikit yang gue ceritakan di atas mungkin bisa jadi kisah menyentuh hati. Kalo ada award buat keluarga terharmonis, gue yakin nama bapak akan dipanggil buat nerima penghargaan. Tetapi, yang namanya hidup berumah tangga gak ada yang sempurna. Sebagus apapun rumah tampak luar, mau dibangun sekokoh apapun dengan menghadirkan perancang paling kompeten dibidangnya, pas lu masuk ke dalam pasti ada cacatnya. Entah ruang tamunya berantakan, entah dapurnya terciprat noda, atau ada lubang kecil di dinding bekas paku penyangga pigura.

Sama keluarga gue juga gitu kok. Gue pernah diceritakan bahwa dinamika cinta bapak dan didi gak seindah omongan orang. Gampangnya mereka berdua kehalang sama etnis. Bapak yang asli orang Jawa dan didi punya darah china. Akibatnya gue juga jadi korban. Gue cukup mengerti dan paham buat maklumin, seenggaknya orang tua gue beneran udah resmi menikah. Jujur gue juga pengen disayang sama oma dan opa, pun ketimbang begitu gue mencoba untuk mengurangi nafsu. Bagi gue sayangnya bapak dan didi sudah cukup.

Baru gue ketahui tentang fakta sesungguhnya bahwa perkara ini lebih rumit daripada keliatannya. Menjadi saksi orang tua gue berantem selepas dari acara bikin gue kaget bukan main. Cerita masa lalu itu gak sependek apa yang pernah gue dengar. Cerita masa lalu itu gak berhenti sampai di situ. Kisah itu masih diputar hingga detik ini. Bapak dan didi memang menikah, namun mereka juga berlari meninggalkan masalah.

Dan setelah gue telaah lebih jauh, sebagai anaknya pun gue bingung gimana cara atasinya.


Beranjak sejenak dari atas tempat tidur mungkin bukan satu solusi buat nyelesein perkara. Tapi beranjak dari kasur buat duduk di boncengan motor cowok satu ini mampu menghilangkan sejenak beban derita. Wajah dan kepala gue yang tak terlindung apapun, diterpa angin malam yang tengah bergerak konstan seakan mereka juga membawa pikiran buruk di dalamnya.

Gue melingkarkan dua lengan dipinggang cowok yang lagi fokus liat jalan. Selanjutnya, kepala gue mendadak berat yang membuat gue mau gak mau membagi beban di atas bahunya. Biasanya cowok ini bakal ngomel, terus lengan gue diceples, paling ngeselin dia gerak-gerakin badannya biar gue mau ngelepas. Namun hari ini, seolah dia sadar lantas dengan sengaja menawarkan diri untuk bahunya dipinjam.

“Jangan tidur!” Katanya kenceng. Bahunya dia gerakkan sedikit takut gue ngantuk.

“Enggak,”

Gue merubah posisi kepala sedikit. “Gue gak tidur.”

“Abis ini nyampe rumah!” Sahutnya gak nyambung. Yakin dia gak denger jawaban gue.

“Gue gak mau pulang.”

“HAH?!” Beneran deh, dengerin musik rock kelamaan gak bagus buat pendengaran.

“Gue gak mau pulang, Nakunta!” Kata gue lebih keceng.

“Pulang aja, udah malem takut didi lo khawatir. Besok gue ajak keluar lagi kalo masih suntuk.”

Ya udahlah gue pasrah. Toh mau ngajak keluar sobat kampus gue juga lagi mager buat motoran sendiri. Bisa jadi gue sama bapak gak ada bedanya, lari dari masalah. Paling parah nanti ditambah mabok.

Sampai di depan pager, Nakunta langsung pamit balik. Rasanya hampa ketika melihat motor dan pemiliknya perlahan menjauh. Gue menghela napas sebentar, persiapkan mental buat masuk ke rumah.

Bangsat!

Gue mengurungkan buat buka pintu ketika ada suara bapak dan didi yang lagi ngobrol pakai suara tinggi di dalem. Doa beserta harapan gue di jalan mungkin ikut kebawa angin atau jatuh kelindes mobil. Gue berharap bapak udah pulang ke rumah. Iya bapak udah pulang tapi maksud gue bukan gini. Gue maunya disambut, ditanya abis darimana sama siapa? Ditanyain udah makan apa belum? Enak atau nggak makanannya yang akan berakhir sebuah ajakan.

malam minggu kesana bertiga, yuk!

Pupus sudah angan gue. Hancur sudah rasa percaya diri yang sekuat tenaga gue bangun. Sekarang ketakutan itu datang lagi, mengitari diri gue yang berakhir terduduk di lantai teras. Pertanyaan itu menghantui gue kembali.

Apakah keluarga gue akan baik-baik saja?


Job Point of View

Gue sudah ada di rumah sebelum Bas kembali dari healing sejenak. Dia pasti kepikiran, gue kenapa bocil banget yak pake kabur segala.

Bas dateng, gue patut berterima kasih sama dua sobat terbaek sepanjang masa yang udah bantu jagain suami gue. Seenggaknya masih ada sedikit senyum yang tersisa. Waktu dia masuk dalam rumah dan lihat gue hal pertama yang dia lakuin adalah memanggil nama gue gak percaya. Selanjutnya ada gue yang inisiatif peluk dia juga minta maaf.

Kita akhirnya baik.

Masalahnya hari ini gak cukup sampai di pelukan sayang. Setelah keadaan cukup tenang, gue rasa inilah saatnya untuk mengutarakan. Gue ajak dia duduk gak lupa sama teh anget.

Biasanya situasi nyaman kayak gini persen berhasil dan maksud tersampaikan jadi besar. Tapi, realita belum tentu mengijinkan. Ternyata, masalah keluarga gue belum boleh finish digaris ini.

“Aku boleh ngomong sesuatu ya, sayang?” Bas mengangguk mempersilahkan.

Gue tentu masih inget jelas ketidaksengajaan tadi pagi. Ketemu kakaknya Bas juga menjadi kunci pembuka jalan pikiran gue. Setelah gue merenung, gue baru menyadari kalo penjahat utamanya di sini adalah gue.

Gue yang tanpa sengaja mengambil seorang anak dari dekapan sayang mamanya. Bertahun-tahun mereka gak bisa ketemu sebab anaknya gue bawa jauh dari jangkauan.

“Aku tadi ketemu Kak Clara,” Gue berhenti sejenak, tatap lamat perubahan ekspresi suami gue.

Setelah gak ada tanggapan berarti gue lanjutkan, “Kakak kamu cerita banyak tentang kamu sama mama. Aku yang jahat ya, sayang?”

“Maksud kamu?”

Gue angkat tangan kanan, gue belai pipi berisinya perlahan. Obsidiannya bergerak seolah sedang mencari jawaban pada punya gue. “Aku yang jahat udah pisahin kamu sama mama bertahun-tahun.”

“Huh,”

“Aku masih gak paham sama kalimat kamu, kak.”

Dari pipi turun menuju bibir. Gue usap ranum daging merah muda itu perlahan.

“Mama sampai pindah ke Surabaya demi kamu. Mama cuma kangen sama kamu.”

Lalu dari bibir, gue menggenggam kedua tangannya. Gue selipkan jari-jari gue disela milik dia. Gue patri tiap lekuk wajahnya, gue pahat dalam memori.

Gue takut, keputusan yang telah gue buat bikin dia membenci gue dan gue gak akan bisa ngelihat dia lagi.

“Kamu,” Gue senyum meskipun sulit mengungkapkan kata-kata.

“Kamu kembali ya ke mama. Kembali ke keluarga kamu.” Ucapku putus asa dibarengi satu bulir bening luruh dari pipinya.

Belum sempat gue usap, genggam tangan kita dia hempaskan begitu aja. Dia berdiri, menatap gue dengan begitu kecewa.

“BERANINYA KAMU!”

“BERANINYA KAMU ANGGAP PENGORBANANKU SELAMA INI SEPELE!”

Gue ikut berdiri, mencoba meraih jemarinya lagi. Gue masih ingin ungkapkan beberapa kata lagi. Namun, Bas terlanjur banyak kecewa.

“Cuma ini caraku buat tebus dosa ke orang tua kamu.” Gue membela diri.

“Pengecut! Brengsek kamu! Aku kira dengan kamu pergi, dengan banyak waktu untuk berpikir di luar sana bikin kamu paham maksud aku. Ternyata aku salah, aku salah ikuti kata-kata dari lelaki pengecut kayak kamu.”

“Aku seneng banget kamu pulang. Aku kira kita akan ngobrol dengan hati tenang. Aku kira ngobrol kita akan saling nguatin satu sama lain. Aku kira setelah acara sakral ini kita akan setuju buat berhenti lari dan menghadapi. Apa ini? Dari sekian banyak opsi kamu pilih menyerah.”

“Bas denger duluㅡ”

STOP!” Sunyi senyap jadi soundtrack utama dari adegan menegangkan.

“Aku muak,” Katanya. “Kamu mau aku pulang kan? Fine, aku bisa pulang sendiri tanpa kamu anter.”

Malam ini sekali lagi gue hancur.


`hjkscripts.