satu ; nakunta
“Dari mana aja kamu?!”
Ketika gue tiba di rumah tepat pukul sepuluh, gak ada benda seberat apapun yang mampu meruntuhkan tembok ketegangan di antara kita bertiga. Gue, dad, dan tentu aja pap.
Inilah keluarga gue, si paling peduli dengan waktu. Si paling menjunjung tinggi quality time. Peraturan ini sebenarnya gak ada, gak tertulis. Namun, ini adalah sebuah komitmen keluarga yang harus dijaga.
Pap yang buat, dad dan gue sebisa mungkin tepati. Pun sebagai remaja, apalagi anak cowok berjalan menuju dewasa tentu butuh waktu tambahan lebih banyak daripada jam delapan malam.
Gue paham suara keras yang dad layangkan ketika kaki melangkah masuk bukan sebab larutnya dunia yang sedang menyelimuti. Namun, ketika dua bola matanya disajikan babak belur di atas permukaan wajah anak lanangnya.
“Kenapa sama muka kamu? Habis berantem? Iya?” Cecarnya dengan nada tinggi.
Gue geming, memilih bungkam. Gue bisa denger nada khawatir meskipun tatapannya mengintimidasi. Tetapi dad hari ini pilih jadi sekeras batu. Dia pilih meluapkan sedikit emosi daripada bertahan dengan ketenangan.
“Nakunta jawab!” Badan gue berjengit sebagai reaksi suara dad yang menggelegar hebat.
Pap berdiri di depan anak tangga terakhir. Gue menatapnya, mengirim sinyal bala bantuan. Lelaki itu menggeleng tanda ini bukan hari gue, lelaki itu agaknya juga ingin dengar segala alasan yang jadi latar belakang adanya diri ini sekarang.
“Aku gak berantem...” Jawabku akhirnya. Hari ini, malam ini bukan waktu yang tepat buat mengelak. Sebab, gue tidak sedikit pun menemukan ruang untuk pergi menyudahi.
“Barcode dirundung sama kating satu jurusannya. Aku lihat dan aku bantu.” Iya, ini Barcode yang sama dengan tetangga sebelah gue. Barcode yang gue panggil bocil.
Sesaat gue menjelaskan, hanya sunyi yang jadi iringan adegan menegangkan. Dad buang napas panjang dan berat sembari pijat pelipisnya.
“Tapi gak begini, kak cara mengatasinya. Kekerasan gak dibalas dengan kekerasan juga.”
“Terus aku harus gimana? Aku harus diem aja gitu lihat temen aku dirundung. Dad, aku tau gimana rasanya.”
Dan pembelaan gue bukan sebagai argumen yang akan menjadi closing party malam hari ini. Akan tetapi jadi topik perdebatan penuh emosi selanjutnya.
“Kamu bisa lapor keamanan kampus. Kamu bisa lapor aku, aku yang akan urus semua.”
Lihat, kan... dad dan segala kemampuannya. Gue tuh cuma ingin mereka berhenti kok. Gue juga gak ingin lihat dengan mata gue sendiri masa depannya direnggut semudah itu.
Lagi, gue ini cowok remaja. Cowok yang punya pride begitu tinggi, cowok yang seharusnya bisa berdiri bersama dua kakinya sendiri, cowok yang ingin dihormati karena aksi mandiri. Bukan, anak kecil yang terus menerus bersembunyi di bawah pandu orang tua bergelimang koneksi.
Kata pap, Nakunta kecil gak pernah tau konsep punya dad. Dad adalah orang asing dan pap adalah pusat semesta. Namun, seiring gue beranjak dewasa gue menjadikan dad sebagai role model juga partner in crime. Dia itu sosok paling rasional, ketimbang pap yang ternyata susah dimengerti. Gue paling jarang berantem kayak gini sama dad, gue paling jarang berbeda pendapat sama dia.
“I can handle it alone! Aku bisa bela diri aku sendiri. Aku gak butuh kamu untuk urus segala masalahku!” Suara gue semakin tinggi, penuh penekanan berharap lelaki yang jauh tua di hadapan gue mengerti.
“Mana buktinya kamu bisa bela sendiri?!”
“Memang kamu menang? Memang kamu berhasil lindungi teman kamu?!”
Shit!
Gue refleks mengumpat dalam hati. Gue memang kalah. Aksi heroik gue tadi diakhiri dengan gue yang dikeroyok tiga orang. Gue kalah, telak. Kabar gembiranya, si bocil gapapa, gak ada luka. Mau gimana lagi, gue bukan cowok yang menguasai jurus bela diri.
“Aku memang kalah, aku memang bukan kamu yang punya privilege yang mana kamu akan dihormati di manapun kamu berpijak. But, at least I'm trying to defend myself and Barcode with my own power. Seperti cerita ayah yang selamatin bunda dari orang jahat meskipun dia gak jago berantem.”
Shit! Lagi-lagi gue harus mengumpat, kali ini diikuti terkejut. Bukan hanya gue, juga pap sama dad. Gue gak tau datang darimana bisa bawa-bawa ayah dalam perdebatan gue dan dad. Iya, ayah gue yang hanya gue kenal dari banyak cerita yang dad bagi.
Gue bukannya menyadari kesalahan, malah semakin menyiram bensin dalam api berkobar.
“Ayah pasti akan bangga sama aku. Ayah pasti akan belain aku bukan marah seperti kamu sekarang.”
“NAKUNTA!”
“Mas?!”
Kedua mata gue sontak bersembunyi di balik kelopaknya ketika gestur tubuh dad bergerak maju mendekat. Gue belum pernah dihadapkan murka besarnya dad. Detik kemudian, gue sanggup buka mata sebab bukan pukulan melainkan pelukan pap yang gue rasakan. Padahal, sesungguhnya gue gak perlu khawatir, dad gak akan pernah main tangan semarah apapun, kedua tangannya akan dia sembunyikan di belakang punggungnya.
“Kamu masuk kamar sekarang.” Pap berkata dengan suara bergetar, dia nampak ketakutan. Gue mana sempat bertanya. Gue memutuskan nurut dan pergi ke kamar. Acuh dengan teriakkan emosi yang masih coba dad layangkan.
“Ayah kamu sudah gak ada! Aku yang punya kuasa di sini!”
Perasaan gue tentu campur aduk. Marah, sedih, bersalah, kesal. Semua itu berkolaborasi jadi satu dan gue konversikan mereka jadi satu bentuk bulir bening yang menetes deras, terus menerus bersama isakan emosional.
Gue menangis, sendiri, dalam sepi. Gue pandangi sosok ayah pada pigura kecil yang berdiri di atas meja belajar gue. Kangen, gue kangen akan sosok yang gak pernah gue kenal baik sebelumnya.
Kalau ayah masih ada, akan jadi keluarga seperti apa kita?
Kalau ayah masih ada, akan jadi ayah seperti apa dia?
Kemilau dari cermin memantul hingga butakan pandangan netra sejenak. Gue beranjak, dengan mata menyipit mendekati titik lokasi. Cahayanya kini berpendar minim hingga gue akhirnya bisa melihat lagi.
Cermin di depan gue bukan cermin yang biasanya memantulkan persis diri ini. Cerminnya kini memutar sebuah video yang belum pernah gue lihat sebelumnya.
“Ayah?” Gumamku ketika muncul sosok yang hebatnya percis seperti ayah dalam foto.
Begitu merindu kah diriku?
“Ayah!” Aku reflek memanggil, dibalas nihil.
Ayah di sana berjalan masuk rumah, masih lengkap dengan pakaian rapih. Dia terus melangkah hingga tiba di ruang tamu sederhana. Berdiri dengan senyuman dihadapan sosok anak lelaki.
Anak lelaki itu adalah... Aku?
`hjkscripts.