berlari.


Job Point of View

Berlari adalah tingkatan teratas dari fenomena perkembangan makhluk hidup. Berlari jadi salah satu dasar langkah menyehatkan tubuh. Berlari jadi kegiatan paling menyenangkan bagi gue. Namun, terlalu lama berlari buat terkuras habis banyak energi. Maka dari itu tercipta kegiatan yang disebut beristirahat.

Gue saat ini tengah di fase itu. Istirahat panjang hasil kompensasi waktu pelarian bertahun yang telah gue jalani. Gue berlari bukan sekedar berlari. Gue lakukan untuk kabur dari kenyataan.

Sabda banyak insan jikalau mau punya hubungan cinta romantis bergurulah ke gue. Jikalau ingin miliki rumah tangga harmonis dengarlah tiap petuah gue. Di dalam dunia yang seluruhnya tiada kekal banyak kekurangan, nasib hidup gue katanya paling sempurna.

Manusia memang boleh berkomentar sesuka hati, meskipun bahwasanya itu semua serba berlebihan. Hidup yang tengah gue jalani sekilas nampak sempurna. Pendidikan lancar, jodoh tepat bidikan, bekerja hingga keputusan untuk punya anak. Pun, gue ingin berteriak kalau dibelakang canda tawa yang gue bagi ada banyak ketakutan yang tengah gue simpan. Ketakutan ini berasal dari dia yang amat gue cinta.

Siapa sih gue? Dulu cuma mahasiswa biasa yang punya niat cuma cari title berharap dapet kerja gampang di masa depan. Cuma si sederhana yang mau angkat derajat orang tua berpendidikan akhir sekolah menengah. Gue si anak pertama dan satu-satunya harapan keluarga. Gue anak laki-laki yang dilahirkan dan dibesarkan mungkin sebagai alat peraih cita-cita orang tua yang belum sempet kesampaian. Inilah hidup sederhana gue. Dalam mindset gue tertanam demikian. Tujuan hidup gue ya bahagianya bapak sama ibu.

Masalah cinta-cintaan gue gak pernah mikir sampai sana. Namun, kalo lu pada nanya siapa cinta pertama gue. Jawaban gue akan jatuh pada sahabat gue sendiri. Nodt Nutthasid yang sekarang udah jadi suami bapak pejabat. Tapi gue gak akan bahas kisah gue sama dia. Gue akan bercerita tentang jatuh cinta pertama gue, dia si cowok keturunan chinese dari UKM wirausaha.

Gue harus cukup beruntung sebab berapa pun usaha gue dan Nodt dalam membangun hubungan percintaan berakhir jatuh dalam lubang pengertian. Gue dan dia menyadari di antara kita berdua gak ada status paling cocok daripada ikatan sahabat. Terlebih dewi fortuna kayaknya emang kesemsem sama gue, nempelin gue mulu sampe pendekatan sampis yang gue layangkan ke cowok pemilik nama Bas diterima baik sama dia. Kita pun berjalan, melangkah pelan dan pasti hingga tahap serius yaitu pernikahan.

Peliknya, ketika pertama kali gue bertandang ke rumahnya di Jakarta sebagai sosok teman baik, keluarga menyambut dengan ceria. Kedua kali, ketika maksud kedatangan gue untuk izin menikahi anak bungsunya disitu perhelatan sulit terjadi.

“Anak saya sudah ada jodohnya. Keluarga saya darahnya harus dijaga kemurniannya.”

Gak butuh banyak waktu buat menginterpretasikan bahwa gue ditolak sama keluarganya. Lelaki jawa kental seperti gue gak boleh jadi jodoh buat anaknya. Gue secara tegas dipukul mundur dari tatanan konstitusinya.

“Bas, aku mundur gak apa ya?” Pasrah gue kala itu. Gue tetep senyum, meskipun pahit. Gue tetep berusaha tegar, meskipun pengen nangis lihat cowok gue sesenggukan. Gue pengen peluk dia, tapi gue takut bakal sulit melepas dia.

Sampai sekarang gue masih bingung. Malam hari itu pelet apa yang lagi gue pake sehingga Bas punya pikiran akan terus bertahan sama gue.

Kala itu gue berdiri di atas garis start, ketika hitungan mencapai tiga, gue genggam tangannya, lekatkan jemarinya. Kita mulai berlari. Jalani hidup baru, menikah dengan sedikit tamu. Dia diwakilkan kakak tertuanya, sebab kami dimulai tanpa restu.


`hjkscripts.