true color of me.


Bible Point of View

Ketika keponakan gue selesai diperiksa, dokter menyarankan si bayi rawat inap. Katanya demam berdarah dari hasil tes jadi butuh pantauan dari rumah sakit.

Maka gue masih harus terjebak di gedung dengan aroma khas cairan desinfektan. Kakak ipar gue konfirmasi bahwa gue harus menunggu lebih lama.

Wanita cantik berjalan mendekati. Paras menawannya bahkan gak hilang sama sekali meskipun air mukanya nampak pucat pasi.

“Bang Ping bilang ke gue kalo kafenya masih chaos.” Gue menyampaikan informasi setelah menerima pesan lanjutan dari manusia di luar sana.

“Iya, ini chatnya baru masuk di aku.”

“Si adek mana?” Gue bertanya.

Kakak kandung gue satu ini gak langsung jawab melainkan menghela napas lemas. “Tidur di UGD. Ini masih nunggu kamar ranapnya baru bisa dipindahin.” Lirihnya.

“Oh.” Gue paham.

Kita berdua berakhir cuma duduk menunggu sambil ngobrol ringan. Terus gak kerasa kalau udah menunjukan jam makan siang.

“Ke kanti yok! Makan dulu.” Ajak gue dibales gelengan. Jadi ibu itu gini ya, katakan anaknya belum nyaman ya dirinya juga gak bisa nyaman.

“Lo aja dek, gue entar gampang. Takut adek bangun kasihan susternya nyariin.”

“Oke.”

Berjalan, gue berjalan menyusuri lorong tanpa ujung. Aneh banget padahal kantin ada di belakang yang aksesnya cukup mudah di tempuh. Namun, gue memilih untuk berputar-putar sebentar sembari menghirup udara bercampur bau obat-obatan.

Daripada rasa lapar, penasaran ini lebih besar. Gue jarang sakit jadi kurang lebih minim ingatan gue akan rumah sakit. Kalau pilek ya tandanya minta istirahat lebih, cukup tidur satu dua hari. Pun, pas pileknya parah milih jalan cepetnya aja ke klinik terdekat, dikasih resep, nebus di apotek ya udah kelar.

Rumah sakit bagi gue adalah tempat untuk dikunjungi. Nengokin temen, saudara yang lagi sakit. Terakhir gue ke sini pas keponakan gue baru lahir. Intinya gue datang sebagai orang sehat, belum pernah sebagai wali maupun pasien yang harus di rawat.

Dua kaki gue mendadak berhenti seolah punya insting. Lalu dia juga seolah memerintahkan obsidian untuk melihat ke arah depan tepat di bangku tunggu sebuah ruang dokter.

“Biu?”

Gue dengan percaya diri mendekat. Beneran mana ada gue sotoy, jelas-jelas ada Job sama Nodt juga. Mereka lagi ngobrol dengan suara khas mereka. Gue hafal banget.

“Atas nama Build Sumettikul.”

Kayak kesamber petir dibarengi bunyi geluduk gue seketika berhenti. Seluruh tubuh dikeburungi perasaan gak enak.

Hah siapa yang sakit?

“Biu!” Panggil gue.

Empat kepala seketika noleh ke arah sumber suara. Satu raut bingung, sisanya jelas kaget. Oh, ini tuh skenarionya gue gak tau ya?

“Bib...”

“Siapa?” Gue memotong ucapan siapapun yang mau coba jelasin. Gue udah paham pasti mau ngelak dengan segala alasan. Tapi gue gak mau disela, gue mau tau jawabannya.

“Siapa yang sakit?” Meskipun kalimat itu diakhir tanda tanya tetapi suara gue menuntut.

Mereka diem gak ada yang mau jawab. Maka netra gue mengedarkan pandangan untuk cari petunjuk.

Dr. Nattawin Wattanagitiphat, SpKJ.

“Bib akuㅡ”

“Kamu yang sakit? Kamu sakit apa, hah?!”

“Bib, hei!” Suasanya makin hening.

“Dengerin aku. Kalau kamu mau tau aku kenapa ayo ikut aku ke dalam. Tapi, pertama kamu harus tenangin diri kamu dulu.”


Build Point of View

Setelah sesi konsultasi dan mendengarkan diagnosa awal serta segala macem solusi treatmentnya. Aku dan Bible bisa bernapas lega. Enggak, gue bukan langsung sembuh tapi udah gak sanggup nahan sesek pas ceritain kisah gue dari awal sampai akhir.

Sejak awal konsultasi sampai sekarang lagi nunggu obat dia cuma diem. Bengong, kosong, lemes. Sel-sel dalam tubuhnya seakan malfungsi.

Pun setelah obat diambil dan administrasi selesai dia ngajak balik ke rumah. Seberapa besar pun aku ngajak buat ngobrol dia tetep bisu.

Aku beneran gak bisa apa-apa. Wajar banget dia marah, emosi. Gimana ya, dia perannya jadi suami. Terus, pasangannya punya masalah mencoba cari jalan keluar sendiri enggan berbagi. Yaudah pasrah, didiemin sampai hari sudah masuk jam tidur ya pasrah.

Setelah mandi Bible merebahkan tubuhnya di sampingku. Rambutnya setengah basah tanda dia udah gak mood bahkan sekedar ngeringin rambut pakai hairdryer.

Aku masih mau berusaha, at least menjelaskan sedikit mumpung belum jadi masalah gede nantinya. Aku berbalik, mengamati wajah damainya yang sudah tertutup matanya.

“Bib?” Panggilku berbisik.

“Shush..”

Bible merapatkan tubuhnya, dibentangkan satu lengannya sehingga cukup menangkup utuh tubuhku. Aku pun balik memeluk dia. Setidaknya Bible gak mendorong aku menjauh.

“Bib?” Suaraku sekali lagi.

“Tidur, gak usah dibahas sekarang.” Sahutnya pelan.

“Aku lagi marah, aku takut nyakitin kamu kalau tetep mau dibahas. Besok ya, tunggu emosiku reda dulu.”


`hjkscripts.