aku dan kesendirian.


Gaipa Point of View

Hancur berantakan, yang semula utuh telah melebur. Harapan itu, asa yang masih tersisa habis tiada. Sombong diriku, percaya diri sekali aku, mengira terbukanya dua kelopak mata jadi tanda bahwa semua akan kembali baik-baik saja.

Ya Tuhan, belum cukupkah? Berapa banyak lagi yang akan Kau ambil? Berapa banyak lagi yang harus aku ikhlaskan? Berapa banyak lagi yang harus aku sediakan hingga memenuhi kata cukup dan menyudahi penderitaanku sampai disini.

Aku lelah, air mata hingga enggan meleleh. Pusat tubuhku malfungsi sehingga yang lain ikut mati. Apa arti makan? Berdiri pula susah bukan main. Aku jatuh, terperosok dalam lubang yang digali tanpa ada ujung dasar juga tanpa secercah sinar. Gulita ketika mataku tertutup maupun terbuka.

Seseorang raih ragaku. Sebab berhentinya pusat kendali mendatangkan banyak pikiran semudah menyudahi hidup ini. Aku masih mencari remahan sekecil debu sebagai motivasi. Namun bila tak ada mungkin jawabannya adalah mati.

“Gaipa?” Panggilnya.

Suara itu aku tahu milik siapa. Dari sekian hiruk pikuk sekitar hanya miliknya, yang tengah melantunkan namaku mampu aku dengar.

“Gaipa!” Lagi dendangnya.

Kini tubuhku terguncang, lemah ragaku ada yang menopang. Komponen dalam diri mulai kembali berfungsi dan dingin hawa menyelimuti kini terganti hangat sebab dekap dadanya erat.

“Gaipa...” Lirihnya frustasi.

Iya, aku mendengarmu sekarang. Jelas, amat jelas. Kini aku menatap wajahmu yang penuh kekhawatiran ketimbang milikku yang sudah pasi.

“Alan.” Aku menyebut namanya. Nama sosok yang selama ini sering berkeliaran mengitari dunia sempit milikku.

“Maaf saya terlambat.” Katanya penuh penyesalan.

Kenapa harus minta maaf jika kematian ini aku juga tak tahu siapa yang patut disalahkan.

“Maaf ya saya terlambat.” Kali ini dia berbisik sembari dua lengannya menarik tubuhku lebih dalam pada pelukannya.

Aku akhirnya menyerah, menangis meraung melampiaskan segalanya. Aku lemah, aku tak lagi sanggup jauh melangkah, aku hilang arah, dan entah siapa yang akan memapah.

“Sttt.. it's okay, gak apa nangis aja. Lepaskan semua, saya disini untuk kamu.”

“Bu... Gaipa sendirian, bu...”

“Nggak Gaipa, ada saya. Saya selalu ada di sisi kamu.”

“Bu... Gaipa di sini sendirian.”

“Kamu nggak akan sendirian. Saya yang akan jaga kamu.”

“Mulai sekarang saya yang akan jaga kamu, Gaipa.”


`hjkscripts.