let the party begin.


TRIGGER WARNING ⚠️ MENTAL HEALTH DISORDER, ACCIDENT


Bagi Build menghadari sebuah pesta adalah kegemarannya. Bertemu dengan banyak orang, ngobrol sana sini. Ketawa berusaha mengisi kekosongan diri. Meskipun pulang nanti hati kembali hampa.

Build melatih dirinya sebelum membuka pintu mobil. Berkali-kali menatap figurnya dari cermin. Berapa banyak tipe senyum yang telah diperlihatkan.

“Sudah?” Bible bertanya. Lelaki itu dengan sabar menunggu Build yang tengah bersiap.

“Yuk!”

Kala memasuki taman, wajahnya mendadak masam. Harusnya dia sadar, ini bukan pesta anak muda melainkan sebuah perkumpulan orang tua. Tidak ada musik yang akan memimpin degup jantung. Hanya ada lagu berbahasa tionghoa dengan musik mendayu.

Bukan, bukannya dia sekarang jadi membenci pesta pun dia hanya membenci akan yang hadir di dalamnya.

“Kak Biu!”

Bagai tombol otomatis, senyum Build mengembang apik menyambut anak pemilik acara.

“Bas.”

“Berdua aja? Mama papa-nya Kak Biu sama Kak Bible mana?” Bas mengedarkan pandangannya terhadap sekitar. Nihil, sepasang lelaki hadir bersama bayangannya saja.

Bible menanggapi, “Maaf ya, Bas bunda sama ayah gak bisa dateng. Terus orang tuanya Biu juga sibuk.” Katanya sungkan.

“Oh,”

“Yuk, aku anter ketemu mama!”

Inilah momen paling tak disukai. Ketemu orang tua tuh kayak ketemu non player dalam game. Apa yang mereka ucapkan sudah sesuai setting pabrik. Sekali kalian bakal dengerin, kedua, ketiga, hingga seterusnya bikin kesel yang akhirnya memilih tombol skip.

“Ma, ini Kak Biu sama Kak Bible.” Bas memperkenalkan.

“Selamat ulang tahun ya, Ai. Semoga sehat selalu panjang umur.”

“Makasih loh udah mau dateng di acara sederhananya Ai.”

Pertama, beliau bakal senyum sambil memperhatikan paras si muda. Kedua, beliau bakal nanya pertanyaan dasar kayak umur, alamat, dan kerjaan. Terakhir, inilah saatnya.

“Biu sama Bible anaknya mana kok gak dibawa?”

Build senyum kagok, serba salah kalau udah terjebak di situasi demikian. Diam bukan solusi, jawab nanti balasannya nyakitin hati.

“Belum ada, Ai.” Bible menyahut pelan.

Ditanggapi begitu tentu menghasilkan raut wajah tak puas dari wanita yang kini menginjak 85 tahun.

“Loh kok belum? Kenapa? Ini cucunya Ai aja sudah ada yang menikah. Lihat itu Mark, harusnya anak kalian sudah sebesar itu.” Nah kan dibilang juga apa.

“Ma, gak boleh ngurusin hidup orang ah.” Bas nyoba menengahi, namun apa daya kalau orang tua sudah berbicara. Gak ada cela diantara kita.

“Punya anak itu penting loh. Sumber kebahagiaan, sumber berkah. Nanti siapa yang temani waktu udah tua kayak Ai kalau bukan anak.”

“Iya, Ai. Makasih wejangannya.”

“Nah gitu. Mulai dipikirkan terus ambil keputusan segera.” Keduanya mengangguk pasrah.

“Sudah sana sekarang dicobain resep masakan rumahnya Ai. Dijamin enak, yang masak kepercayaan Ai semua.”

“Sekali lagi makasih ya, Ai. Saya sama suami permisi kesana dulu.”


Menyendiri, kali ini Build memilih memisahkan diri dari kerumunan bersama minuman entah namanya. Ia harap ada alkohol di sini. Setidaknya ruwet di dalam pikiran bisa hilang teratasi.

Berkali-kali hembusan napas berat gak bisa dia tahan untuk lepas begitu saja. Pemandangan dihadapannya sungguh membahagiakan pula menyiksa. Kenapa ya manusia punya budaya mendandani anaknya segemerlap mungkin hanya untuk bertemu dengan seseorang yang asing bagi mereka.

Ketika di lokasi, yang mereka lakukan hanya cukup diam memasang senyum menawan. Sementara, dua pasang orang tua sedang beradu melempar bakat anaknya masing-masing dengan nada dibuat seramah mungkin meskipun dalam hati merapalkan banyak makian. Begitu menyebalkan.

“Kak Biu! Aku cariin di sini ternyata.” Build berbalik, menyerahkan seluruh atensi pada lelaki pemilik senyum terbaik.

“Kak Biu kok gak gabung sama Kak Bible di sana? Udah ngumpul tuh ada Kak Nodt sama suami aku.”

Bas, bas kok bisa malaikat secakep kamu jadi jodohnya Job. Batinnya dalam hati.

“Kak?”

“Ehㅡ”

“Iya... Iyaa nanti aku ikut gabung.”

Bas masih di sana, berdiri entah untuk apa. Bingung juga mau ngobrol apa sama temen baik suaminya ini. Dia belum pernah ada di situasi benar-benar sendiri dengan Build ataupun Nodt.

By the way kak?”

“Hm?” Build berdeham meski dua netranya melalang buana. Lebih tertarik memperhatikan balita yang tengah bermain balon.

“Aku minta maaf ya soal omongan mama tadi.” Cicitnya kecil, takut-takut Build begini akibat tersinggung.

Build nampaknya abai, well dia mendadak lupa aja lebih asyik mengisi memorinya dengan gerak-gerik lucu.

“Kak Biu, ayok main bola!”

Ia mendadak sendu. Kata-kata terakhirnya Build dengar ketika dia sebesar badan anak itu. Terakhir Build melihatnya dia masih sebesar itu.

Build kini bangkit dari alam sadar. Menyadari netranya telah kosong kehilangan objek penelihatan.

“Kemana?” Dirinya panik. Mengedarkan hanya dua miliknya seksama.

Sialan, hasilnya nihil. Anak itu entah ada dimana. Build tanpa sadar beranjak dari tempatnya berdiri. Berjalan panik menabrak apapun seperti orang mabuk.

Orang disekelilingnya memperhatikan Build aneh. Beberapa marah sebab setelan mahal berubah jadi basah tanpa sengaja. Namun, Build tak berhenti. Semakin panik kesetanan kala belum menemukan sosok kecil yang dia perhatikan.

Lalai, lagi-lagi Ia lalai. Menjaga satu anak kecil saja gak becus. Menjaga anak orang lain saja gak bisa, gimana mau rawat anak sendiri.

“MINGGIR! SEMUA MINGGIR!” Teriaknya kala akal sehat mulai hilang ditimpa emosi. Build menangis histeris sembari sibuk mencari. Bahkan Beberapa teman yang coba menahannya ditepis begitu saja.

“Dimana?! Kamu dimana? Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!”

“Biu!”

“Lepas! Lepas nanti dia mati!”

“Biu! Hei! Lihat aku!”

Nggak, Build menolak. Menggunakan sisa tenaganya keluar dari dekapan Bible.

TIN! TIN!

Lelaki kacau kini berlari, sekuat tenaga secepat yang dia bisa.

“MAMA!!!!!”

Adegan selanjutnya semua yang ada di sana bahkan tak ingin menyaksikan. Hingga mobil tak tau diri melintas dengan kecepatan tak terbatas lewat tanpa hambatan.

Bible jadi orang pertama yang berlari menuju sebrang. Membantu Build dan si anak berdiri serta meneliti bagian tubuh keduanya.

“Bib?” Build memanggil terbata. Ia kosong, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

“Gakpapa, udah gakpapa. Kamu tenang aja. Kita pulang, nanti aku obatin lukanya”

Hanya kalimat itu yang mampu Bible utarakan.


`hjkscripts.