FSOTUS : si penghuni dari luar negeri.


LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC

Henry Point of View.

Tertutup kelopak mata, jatuh aku di lubang tanpa cahaya. Menarik napas lalu dihembuskan hingga tenang melanda. Dua daun telinga diam tanpa gerak menangkap kosong suara. Di atas alas anyaman bambu duduk bersila aku di sana.

Aku memutuskan pergi lagi dari istana. Pengalaman pertama kembali datang kemari membuat aku tak berhenti terpesona. Bisa-bisanya aku tidak fokus dalam membaca. Malah terpikir bunyi damai di pondok meskipun tidak berbuat apa-apa.

Hari ini tepat Main Castle berumur 177 tahun, begitu juga umurku yang bertambah satu menjadi genap seperempat abad aku telah hidup. Sejak jam 12 dini hari aku menetapkan lomba, siapa juara ucapan ulang tahun paling banyak. Apakah aku atau negara? Jawabnya tepat bisa ditebak bahkan sebelum menuju hari selanjutnya.

Pertama yaitu Beatrice dan yang kedua adalah Uncle Lee ketika aku sampai di sini. Hadiah? Ayolah, aku cukup bersyukur ada dua orang yang mengucapkan. Jangan berharap lebih sebab hidup sekarang bukan lagi tentang mengharap melainkan jalani saja apa yang ada.

Tap Tap

Telingaku bergerak, terusik akan suara langkah kaki beradu dengan lantai bambu. Suaranya cukup mengganggu, mereka bergerak gelisah tak tentu arah.

“Pak Lee?!”

Uggh! Aku benci siapapun pemilik suara ini. Seseorang yang juga minim tata krama seolah tak peduli di dalam ruangan ini ada manusia yang mencoba mencari ketenangan.

“Pak Lee!!!”

God Lord!

Aku membuka mata akhirnya. Mengakhiri sesi meditasi sesaat guna menanggapi orang tak tahu diri agar cepat pergi dari sini. Dia yang masih berlalu lalang mengelilingi ruangan utama dari pondok bambu, yaitu rumah Uncle Lee seperti seorang pemilik.

“Uncle Lee sedang keluar sebentar.” Aku menyahuti.

Dia berhenti tepat di hadapanku, bergeming sebentar dengan ekspresi bingung mungkin dilengkapi kaget dan dua tangan berkacak pinggang.

“Lo siapa? Kenapa di sini?” Dia malah bertanya dengan suara angkuh. Aku bungkam malas menanggapi.

“Kamu butuh apa? Bilang aja nanti kalau Uncle Lee sudah datang akan saya sampaikan.” Putusku begitu. Lelaki itu bukannya menjawab pada posisinya, melainkan maju mendekat beberapa langkah. Dia menjelaskan, “Keran air panas di kamar gue macet lagi.” Begitu katanya. “Noted.” Aku mengangguk mengerti.

Dan entah kenapa kita berdua malah terjebak pada situasi canggung. Aku yang gak mengerti harus bagaimana menjawab lagi, sedangkan dia yang kalang kabut sendiri mencari jalan untuk mengakhiri percakapan singkat dan bagaimana tata cara berpamitan pergi.

“Oke.. iya, gitu. Kalo gitu gue keluar sekarang dan biarin lo sendiri di sini.” Kalimatnya gugup. Begitu pula dengan gerak tubuhnya. Kaki yang gak mau sinkron dengan pengendali pusat, buat dia tampak bodoh di depanku. “Hmm.” “Lo beneran gak apa kan gue tinggal sendiri?” “Sure.” “Oke.. right, sorry gue pergi.” Pamitnya entah keberapa kali, namun kakinya membawa tubuh jangkung itu ke arah dalam rumah bukan pintu keluar. “Pintu keluarnya ke arah sana.” Aku memperingatkan dan dia senyum malu sebelum benar-benar keluar.

Kupastikan dia hilang dari pelupuk mata sebelum aku kembali menarik napas kuat dan menghembuskannya sembari menutup mata. Akuㅡ

“Hei, maaf mengganggu lagi,” Sosok itu kembali muncul. “Uhh, jangan lupa sampaikan juga yang membuat laporan bernama Alex dari kamar nomor lima.” Aku terpaksa senyum, berusaha mengontrol emosi. “Alex nomor lima. Done and done.” “Thanks.”

Aku mengulang kembali kegiatanku dari awal. Menarik napas daㅡ

“Kayaknya gue nunggu Pak Lee di sini aja deh sama lo. Bosen banget di kamar gak bisa mandi.”

OH MY GODNESS PLEASE HELP ME.

Kalau begini caranya apa beda riuh lantang di jalan dan di sini. Sama-sama kacau, bahkan parahnya lagi pengacau di tempat ini hanya satu orang. Dan orang itu yang sekarang malah duduk di sampingku seolah kita berada di suatu bilik sempit sesak tanpa ruang sisa.

“So, kalau gak salah liat lo cowok yang kapan hari ke sini kan? Muridnya Pak Lee juga? Sejak kapan?” Terlalu banyak bukan? Ayo sabar, ini adalah ujian. “Yes.” Aku membalas singkat.

“Lo ke sini masuk kelas apa? Setiap hari apa? Kok gue baru ngeliat lo kemarin?” “Meditasi. Kalau kamu mau tau kelasnya, kamu sedang ada di sana. Tepat di atas alas bambu ini khusus untuk meditasi dan berbicara panjang lebar adalah hal utama yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang mengikuti kelasnya.”

“Oh, wow haha,” Dia malah tertawa geli. “Peace, okay? Gue cuma lagi excited akhirnya ketemu orang selain Pak Lee yang bisa diajak ngobrol secara langsung. Abis negara lo aneh bro, gue dateng ke sini ngajak temen cewek ya at least gue ada temen ngobrol, ternyata kita gak bisa satu lokasi rumah. Lagi, dibeberapa tempat ada pembedaan secondary gender. Demi mengurangi kejahatan apalah-apalah, di Amerika rumah gue santai aja tuh.” Aku kira dia sudah selesai bicaranya, tapi dia melanjutkan, “Oh iya nama gue Alex. Alex Claremont-diaz. Kalo lo tipe yang rajin nonton berita pasti tau gue siapa.” Tambahnya dengan menyodorkan tangan.

That is so annoying of him. Aku hanya melirik tangan dan rupanya bergantian, memberikan seulas senyum semata. “Nice to meet you.” Aku menjawab singkat.

“Man, you're playing hard to get for what? Look, gue ini lawyer dan anak orang nomor satu di Amerika. Gue bisa jamin gue bukan orang jahat danㅡ”

“Hey... hey- Alex? Right?” Aku potong kalimatnya sebelum dia membual tentang hal diluar nalar. “Kamu mau apa dari saya?” Tanyaku pasrah. “Nggak ada... gue kan cuma mau nunggu Pak Lee di sini.” “Oke baik. Tapi bisa nggak kamu beri saya ruang sedikit. Kita punya tujuan yang berbeda di sini. Kamu bisa tunggu Uncle Lee di meja sebrang sana dan saya harus melakukan yang saya harus lakukan di sini, mengerti?” “Sorry.” Cicitnya.

Lega rasanya dia paham apa yang aku maksud sehingga dia langsung beranjak, menduduki bangku di sisi lain ruangan. Setelah ini siapapun yang akan mengganggu harus siap-siap mati terbunuh.

“What's your name anyㅡ” “SHUSSH!!” Belum ada lima detik, bibir juga belum kering dari liur. “Kalo boleh tau lo tinggal diㅡ”

“OH GOD LORD PLEASE I CAN'T DO THIS AGAIN!” Aku menyerah. Lebih baik pergi dari sini dan pulang melanjutkan chapter buku tersisa.

Pergerakan serta langkahku terburu sepertinya membuat Alex panik. Dia mengayunkan kaki panjangnya, berjalan sama cepatnya mengejar diriku yang hampir mencapai setengah lorong arah keluar.

“Hei! Hei! God, dude gue minta maaf.” Ungkapnya setelah berhasil menahan lenganku. Aku sudah tidak butuh kalimat maafnya. Alex terlalu menyebalkan sebagai seorang manusia. Bahkan telah hilang perasaan sungkan untuk menunjukkan raut kurang bersahabat ketika berbicara menatap wajahnya.

“Sekali lagi, kamu mau apa dari saya, huh?” Suaraku tegas dengan nada suara dibuat sedikit lebih tinggi.

Namun, Alex seperti tidak mengindahkan suasana kaku yang tengah aku bangun. Dia dan wajah menyebalkan dan senyum seolah menggoda. “Nama, gue cuma mau nama lo.” “Henry.” “Henry?” “Fox.” “Beautiful. Henry Fox.” “Rumah lo?” “Palace.” “Secondary gender?” “Pardon?” “Nomor telfon lo berapa?” Gerak tangannya mengeluarkan gawai dari saku, jemarinya siap sedia menangkap angka yang akan keluar dari mulutku.

Belum terdengar apapun, pandangan Alex mendongak memeriksa ekspresi wajahku. Aku bisa melihat bulu matanya yang panjang bergerak mengikuti terbuka-tutup kelopak matanya.

Dan aku tertegun dengan ekspresi yang aku sendiri tak bisa deskripsikan tatkala senyum jahilnya merekah lengkap dengan terbentuk lesung pipit di samping wajahnya.

“I..i am- i'm leaving.” Berpaling, aku ingin cepat pergi dari posisi ini. “Tunggu!” Alex menahan sekali lagi. Merogoh saku lain mengeluarkan kertas persegi panjang kaku dengan beberapa informasi di dalamnya. “Karena lo gak mau ngasih nomor lo sendiri, biar gue yang dengan senang hati ngasih nomor gue buat lo. In case lo butuh temen ngobrol atau temen ya sekedar mungkin ngajak gue jalan-jalan di sekitar sini.”

Dia berhenti sejenak, mengambil napas dan dihembuskan cepat sebelum melanjutkan lagi, “Please, call me Henry.”

Aku buru-buru melanjutkan langkah yang sempat banyak tertunda sebelum Alex menghentikanku lagi. “Anyway Hen!” Teriaknya dari jauh dan bodohnya otak pintarku memerintahkan kerja kedua kaki untuk berhenti. Kedua, dia juga memerintahkan leher untuk menengok dimana Alex berdiri.

“I love your scent by the way. Text me the brand!”


`hjkscripts.