rumah bambu kita bertemu.
LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC
Henry Point of View.
Aku bebas meskipun hanya sementara. Setidaknya ide Beatrice menyarankan aku pergi sejenak dari istana tidak buruk juga. Melalui lubang kecil di tembok bagian belakang yang tertutup rimbun tanaman. Lubang yang menjadi saksi frustasi dan kelemahan seorang pangeran.
Philip muda yang pertama kali memulai dengan tekad. Mencuri alat berat dari tukang kebun di malam hari. Kala itu aku ketakutan sebab menjadi saksi. Naas dia gagal karena kuat tekad belum sekuat tenaga.
Dua tahun setelah palace mengumumkan kematianku. Hanya trauma yang terus menerus menemani hariku. Berada dalam luas kamar rasa belenggu. Aku tidak puas hanya menikmati waktu kian berlalu.
Sama seperti Philip, aku memulai satu langkah dengan tekad. Namun aku yakin kemauanku lebih kuat. Tukang kebun tidak pernah belajar, masih sama meletakkan berbagai alat berat di tempat serupa.
Aku berjalan ditengah kacau gemericik hujan. Tetesan besar tak terasa sakit walau mereka berlomba saling menampar wajah.
Aku tak gentar, walau tau apa yang nanti harus aku bayar. Malam itu aku berhasil keluar, berlari, menari diiringi irama musik gemuruh yang hampir membuat bumi bergetar. Terakhir aku terkapar, di atas permukaan tanah kotor dan basah sembari menikmati bulan yang bersinar.
Kali ini jelas berbeda. Aku pergi karena butuh sebuah kedamaian. Berjalan menunduk dengan cukup pakaian yang setidaknya menutup identitas. Memasuki kerumunan senatural mungkin sembari mengingat jalan samar. Sudah lama aku belum keluar lagi sejak malam itu.
Pondok Uncle Lee. Hanya beberapa kali aku pernah bertandang selebihnya beliau yang datang.
Siapa yang tidak kenal Uncle Lee, si saudagar china yang memutuskan untuk menua di negara ini. Dia yang menghabiskan masa emasnya dengan berjualan barang-barang hasil kekayaan luar negeri.
Sekarang hanya ada beliau, jenggot putih, tongkat, dan pondok bambu bergaya tradisional yang berhasil beliau bangun sendiri sebagai penginapan turis juga sebagai kelas refleksi diri. Hanya dia dan kemampuan spiritualnya yang terkenal hingga penjuru negeri.
Kaki ini pertama kali menapak pada tangga bambu paling ujung pertanda beberapa langkah lagi kita memasuki rumah tujuan. Dejavu melanda kala dua kaki bergerak bergantian menitih langkah demi langkah hingga sampai pada gapura kokoh meskipun umur pemiliknya terus dimakan jaman.
Hal pertama terasa ketika berada di pondok ini adalah sunyi, mungkin tak begitu sunyi sebab masih ada suara daun bambu saling bergesek dihembus angin konstan serta gemericik aliran air dari miniatur air terjun yang beliau buat untuk tempat hidup ikan koi.
“Permisi! Uncle Lee!” Sapaku terlebih dahulu.
Nihil tak ada sahutan. Aku memutuskan untuk masuk lebih dalam. Menelusuri pondok sederhana mengikuti tiap lika-liku lorong yang ada hingga mendapati lirih suara.
Itu Uncle Lee sedang mondar-mandir dengan tongkatnya di tengah pendopo yang terletak di bagian belakang pondok bersama sosok jangkung lelaki yang jauh lebih tinggi dan muda dari beliau.
“Kuda-kudamu kurang kokoh anak muda!” “Lebih turun lagi! Lagi!” Beliau dan aksen lantangnya. Tak lupa tangan bebasnya menggenggam tujuh buah daun pandan untuk dipukulkan pada bagian tubuh yang menurutnya kurang sesuai dengan gerakan.
“Aku bilang kurang turun, kakimu masih terlalu panjang!” Teriaknya lagi. Yang lebih muda wajahnya tergambar frustasi seolah ingin cepat kabur dari rumah ini. “Lagi!” “Jangan salahkan kakiku pak tua! Mereka memang sudah panjang sejak lahir!” “Kamu harus berhenti mengoceh dan perbaiki kuda kudamu kalau mau sesi hari ini cepat berakhir! Dasar anak amerika liar.”
Well aku rasa membantunya sedikit bukan masalah. “Uncle Lee!” Aku memanggil beliau, menghentikan sejenak sesi entah kelas refleksi yang berubah jadi kelas debat.
Uncle Lee mendapati diriku berdiri beberapa meter dihadapannya seolah kaget tak percaya.
“Hen-Henry?” “Apa kabarmu, Uncle?” “Henry! God Lord, how do you get here?” Beliau memelukku erat seperti seorang kakek yang lama belum bertemu dengan cucunya dari jauh. “Escaping.” Balasku berbisik sambil bercanda. “Boy, C'mon! Ikuti aku ke dalam sini!” Ajaknya.
“Dan kamu, Alex!” Beliau berhenti sejenak menghadap pemuda yang beliau panggil Alex. “Istirahat sampai aku kembali!” Putusnya. “Great job, old man!”
Ketika kembali melanjutkan langkah, dua pasang mata tak sengaja beradu tatap. Ketika mata tengah bertatap, sang bibir refleks melengkung melempar senyum. TERIMA KASIH aku berhasil membaca gerak bibirnya. Aku pun mengangguk seraya beranjak memutus kontak akhirnya.
`hjkscripts.