yang bersalah atas segalanya.


Aku ini manusia yang lahir entah apa guna. Aku manusia tempat salah dan dosa. Aku ini manusia yang bersalah atas segalanya.

Bersama teh hangat yang mengalir dari teko menuju cangkir. Bersama pula kue kering yang tepat sebagai pendamping. Mempersembahkan seorang lelaki yang penuh beban dalam pikir. Serta perempuan ayu yang siap mendengarkan keluhan dengan kuping.

Henry menyesap air teh beberapa kali berharap tubuhnya menjadi rileks. Sayang sekali organ dan pusat kendali enggan berkontribusi. Otaknya terlalu bingung, acap kali salah mengirim sinyal menghadirkan reaksi yang tak berarti. Henry berbicara dalam hati, seolah memotivasi kinerja dalam diri bahwa dia harus berhasil menyampaikan informasi secara tertata dan rapi, mudah dipahami sehingga tak menimbulkan sakit hati.

“Bea... akuㅡ”

Huff... It's going to be long journey.

Kedua tangan Henry menghangat ketika Beatrice dengan lembut meletakkan miliknya di sana. Getaran yang terjadi sebab rasa gugup berhenti dengan sendirinya. Henry menutup mata, meyakinkan sekali lagi bahwa dia harus berani. Beatrice deserved to know everything.

Fakta Beatrice tertarik dengan Alex membuat ini semakin sulit. Sebab Henry tahu bagaimana adik perempuannya menabur senyum semanis serbuk madu kala mendeskripsikan parasnya. Henry bisa melihat binar matanya bergelimang berlian kala memandang sosoknya. Meskipun Beatrice sadar bahwa Alex bukan takdirnya.

“It's okay, Hen.” Henry semakin tercekat sesaat dia melihat wajah Beatrice. Belum siap dia menerima perubahan ekpresinya nanti. Dia selalu ingin Beatrice tersenyum bahagia secara leluasa, bukan terpaksa ketika harus memahami fakta.

“Beatrice aku minㅡ”

“HENRY!!!”

Suasana hangat yang susah payah dibangun runyam seketika. Entah berapa newton gaya yang digunakan hingga berhasil mematahkan salah satu engsel pintu. Itu Philip yang selalu berjalan dengan aura dingin.

Henry belum siap, meskipun begitu dia harus siap kala tubuhnya ditarik paksa berdiri satu lawan satu kakak tertuanya dengan dua tangan kuat Philip meremas sisi kerah pakaianya. Dia memasang wajah bingung, di satu sisi hanya amarah yang berkobar hebat mendapati yang menurutnya penyebab dari semakin kacaunya istana malah mengadakan pesta minum teh.

“You! Sudah berapa kali aku bilang jangan macam-macam.” Ujarnya dingin. Kata perkata diungkapkan dengan tekanan.

Henry bungkam, perasaan dalam dirinya campur aduk berantakan. Entah dia harus minta dikasihani atau menjawabnya pula dengan emosi. Henry muak dan takut secara bersamaan.

“DIAM KAMU? DIAM KAMU HENRY??? SEMUA YANG MEREKA TUDUHKAN BENAR KAN?! JAWAB!” Philip melepaskan genggamannya. Terhempas kuat tubuh Henry di atas ranjang.

Beatrice kosong, otaknya kopong melihat adegan emosional dihadapannya. Entah apa yang dia tahu, entah apa yang mereka maksud. Yang dia yakini adalah keluarga ini mungkin sedang berada di ujung tanduk.

“Kamu! Sudah berapa kali aku peringatkan jangan pernah keluar, jangan pernah terlihat! Kamu masih seorang pangeran, DAN PANGERAN HARUSㅡ”

“OH FOR GOD SAKE PHILIP I'M DYING!”

Malam ini Henry menyerah. Pangeran ini bukan manusia kuat melainkan manusia lemah yang berusaha mengais sisa-sisa tenaga untuk bertahan hidup ditengah susah. Pangeran ini lelah menjalani harinya tertatih. Maka malam hari ini pada detik ini dia mengibarkan bendera putih.

“I'm dying, Philip...” Lirihnya lemah. Air mata yang turun satu demi satu adalah representasi dari jutaan molekul emosi yang tertahan ribuan hari. “You never know how it's suffocating inside. Like they would killing me any day if i say i want to die.”

“Ini melelahkan, Philip. Hari demi hari hidup rasanya seperti mendekat menuju jalan masuk neraka. Mereka bakar aku, dari dalam menggerogoti organ hingga urat nadi hingga habis tak bersisa lalu dia akan membakar luarnya hingga habis menjadi abu. Dan kamu, orang-orang di dalam rumah ini, orang-orang di luar sana hanya akan menangis sejenak lalu lupa ingatan hari berikutnya.”

“Lalu bagaimana dengan rasa sakit yang aku alami? Dia akan ada terus menerus berjalan bersamaku seperti bayangan. Bahkan bayangan ikut menguburkan ku dengan dia di dalam tanah. DIA IKUT AKU KE DALAM TANAH, PHILIP!”

Malam ini seorang pangeran menyerah, memilih ikut emosi membalas segala sakit hati dengan menyakiti. Malam ini seorang pangeran menyerah, berlinang air mata sembari membela diri. Malam ini juga seorang pangeran menyerah, melenggang pergi membawa rapuh tubuhnya melarikan diri.


`hjkscripts.