hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


From : papa

Nicholas atau Viscount siapapun yang free tolong antarkan welcome flowers ke rumah Mrs. Tina. Alamatnya ada dicatatan. Terima kasih sayangnya papa.

Sepeda dikayuh, berjatuhan seribu peluh. Berisik napasnya terengah, suara desah pula keluar dari mulutnya yang tak pandai mengeluh.

Matanya menyipit menghalangi kejamnya sinar surya pada siang hari. Kuyup bajunya basah, sebab badannya pula seperti setelah mandi. Terkadang dia menyeka keringat yang menetes seperti air mata. Perih dirasa membuat pandangan kabur seketika.

Dia menepi sebentar, mencari pinggiran jalan yang terdapat pohon rindang. Dijagang sepedanya, berdiri di bawah bayangan pokok menikmati sejuk semilir angin. Dia merentangkan tangannya ke atas, menarik ribuan syaraf dan puas mendengar suara sendi. Memeriksa barang bawaan, memastikan bunga dalam keranjang masih cantik rupawan.

Kakinya terus mengayuh menembus jalanan berbatu. Tibalah dia pada titik awal alamat yang dituju. Terkadang santai, seringnya sampai berdiri kerahkan tenaga agar sampai sepedanya menanjak bukit. Maka sampai akhirnya dia di depan rumah yang atapnya hampir menyentuh langit.

“Permisi! Permisi Nyonya Tina!” Seruan si remaja laki dari ambang pintu kayu terbuka. Bersin berkali-kali sebab debu ada dimana-mana.

Siapa gerangan sang pemilik rumah. Pemandangan indah tapi tidak dengan kondisinya. Siapa gerangan sang pemilih rumah. Megah bentuknya tapi tidak elok baunya. Apek, banyak serangga mati, dan tai tikus. Bersyukur dia yang datang bukan adiknya, bisa mati paru-parunya tersiksa.

“Permisi!” Serunya sekali lagi. Sayup-sayup suara dua orang bercakap dari dalam dia interupsi.

Selanjutnya langkah kaki cepat terdengar, beradu dengan lantai terbuat dari kayu. Pintu sedikit terbuka akhirnya dibuka lebar, ruangan yang gelap jadi benderang.

“Nyonya Tina.” Sapanya ramah.

Perempuan paruh baya kini juga menghaturkan senyum ramah. “Nicholas, akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk bunganya sudah ditunggu.” Jawabnya begitu.

Nicholas kini mengikuti sang wanita yang berjalan sembari membenarkan letak gelang-gelang emasnya di lengan. Siapapun yang melirik pandai menebak beliau ini bukan orang kampungan. Siapa yang tak mengenal ibu satu ini? Seantero kota banyak yang menyewa dia punya properti.

“Maaf membuat anda menunggu, Sir.” Bicaranya yang pasti bukan dengan si pengantar bunga.

Ahh, sekarang dia mengerti kenapa harus melawan terik matahari hingga mengayuh menuju hampir ujung bukit. Rumah ini akan ada pemiliknya.

Nicholas meletakkan rangkaian bunga di lantai sembari menunggu perintah dimana mereka akan dipajang. Penasaran juga ada siapa yang akan menjadi warga baru di kota.

“Jadi seperti itu ya, Sir Alex. Untuk masalah kebersihan saya bisa bawakan orang untuk membantu, tetapi tentu tidak bisa hari ini juga. Paling cepat besok dan paling lambat dua hari lagi.”

Sir siapa? Alex?

Nicholas masuk semakin dalam mengikuti rasa penasaran. Lupa akan sopan santun dan juga amarah hukuman. Namun saat matanya melihat langsung pada orang asing yang baginya bukan asing, miliknya berbinar.

“Sir Alex? Alex Claremont-Diaz si anjingㅡ”

“ㅡmaksud saya pengacara terkenal Amerika. Benar kan?”

Hampir saja berhasil mengumpat seseorang dalam pertemuan pertamanya. Kedua dewasa itu bingung, namun si pengacara lebih dahulu paham akan situasi dan membalas si remaja dengan anggukan serta senyum maklum.

“Oh! Nicholas kamu tau beliau ini ya?”

“Tentu, saya banyak lihat Sir Alex di saluran luar negeri.”

“Nah kalau begitu saya kenalkan. Sir Alex ini Nicholas anak pemilik toko bunga di pasar kota. Dia yang akan jadi salah satu anak didik anda di sekolah nanti. Dan Nicholas, ini Sir Alex yang akan menggantikan guru baru di sekolah kamu Senin besok.”

Sadar bahwa Nicholas tak menunjukkan reaksi apapun selain geming dengan wajah kagum, Alex mengambil aksi terlebih dahulu. Dia tersenyum, dan menyapa lebih ramah dari sebelumnya mengetahui bahwa anak ini adalah salah satu calon muridnya.

“Panggil saja Sir Alex. Sampai bertemu di sekolah besok.” Dia memperkenalkan diri, mengajukan tangannya berniat disalami kembali.

Nicholas buru-buru menyeka telapak tangannya. Memastikan bersih dari keringat, tanah, atau serbuk bunga. Dia membalas, “Nicholas, sir. Dari kelas tiga.” Hampir meremas kuat tangan si pengacara.

“Kalau begitu Sir Alex bisa saya tinggalkan di sini untuk beristirahat.” Perempuan bernama Tina memberikan satu gantungan berisi kunci, menandakan bahwa rumah resmi jadi milik si pengacara. “Ini kuncinya. Kalau Sir Alex butuh bantuan bisa hubungi saya kapanpun.”

“Untuk kamu Nicholas.” Tubuh anggun yang sudah hampir mencapai setengah jalan menuju pintu berbalik. “Letakkan bunganya di tempat kosong sebelah televisi ya. Uangnya sudah saya transfer ke papa kamu. Terima kasih ya, saya permisi dulu.” Akhirannya sebelum menghilang dari balik pintu.

Kini hanya tinggal Nicholas dan Alex dibatasi butiran debu. Nicholas pun mengangkat rangkaian bunga, memindahkan di atas buffet samping televisi.

“Saya lupa kalau saya memesan bunga sebelum datang kemari.” Alex mendekat, menghampiri Nicholas yang tengah menata letak vas bunga. Dia mengamati bunga seperti apa yang datang sebab seingatnya dia tidak memesan apapun.

“It's our old tradition, Sir. Namanya welcome flowers, buket bunga yang diletakkan dalam vas dan ditaruh di dalam rumah yang baru ditinggali.” Nicholas menjelaskan.

“Kenapa harus bunga?”

“Masyarakat sekitar meyakini bahwa bunga segar seperti ini bisa meneyerap hawa negatif dari rumah yang masih baru ditinggali. Layunya bunga-bunga ini dalam beberapa hari menandakan hal-hal negatif sudah berhasil diserap dan tugas pemilik adalah membakar bunga yang sudah layu nanti.”

Sekarang Alex memahami. Benar kata Katharina dan orang-orang di luar, Bridge Hampton masih kental dalam hal tradisi. Alex tak punya kuasa untuk menyangkal selain menerima dan mengerti.

“Tugas saya sudah selesai, saya permisi dulu, Sir Alex.” Nicholas mengundurkankan diri setelah bunga yang dia bawa telah bertengger apik di atas sana. Mana senang pula bisa bertemu salah satu idola. Dia tak sabar pulang untuk membagikan berita pada sang saudara. Juga tak sabar masuk sekolah dan melihat si pengacara akan mengajar apa.

Namun belum jauh Nicholas melangkah, Alex menahannya, “Tunggu!” Serunya. “Nicholas benarkan? Saya boleh tolong dibantu dengan sesuatu?” Tanyanya.

Nicholas mematung dengan wajah bingung. “Maaf?” Balasnya singkat.

“Begini, saya butuh bantuan untuk bersihkan rumah ini sedikit terutama di bagian kamar tidur. Saya tidak bisa menunggu besok.” Jelasnya. Belum sempat Nicholas menjawab Alex meneruskan katanya, “Tenang kamu saya bayar nanti sebagai tanda terima kasih sudah mengantarkan bunga juga.” Tawarnya.

“Tentu. Tetapi saya izin mengirimkan pesan pada papa saya dulu apa boleh?”

“Take your time, kid. I'll wait you upstairs.”


`hjkscripts.


From : Beatrice Charlotte Hanover-Stuart

Hi, Hen! Apa kabar kamu? Aku harap kamu, kedua keponakanku baik-baik saja dan aku juga berharap kamu masih memakai akun email yang sama. Hen, father sakit, kamu tau kan jantungnya. Itu semakin parah dari hari ke hari. Hen, dokter mengatakan father punya harapan hidup yang singkat.

Maksud dari aku mengirim pesan ini adalah bisakah kamu datang ke rumah sakit? Kita selalu berharap yang terbaik untuk kesembuhannya tetapi kita juga mengusahakan yang terbaik untuk akhir terburuknya. We are all missing you, darling.

With love, Your Bea.


Henry Point of View.

Friday should be a friyay, bagi sebagian orang mungkin tetapi khusus Hari Jum'at ini tidak untukku. Mereka enggan bersahabat denganku. Pagi hari hujan, mendung terus memandu. Hari ini aku dibuat sendu.

Bukan hanya aku, seluruh lapisan masyarakat tahu pasal beritanya. Tentang sang raja yang bijaksana tengah jatuh sakit lemah. Itulah sang baginda yang beranjak tua. Si penguasa yang aku panggil ayah.

Jika bertanya apa aku baik-baik saja tentu dilema. Sebagai Henry Fox rakyat biasa mungkin hal ini yang terbaik untuk sang raja. Namun, sebagai Henry Arthur Hanover-Stuart yang menyandang dia punya marga, sebagai anak aku tidak baik-baik saja.

Kejam begitu dia tetap seorang ayah. Keras begitu dia tetap yang mengajarkan tentang dunia bekerja. Tega begitu dia tetap yang membuatku lahir menjadi pangeran.

Ayah itu raja yang bijaksana dan menyayangi rakyatnya. Aku bisa bersaksi bila ada yang bilang tidak. Sebagian hidupnya dia dedikasikan untuk kemakmuran rakyat hingga lupa tentang keluarganya.

He maybe not a good father but he a wonderful king for this country. yet he still a father.

“Pa? Kamu kenapa?” Bahuku berjengit kala merespon sentuhan tiba-tiba. Ah, aku sampai gak sadar bahwa anak-anak sudah ada di dalam mobil dan menungguku melamun.

“Oh, kalian udah di sini. Maaf papa ngelamun.”

“Mikirin apasih kesayanganku? Kok kayaknya berat gitu.” Celetuk Viscount dari bangku belakang.

“Bukan apa-apa. Cuma mikir mau masak apa hari ini.” Elakku. “Udah masuk semua barangnya? Gak ada yang ketinggalan di kamar?” Tanyaku kembali memastikan barang bawaan tidak ada yang tertinggal sebab mulai besok akan menjalani libur semester.

Jawaban berupa anggukan menjadi tanda bahwa kita bersiap untuk meninggalkan lingkungan sekolah. Namun aku masih belum bisa meninggalkan beban pikiran yang baru datang.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Tidak ada hari tanpa kekacauan jika putramu adalah Viscount Fox. Diberi ketenangan dunia oleh hadirnya Nicholas tetapi tujuh menit kemudian diberi pelengkapnya. Tidak ada ketenangan sebelum ada kekacauan. Ketenangan itu tercipta kala yang kacau berdelebrasi setuju untuk saling berdamai.

Well, the world has its way to balanced everything.

Jika aku punya Nicholas yang memiliki senyum seteduh semilir angin malam, maka aku juga punya Viscount dengan senyum secerah matahari pagi. Dia lahir di dunia sebagai pembawa keceriaan. Leluconnya, tingkah anehnya membuat aku dan kakaknya ikut tertawa.

Berbeda dari Nicholas, Viscount sejak kecil dapat perhatian berlebihan dariku. Sebab Viscount kecil tidak tumbuh secepat Nicholas. Viscount tumbuh sebagaimana anak kecil lainnya yang butuh perhatian ekstra. Viscount kecil itu suka menangis akan hal kecil yang menyakiti dirinya. Viscount kecil hobi merengek jika dia tak dapat yang dia mau. Viscount kecil butuh bantuan setiap kegiatan yang dia lakukan.

Dan Viscount Fox tumbuh sebagai remaja yang suka perhatian. Dia adalah si pusat dunia.

It's kinda my fault though tetapi aku begitu bukan tanpa alasan meskipun ini tidak bisa dibenarkan. Viscount kecil didiagnosis asma sejak dini, imun tubuhnya tak sekuat penampilannya yang sok jagoan. Mungkin penyakit ini datang dari trauma masa lalu yang aku derita dan itu menurun pada Viscount.

Viscount tidak boleh capek, Viscount tidak boleh makan makanan sembarangan, Viscount tidak boleh setres. He's so weak young Henry after all.

Tetapi Viscount adalah Viscount, anak muda yang sedang terbawa arus menuju fase remaja. Remaja yang menganggap semua keputusan adalah tepat tanpa berpikir akan dampaknya.

Maka disinilah aku selalu, berhadapan dengan guru penanggung jawab kelas yang sebenarnya mungkin sudah bosan melihat wajahku. Hanya ada dua maksud kedatanganku bertemu beliau. Entah kabar presentasi Nicholas yang semakin meningkat atau kabar perilaku Viscount yang semakin diluar nalar. Untuk hari ini Viscount adalah pemeran utamanya.

“Pertama-tama saya mohon maaf harus memanggil anda kemari, Sir Henry. Tetapi, seperti yang telah dijelaskan dari pesan singkat putra anda Viscount terlibat dalam pelanggaran kecil. Dia ketahuan membolos jam pelajaran dan berdiam diri di rooftop sendiri. Maksud saya mengundang Sir Henry untuk bertanya dan memberikan sedikit saran.”

“Sir, apakah Viscount sedang ada masalah di rumah? Maaf jika pertanyaannya terlalu personal, namun hal ini dapat mengganggu konsentrasi kegiatan pembelajaran. Saya sarankan dengan kedatangan Sir Henry kemari dapat menyelesaikan apapun itu saat ini juga. Saya cukup menyayangkan jika masalah ini terlambat untuk diatasi dan akan menghambat proses pembelajaran hingga lima hari kedepan.”

Sure, sure we have problems unsolved. Tetapi untuk yang satu itu aku masih lelah. Bukan semua masalah harus diselesaikan saat itu juga, ada fase lelah, ada fase belajar, dan ada fase akhir yaitu berbicara empat mata.

Ini bukan tentang aku enggan mengerti. Ini bukan tentang aku enggan memaklumi. Ini adalah aku dan caraku untuk membuatnya sekedar tahu diri. Ini adalah aku dan caraku untuk membuatnya mencari solusi.

Viscount adalah Viscount solusi yang diambil selalu diluar nalar. Inilah solusi yang dia ambil, si pencari atensi handal.

“Aku kayak gini ya sengaja biar kamu dateng. Abis kamu di rumah diemin aku terus.”

“Tapi gak gini caranya. Kamu kan bisa panggil aku, kita bisa duduk sambil ngobrol. Papa itu cuma perlu kamu ngerti kalau kamu salah dan minta maaf. Papa diemin kamu biar kamu mikir, Viscount.”

“Papa itu bukan gak mau kamu seneng-seneng sama teman kamu. Tapi papa mau kamu tau batasan kamu. Kamu itu tubuhnya gak sehat dan papa khawatir. Papa cuma mau kamu dengerin papa. Papa itu peduli sama kamu, kakak juga gitu. Papa begini karena papa sayang sama kamu.”

Memiliki Viscount sebagai anakmu memang sulit. It's tiring yet it's challenging.

“I'm so sorry.” Lirihnya pasrah. Dia memelukku dengan perasaan bersalah.

“Maaf Viscount gak bisa jadi kayak Nicholas.”

“No, you don't have to be. I want you to be yourself. Like this Viscount but more responsibilities. Can you?”

“I'll try.”

In the end of the day memiliki Viscount berarti menyediakan banyak waktu untuk dirinya terus berusaha. Memberikan banyak kesempatan lebih dari sekedar dua. Sebab Viscount berbeda, bukan berarti tak bisa.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Jika berbicara tentang ketenangan maka Nicholas Fox jawabannya. Jika mencari kedamaian maka Nicholas Fox temukanlah dia. Inilah dia Nicholas Fox yang sejuk seperti pagi di desa. Hanya menatap wajahnya nyaman bisa dirasa.

Nick panggilannya, dia suka disebut begitu. Namun aku sering memanggilnya kakak, panggilan yang dia suka terkadang juga membencinya.

Sejak awal, sebenarnya aku tidak menentukan Nicholas adalah kakak, Viscount adiknya atau sebaliknya. Sebab mereka lahir dari orang yang sama di tempat yang sama, di hari, bulan, dan tahun yang sama. Yang membedakan hanya sekian menit jarak keluarnya.

Sekali lagi, aku tidak bukan yang memaksa Nicholas adalah seorang kakak dan Viscount adalah adik. Mereka tumbuh bersama, diberi kasih sayang dan dicintai dengan jumlah yang sama. Hanya saja, seiring berjalannya waktu dua kembar tak seiras ini menunjukkan watak dan kebiasaan yang berbeda.

Nicholas tumbuh sebagai anak yang luar biasa. Dibalik wajah teduhnya, dibalik senyum lembutnya ada kekuatan yang besar dalam dirinya. Nicholas itu mandiri, inisiatif tinggi, dan peka terhadap sekitar.

Nicholas kecil jarang menangis, malah dia yang sering menenangkan Viscount. Nicholas kecil itu suka bantu papanya hanya dari sekali melihat apa yang papanya kerjakan. Jadilah Nicholas yang menjadi tangan kanan kepercayaanku sejak kecil. Nicholas yang membantu menjaga adik yang sama besar dengan dirinya waktu sang papa sibuk mengurus sesuatu. Nicholas yang memarahi waktu adiknya rewel. Nicholas yang menasehati waktu adiknya berbuat kesalahan.

Intinya Nicholas itu bisa melakukan segalanya. Anakku Nicholas itu bisa diandalkan dan paling mengerti dalam menghadapi kehidupan papanya juga kesusahan. Nicholas itu bagaikan malaikat kecil penolongku. Sebab itulah Nicholas bertindak seperti seorang kakak untuk adiknya yang hanya berselisih umur 7 menit.

Anak ini tumbuh dewasa jauh sebelum waktunya.

Terkadang mandirinya Nicholas membuatku mau tak mau terus merasa bersalah setiap saat. Hal yang paling sulit dalam pelajaran kehidupan adalah berlaku adil. Mandirinya dia membuatku sedikit kurang khawatir dan khawatir berlebihan untuk Viscount. Sebab aku tau dia bisa melakukannya sedangkan Viscount tidak.

Aku jarang membantunya mandi, tapi aku membantu Viscount untuk menggosok bagian punggungnya. Aku jarang menemani dia belajar, tapi aku menjawab banyak pertanyaan pada tugas Viscount. Aku jarang membantunya menata buku untuk sekolah, tapi aku memeriksa tas Viscount sebelum berangkat. Aku jarang memakaikan kaos kakinya, tapi aku membantu Viscount hingga sepatunya terpasang dengan baik.

Aku begitu yakin dia bisa melakukannya sebab aku sangat yakin dia bisa. Aku lupa bertanya apa dia bisa atau apa yang bisa dibantu meskipun aku tau dia bisa.

Puncaknya, puncak dari diriku yang menjadi orang tua paling bodoh adalah ketika Viscount jatuh sakit dan aku panik berlari menuju rumah sakit kota dan tanpa sadar meninggalkan Nicholas di rumah.

Aku tidak ingin mengingat hari itu, tapi aku tidak bisa melupakan sebagai hukumannya. Orang tua bodoh yang pulang ke rumah malah menuruti emosi ketika melihat stoples selai pecah. Orang tua bodoh itu bukannya panik melihat sang anak andalannya meringis kesakitan, malah mengoceh frustasi dan kecewa sebab begitu ceroboh si anak bisa menjatuhkan stoplesnya.

Dia bisa sebab dia ingin membantu bukan berarti dia tidak bisa jadi ceroboh. Dia bisa sebab ingin mengurangi beban sang papa yang mengurus dua anak kecil sendirian bukan berarti dia tidak bisa berbuat salah. Aku detik itu sadar Nicholas masih sama kecilnya seperti Viscount, sama membutuhkan papanya sebesar Viscount.

Malam itu marahnya si anak yang bisa diandalkan menampar kesadaran sang papa yang hampir melenggang sangat jauh dari batas keadilan di antara keduanya.

“Nicholas banyak yang belum bisa, Nicholas tingginya belum sampai untuk mengambil stoples yang diletakkan di tempat tinggi, Nicholas berusaha ambil pakai kursi tapi stoplesnya berat dan jatuh. Maaf ya, pa Nicholas bikin papa susah.”

“Kenapa kamu gak tunggu papa?”

“Papa kan urus adek. Nicholas kan kakak jadi harus bisa apa-apa sendiri.”

Demi Tuhan, nak maafin papa yang bodoh ini.

Karena kebodohan orang tua tunggal ini Nicholas tumbuh jadi remaja yang hebat. Namun juga kebiasaan menyimpan kekhawatiran. Maka sejak kejadian hari itu aku belajar lebih banyak, memiliki dua anak bukan berarti mendidiknya dengan cara yang sama. Tapi dengan caranya masing-masing menuju tujuan yang sama.

Saat ini aku dan Nicholas tidur terlentang berdampingan. Sengaja aku membeli kasur yang lebih besar agar muat untuk dua orang. Nicholas itu suka cerita, tapi tidak untuk didengarkan bersama.

Inilah yang aku lakukan, aku menyebutnya Nick Corner, kegiatan yang aku buat untuk belajar lebih banyak tentang dunia Nicholas. Dimana aku selalu mengosongkan beberapa jam atau seharian penuh hanya untuk Nicholas dan dirinya sendiri, hanya ada Nicholas dan makanan atau kegiatan kesukaannya. Hanya Nick dan aku, tidak ada Viscount di antara kita.

Terkadang pun aku masih miris mendengarkan sebagian ceritanya selalu ada Viscount di dalamnya. Sebab dia seorang kakak yang bertanggung jawab menjaga adiknya. Diakhiri sesi aku selalu berterima kasih dan memujinya betapa bangga aku punya dia di sampingku dan di samping Viscount. Pula, aku meminta maaf jika sampai detik ini masih kurang adil dan khawatir berlebihan untuk Viscount sebab aku tau terkadang ada rasa iri dan sakit hati bila aku berlaku demikian.

Namun aku lega ketika dia berani mengungkapkan bahwa untuk beberapa saat ini dan kedepannya dia ingin mengurus dirinya sendiri dan agak lelah jadi seorang kakak.

“It's ok, dear. Kalau memang kamu capek, waktu Vis nakal atau berbuat salah biar dia hadapi masalahnya sendiri. Kamu cukup temani, jangan carikan jalan keluar biar dia yang cari solusinya sendiri.”

“Dia terlalu attached sama kamu karena kamu itu hebat, you're a wonderful and sweet boy in this world. I'm very grateful papa to have you in my life and proud of you for who you are.”

“Terima kasih ya, nak. Papa minta maaf belum bisa jadi papa yang baik buat kamu. I love you so much, darling.”

“I love you too, pa.”


`hjkscripts.


Flowers by Foxes Ham Market St, SH

“Foxes, breakfast is ready!”

Henry meletakkan tentengan pada tangannya di meja. Meja porselen ini biasanya dia gunakan untuk merakit pesanan bunga. Namun, seperti biasa sebelum toko buka di hari Sabtu, yang mana anak-anak selalu ikut membantu, meja ini berfungsi jadi meja makan keluarga.

Derap langkah kaki berantakan terdengar bersama suara gerutuan dan tawa. Henry geleng-geleng pasrah, sudah lelah menasehati anak remaja dengan kosa kata kasar yang mereka anggap biasa. It's Foxes morning routine anyway, berkolaborasi dengan gerutuan Nicholas sebab di dorong bercanda oleh Viscount dan tawa mengejeknya. Dan mereka tidak akan berhenti berargumen hingga makanan ada di depan matanya.

Makan pagi kali ini tak lengkap rasanya jika tidak ditemani acara televisi pagi. Nicholas si pemegang remote sibuk memilah saluran. Biasanya televisi akan sibuk menampilkan kartun Spongebob tetapi hari ini mereka berhenti di acara berita.

Televisi menayangkan sebuah adegan persidangan. Tentu itu bukan film semata, tapi nyata adanya. Kasus rumit tengah dihadapi Amerika Serikat yang sedang menjadi tontonan menarik dunia. Menteri Keuangan tiga kali dituduh melakukan korupsi ratusan triliun namun sulit untuk ditangkap hingga misteri kematian orang-orang yang berusaha mengekspos dirinya. Ini siaran sidang pertama sejak dirinya dilaporkan kembali ke meja hijau. Menggandeng pengacara baru dari sebelumnya.

“SHIT! THAT IS THE WILD DOG?” Nicholas berteriak mengumpat mengagetkan dua orang lainnya yang sedang ikut menyaksikan seksama.

“Nick, language please...” Henry memperingatkan dia untuk menjaga bahasanya.

Nicholas terkekeh, meminta maaf karena terlalu excited melihat siapa yang muncul sebagai pengacara disisi terdakwa. Sebutannya si anjing gila, pengacara liar yang sulit dikendalikan. Pengacara terkenal di Amerika dengan tingkat kemenangan hampir mencapai sempurna yaitu 98% dan kekalahan 2% itu pula sebab klien yang dia bela mundur dari permainannya. Itulah si anjing gila, Alexander Gabriel Claremont-Diaz anak mantan presiden Amerika.

“Siapa anjing gila?” Viscount bertanya bingung sebab di layar kaca hanya ada manusia tidak ada anjing.

“Pengacara itu, dia sebutannya anjing gila. Saking gilanya gak ada yang bisa kontrol argumen yang akan dia bawa. Lawannya tersudut dan dia akan menang lagi. He's Alex Claremont-Diaz.”

Viscount mengangguk saja, dia juga tidak terlalu peduli betul akan dunia kriminal atau apapun yang ada di berita. “Jadi dia bakal menangin koruptor sekarang? Orang yang jelas-jelas merugikan banyak orang?”

Nick mengangguk yakin, “He's going to win this. Dia punya sejuta cara untuk menang.”

“Aneh banget, harusnya lo sukanya sama pengacara baik-baik, yang tolong orang gak bersalah. Lah ini malah bela koruptor, pembunuh juga lagi.”

“There's no good guy or good intention in this tarnish field.” Nick menjawab menirukan suara bariton unik Alex Claremont-Diaz. “I don't like his game. But i still like him anyway, i mean his smart ass brain so amazing. Bayangin lo jadi hebat kayak dia, rumahnya di Austin megahnya kayak gimana, lo bisa ngapain aja. What a life.” Finalnya.

Viscount bergidik ngeri, melempar kentang ke piring Nicholas jijik, “What a creepy stalker you are, mate.”

Dan Henry, tidak ada satupun kata yang sanggup dia keluarkan untuk ikut bergabung dalam diskusi pagi kali ini. Nama itu masih terlalu berat untuk lidah mengeja tiap hurufnya. Memilih bungkam dan mendengarkan adalah jalan terbaik.

Asal kalian berdua tau... Iya, asal kalian berdua mengetahui.


Selesai sudah acara makan pagi, Henry beranjak inisiatif mengumpulkan bekas alat makan yang digunakan. Ada pantry kecil juga tersedia wastafel untuk cuci tangan. Dirinya berdiri di depannya mencuci piring kotor.

Kedua anaknya pun begitu, setelah makan pagi selesai kegiatan selanjutnya adalah membuka keranda pelindung toko. Memperlihatkan kepada orang-orang bahwa sebentar lagi toko boleh mulai beroperasi.

Nicholas sibuk sendiri, dari membalik tanda pintu menuju rak bunga, mengisi yang hampir kosong dengan yang baru dibawa dari kebun belakang rumah. Sedangkan Viscount masih duduk di tempat yang sama, berperang batin dengan diri sendiri mencari cara merayu paling efektif hingga dirinya dilepas untuk menonton konser dengan temannya malam ini.

“Vis?” “VIS?!” “Huh?”

Viscount terlonjak kaget kala mendengar nada tinggi daripada namanya. Dirinya terseret dalam dilema hingga tak mendengar jika sang papa membeberkan tugas pertama hari ini.

“Kamu denger gak tadi aku ngomong apa?” Tanya Henry dibalas gelengan.

“Itu buket yang sudah rapi tolong diantar sesuai alamatnya.” Perintahnya.

Viscount berdiri dengan berat hati. Ragu pula ingin berangkat mengantar namun terbebani pikiran yang belum tersalurkan. Konsernya malam ini dan sampai detik ini Viscount belum mendapatkan izin. Dan izin tidak semudah menulis surat absen sekolah.

“Pa?” Dia memanggil akhirnya. Kalau tidak sekarang kapan lagi waktunya.

“Kenapa?”

Viscount duduk kembali, kali ini disamping Henry yang tengah memulai pekerjaannya.

“Aku- aku boleh gak izin pergi nonton konser?” Tanyanya pelan.

Henry belum menjawab, seluruh bagian tubuhnya fokus pada satu pekerjaan yaitu merangkai bunga. Dirinya belum ingin terdistraksi sebab seluruh bunga harus terorganisir cantik dan sempurna.

Sabar menunggu Viscount masih di samping sang papa. Dia paham betul jika Henry tidak bisa diajak berbicara saat sedang merangkai. Setelah menyelesaikan tahap finishing Henry menyimpan hasil kerjanya, mengosongkan space di meja sejenak memberikan seluruh atensi untuk Viscount melanjutkan kalimatnya.

“Tadi kamu bilang apa?” “Aku boleh gak izin nonton konser?” “Konser apa? Kapan? Dimana? terus sama siapa?” Dan inilah papanya.

“Konser festival band gitu, acaranya malam ini di Ham Central Park sana. Aku pergi sama temen sekolah aku.” Dia menjawab sesuai dengan pertanyaan.

“Terus kamu berangkatnya gimana? Pulangnya juga gimana? Kan rumah kita jauh dari sini. Malam juga selesainya aku yakin.”

“Ya setelah tutup toko aku gak ikut papa sama Nick pulang. Soal pulang gampang aku nginep di rumah temen yang rumahnya sekitar sini, besok aku pulang.”

Henry menghela napas panjang. Bingung juga mau memberi izin tapi terlampau khawatir. Semua pertanyaan yang dilontarkan dijawab yakin seolah dia pergi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Konser di kota ini jarang dan jika ada pastilah amat ramai dan keramaian bukan sahabat baik bagi penyakit asma yang di derita Viscount.

“Dek, aku bukannya gak mau izinkan. Tapi konser itukan nanti banyak orang, panas, dan oksigen di sekitarnya kurang. Kamu itu kan gampang sakit, imunnya kurang stabil. Kalau ada apa-apa aku takut terlambat datangi kamu.”

“Tapi aku pengen datang, pa. Sekali ini aja, aku udah siapin badan supaya hari ini fit dan ini aku bawa inhaler 2 buat jaga-jaga kalau satunya habis. I'll be fine and you have to trust me.”

Ini pilihan sulit bagi Henry. Dia yakin jika melarang pasti akan menimbulkan perang dingin, tetapi mengiyakan pun dirinya juga belum yakin sepenuhnya. Pilihannya adalah meminta bantuan pada Nicholas yang juga memperhatikan mereka berdua. Henry melayangkan tatapan bingung, seolah bertanya tanpa vokal apa yang harus dia lakukan. Ketika anggukan menjadi jawabannya, maka Henry pasrah.

“Ya sudah kamu boleh pergi. Tapi inget handphone kamu harus nyala terus. Aku telpon, aku chat harus dibales.”

“Thanks.”


`hjkscripts.


Ham Market St. Bridge Hampton City, BH

Henry tersenyum pada wanita paruh baya dengan begitu banyak pertanyaan tentang bunga. Dia mengikuti langkah tertatih, menjelaskan dengan sabar artinya satu persatu.

Beginilah Henry sekarang, bukan pewaris istana, bukan juga seorang pangeran. Henry hanyalah rakyat biasa yang hanya punya nama terdiri dari dua kata. Henry kini yang berhasil melewati fase sengsara. Memulai dari merangkak hingga kini kuat berdiri dengan dua kakinya.

Dia adalah lelaki matang dewasa hidup sendiri ditemani dua buah hatinya. Dia yang tak pernah berhenti berusaha untuk memenuhi kebutuhan badan berjumlah tiga. Dia mana tau arti lelah, sebab lelah artinya susah.

Henry Fox bukan yang versi masa kecil atau muda. Bukan pula versi remaja atau remaja baru dewasa. Henry Fox yang ini pembaharuan yang lebih, lebih baik daripada sebelumnya. Terlihat sederhana namun banyak menerima cinta. Henry Fox yang ini kenyang akan pembelajaran dari masa lalu pilu. Maka Henry Fox ini wujud nyata dari dirinya yang amat baru.

Jika bicara dahulu ketika pertama kali dirinya pindah ke kota ini. Bridge Hampton memang tidak pernah berubah, hanya masyarakatnya yang lahir dan mati. Pula Henry yang sudah banyak perubahan.

Henry datang dengan buah hati yang masih berbentuk gumpalan darah bercampur daging ditemani tiga maid utusan palace. Henry beradaptasi dengan lingkungan pun tubuhnya yang berubah drastis. Tiada hari tanpa sakit, tiada hari tanpa kelelahan, tiada hari tanpa mengeluh. Apapun keadaannya, di sini Henry tidak bisa bertingkah seolah dirinya seorang pangeran.

Pagi muntah, bukan bisa istirahat tapi harus belajar memasak. Esok harinya muntah, bukan bisa rehat sejenak harus belajar mencuci pakaian. Lusanya pening, bukan bisa memejam harus belajar bersihkan rumah. Malam terbangun sebab bayinya menangis tak dapat lagi tidur sebab paginya harus mengantar bunga. Bahkan kala ketiganya terserang demam, merawat dua bayinya lebih penting daripada dirinya sendiri.

Semua itu dia lakukan agar bisa mandiri. Semua itu dia lakukan agar bisa pergi dari bayangan keluarga. Henry lelah bergantung, sepeser pun ia tak butuh. Maka saat usahanya berjalan stabil, dia memutuskan untuk benar-benar pergi. Memulangkan maid menuju kerajaan, menjual rumah yang ditinggali dan pindah ke lain daerah, pula memutus kontak pada manusia di hidupnya terdahulu sehingga tiada satupun mereka yang dapat menghubungi.

Sehingga inilah Henry Fox masa kini. Dewasa berusia awal empat puluh dengan toko bunga kecil hasil keringatnya sendiri.


Henry Point of View.

“Ini kembaliannya dan ini barangnya. Terima kasih sudah datang, Nyonya.”

Aku menghela napas, menatap nanar punggung wanita paruh baya yang akhirnya pergi dengan satu kantong berisi bunga. Kepergiannya menandakan bahwa itu adalah pelanggan terakhir di Hari Jum'at.

Pukul tiga sore, toko tutup lebih awal di hari Jum'at. Aku bergegas membalikkan tanda toko buka menjadi tutup. Tidak lupa membersihkan kekacauan di hari ini juga menutup keranda pelindung toko. Semuanya aku kerjakan sendiri, berusaha secepat mungkin sebab tidak mau terlambat menjemput anak-anak dari boarding school-nya.

Bridge Hampton Boarding School adalah tempat yang cocok bagi papa tunggal dengan dua anak seperti diriku. Seorang papa yang harus bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup namun tidak ingin melewatkan perkembangan anak-anaknya. Menitipkan mereka dari Senin hingga Jum'at dan menghabiskan waktu saat Weekend datang.

Awalnya aku khawatir sejak mereka lahir, kedua tanganku sendiri yang merawatnya. Tidak ada satu hari pun terlewat aku mengetahui pertumbuhan dan perkembangannya. Namun, kehidupan manusia sederhana terus berjalan. Segala keperluan tidak instant tersedia dengan sendirinya jika tidak dibeli dengan uang dan uang tidak bisa datang jika tidak menghasilkan keringat untuk mencarinya.

Tin!

Aku membunyikan klakson mobil yang suaranya sudah hampir tak terdengar. Memberi tanda kedatangan, mengambil sedikit atensi dari dua remaja yang tengah seru bercanda tawa dengan kawannya.

Itu yang sedang berjalan beriringan adalah kedua putra yang aku amat sayang. Ini Nicholas, yang dengan sendirinya masuk ke pelukan kala kedua lengan ku rentangkan.

“Hi, pa! How are you?” Selalu begitu kalimat pertamanya.

“Fine. How are you, kak?” Kita berpelukan erat, saling menyalurkan kerinduan.

“I'm good. Glad you too.”

And he kissed me affectionally while i did the same but many times. Because Nicholas love affection.

Kedua adalah Viscount. Mereka berdua kembar, lahir dari orang yang sama di hari dan tempat yang sama dengan watak jauh berbeda. Viscount seratus delapan puluh derajat berbeda dari Nicholas.

Jika Nicholas menyerahkan dirinya sendiri, maka Viscount memilih untuk didatangi. Dia bergeming ketika aku ganti memeluknya.

“Papa kangen kamu, kamu kangen papa juga nggak?” “Hmm.” Dia itu tipe yang berlagak sok dewasa when actually he's such a crybaby.

Viscount maybe looks tough, all independen, whatever about skinship but i know he love me.

Mereka berdua membutuhkan dan menunjukkan afeksi dengan cara yang berbeda.


`hjkscripts.

Mulai hari ini aku akhirnya bebas. Keluar dari penjara terbuka yang penuh sesak napas. Aku pergi meninggalkan kisah sedih di tempat ini. Aku pergi mencari kebahagiaan yang yang masih terus berlari.

Setidaknya aku tidak terbatas. Setidaknya aku bisa melihat hamparan hijau dan biru begitu luas. Inilah jalan terbaik yang aku tempuh. Meskipun harus memulai semua dari angka satu.

Selamat datang aku di kehidupan baru. Kuatlah aku menghadapi hari susah dan pilu. Mulai menata cita-cita tanpa ragu. Berharap masa depan lebih indah daripada masa lalu.

Henry Fox, Bridge Hampton.


Gue pulang menapak tanah yang menjadi mimpi sejuta manusia. Gue kembali meninggalkan asa yang tersisa. Gue sampai di sini tanpa membawa apa-apa selain derita.

Mana buktinya jikalau Alex adalah manusia beruntung dikelilingi suka. Berikan buktinya jikalau Alex adalah manusia tanpa duka. Ini buktinya jikalau Alex masihlah seorang manusia biasa. Lihat buktinya Alex yang satu ini sudah hancur lebur seketika.

Pelukan tak menenangkan, untaian kata semangat tak diindahkan. Beginilah rasanya kehilangan.

Selamat datang Alex yang penuh luka. Kuatlah gue untuk mencari secerca bahagia. Berpegangan erat pada harapan atas nama cinta. Berharap pada alam yang akan mencarikan jalannya.

Alexander G. Claremont-Diaz, Washington DC.



Alex Point of View.

Mendekam di penjara tentu bagi gue bukan sesuatu yang menakutkan. Penjara, tempat ini kalau bisa disebut rumah kedua gue akan sebut seperti itu saja. Sahabat-sahabat lapangan gue yang kurang beruntung banyak yang mendekam di penjara. Sedangkan gue, sebenernya sering tapi seperti dewi fortuna berada di belakang bayangan gue.

Lagi-lagi penjara, dari sekian banyak alasan kenapa gue pantas masuk penjara yang satu ini paling gak masuk akal. Gila! Manusia mana yang mencoba menjebak gue sebagai pembunuh. Mencari dan terus mencari dalam memori rasanya tidak ada alasan yang tepat bagi mereka untuk menjebloskan Alexander Gabriel Claremont-Diaz ke penjara di negara ini.

Sampai pertanyaan yang sudah berjam-jam melayang di kepala gue akhirnya terjawab akan kedatangan Your Highness Prince Philip. Oh! Kayaknya gue bisa menebak ini ada apa.

Kita duduk berhadapan, berbeda dari ketika gue berbicara dengan Katharina ruangan ini hanya diisi oleh gue dan Pangeran Philip tanpa ada orang ketiga.

“It's my father, The King.” Tuduhnya yakin. Philip langsung berbicara pada intinya, tanpa ada preambule atau sekedar basa-basi.

“Tiga orang itu pasti suruhannya. Salah satu yang mati pasti rakyat yang tak berdaya mengharapkan keluarganya mendapat kenikmatan dari palace asal dia melakukan apa yang diperintahkan. Ini ulah father sebab beliau marah mengetahui hubunganmu dan Henry.” Jelasnya.

Gue sudah menduganya, betulkan? Cepat atau lambat, sekarang atau nanti. Namun tetap masih ada banyak pertanyaan dibenak gue yang harus dijelaskan secara rinci.

“Ayah sudah banyak menipu rakyat, Alex. Menyatakan Henry sudah meninggal itu keputusan luar biasa beresiko bagi kerajaan. Mengetahui kamu sebagai anak presiden yang semua mata dunia tertuju padamu... father tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Cara ini dilakukan agar palace punya alasan untuk mendeportasi kamu dari Main Castle. Kamu sengaja atau tidak sengaja membunuh adalah alasan yang bersih bagi palace untuk mengusir kamu tanpa ada pertanyaan dari rakyat.”

Sekarang gue mulai paham hubungan benang merahnya. Mengusir gue agar Henry tetap terkurung dalam palace. Kedatangan gue sebagai mate Henry merupakan ancaman terbesar jika keberadaan Henry mulai tercium media.

Namun jelas gue gak bisa pergi terdeportasi begitu saja. Gue punya Henry, pasangan yang tentu gue berharap kita bakal bersama sampai tua. Kita saling mencintai dan punya cita-cita bersama. Gue gak akan pergi meninggalkan Henry terpuruk dengan nasib buruk.

“What if i won't go? Gimana kalau gue bisa meyakinkan Henry bahwa bersama, kita bisa melawan palace dan menghadapi pertanyaan rakyat selama ini.” Gue mendesak, menantang Philip sebagai seorang calon raja yang akan menghadapi kacaunya masa depan jika memang kebusukan palace bisa dibongkar.

Philip menghela napas berat, punggungnya bersandar pada bantalan kursi bersedekap dada. “Maka kamu harus memilih, Alex.” Kedua matanya menatap milik gue serius.

Maksud kedatangannya bukan hanya menjelaskan titik mulai cerita tetapi juga menawarkan sebuah pilihan sulit yang pada ujungnya gue harus memilih apapun itu.

“Hidup bersama Henry dan melihat mereka berdua menderita, hidup dihantui rasa takut sebab father punya seribu cara untuk menyiksa. Atau kamu pergi membiarkan Henry hidup seperti pada semestinya tidakㅡ”

“Tunggu!” Gue memotong kalimat Philip kala mendengar ada kata yang janggal. “Apa maksud lo mereka?” Gue bertanya.

“Dokter menyatakan Henry sedang mengandung sudah dua minggu lamanya.”

Untuk sekali lagi muka gue ada yang nyembur SURPRISE MOTHERFUCKER! tapi kali ini sensasinya lebih menegangkan karena gue adalah calon ayah, dan calon ayah ini bisa kehilangan keduanya jika dia salah mengambil pilihan.

“Fuck...” Gue sekarang lemah.

Gue udah bilang Alexander Gabriel Claremont-Diaz itu gak punya rasa takut dan kelemahan selain orang tua gue, sahabat gue, dan Henry sekarang ditambah calon buah hati gue. I can't afford to be reckless.

“Jadi kamu tinggal untuk melihat mereka satu persatu mati atau pergi dan memastikan kehidupan ini berjalan seperti semula.”

“Can-not.. Can't they just come with me to US? Gue bisa beli tanah di tempat terpencil dimana mereka gak ada satupun yang kenal Henry. Gue bisa menjamin kepergian gue dan Henry gak lagi menimbulkan ancaman bagi palace kedepannya.”

Philip menggeleng yakin. “Dia akan membunuhmu terlebih dahulu sebelum satu jari kakimu menginjak rumput di halaman palace.”

Shit!

“Oke. Kalau gue memilih pergi apa lo bisa menjamin keselamatan mereka berdua di palace?”

Melihat dari dua pilihannya bagi orang yang mencintai tentu bukan pilihan sulit. Bertahan melihat belahan jiwamu mati atau pergi. Tentu pilihannya adalah pergi, sebenarnya jawaban itu yang mereka mau bawa untuk dilaporkan. Sebenernya jawaban itulah yang membuat Philip diam di bangkunya dan tak memberikan waktu untuk gue berpikir lebih panjang. Sebab hanya ada jawaban itu yang bisa gue pilih sebagai jawaban paling benar dari keduanya.

Hanya saja gue ingin memastikan apakah ada jaminan jika memilih jawaban tersedia. Dan jawaban Philip adalah, “Saya bisa menjamin Henry tetapi untuk calon anak kalian saya takut menjanjikan sesuatu yang saya sendiri tidak bisa menebaknyaㅡ”

“ㅡtentu kedatangan saya kemari bukan hanya untuk menawarkan pilihan melainkan juga menawarkan sebuah solusi. Sebab melihat situasi seperti ini saya juga sanksi apakah nyawa adik saya aman jika terus berada di palace.”

“I need to call him. I need to talk to Henry.”

Apapun yang akan terjadi, apapun resiko yang akan datang dari pilihan yang gue ambil setidaknya mungkin untuk yang terakhir kali gue mau denger suaranya. Gue mau dia tau bahwa gue tau akan keberadaan calon anak kita dan gue akan mengusahakan yang terbaik untuk kebahagiaan kita di masa depan apapun akhirnya, bersama atau berjalan sendiri-sendiri.


`hjkscripts.


LEE COTTAGE NEW ARSENE, MAC

Katharina sampai dua puluh menit kemudian. Membelah jalan sepi dengan bau petrichor dipandu cahaya remang dari bulan. Katharina berlari, ingin tiba secepatnya melihat keadaan yang sebenarnya.

Sesampainya di pondok Katharina kebingungan. Berlarinya dia sambil merapal doa, berharap kawannya hanya membuat tipuan bodoh entah untuk merayakan apa. Seolah dipukul palu, doa yang dia simpan dalam kaleng kaca retak remuk menjadi pasir kala terparkir mobil ambulan dan banyak mobil polisi.

“Itu pasti bukan Alex.” Pintanya lagi.

Sayang sekali, hari ini meskipun hujan turun dengan deras bukan doanya yang didengar. Bukan pula doanya yang dikabulkan. Dua manik matanya menatap nanar kala tiga orang turun dari tangga bambu. Dua adalah petugas polisi dan yang satu adalah sahabatnya sendiri.

“ALEX!!!” Teriaknya histeris. Semua mata tertuju padanya.

“ALEX!!!” Katharina tak peduli, mengerahkan seluruh tenaganya untuk menembus pagar manusia yang membatasi kerumunan dan lokasi tempat kejadian.

“FUCK! ALEX!” Dia masih berteriak, mengeluarkan seluruh suara yang dia punya. Mereka gak boleh menangkap Alex.


Katharina Point of View.

Ya Tuhan tolong hambamu

Gue mengusap wajah yang udah berminyak ini entah berapa kali. Gue ngantuk, capek, kebingungan, khawatir pokoknya gue gak bisa jelasin gimana mixed feeling-nya di dalam.

Bayangin aja dalam waktu detik gue membuka mata karena nada dering ponsel gue udah melihat pesan Alex yang isinya dia menginformasikan kalau habis bunuh orang. Gila nggak? Gila nggak menurut lo kalo jadi gue? Terus gue harus lari dari pondok ngikutin mobil polisi sampai kantor polisi daerah setempat.

Sudah berjam-jam gue menunggu Alex yang masih diperiksa dengan linglung. Gue gak tau harus melakukan apa. Gue bahkan gak sempet ngabarin orang-orang di Amerika sebab gue sendiri gak tau gimana kronologinya. Mendengar dari desas desus katanya ada rampok.

Sumpah aneh banget. Kalau dipikir-pikir sudah tiga bulan gue dan Alex tinggal di sini dan tempat ini lebih safety daripada Amerika. Di Amerika bahkan bernapas di pagi hari aja lo harus awas, tapi di sini gue merasa aman. Bahkan waktu harus keluar tempat tinggal di tengah malam.

“Keluarga Tuan Claremont-Diaz?” Lamunan gue dibuyarkan begitu saja oleh suara salah satu petugas yang keluar dari ruangan.

“Silahkan anda bisa mengunjungi Tuan Claremont-Diaz.” Gue mengangguk dan dia pergi aja menjauh dari pintu.

Gue masuk ke ruangan kecil cuma ada Alex dan salah satu petugas yang berjaga beberapa meter di belakang Alex. Gue bisa nebak gimana ekpresi anak ini dan bener aja kita berdua sama-sama linglung.

“Alex.” Gue lega banget ketika bisa sentuh tangannya lagi. Gue raba beberapa bagian tubuhnya memastikan gak ada luka selain goresan panjang di lengannya. Gue raba wajah lelahnya seraya menguatkan akan keadaan yang belum kita tau seperti apa.

“Alex.” “Kath.”

Gue nangis, udah bodo amat gue jarang nangis di depan dia. Seinget gue udah dua kali gue nangisinin ini orang di keadaan yang sama. Iya sama-sama di kantor polisi dan dia sebagai pelakunya. Semoga saja yang kali ini dia bukan pelakunya.

“Gimana bisa sih Alex? Gimana kejadiannya lo bisa sampai kayak gini?” Gue akhirnya bertanya.

“Gue gak tau, intinya gue denger pintu kamar gue berisik banget dan ada tiga orang bawa senjata tajam pakai topeng. Gue yakin mereka gak mau harta gue melainkan nyawa gue. Mereka bertiga nyerang gue, sampai salah satu dari mereka medekat ke gue kayak mau nusuk gue pakai pisau tapi tiba-tiba orang itu tergeletak dengan pisaunya nancep di abdomen dan setelahnya dua orang yang lain kabur.”

“Maksud lo orang orang itu berniat ngejebak lo?”

“Kalau ceritanya begitu emang lo percaya?” Tanya Alex. Sebagai orang yang bertahun-tahun jalan bareng Alex gak ada yang gak bisa dipercaya di dunia. Kalo Alex bilang dia dijebak maka gue percaya meskipun gue belum paham motifnya.

Sayangnya gak ada satupun saksi mata selain dua orang komplotan yang kabur dan Alex sendiri. Meskipun kejadiannya bisa disimpulkan sebagai usaha pertahanan diri dari perampok bersenjata tajam, di negara ini siapapun yang membunuh apapun alasannya tetap akan menjadi tersangka.

Yang membuat gue berkurang paniknya adalah dia Alexander Gabriel Claremont-Diaz, lawyer yang biasa menghadapi seluk beluk kejahatan. Semoga... semoga masalah ini bukan masalah besar dan Alex dapat dengan mudah menghadapinya.


`hjkscripts.


Henry Point of View.

Alex, dengarkah kamu saat aku menyebut namamu. Bisakah kamu rasakan bahwa aku merindukan kamu. Tahukan kamu detik ini aku membutuhkan kamu. Sayangnya aku mulai sekarang harus diubah menjadi kita. Karena aku tidak lagi sendirian. Aku bukanlah Henry seorang. Ada bagian dari dirimu yang akan ada terus bersamaku.

Alex, dengarkan aku seorang. Aku minta maaf sebab tidak menyadari kedatangannya. Harusnya aku tahu lebih cepat dan aku bisa mengumumkan padamu. Aku bisa bayangkan senyum kamu, aku bisa rasakan bahagia. Kita berdua sekarang lengkap sebagai keluarga. Aku, kamu, dan anak kita.

Alex, dia ada di dalam sini. Tumbuh di dalam perutku yang masih rata kini. Pantas saja aku suka berdekatan dengan kamu hari lalu. Mereka pintar bukan, tau jika itu feromon ayahnya dan mereka nyaman akan sentuhan tanganmu yang bermain di permukaan perutku malam itu.

Alex, harapanku kamu ada di sini dan dengarkan detak jantung kita berdua. Gumamkan kalimat sayang penguat rasa gelisah. Sebab kami ingin tidur bersama rasa aman yang kamu pasti bisa hadirkan. Bukannya menghadapi kecemasan menebak atas apa yang akan datang.


`hjkscripts.