i want to know about you.
Ini adalah hari pertama sejak Alex menyadari dia telah menemukan apa yang tengah dia cari. Alex lega sebab tak butuh banyak drama untuk melepaskan rindu. Usahanya tidak sia-sia, kerja kerasnya terbayar lunas.
Meskipun begitu, Alex tetap sabar diri. Langkahnya pula terus berhati-hati. Dia tidak bisa ceroboh, menunjukkan letupan kembang api yang muncul begitu pandangannya menangkap keberadaan Nicholas pada berbagai sudut sekolah. Dia tidak bisa ceroboh, berlari bagai anak perempuan yang bahagia bertemu sang ayah yang kembali dari tugas negara di perbatasan.
Saat ini cukup begini, cukup dengan mengetahui bahwa mereka hidup dengan baik meskipun sederhana. Cukup dari jarak ini, setidaknya Alex dapat memberikan sedikit kasih sayang tanpa dianggap orang aneh. Setidaknya Alex dapat memberikan pelukan kecil walau dia menganggap itulah hubungan erat antara guru dan siswa.
Dan setidaknya, Alex bisa menghampiri tanpa sebuah alasan dan duduk mendamping sosoknya yang tengah dilanda gundah.
Alex meletakkan tray makanan di atas meja, memasukkan satu persatu kakinya dan duduk di kursi panjang kantin. Dia berdehem mengambil sedikit atensi dari si anak yang hanya menunduk makan sedikit demi sedikit tak napsu seorang diri.
Dewasa itu tersenyum kecil menyapa pandangan si anak untuk pertama kali.
“Sir Alex.” Nicholas membenahi letak duduknya menjadi tegap. Membalas senyum yang lebih dewasa seadanya.
“Kenapa makanannya? Gak enak?”
Nicholas menggeleng tidak setuju. Tentu itu hanya pertanyaan pembuka. Sedangkan makanan kantin setiap hari pasti disukai anak-anak remaja.
“Gimana kabar Viscount? Kamu ngobrol sama dia?” Alex mengubah arah pembicaraannya menuju inti.
“Dia sempat hubungi saya kemarin dan saya pikir dia lumayan membaik. It's just... katanya boring di rumah mostly sendiri dari pagi sampai sore.”
Alex mengangguk paham, kedua anaknya sudah terbiasa tinggal di asrama bersama teman-temannya. Dia jadi lumayan menyesal, namun hanya itu keputusan yang dia bisa lakukan untuk saat ini. Dirinya tidak ingin timbul amarah dari pihak yang terkapar sebab sekolah seolah enggan mengambil keputusan untuk menghukum terduga pelaku.
Well, he really can't do anything at least for now. Melihat keadaan Viscount yang masih trauma ketakutan. Dia tidak bisa memaksa apalagi menyudutkan Viscount untuk segera berbicara seperti yang dia lakukan pada bajingan di luar sana. Terlebih, Viscount itu putranya sendiri. Terpenting adalah dia sehat secara keseluruhan lalu kita akan lihat hasilnya nanti.
“I'm sorry i couldn't doing much.” Ujar Alex benar menyesal.
Nicholas dan senyum teduhnya, inilah dia. “Sir Alex sudah janji mau bantu pun berarti bagi keluarga saya.” Balasnya.
Asal kamu tahu wahai Nicholas. Sir Alex tentu rela membantu tanpa syarat bukan sebab dia manusia bijaksana. Tetapi dia adalah seorang ayah yang akan melindungi keluarganya sekuat tenaga. Keluarga kamu harusnya dipimpin oleh dia.
“Jadi, yang kemarin itu papa kamu?”
Alex dan Nicholas menyusuri lorong panjang yang menghubungkan bagian depan dan belakang gedung sekolah. Berjalan berdua dengan Alex yang merangkul nyaman bahu lebar seperti miliknya dan tangan bebas keduanya menggenggam satu ice cream stick masing-masing.
Mereka berdua menikmati pemandangan yang hampir seluruhnya hijau dengan aksen warna biru dari langit yang mengintip sedikit sebab di atas mereka ada penutup yang membuat lorong panjang ini teduh. Berhembus sepoi-sepoi angin, mengacuhkan tatapan mata iri dari siswa yang menyadari kedekatan keduanya belakangan ini.
Nicholas itu paling bisa menahan emosi. Bahkan Alex saja kagum. Nicholas pasti mendengar sama percis apa yang dia juga dengar. Banyak siswa berbisik namun terlalu kencang hingga angin membawa kalimat mereka masuk dalam telinga. Bukan kata-kata baik melainkan gunjingan semata.
Jika yang tengah bersama Nicholas adalah Alex enam belas tahun lalu sudah pasti kejadian Viscount terulang lagi hari ini. Sebab Alex yang dulu hanya anjing gila bukan seperti sekarang yang masih si anjing gila juga namun juga seorang ayah.
“Betul, Henry Fox itu papa saya.”
Alex mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Sebagai pintu dibukakan untuk pertanyaan ingin tahu selanjutnya. Inilah kesempatan dia untuk tahu lebih banyak tentang keluarga kecilnya.
“Does he a florist?” Nicholas mengangguk memebenarkan.
“Anything else?”
Kali ini Nicholas menggelengkan kepala dan menjawab, “Tidak ada. Sejauh ini saya mengenal papa saya lihat dia tidak pernah jauh dari pupuk, pot, dan bibit bunga.”
Alex terkekeh, he's so Prince Henry after all. Henry suka berkebun, setidaknya itu kegiatan lain selain membaca buku. Aku bertanya-tanya bagaimana keadaan tamannya di taman istana sekarang. Apakah Henry masih khawatir tentang itu juga?
“Do you guys living just with your papa?” Alex tahu pertanyaan ini terlalu impulsif, namun hati dan otaknya mendadak miskonsepsi sehingga mulut secara refleks memilih kata tanpa melalui proses penyaringan.
Alex melirik Nicholas yang untungnya sama sekali tidak terganggu dengan pertanyaannya. Nicholas masih terpaku dengan pandangan lurus ke depan.
“Betul, sir. Sejak kami lahir hingga sekarang kami tau kalau hanya papa yang kami punya.”
Seolah ini menjadi sebuah kesempatan dalam kesempitan, Alex melancarkan ketidaksopanannya sekali lagi. “Lalu kalian pernah bertanya dimana ayah kalian yang lain?”
Nicholas mengangguk kesekian kali. “Pernah dua kali. Kali pertama kami hanya mengangguk paham sebab kami masih umur enam sejak kami memahami kenapa keluarga mereka ada dua orang dewasa. Bagi Nicholas dan Viscount kecil reasurasi dari kalimat papa yang mengatakan keluarga kita spesial sudah membuat kami puas.”
Nicholas menjeda ceritanya sebentar, menyesap batang ice cream yang hampir meleleh di tangannya. Sedangkan Alex masih menyimak seksama, sesekali tak sengaja malah menguatkan remasan jari-jarinya pada bahu si anak.
“Kedua kali saat kami mulai mengerti situasi bahwa keluarga yang hanya ada omega di rumahnya adalah ketidaksempurnaan. Alpha yang harusnya memimpin kami bukan papa yang omega. Kala itu Nicholas dan Viscount marah mengetahui papanya yang berbohong tentang uniknya keluarga mereka demi menutupi banyak kurang kita. Namun bodohnya, kedua anak ini malah tidak sengaja menyakiti hati papanya. Seseorang yang bisa mati saat melahirkan kami atau mati gila saat berusaha membesarkan dua anaknya seorang diri. Sejak saat itulah kami berjanji untuk tidak peduli, entah bagaimana sempurna keluarga mereka tidak milik kami. Bagi kami papa itu pemimpin paling hebat sampai kapanpun.”
`hjkscripts.