marahnya si anak nakal.


Viscount Point of View.

Hari kamis waktunya penyegaran tubuh. Pelajaran olahraga di pagi hari membuat gue gak semangat. Gue itu paling anti sama yang namanya olahraga atau gerak-gerak berlebihan. Lebih senang melakukan hal-hal yang diam di tempat kayak dengerin lagu atau gambar.

Orang sering salah sangka hanya dengan menilai senyum dan cakap jahil yang keluar dari bibir. Viscount pasti anaknya gak bisa diem, petakilan. Tentu salah, gue lebih suka melakukan kenakalan tanpa mengeluarkan banyak tenaga, kayak nongkrong di suatu tempat sepi. Sebab anak nakal ini sadar dia tetap lemah di dalam.

Gue punya banyak rencana jahil tapi gue gak punya tenaga. Pokoknya masalah gerak badan jadi milik si tenang Nicholas. Lihat aja badannya dia, berotot dimana-mana dibandingkan gue yang tinggal tulang diselimuti kulit.

Tepat hari ini pun badan gue baru terasa sehat sejak kena hukum si anjing gila di hari pertama sekolah. Bayangin langsung disuruh push up bersama seratus kali tapi kalau ada yang menyerah sebelum itu diulang dari satu. Jelas, jagoan ini hanya bertahan lima belas menit sebelum dadanya sakit diikuti napasnya yang putus-putus. Lewat dari itu gue udah gak inget apa-apa selain bangun dari klinik sekolah.

Keesokan harinya gue udah gak apa, tapi istirahat nakal lebih lama jadi keputusan. Selasa, rabu menjadi full time bayangan Nicholas. Kamis ini pun masih sama, terbukti dari gue yang duduk dipinggir lapangan dengan bosan bersama cewek-cewek yang lagi zinah mata nonton anak cowok kelas lagi main pertandingan rugby sederhana.

Nick jelas jadi pemain utama, maka dari itu gue ada di pinggir menunggu dia.

Lama banget sampai sisi lapangan tergerus panas karena gak ada penutup di atas kepala. Gue berpindah mundur terus mundur sampai akhirnya menempel pada tembok. Aman kalau di sini, di atas kepala ada payung penutup yang menempel di sepanjang tembok bangunan.

Beberapa menit kemudian lewat lah segerombolan anak laki-laki. Gue kenal, satu angkatan cuman bukan temen sekelas gue. Dibilang musuh ya bukan, dibilang temen kadang pengen nonjok sebab mulutnya yang mirip sampah. Seringnya gue hampir tersulut, inget ya HAMPIR.

“Weh Vis! Udah sehat lo? Kemarin gue denger lo pingsan abis dihukum guru baru.”

Gue menjawab dengan senyum kecil seadanya, asal dia mengerti artinya adalah iya. Gue males banget nanggepin obrolan mereka. Pertama cuma basa-basi selebihnya ada aja yang menyulut emosi.

“Oh iya lo kenapa gak join main? Itu Nicholas sama temen lo yang lain main. Malah ngadem disini kayak anak cewek aja.”

Denger sendiri kan? Emang paling bener gak usah ditanggepin. Cuman kalau gak ditanggepin bakal ngoceh terus sampai kita marah dan mereka ketawa puas berhasil mempermainkan tingkat kesabaran kita.

“Gimana mau main kan ada penyakit dia. Ntar pingsan lo mau gendong?” Mereka ketawa geli. Mau counter balik yang ada bikin ribut.

“Yaelah, gue juga ada penyakit gitu tapi santai aja. Kalau emang cowok mah. Kata papi gue alpha gak ada yang lemah. Lemah cuma punya omega.”

“Oh apa jangan-jangan lo omega kali, Vis. Dokternya salah ketik hasil tesnya.”

“Iya bener, lo omega kali kan papa lo omega juga. Mana mungkin papa lo omega terus punya anak alpha.”

“Siapa tau papanya satu lagi alpha...”

Papanya begini, papanya begitu, papanya berbuat salah dengan alpha yang bukan miliknya lalu diusir karena hamil gue dan Nicholas. Berapa kali gue denger kalimat omong kosong seperti itu. Muak gue dengernya.

Papa juga tahu, kita bertiga tahu desas-desus di belakang kita oleh orang yang tetap menyapa dengan senyum paling ramah. Papa tahu tapi papa memilih diam dan mengajarkan kami bungkam. “It's not worth it.” Katanya.

“It's not worth it while they don't even know the truth is.”

The truth is either they and usㅡ me and nicholas are also clueless about that. About papa and his past life. But, i choose to believe him that the truth is way far from whatever people say.

Maka dengan kepercayaan ini, dengan rasa percaya yang amat mendalam ini muncul reaksi panas dari sakit hati. Reaksi panas itu mendidihkan seluruh darah dalam tubuh mengaktivasi emosi. Emosi kini terus meningkat sebab tak ada satu alasan dalam pikiran untuk meredam.

Berakhir satu pukulan menjadi awal dari langkah melampiaskan. Satu pukulan ini menjadi banyak, terus menerus membabi buta. Otak kopong diselimuti dendam, telinga bolong namun tak menerima suara yang masuk berteriak memperingatkan.

Mata gue merah sebab nafsu mengambil alih. Tak peduli dada sakit dan napas tanda kelemahannya mulai muncul.

Ditarik tubuhnya, memberontak dia. Siapa yang mengendalikan anak ini? Gue sendiri gak mengenali. Apa yang dia tahan selama ini? Sampai pukulannya setajam belati. Lawannya terkapar berlumuran darah mungkin jika lebih lama bisa langsung mati.


Alex Point of View.

Empat hari sudah terhitung gue mengajar di sekolah ini. Selain hari senin, selanjutnya berjalan seperti biasa. Gue mengajar materi dari kelas ke kelas menghadapi wajar tabiat remaja.

Ada yang memperhatikan ada pula yang enggan. Ada yang bertanya senang ada pula yang sungkan. Ada yang matanya terbuka ada pula yang sulit terjaga. Ada yang langsung mengerti ada pula yang menoleh kanan kiri.

Mereka semua dalam proses belajar begitupun dewasa seperti gue ini.

Gue memandangi anak-anak yang lagi bersorak-sorai. Sebagian anak perempuan tak mengenal panas terus berteriak menyemangati anak laki-laki kelasnya yang saling bertanding rugby di lapangan.

Ahh, Nicholas bermain sangat apik, hampir bolanya didekap sendiri dari ujung menuju gawang lawan. Seruan namanya juga terus berkumandang semakin lantang kala anak itu menyeka keringat dengan bajunya sehingga tubuh maskulinnya terekspos oleh mata.

Gue tersenyum kala mengingat cerita anak itu Minggu lalu kala dia menceritakan betapa menyenangkan rugby namun papanya sering jengkel sebab baju olahraga sering terkena lumpur. Nyatanya benar begitu, pakaian Nicholas tak nampak warna daripada baju kawannya.

Menelusuri sekitar jatuh pandang pada sosok anak lelaki yang tau akan bahaya matahari. Dia tengah duduk tenang di bawah bayangan payung.

Gue sudahi kegiatan memandang, sejenak mengistirahatkan mata dari kegiatan memeriksa buku tugas siswa. Gue kembali lagi pada pekerjaan yang tak ada henti. Mengambil buku tulis paling atas dan membuka lembarannya. Gue mengarahkan bolpoin merah, membaca kata demi kata, memberikan nilai sempurna tanpa coretan tinta. Gue tutup bukunya membaca nama empunya,

Nicholas Fox.

Gue melakukan hal yang sama pada tumpukan tepat di bawahnya. Kali ini bolpoin yang gue bawa cukup berguna, menandai nomor yang kurang tepat serta memberikan bantuan untuk jawaban yang salah dengan yang sebenarnya. Terakhir menorehkan angka delapan puluh, lalu menutup buku sesudahnya.

Satu ini milik... Viscount Fox.

Nicholas Fox... Viscount Fox... Nicholas and Viscount Fox... Fox...? I know Fox from somewhere.

Fox Fox Shit... Henry Fox?!

Belum sempat gue menghubungkan helai benang merah dari titik ujung menuju titik temu ketika mendengar teriakan dari luar jendela. Gue beranjak mengintip sebentar ada apa. Gila perangai para remaja, baru ditinggal sebentar sudah lain situasinya. Lebih gilanya lagi mana ada guru melintas.

Gue berlari, meninggalkan ruang guru yang nampak kosong sebab ini masih jam pelajaran bagi kelas lain. Tiba di lokasi kejadian gue bergerak cepat menarik Viscount dan amarah membara. Anak ini berontak, entah siapa yang mengendalikan.

“ADA APA INI?!” Teriak gue kepada banyak saksi mata. Kedua lengan sekuat tenaga menahan Viscount yang masih meronta.

Mereka semua menggeleng bersalah sebab tidak tahu jawabannya. Nicholas membelah kerumunan, menghampiri gue dan Viscount.

“Nicholas tolong saya bawa Viscount ke ruang konseling. Saya masih harus membawa anak ini ke klinik.”

“Baik, sir!”

Dua kali sudah gue menggendong anak remaja menuju klinik. Tentu hari ini bukan hari yang mudah lagi. Mungkin bener kata Katharina karma comes all the way to me dan gue cuma bisa pasrah menjalani sisa hari.


`hjkscripts.