sunday is a family day.


Viscount Point of View.

Selama gue diperjalanan gak pernah hilang dari pikiran akan sebuah pertanyaan. Hanya satu yang sampai sekarang membuat gue terus menerka-nerka. Kemana? Dengan siapa? dan ada urusan apa Nicholas pergi ke kota seorang diri?

Bayangin aja, seorang Nicholas yang amat homebody dan dijuluki Henry Fox 24/7 protector berakhir izin keluar. Literally keluar untuk bersenang-senang, bukan hanya olahraga mempertahankan fisiknya yang nampak semakin mapan.

Gue benci sebenernya sama dua orang ini, semua yang gue tanya gak mau jawab. Entah yang bersangkutan sendiri atau yang memberi izin.

Tunggu... tunggu... kalau kalian berpikir gue bersikap begini karena gue gak diajak atau gue yang katanya adeknya kakak banget, jelas itu sebuah kesalahan. Gue begini karena gue khawatir, ya takut Nicholas digangguin orang gak jelas aja di kota, secara kan dia orangnya nerd as fuck meskipun perawakannya semua orang juga kadang takut duluan. But, all that biceps just for rugby things anyway.

Sampai di kota, mobil menepi di pinggir jalan yang gak jauh dari pintu masuk kawasan pertokoan. Pasrah sih ini gue beneran dibiarkan clueless. Nicholas keluar mobil setelah berpamitan dengan papa terus dia juga gak lupa nengok ke bangku belakang dimana gue dan muka badmood berada. Gue gak memperhatikan dia, buang muka aja gitu ngeliatin jalan.

“Lo nanti mau nitip apa?” Gue sampai gak denger dia ngajak gue ngobrol sebab earphone bertengger menutup dua telinga dengan volume yang lumayan memisahkan dunia musik dan dunia realita.

“Vis? Dek? ADEK?!”

Fuck sake! Gue paling benci dipanggil adek. Gak masalah kalau yang manggil papa, tapi kalau dia gue gak suka. Gue gak suka akan fakta gue butuh banget dia. Seakan-akan panggilan adek bikin gue orang paling lemah yang gak bisa apa-apa. Panggilan adek dari mulutnya itu kayak mantra yang seketika gue jadi malfungsi, udah bodoh banget bahkan cuma buka penutup stoples selai yang masih baru.

“Hmm.” Gue merespon seadanya.

“Lo nanti mau nitip apa?” Ulangnya sekali lagi. Gue gak serta merta menjawab. Kedua mata menatap jalanan yang lumayan padat di luar kaca.

“Terserah lo aja.” Jawab gue yang artinya sudah pasti Nicholas akan membawakan kue brownies kukus favorit gue.

“Ok. Gue jalan sekarang ya. Lo jangan nakal di sana, jangan jauh-jauh dari papa juga. Have fun!” Terus Nicholas keluar dari mobil.

Lihat kan Nicholas and his wise words. Padahal kita semua sama-sama tau kalau kita lahir di hari, tanggal, bulan yang sama.

Nicholas... Nicholas... gue tau lo paling bisa jaga diri. Tapi dalam hati gue juga mau doain, gue harap lo hati-hati dan have fun juga main tanpa gue.


Ham Central Park. Bridge Hampton City, BH.

Central Park hari ini ramai banget. Gak salah sih, bazar ini sebagai bentuk perayaan atas dilantiknya pemimpin baru Main Castle. King Philip dilantik menjadi raja baru sebelum raja yang lama meninggal.

Still doubtful about certain rumors around tapi kata papa, “Kita itu rakyat biasa namanya cuma terdiri dari dua kata.”

Ngomong-ngomong tentang papa, kita hari ini nikmati waktunya berdua aja. Jalan-jalan sambil bergandengan tangan layaknya pasangan kekasih. Gak nolak juga sih kalau dibilang gitu sama lirikan mata iri khalayak ramai. Papa itu ganteng, baik hati kata banyak orang tapi bagi gue papa agak cerewet. Gue lebih seneng dia cerewet, kayak ada sensasinya gitu waktu mendebat kalimat-kalimatnya.

Paling puas pas dia udah keluar kata andalannya, terserah kamu dek, papa pusing. Dua kali lebih seru lagi pas dia ngomong kayak gitu waktu kita debat kusir empat mata. Gemes banget wajahnya.

Berjalan-jalan pagi sambil cobain jajanan yang mostly tradisional ini sama papa emang rasanya sungguh menyenangkan, gak ada dua. Gue jadi bisa ngerasain rasanya jadi Nicholas.

Papa itu pernah bilang sama gue kalau dia sama Nicholas mau minta izin beberapa jam atau satu hari penuh waktunya untuk dikosongkan. Tanpa ada gue, hanya papa dan Nicholas.

Gue gak iri, malah gue ngerti. Soalnya dari kecil sampai sekarang gue kayak pusat dunia di rumah. Gue sadar kalau gue masih belum mandiri, gue masih butuh papa, juga Nicholas. Sedangkan posisi Nicholas yang memang jauh lebih dewasa ketimbang gue. But in the end of the day seberapa dewasa Nicholas ya masih butuh papa at least buat jadi tempat curhat. Sekali lagi gue betul gak iri, sebab gue sadar diri aja kadang gak paham sama masalah hidupnya Nicholas jadi biarkan papa yang menampung dan memberikan saran terbaik.

Balik lagi dengan kebersamaan gue dan papa. Papa hari ini keliatan seneng banget. Banyak senyumnya yang bikin gue semakin bahagia dan berpikir ajakan gue yang rada memaksa kemarin gak ada salahnya.

Hampir semua jajan dia mau beli, tapi cuma dicoba sedikit sisanya gue yang harus makan. Mungkin efek papa capek, kerja terus, kadang kala waktu libur begini dia udah nyerah duluan diajak jalan. Paksaan emang gak baik, tapi dibeberapa kasus dibutuhkan juga.

Menyaksikan senyum papa waktu main game sederhana begini membuat keinginan nakal gue sejenak pergi. Gue mau dewasa, gue mau gak ngerepotin papa terus. Gue mau cepet gede dan pinter biar bisa kerja enak terus dapet duit banyak. Semuanya biar papa bisa istirahat, dari senin sampai minggu duduk-duduk di depan televisi.

Pokoknya papa itu segalanya, kesayangan gue banget pun Nicholas pasti punya cita-cita yang sama kayak punya gue.

Pa, papa sehat terus ya, tetep awet muda, ganteng gini. Terpenting, papa bahagia secukupnya bisa senyum kayak gini. Viscount janji kurang-kurangi nakal, maaf ya pa belum bisa hilang soalnya kalau Viscount gak nakal rumahnya jadi hening.

Viscount sayang papa.


Nicholas Point of View.

Belum ada tiga detik mobil papa melenggang pergi melintas jalanan kota, sebuah mobil apik berhenti di depan kaki gue berdiri.

Gue tersenyum masih dengan perasaan kagum yang sama ketika melihat dewasa dia di layar kaca atau ketika pertemuan pertama kami di rumah hampir bukit. Dia lelaki yang perawakannya hampir sempurna dengan kulit tan yang cocok melapisi otot-otot di seluruh tubuhnya.

Senyumnya tak kalah menawan, sedikit menyeringai dilengkapi lesung pipit tercetak jelas pada tulang pipi serta bulu mata lentik seolah ikut tersenyum kala empunya begitu. Semua mata yang bertatap dengannya pasti berburuk sangka bahwa lelaki dewasa ini berniat menggoda. Padahal tidak, itulah pesona si anjing gila, Alexander G. Claremont-Diaz.

Dialah sosok idola juga pria yang semakin matang diusia yang tidak lagi muda. Bergelar mantan putra presiden perempuan pertama Amerika juga bibir romantisnya kala mengungkapkan betapa setia dia pada pujaan hatinya. Meskipun hingga saat ini masih sebuah rahasia.

Gue gak bisa berhenti berdecak kagum kala satu kalimat tertata keluar dari mulutnya. Vulgar kosa katanya membuat dia semakin menakjubkan kala membahas tentang bidang pekerjaan. Dia menjelaskan hukum dari sisi yang berbeda.

Sampai hati ini terus bertanya-tanya manusia macam apa dia, kok susah terlihat kurangnya. Manusia macam apa dia, kok tak nampak sama sekali lubangnya.

Banyak sekali teka-teki yang ingin gue selesaikan dalam satu kali duduk. Mengenalnya lebih jauh daripada ini. Namun, mendengarkan alunan bariton kala mengungkap kebrengsekan manusia membuatku lupa dan terus menganga.

Apa yang membuat dia datang kemari?

Apa yang membuat orang hebat ini melepaskan pekerjaannya untuk menjadi guru sekolah di sini?

Apa yang sedang dia ingin ketahui dan dia cari?

Belum berani gue belum sampai hati bertanya lebih melewati batas menghormati.

“Jadi saya sudah banyak cerita tentang saya dan pekerjaan saya di sana. Giliran kamu kalau diperkenankan. Anggap saja kamu sekarang murid kepercayaan saya.”

Gue tentu tersipu malu-malu dianggap begitu. Yang di depan gue ini bukan orang biasa di luar sana.

“Saya di kelas sebagai ketuanya. Mereka yang tiba-tiba mengajukan tanpa peduli saya mau atau tidak. Fine, being headboy ain't horrible. That is fun though. Saya juga masuk dalam tim rugby, I love rugby so much, tapi papa agak benci karena baju saya selalu kotor karena lumpur.” Gue terkekeh, Sir Alex pun begitu. Mengingat papa selalu ngomel waktu lihat baju kotor gue setiap hari Jum'at mau gak mau bikin ketawa.

“Kamu anak pemilik toko bunga kan? Maaf saya dengar dari Mrs. Tina kemarin.”

Gue mengangguk, “Yup. Itu toko papa saya bangun pakai keringat dia sendiri. Papa saya itu orang tua tunggal jadi dia harus kerja keras.”

“Cool. That was amazing. Berarti kamu paham banyak ya tentang bunga?”

“Not really.” Gue menggeleng. Memang betul gue kurang paham tentang bunga. “Papa yang paling paham karena dia rawat sendiri dari bibit hingga mekar di kebun belakang rumah.” Gue melanjutkan.

“Saya bisa bayangkan rumah kamu indahnya seperti apa. Wanginya bahkan menempel di badan kamu Feromon kamu baunya kuat dan familiar, saya bisa cium dari jauh. Kamu alpha benar kan?”

“Betul. Semua orang yang pertama kali bertemu saya pasti berkomentar yang sama tentang feromon saya.” Gue mengangkat gelas berisi *Iced Mocha, menyesap sedikit kala terlibat hampa di antara gue dan Sir Alex.

“Berbicara tentang rumah saya,” Gue melontarkan satu kalimat tawaran, mumpung teringat di pikirinan. “Sir Alex kapan-kapan bisa main ke rumah saya kalau sir mau.”

“Of course. Sure, i'd loved to.”

Menghabiskan satu hari dengan Sir Alex menyenangkan tanpa ada seruan bosan. Selain papa yang pengertian, gue baru sadar bahwa membutuhkan orang seperti Sir Alex dalam hidup gue.

Gue berharap dia seseorang yang akan deket dengan gue sampai kapanpun. Namun dengan menjadi guru di sekolah rasanya patut bersyukur. Setidaknya gue bisa bertemu dia kapan pun.


`hjkscripts.