kita yang saling merindu.
Henry Point of View.
Terpuruk bagiku ketika aku tidak bisa melakukan apa-apa. Pada kondisi tubuh jatuh di paling titik terendah. Dulu masa heat apa yang berbeda dengan hari biasa? Tidak ada sebab selamanya hidup dalam kamar istana. Sekarang hati rasanya enggan tenang, sebab saat ini aku telah akrab dengan dunia luar.
Mendengar lagi dan lagi Viscount berbuat ulah, pusing kepala mendera. Anakku satu itu paling bisa menghadirkan khawatir. Ditambah kabar sakitnya kambuh akibat dihukum si guru baru. Makin lemas ragaku.
Aku mana bisa menyalahkan gurunya. Konsekuensi sudah si anak yang tingkahnya diluar nalar. Aku mana bisa protes, menghardik sang guru kenapa bisa sampai tega menghukum murid dengan kondisi imunitas lemah. Malu aku malah dibuatnya hanya bisa pasrah menerima.
Pada titik ini, hanya dengan diri sendiri dan bayangan serta ruang tidur sederhana aku merasakan. Perasaan yang bertahun-tahun aku coba untuk sisihkan sejenak. Menyibukkan diri hingga lupa pada masa lalu, hingga lupa bahwa sampai saat ini pun aku dan kakiku berlari selalu.
Aku melarikan diri dari masalah yang aku tinggalkan entah dimana. Membohongi diri sendiri juga dua buah hati bahwa aku ini manusia terlahir biasa. Bukan orang tinggi, apalagi bangsawan. Hanya Henry Fox si pemilik toko bunga kecil.
Kubuka laci di samping ranjang tidur. Kini aku memegangnya alat komunikasi yang menyimpan kenangan. Aku menyalakannya, membuka satu persatu kenangan seolah membuka lembar demi lembar diari kisah hidupku.
Tepat pada satu nama aku berhenti. Nama yang sampai saat ini aku nanti. Dia yang entah kapan akan kembali. Masih ingatkah dia dengan sebuah janji?
Alex apa kabarmu saat ini? Sehatkah kamu? Aku selalu ingin tahu meskipun aku bisa menyaksikan tubuh tegapmu dalam layar televisi. Bahagiakah kamu? Aku juga ingin tahu satu itu meskipun aku bisa melihat banyak materi yang diumbar dalam berita.
Alex oh Alex, tak rindukah kamu akan dua buah hatimu? Semoga kamu tak kecewa aku membesarkan mereka secara sederhana. Banyak kurang daripada lebihnya.
Alex oh Alex, tak rindukah kamu padaku juga? Sebab aku sangat merindukanmu, mendamba hadirmu walau hanya dalam mimpi.
Alex oh Alex, tolong katakan kamu merindukan diriku. Cepat datanglah ragamu menemuiku. Jemputlah aku pulang dalam pandumu.
Alex Point of View.
Gue membuang napas panjang. Mengusap wajah gue kasar frustasi. Masih hari pertama dan seluruh syaraf gue berteriak kesakitan. Terpaksa istirahat tidur adalah jalan keluarnya.
Di atas ranjang ini gue menatap langit-langit. Seakan mereka sedang memutar film yang berasal dari memori.
Film pertama yaitu tentang pesan dari pusat pelayanan guru yang menegurnya sebab menghukum fisik anak yang nakal. Gue cukup dibuat bingung, menghukum fisik boleh dilakukan tanpa ada sentuhan antara murid dan pengajar. Hukuman fisik jelas tertulis hukuman yang dapat mengeluarkan keringat, bermanfaat bagi tubuh atau lingkungan sekitar, dan ada efek jera. Dimana letak salahnya gue memberikan hukuman berupa seratus kali push up?
Sekolah itu aneh, peraturan dibuat seharusnya untuk diimplementasikan. Tapi ya sudahlah anggep aja gue hari ini ada minusnya sebagai guru baru. Gak bisa satu kali coba langsung dapat seratus.
Film kedua gue merasa bersalah memang. Masih lanjutan yang pertama, namun ini tepat saat kejadian. Dimana gue kalang kabut gendong siswa gue yang tiba-tiba drop sambil megang dadanya.
Gimana gue gak ketakutan, napasnya putus-putus dan harus pakai oksigen di klinik sekolah. Gue baru tahu ketika perawat klinik memberikan rekap riwayatnya yang memang anak ini menjadi prioritas klinik. Tubuhnya dia sangat lemah dibanding pola pikir remaja yang kuat.
Mungkin besok, ingatkan diri gue sendiri untuk minta maaf tentang hukumannya.
Ketiga, inilah concern utama. Menapaki kaki di kota yang sama tidak sama sekali membuat proses pencarian ini berlangsung mudah. Kota ini kecil, ujung ke ujung hanya menghabiskan waktu paling lama satu setengah jam pun begitu belum ada tanda-tanda aku bisa menemukan keberadaan mereka.
Atau sudah? Cuma gue yang kurang peka. Katharina bilang kadang nyari sesuatu ga cuma pakai mata juga pakai hati.
Ya Tuhan, rasa rindu kini kian membengkak. Bertambah besar dan berat setiap harinya. Hambamu hanya takut kalau ini akan meledak sebentar lagi. Jika meledak maka gue dan seluruh raga gue akan hancur berantakan menjadi abu. Gue akan gila karena merindu dan gue akan mati sesak membawa kerinduan serta penyesalan dalam kubur.
Henry oh Henry, teganya kamu menutup akses koneksi, menghentikan sinyal perasaan agar aku tak mengetahui bagaimana keadaanmu.
Henry oh Henry, tolonglah aku buka hatimu kembali, tuntunlah diriku agar aku bisa menemukan keberadaanmu.
Henry oh Henry, amat rindu tubuhku memelukmu. Merasakan dingin kulitmu yang membutuhkan kehangatan dariku. Tak sabar pula aku memeluk bukan hanya kamu melainkan dua buah hati kita.
`hjkscripts.