a homeroom teacher.
Alex Point of View.
Hari pertama banting setir menurut gue masih berjalan lancar. Anak-anak berpakaian rapih sejauh mata memandang. Gak ada wajah menjengkelkan ada tabiat remaja. Semuanya senyum, semuanya membalas sapa.
Gue sudahi senyum yang jarang keluar bertahun-tahun ini. Apalagi bagi pekerjaan gue yang lama senyum itu dipergunakan untuk menyapa lawan di meja hijau, tentu saja senyum bukan berarti ramah. Sebab yang diberi senyum akan kecut raut mukanya. Senyum di sana berarti mendapatkan kemenangan dan uang. Sedangkan di sini dibagikan secara percuma tanpa mengharapkan imbalan apa-apa.
Di depan pintu yang tentunya sudah gue periksa papan tulisan penanda kelas, gue berdiri sejenak. Kelas 3-1 gue pandangi tulisannya lalu beralih memastikan kembali tepat dengan yang tertera di buku presensi. Gue menghembuskan napas panjang, lumayan nervous karena ini pertama kali gue bekerja berhadapan dengan remaja, which gue agak takut dengan kelakuan remaja. Gimana nggak, orang tua gue aja pernah hampir menyerah hanya dengan punya satu anak. Gue akui, remaja gue cukup liar pada kala itu.
Sayup-sayup terdengar dari luar kelas berisik. Ketika gue buka pintunya mendadak senyap detik itu juga. Seluruh atensi tertuju pada kedatangan gue. Well gue biasa sama atensi, atensi itu teman sejak kecil. Namun sekali lagi, yang ada dihadapan gue adalah segerombolan remaja yang saat ini resmi menjadi murid gue.
Gue berdiri di depan papan tulis lebih tepatnya di belakang meja kayu jati yang sudah pasti akan menjadi meja gue selama di kelas. Gue amati satu-persatu wajah-wajah mereka yang cukup unik. Harusnya yang tegang kan gue, tetapi seolah kehadiran gue seperti momok bagi mereka.
Satu anak berdiri atas inisiatifnya memecah suasana canggung. Ohhh dia, gue tau dia siapa.
“Attention class! Good morning, sir!” Serunya.
“Good morning, sir” Lalu seluruh kelas serentak membuka mulut, mengulang apa yang dikatakan oleh si pemimpin.
Benar gue tau dia siapa, si anak yang gue kenal sejak pertama kaki menginjak kota. Nicholas anak si pemilik toko bunga. Agak lucu, heran juga sebenarnya seperti pertemuan gue dan Nicholas kayak takdir. Dari banyak kelas di sekolah elit ini, gue dipertemukan dengan Nicholas.
Beruntung gue bisa bertemu dengan dia. Seorang remaja luar biasa yang membuat gue memberikan poin positif tentang anak muda di kota ini. Meskipun kota ini masih tertinggal dalam banyak sistem dan teknologi daripada kota di luar sana. Tetapi pemikiran anak satu ini cukup menarik.
Banyak masyarakat sekitar yang acuh dengan dunia luar. Namun, Nicholas membuka diri dan terus mencari tentangnya. Nicholas dan rasa ingin tau yang tinggi mengingatkanku akan optimisme seorang pangeran yang terkurung dalam istana. Pangeran yang melihat dunia dari sosial media dan buku semata.
Bahkan senyum teduhnya, gerak-geriknya percis dengan si pangeran di masa lalu. His brown hair, red cheeks caused by sun burn, and his accent. Pantas aja gue langsung klop dengan remaja satu ini.
“Selamat pagi anak-anak. Sebelumnya perkenalkan saya Alexander Gabriel Claremont-Diaz. Panggil saja Sir Alex. Beberapa dari kalian mungkin kenal dengan saya melalui berita di saluran luar negeri. Baru saja datang dari Texas Amerika, datang kemari untuk memenuhi panggilan mengisi spot kosong yang tersedia yaitu, menggantikan Mrs. Ellie sebagai homeroom teacher dan pengajar mata pelajaran bahasa inggris. Sebelum memulai ada yang ingin ditanyakan?”
Gue memberi jeda sebentar, memberi waktu bagi siswa untuk bertanya sekedar mengenal gue lebih dari yang gue sampaikan. Hening, sejauh mata memandang banyak dari mereka yang masih malu-malu. Bukan masalah sebab ini masih hari pertama.
“Sir!” Gue menunjuk, mempersilahkan anak laki-laki yang mengangkat tangan dari bangku paling belakang untuk berbicara.
Dia tersenyum miring khas remaja nakal. Tampilannya pun gue bisa menilai, rambut sengaja dibuat acak-acakan, dasi kendur, dan seragamnya yang tak serapih milik temannya.
“Apa benar Sir Alex seorang pengacara terkenal di Amerika?” Tanya dia.
Well, gue sejak awal gak mau bragging tentang gue di luar sana. Tetapi kalau ditanya gue tentu bisa menjawab, “Yes, i am.”
“Apa benar julukan Sir Alex adalah si anjing gila?” Dia melanjutkan. Mendengar pertanyaannya sebagian murid mulai tertawa.
“Satu poin untuk...?”
“Viscount, sir.”
“Sir?” Satu anak lagi dari sisi yang lain mengangkat tangan. Nah, ini baru namanya suasana kelas.
“Silahkan.”
“Kenapa Sir Alex bisa dipanggil anjing gila?” Tanyanya.
Belum sempat gue menjelaskan, yang bernama Viscount menginterupsi tanpa permisi.
“Soalnya beliau banyak bela orang yang salah dengan argumen-argumen tak terbantahkan dan menyudutkan pihak lawan terus menang meskipun ada bukti yang kuat dari pihak pengadu. Benarkan, sir?”
Gue menyeringai, anak ini tidak buruk juga. Gue mengakui lebih banyak orang-orang bangsat yang meminta gue sebagai pendamping saat mereka jatuh. Ayolah, itu memang tugas pengacara. Mereka yang punya kuasa dan harta, kita hanya mampu membela. Gue bukan jaksa yang memutuskan, Gue bukan jaksa yang harus netral. Lagi, bukan semua orang jahat yang gue bantu. Tetapi gue membantu orang-orang yang punya barang satu persen cela dirinya bisa dinyatakan tidak bersalah.
Gue memang si anjing gila, semakin gila harta sebab ada yang harus diusahakan. Jika orang-orang baik mampu membayar lebih gue dengan senang hati maju. Tapi sayang, di dunia ini orang-orang bejat yang lebih mampu.
“Thank you, Viscount. Saya tidak bisa bilang jawaban kamu itu salah, namun lebih suka mengatakan itu kurang tepat.” Gue berjalan meninggalkan belakang meja sampai akhirnya berdiri di paling belakang kelas.
“Hukum di dunia ini tidak serta merta menilai mana yang baik dan buruk. Terlalu naif bagi orang-orang yang menganggap hukum harus membela kebaikan.” Berada tepat di belakang punggung Viscount tangan gue gak bisa diem aja. Tangan bebas gue terangkat untuk merapihkan rambutnya yang mencuat kemana-mana.
“Jika hukum bagi kalian adalah menegakkan keadilan. Pun bagi saya lebih ke sebuah kesempatan, dan semua orang punya kesempatan. Saya sebagai pengacara yang bertugas memanfaatkan kesempatan klien yang membutuhkan bantuan saya.”
“Contohnya seperti sekarang,” Kita berdua bertatapan kala gue berdiri di sisi depan bangkunya. Gue mengambil dasinya yang kendur, menarik tali kecil di belakangnya hingga yang utama naik melingkari kerahnya dengan benar. “Kamu seorang pelanggar peraturan sekolah nomor 2 tentang aturan berseragam yang tepat. Anggap kamu meminta bantuan pada saya dan saya memberikan kamu kesempatan untuk merapihkan pakaian kamu seperti aturan. Akhirnya kamu bebas dari hukuman ringan paling tidak pengurangan dua puluh point belajar.”
Terakhir gue tersenyum, senyum yang gue selalu tunjukkan kepada lawan. Senyum kemenangan yang membuat mereka geram pun terdiam.
“Bagaimana? Paham semuanya?”
“Paham, sir!”
“Baik, kalau begitu kita mulai pelajaran hari ini. Keluarkan modul bahasa inggris, buka halaman sepuluh!”
`hjkscripts.