bertemu namun tak tahu.


From : papa

Nicholas atau Viscount siapapun yang free tolong antarkan welcome flowers ke rumah Mrs. Tina. Alamatnya ada dicatatan. Terima kasih sayangnya papa.

Sepeda dikayuh, berjatuhan seribu peluh. Berisik napasnya terengah, suara desah pula keluar dari mulutnya yang tak pandai mengeluh.

Matanya menyipit menghalangi kejamnya sinar surya pada siang hari. Kuyup bajunya basah, sebab badannya pula seperti setelah mandi. Terkadang dia menyeka keringat yang menetes seperti air mata. Perih dirasa membuat pandangan kabur seketika.

Dia menepi sebentar, mencari pinggiran jalan yang terdapat pohon rindang. Dijagang sepedanya, berdiri di bawah bayangan pokok menikmati sejuk semilir angin. Dia merentangkan tangannya ke atas, menarik ribuan syaraf dan puas mendengar suara sendi. Memeriksa barang bawaan, memastikan bunga dalam keranjang masih cantik rupawan.

Kakinya terus mengayuh menembus jalanan berbatu. Tibalah dia pada titik awal alamat yang dituju. Terkadang santai, seringnya sampai berdiri kerahkan tenaga agar sampai sepedanya menanjak bukit. Maka sampai akhirnya dia di depan rumah yang atapnya hampir menyentuh langit.

“Permisi! Permisi Nyonya Tina!” Seruan si remaja laki dari ambang pintu kayu terbuka. Bersin berkali-kali sebab debu ada dimana-mana.

Siapa gerangan sang pemilik rumah. Pemandangan indah tapi tidak dengan kondisinya. Siapa gerangan sang pemilih rumah. Megah bentuknya tapi tidak elok baunya. Apek, banyak serangga mati, dan tai tikus. Bersyukur dia yang datang bukan adiknya, bisa mati paru-parunya tersiksa.

“Permisi!” Serunya sekali lagi. Sayup-sayup suara dua orang bercakap dari dalam dia interupsi.

Selanjutnya langkah kaki cepat terdengar, beradu dengan lantai terbuat dari kayu. Pintu sedikit terbuka akhirnya dibuka lebar, ruangan yang gelap jadi benderang.

“Nyonya Tina.” Sapanya ramah.

Perempuan paruh baya kini juga menghaturkan senyum ramah. “Nicholas, akhirnya kamu datang juga. Ayo masuk bunganya sudah ditunggu.” Jawabnya begitu.

Nicholas kini mengikuti sang wanita yang berjalan sembari membenarkan letak gelang-gelang emasnya di lengan. Siapapun yang melirik pandai menebak beliau ini bukan orang kampungan. Siapa yang tak mengenal ibu satu ini? Seantero kota banyak yang menyewa dia punya properti.

“Maaf membuat anda menunggu, Sir.” Bicaranya yang pasti bukan dengan si pengantar bunga.

Ahh, sekarang dia mengerti kenapa harus melawan terik matahari hingga mengayuh menuju hampir ujung bukit. Rumah ini akan ada pemiliknya.

Nicholas meletakkan rangkaian bunga di lantai sembari menunggu perintah dimana mereka akan dipajang. Penasaran juga ada siapa yang akan menjadi warga baru di kota.

“Jadi seperti itu ya, Sir Alex. Untuk masalah kebersihan saya bisa bawakan orang untuk membantu, tetapi tentu tidak bisa hari ini juga. Paling cepat besok dan paling lambat dua hari lagi.”

Sir siapa? Alex?

Nicholas masuk semakin dalam mengikuti rasa penasaran. Lupa akan sopan santun dan juga amarah hukuman. Namun saat matanya melihat langsung pada orang asing yang baginya bukan asing, miliknya berbinar.

“Sir Alex? Alex Claremont-Diaz si anjingㅡ”

“ㅡmaksud saya pengacara terkenal Amerika. Benar kan?”

Hampir saja berhasil mengumpat seseorang dalam pertemuan pertamanya. Kedua dewasa itu bingung, namun si pengacara lebih dahulu paham akan situasi dan membalas si remaja dengan anggukan serta senyum maklum.

“Oh! Nicholas kamu tau beliau ini ya?”

“Tentu, saya banyak lihat Sir Alex di saluran luar negeri.”

“Nah kalau begitu saya kenalkan. Sir Alex ini Nicholas anak pemilik toko bunga di pasar kota. Dia yang akan jadi salah satu anak didik anda di sekolah nanti. Dan Nicholas, ini Sir Alex yang akan menggantikan guru baru di sekolah kamu Senin besok.”

Sadar bahwa Nicholas tak menunjukkan reaksi apapun selain geming dengan wajah kagum, Alex mengambil aksi terlebih dahulu. Dia tersenyum, dan menyapa lebih ramah dari sebelumnya mengetahui bahwa anak ini adalah salah satu calon muridnya.

“Panggil saja Sir Alex. Sampai bertemu di sekolah besok.” Dia memperkenalkan diri, mengajukan tangannya berniat disalami kembali.

Nicholas buru-buru menyeka telapak tangannya. Memastikan bersih dari keringat, tanah, atau serbuk bunga. Dia membalas, “Nicholas, sir. Dari kelas tiga.” Hampir meremas kuat tangan si pengacara.

“Kalau begitu Sir Alex bisa saya tinggalkan di sini untuk beristirahat.” Perempuan bernama Tina memberikan satu gantungan berisi kunci, menandakan bahwa rumah resmi jadi milik si pengacara. “Ini kuncinya. Kalau Sir Alex butuh bantuan bisa hubungi saya kapanpun.”

“Untuk kamu Nicholas.” Tubuh anggun yang sudah hampir mencapai setengah jalan menuju pintu berbalik. “Letakkan bunganya di tempat kosong sebelah televisi ya. Uangnya sudah saya transfer ke papa kamu. Terima kasih ya, saya permisi dulu.” Akhirannya sebelum menghilang dari balik pintu.

Kini hanya tinggal Nicholas dan Alex dibatasi butiran debu. Nicholas pun mengangkat rangkaian bunga, memindahkan di atas buffet samping televisi.

“Saya lupa kalau saya memesan bunga sebelum datang kemari.” Alex mendekat, menghampiri Nicholas yang tengah menata letak vas bunga. Dia mengamati bunga seperti apa yang datang sebab seingatnya dia tidak memesan apapun.

“It's our old tradition, Sir. Namanya welcome flowers, buket bunga yang diletakkan dalam vas dan ditaruh di dalam rumah yang baru ditinggali.” Nicholas menjelaskan.

“Kenapa harus bunga?”

“Masyarakat sekitar meyakini bahwa bunga segar seperti ini bisa meneyerap hawa negatif dari rumah yang masih baru ditinggali. Layunya bunga-bunga ini dalam beberapa hari menandakan hal-hal negatif sudah berhasil diserap dan tugas pemilik adalah membakar bunga yang sudah layu nanti.”

Sekarang Alex memahami. Benar kata Katharina dan orang-orang di luar, Bridge Hampton masih kental dalam hal tradisi. Alex tak punya kuasa untuk menyangkal selain menerima dan mengerti.

“Tugas saya sudah selesai, saya permisi dulu, Sir Alex.” Nicholas mengundurkankan diri setelah bunga yang dia bawa telah bertengger apik di atas sana. Mana senang pula bisa bertemu salah satu idola. Dia tak sabar pulang untuk membagikan berita pada sang saudara. Juga tak sabar masuk sekolah dan melihat si pengacara akan mengajar apa.

Namun belum jauh Nicholas melangkah, Alex menahannya, “Tunggu!” Serunya. “Nicholas benarkan? Saya boleh tolong dibantu dengan sesuatu?” Tanyanya.

Nicholas mematung dengan wajah bingung. “Maaf?” Balasnya singkat.

“Begini, saya butuh bantuan untuk bersihkan rumah ini sedikit terutama di bagian kamar tidur. Saya tidak bisa menunggu besok.” Jelasnya. Belum sempat Nicholas menjawab Alex meneruskan katanya, “Tenang kamu saya bayar nanti sebagai tanda terima kasih sudah mengantarkan bunga juga.” Tawarnya.

“Tentu. Tetapi saya izin mengirimkan pesan pada papa saya dulu apa boleh?”

“Take your time, kid. I'll wait you upstairs.”


`hjkscripts.