destiny works once again.
I. Kita yang Bertemu.
Andai saja dia tak berlari kala terdengar jeritan dari luar jendela. Andai saja dia masih egois menjadi Alex yang kurang peka. Mungkin dia tidak berada di ruangan konseling tengah berhadapan bersekat meja dengan muridnya.
Kepalanya dikelilingi dilema, pening harus berpihak pada siapa. Satu sisi yang terkapar dilarikan ke rumah sakit. Orang tuanya jelas kecewa dan mengamuk meminta pertanggung jawaban hukuman paling berat untuk pelakunya. Sisi lain dia iba, berbeda dari satu jam yang lalu kala dia sekuat tenaga memisahkan raga yang berselimut amarah, saat ini dia hanyalah remaja nampak putus asa.
Bajunya lusuh sana sini, menempel bercak darah dan noda tanah. Jari-jarinya bergetar hebat, bermandi keringat juga rasa takut. Bahkan dia masih harus mengontrol napasnya, menyuplai obat berupa oksigen dalam mulutnya.
Hanya penyesalan yang ada ketika Alex mencoba mengulik kembali cerita awalnya. Si anak terus berupaya menjelaskan meskipun kata-kata berantakan. Pandangan kosong, manik matanya bergerak tidak harmonis sebab panik melanda.
Saat ini dia bingung bagaimana menjelaskan, otak normalnya masih dalam keadaan trauma sehingga belum mampu menata kata menjadi kalimat. Hanya melakukan perintah berusaha sekuat tenaga membuat organ tubuh secepatnya berangsur tenang.
Si anak hanya melantur bahwa dia tidak sengaja, bukan dia yang memulai.
Alex dibuat serba bingung padahal dirinya seorang pengacara handal yang mampu menyelesaikan ribuan kasus rumit. Dirinya mampu memahami suatu kasus bahkan dengan membaca puluhan ribu catatan kasus dan mencari cela di dalamnya.
Namun kali ini bukan orang brengsek yang tengah dia hadapi. Ini sekolah tempat pertama anak-anak mendapatkan basis pelajaran. Keduanya punya kesempatan dan hak yang sama. Sebut saja Alex disewa oleh pihak sekolah, maka yang dia harus lalukan adalah mencari kebenaran seadil-adilnya agar reputasi sekolah tetap terjaga.
Setelah urusannya selesai dengan orang tua pihak yang terkapar. Di ruang konseling ini dia tengah menunggu orang tua pihak yang lain. Dari situasi ini Alex baru mengetahui bahwa Nicholas dan Viscount adalah saudara kembar tak seiras. Tak seiras dari segi perilaku, mereka berdua berbeda seratus delapan puluh derajat.
Pun begitu Alex kagum akan hubungan mereka berdua. Nicholas itu dewasa, begitu sayang dan peduli terhadap Viscount. Terbukti dari dia yang enggan meninggalkan sisi Viscount meskipun Alex sudah memaksa untuk dirinya kembali mengikuti pelajaran. Namun anak ini menolak, dia ingin ditempat sampai urusannya selesai. Dia berjanji akan menemani papanya berhadapan dengan Alex sendiri, sebab dia juga yang bertanggung jawab menjaga Viscount selama di sekolah. Sebab, dia adalah kakak dan Viscount adalah adiknya.
Berbicara tentang anak kembar satu ini Alex jadi teringat tentang fakta yang baru dia dapat kala sedang memeriksa buku kerja siswa. Nicholas dan Viscount Fox... Marga mereka berdua sama seperti sebuah nama yang dia kenal sangat siapa pemiliknya. Henry Fox, itulah nama yang digunakan pangeran sang pujaan hati dari awal mereka bertemu.
Apa mungkin ada Fox lain yang tersebar di permukaan negara ini? Atau dia yang baru tahu bahwa marga Fox adalah yang paling umum sama seperti Smith atau John di Amerika.
Mendatangkan orang tua mereka sebenarnya tujuan Alex pula dalam mencari jawaban. Sudah dua centang dia berikan pada daftar yang dia buat sendiri. Satu, anaknya kembar dan dua anak di depannya ini adalah kembar. Dua, marganya Fox dan Henry sering memakai nama itu. Ketiga, Alex masih mencari jawabannya dan dia akan mengetahui dalam beberapa menit saja.
Tok Tok
Alex buru-buru beranjak menghampiri pintu yang diketuk dari luar. Dia menggapai gagangnya, membukanya dengan ceroboh hingga yang dibalik sana terkejut kala daun pintu terbuka.
“Gossh!” “Oh, I'm so sorㅡ”
God Lord.
Dunia berhenti berputar saat itu juga.
Dunia seolah berhenti, maka waktu semakin lambat bergerak dari detik menuju detik. Dua raga dewasa kini bergeming hanya sebab saling memandang. Dua mata memandang dua yang lainnya hingga lupa cara berkedip. Semakin larut, malah terpaku juga tertegun bak orang bodoh mereka jika dilihat.
Belum ada yang sanggup bereaksi. Sebab dunia yang seolah berhenti juga menghentikan laju kinerja pusat tubuh. Otaknya malfungsi maka kacau sudah sebuah koordinasi. Bibir beberapa kali mencoba mengeluarkan suara penuh tanda tanya pula tak terealisasikan segera.
“Henㅡ Henry... you?” Akhirnya sanggup melontarkan beberapa kata meskipun masih gagu.
“God sake finally i found you...”
“Alex?”
Alex mengangguk, ekspresinya seolah berteriak lega, iya benar sayang inilah aku. Alex takdir hidupmu.
Dia bergerak maju, ingin mendekap pujaannya erat dan berjanji tak akan lagi melepaskannya setelah ini. Tak peduli lagi akan marah bahaya masa depan yang akan datang. Apapun dia akan hadapi, apapun itu dia akan bertahan melindungi. Sebab Alex sadar bahwa dunia tidak akan baik di masa depan, dunia akan terus penuh kekejaman dan bersama adalah senjata tajam yang mampu menumpaskan semuanya.
Namun yang membuatnya kian bingung adalah ketika Henry mundur, dia tak mengizinkan Alex menyentuhnya barang satu helai rambut.
Ada apa dengan Henry? Apakah Henry tak merindukan Alex sebagaimana Alex merindukan Henry. Apakah Henry tak lagi mengharapkan Alex sebagaimana Alex berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Henry kembali dalam pelukannya?
“Kenapa?” Hanya itu yang mampu dia ucapkan.
Henry menjawab, suaranya lirih dengan senyum kecil dari bibirnya, “Tidak sekarang. Bukan di sini.”
II. Henry Fox.
Alex Point of View.
Profesional, oh profesional bisa gak kita yang sedang duduk berhadapan ini langsung melompati banyak tangga dan menuju puncak dari akhir perjalanan. Perjalan Alex dan Henry mencari jalan kembali.
Bisa gak kita yang dibatasi meja yang sialannya pengen gue lempar jauh-jauh langsung masuk kebagian paling bahagia. Can't we skip to the good part? Alex dan Henry yang akhirnya bisa merengkuh raga satu sama lain disaksikan dua buah hati.
Henry sudah punya jawabannya dan mengatakan secara langsung, “Tidak sekarang. Jangan disini.”
Gue tau kenapa? Karena kita bertemu dalam keadaan yang kurang tepat. Mana bisa kita bersuka cita di atas masalah. Maka kita berdua, khusunya gue saling mengerti bahwa sekarang saatnya memainkan peran. Peran sebagai orang yang belum pernah kenal. Hubungan ini hanya sebatas gue menjadi guru penanggung jawab, dan Henry sebagai orang tua.
Disinilah kita, berkumpul bersama sunyi layaknya perkumpulan orang-orang bodoh yang tak tahu harus darimana memulai sebuah komunikasi. Beginilah konyolnya pertemuan sebuah keluarga untuk pertama kalinya, keluarga yang masih belum seutuhnya. Keluarga ini masih terlilit rahasia, belum terbuka tali seluruhnya.
“Jadi anda Mr. Henry?” Pertanyaan bodoh tapi gue tetep bertanya. Ingatkan? Kita tengah bermain peran.
Henry mengangguk, “Betul. Saya Henry Fox, papa dari Viscount dan Nicholas.”
Tidak perlu dijawab sayang, aku ini sudah tau. Bahkan amat sangat mengenalmu. Seluruh bagian tubuhmu dari ujung rambut hingga ujung kuku, dari permukaan kulit hingga sel-sel dalam tubuh. Tak ingatkah kamu bahwa kita sudah bersatu.
Memang aneh bagaimana semesta bekerja, kadang merinding gue dibuatnya. Enam belas tahun lamanya dan pada akhirnya gue dipertemukan kembali pada seseorang yang namanya selalu terselip dalam harapan.
Inilah gue tengah berhadapan dengan Henry dan kedua buah hati. Bodohnya lagi gue terlambat menyadari bahwa seseorang yang menyambut langkah awal menjajaki kota kecil ini adalah Nicholas anak gue sendiri. Selanjutnya, Nicholas seakan menggenggam tangan gue menuntun melintasi jalan yang telah diatur empunya hidup. Nicholas menunjukkan pada suatu pintu yang jika gue buka ada Viscount disana. Terakhir, tangan gue yang bebas digenggam pula oleh Viscount. Mereka berdua bekerjasama seolah mereka malaikat yang diutus untuk menyatukan dunia hati terpisah. Gue dan Henry kembali bersama.
Henry kini masih membuat gue gila. Paras dewasanya, kulit putih pucatnya, dan caranya bertutur kata yang semakin lantang sebab telah bebas berbaur dengan dunia. Pandangannya masih sama, lembut dan teduh. Leganya sudah tidak ada kesedihan, tidak ada syarat ketakutan dan keraguan. Dia Henry lelaki yang masih sama, namun kini raga dan nuraninya sudah bebas sepenuhnya.
Kita sukses berperan meskipun dengan menahan beban. Beban kerinduan mendalam yang semakin sulit dipendam. Rasanya saat ini juga gue mau menyudahi sandiwara, mengungkapkan kebenaran pada khalayak yang ternyata hanya ada dua.
Alex Claremont-Diaz adalah ayah kalian yang lain dan Henry Fox adalah pangeran pemilik negeri juga pemilik hatiku.
III. Alexander Gabriel Claremont-Diaz.
Henry Point of View.
Aku tidak mengerti bagaimana dan ada apa hingga membuatku ikut terseret pada situasi membingungkan seperti ini. Aku tidak mengerti situasi apa yang sedang kuhadapi hingga duduk di antara dua anak-anakku juga berhadapan dengan seseorang yang namanya selalu aku sebut dalam doa di malam hari.
Seluruh tubuhku tegang namun aku berusaha menutupi, berlagak menjadi manusia biasa yang kuat menghadapi. Padahal saat ini tanganku sendiri sudah dingin dan basah, perutku mual ingin muntah, kedua mataku panas ingin tumpah semua air mata.
Alex, bagaimana bisa kamu disini? Berlaku sebagai guru. Alex, bagaimana bisa kamu disini? Begitu santai duduk di sebrang sana berhadapan denganku dan dua buah hatimu. Iya Alex, remaja enam belas tahun yang tengah bersama kita adalah anak-anakmu. Mereka anak-anak kembar yang ikut lari bersamaku. Mereka sudah tumbuh menjadi sebesar ini berkat kamu yang menukar kebebasanmu dengan nyawa mereka berdua. Dua anak ini tumbuh berkat kamu yang menyelamatkan mereka.
Alex, kenalkan ini Nicholas dia yang paling bisa diandalkan. Mata dan senyum teduhnya mirip sepertiku, bahkan orang-orang berkata dia adalah duplikatku. Namun ketenangannya, jiwa pemimpinnya dan bagaimana tutur katanya setiap kali memberikan reasurasi mirip sekali denganmu. Dia yang membantuku, memberikan motivasi sederhana yang selalu dapat menguatkanku. Maka dari itu aku memanggilnya kakak.
Alex, yang ini namanya Viscount. Anak ini yang membuat aku merasa selalu hidup berdampingan denganmu. Rambut hitam ikalnya yang berantakan, bulu mata panjangnya, dan senyumnya yang menggoda. Namun sayang dibalik sifatnya yang sok jagoan dia lemah sepertiku. Dia yang selalu butuh dibantu. Maka dari itu aku memanggilnya adek.
Mereka saling menyayangi, Alex setidaknya itu yang bisa aku banggakan dari membesarkan mereka sejak kecil. Pun, masih banyak kekurangan yang aku tak mampu dan berharap bantuan darimu ketika kita akhirnya bersama.
Aku benci pada kamu, Alex. Kamu sekarang berubah semakin matang. Parasmu tambah rupawan, badanmu semakin sempurna membuatku ingin menyentuhnya saat ini juga.
Tetapi maafkan aku hari ini kita belum bisa merundingkan masa depan dengan tawa. Mungkin nanti saat hati sudah seluruhnya siap tertata. Setidaknya aku tahu kamu ingin memelukku. Setidaknya aku lega kamu ternyata mencariku.
Alex kamu si anjing gila. Aku sama gilanya menginginkan kehadiranmu. Menjadi pemimpin di keluarga kita. Menjadi ayah dari dan orang tua untuk anak-anakmu.
IV. Kita yang Mengadu Rindu.
Kala sudah menemukan sebuah solusi atas konklusi masalah hari ini, mereka semua berdiri. Alex mengulurkan tangan berharap dapat menggenggam tangan Henry lebih lama. Henry membalas sebagai simbol bahwa mereka telah sangat baik dalam berlakon.
Selanjutnya, Alex mempersilahkan Henry pergi diikuti kedua putra mereka dan juga Alex yang mengantar hingga pintu.
Semakin jauh jarak antara mereka semakin pusing Alex dibuat. Alex tidak ingin hari ini berjalan sangat cepat. Alex tidak ingin momen ini berakhir begitu saja. Setidaknya ada satu dua kata yang dapat meyakinkan dirinya bahwa keputusannya datang dari negeri sebrang melewati samudra benar adanya. Setidaknya ada tiga empat kata lainnya yang dapat meyakinkan bahwa nanti mereka akan bertemu lagi dikeadaan yang lebih baik. Sebagai Alex dan Henry dan sebagai orang tua Nicholas dan Viscount.
“Mr. Henry?” Mereka bertiga serentak berhenti bersamaan pintu telah dibuka sedikit. Menatap bingung apakah ada yang masih perlu dibicarakan lagi.
Kedua manik Alex bergerak gugup mencari alasan atau dia yang tengah mengirim sinyal pada milik Henry untuk diberikan waktu hanya berdua.
Pun Henry paham, mungkin sedikit saja waktunya untuk menjelaskan secara singkat, setidaknya memberikan Alex pengertian bahwa tentang mereka tidak bisa dibahas hari ini. Maka Henry memerintahkan kedua putranya melalui gestur yang berkata, “Kalian keluarlah terlebih dahulu, papa yang akan mengurus ini berdua dengan Sir Alex.” Dan keduanya setuju untuk memberi orang dewasa ini waktu.
“Henry.” Alex menyerukan namanya dengan suara yang paling dia rindukan. Suara bariton ini tak lagi menjadi senandung semu dalam kepalanya, namun nyata dapat didengar seksama.
“Henry.” Serunya sekali lagi dan Henry tak ingin bersandiwara lagi. Henry juga ingin menyerukan nama lelaki satu ini. Memanggil namanya bukan dalam doa, namun tepat di hadapan raganya.
“Henry.” “Sstt..” Henry mendekat membungkam bibir Alex dengan jemarinya.
Alex kecup satu persatu jemari itu, hal yang paling dia inginkan sejak pertama kali mereka bertemu.
Kini keduanya saling berhadapan, bukan lagi disekat meja namun hanya dibatasi satu butir debu. Sekarang raga mereka hanya berjarak udara bukan lagi benua. Selanjutnya mereka mengikis tembok udara di antara, menghempaskan seluruhnya agar dua raga dapat merapat seluruhnya.
Dahi bertemu dahi, dua mata tertutup mempertemukan bulu mata yang seolah saling merengkuh. Hidung beradu hidung, hingga saling menghirup napas satu sama lain. Terakhir, Henry melingkarkan lengannya, mengistirahatkan sejenak pada leher kokoh milik Alex sedangkan Alex merengkuh pinggang Henry yang masih sama rasanya seperti di masa lalu.
“I miss you. I really do.” Bisik Alex menyampaikan apa yang hatinya ingin ungkapkan. Enam kata berjuta emosi terpendam dari enam belas tahun lamanya.
Henry menghela napas lega, lega jika Alex dan dirinya masih punya perasaan yang sama. Henry pun tidak punya kalimat panjang yang dapat mendeskripsikan bagaimana campur aduk perasaannya detik ini selain, “I miss you too, Alex. Everyday every night always.” Bersama bulir bening yang menandakan kalimat itu juga merupakan akumulasi emosinya.
Pertemuan hari ini memang terlalu tiba-tiba, namun setidaknya ini membuka jalan semakin lebar untuk masa depan.
Terakhir dari cerita hari ini adalah mereka yang mencinta menyalurkan miliaran rasa yang terpendam dalam palung paling dalam, meledakkan semuanya dengan satu kecupan panjang dan beberapa detik lumatan tanpa nafsu. Hanya ada kasih sayang dan juga rindu.
Jika suratan takdir telah menghendaki, jauh berlari engkau mengelilingi bumi. Pada akhir ceritanya nanti cinta kita akan bersemi kembali. Kini kita berdiri, saling berhadapan dengan pandangan terkunci. Melampiaskan berjuta molekul tercampur berbagai macam emosi.
Dan kita akan diam sebelum akhirnya saling menarik dalam dekapan. Merasakan juga hangat bibir yang bersentuhan. Menjadikan kecipak sebagai alunan melodi. Memberikan tepuk tangan paling meriah sebab kita berhasil menyatukan kembali sebuah koneksi.
Ini semua kenyataan bahwa saat ini hanya ada aku dan kamu. Bersama perasaan merindu yang terkikis menjadi abu. Pertemuannya bukan sebatas angan bayangan semu. Kini yang terpisah kembali menjadi satu.
`hjkscripts.