hjkscripts

an ordinary girl with full of dreams.


Elite lambang kesunyian dan ketenangan bagi sebuah kelompok. Dimana mereka tak lagi sembunyi, saling berbagi tanpa harus menutupi, jadi diri sendiri tanpa takut gunjingan sana sini. Bagi mereka elite bukan sekedar tempat untuk duduk dan bersantai, namun rumah tempat mengadu dari segala kesesakan hidup dihimpit masyarakat tabu.

Dentingan mulut gelas terdengar, malam ini elite cukup sepi hanya beberapa meja terisi. Nata menerawang seluruh ruang, sudah lama Ia tak datang kemari. Kuliahnya padat terlebih Adnan jarang memberi ijin.

Nata itu hebat, tapi ceroboh luar biasa. Jika sudah mabuk amat sangat merepotkan. Nata sebenarnya muak hidup dibawah perlindungan Adnan, namun Nata sadar Ia masih banyak membutuhkan Adnan.

Can we go where no one else goes? Can I know what no one else knows? Can we fall in love in the moonlight?

Netra berbinar Nata seketika jatuh pandang pada pemilik suara di depannya. Suhu badannya mendadak naik, darahnya berdesir tanpa adanya sentuhan. Nata menopang kepalanya, masih fokus akan paras pria yang lihai dalam memetik gitar. Kedua pasang obsidian itu bertemu ketika tanpa sengaja lirikan sang penyanyi tertuju pada milik Nata. Ia mengalihkan pandangnya. Terlambat, pipi Nata bersemu merah, malu bukan kepalang.

Sambutlah dia Sadewa Aditya, pujaan hati seluruh jiwa.

“Loh, itu Sadewa kan temen jurusan lu?”

Nata menyesap alkoholnya guna menutupi rasa malu. Lalu, Ia melirik Adnan dan mengangguk mengiyakan.

Sadewa Aditya, suara merdunya menjadi favorit anak kampus khususnya cewek-cewek jurusannya. Dibalut senyum teduhnya menambahkan kesan ramah. Bak jungkat-jungkit sifatnya berbeda jauh dengan sang saudara kembar; Nakula Aditya.

Sadewa itu tipikal tipe ideal hampir semua orang, termasuk Nata.

Poetry and handpicked flowers Say you'll meet me at the altar Can we fall in love in the moonlight?

Lagi, Nata memberanikan diri untuk menatap Sadewa. Membawa dirinya masuk dalam dunia sepi, ditempat ini hanya ada Nata yang mengamati Sadewa. Seolah dunia Nata didedikasikan hanya untuknya seorang. Nata tertegun ketika lagu yang dinyanyikan Sadewa mendadak berhenti, diletakkan gitar itu pada posisi berdiri sebelum beranjak turun. Sadewa berjalan, pelan namun pasti sesuai irama debaran jantung milik Nata.

“Nata...” Panggilnya lirih.

Tatapannya terpaku, dibuat terbuai akan senyum menawannya. Nata merinding tatkala syaraf kulitnya merasakan sebuah sentuhan. Sadewa menggenggam lengan Nata, ditarik perlahan sampai empunya ikut berdiri.

“Hakh..!” Nata terkejut, bola matanya hampir keluar ketika Sadewa menarik mendekat hingga tubuh keduanya berhimpit. Jemari Nata sontak meremas kemeja Sadewa, menahan tubuhnya agar tak jatuh begitu saja.

Sadewa tersenyum kecil, wajah mereka hanya berjarak 5 senti. Perlahan namun pasti Sadewa mulai mengikis.

4 senti...

3 senti...

2...

“Nata!” Nata terperanjat, seolah tubuhnya ditarik paksa dari dunia tak terdefinisi menuju realita.

Tampangnya konyol akibat terkejut, dadanya masih sulit untuk bernapas. Namun, Adnan dapat melihat bagaimana kulit putih itu semerah kepiting rebus.

“Lu udah mabuk ya? Pulㅡ”

Ayana ia calling...

“ㅡeh bentar Ayana nelpon lu tungㅡ.”

“Gue ke kamar mandi dulu.” Nata linglung, bayang-bayang imajinasinya masih berlarian dalam pikirannya. Tanpa menunggu ijin Adnan, Ia segera melarikan diri ke kamar mandi. Pun, Adnan enggan ambil pusing memilih menyendiri sejenak untuk mengangkat panggilan kekasihnya.


`teuhaieyo.


Deru mesin mobil terdengar, amat cepat membelah jalan sepi. Pengemudinya seakan tak takut akan celaka, dibelakang kemudi dengan hati kalut. Malam tiba, memilih terjaga setelah pergi keluar bersama kekasih. Perasaannya tak tenang, dia juga dibuat bingung akan apa.

Beberapa menit lalu Adnan Dika duduk pada meja belajarnya, terlihat seolah mengerjakan tugas namun pikirannya melalang buana. Langit gelap yang nampak dari jendela kamarnya membuat hatinya semakin gelisah.

Adinata Dhamar

Adnan tertegun akan coretan abstrak yang dibuatnya sendiri. Menulis nama sang sahabat entah datang darimana. Adnan seketika khawatir berlebih, mengambil ponselnya agar bayangan wajah Nata pergi dari pikirannya.

Jarinya reflek berhenti pada salah satu postingan terbaru.

Dingin... Tulis Nata dari jauh disana.

Ketika pesan Adnan dibalas oleh Nata detik itu juga Adnan kalang kabut layaknya orang gila. Rasa khawatirnya berdasar, dan pelakunya selalu sosok yang sama. Bak terikat oleh benang merah, perasaan Adnan terhubung dengan Nata.

“Nata!” Panggil Adnan lega ketika bola matanya menemukan sahabat kecilnya. Ia mengatur deru napasnya sebelum bergerak mendekat.

Nata tersenyum sendu, binar kesedihan menyambut kedatangan Adnan. Nata kali ini tak menangis seperti biasa, namun Adnan tau nata begitu tersakiti. Pipinya, merah merekah meskipun dalam gelap. Bajingan mana yang berani menyentuh Nata?.

Adnan duduk, mendamping Nata namun diberi jarak sedikit. Adnan mengambil napas dalam, ditahan sebentar lalu dihembus kasar. Pandangannya jauh disana, meratap langit hitam bersih bertabur serbuk bintang.

“Sakit?” Tanya Adnan tanpa mengalihkan pandang sedikitpun.

“Perih, panas, tapi udah biasa. Temen lo Nakula tuh brengsek ya apalagi cewek-ceweknya. Yang buaya cowoknya yang ditampar gue.”

Nata itu kadang sekuat baja, kadang pula selemah kapas. Nata tak pernah menangis jika hanya dipukul; sudah biasa, makanannya sehari-hari. Fisik Nata kuat, namun lain perasaannya.

“Harusnya hari itu gue gak emosi, Nat. Jadi lu gak perlu sampe teriak ngakuin siapa sebenernya diri lu. Biar rahasia ini cuma kita yang tau.” Jika memutar memori jauh kebelakang, apa yang sedang terjadi pada Nata sebagian besar Adnan ikut andil. Bagaimana dirinya emosi ketika memergoki Nata dicumbu dalam kamar mandi kampus.

Adnan hilang akal, dadanya sesak, matanya nyalang memerah. Kiranya Adnan marah akan kelakuan Nata, secara sadar menyerahkan diri pada orang tak dikenal. Jauh dalam lubuk hatinya, Adnan terbakar api cemburu.

“Semua efek samping yang gue dapet emang berat, Nan. Tapi gue gak pernah nyesel. Seenggaknya gue jadi tau sebrengsek apa orang-orang kampusㅡ”

“Lu udah tau semua anak kampus brengsek, tapi dengan naifnya lu terima setiap orang yang dateng mau manfaatin lu.”

“ㅡgue cuma gay bukan orang yang punya catatan kriminal, ngapain juga gue nyesel ngungkap semuanya.” Jelasnya enteng.

Nata itu boleh terlihat polos, naif, selemah bayi baru lahir. Namun, Adnan paling tau diantara mereka berdua Nata yang paling kuat, Nata yang paling berani menantang segalanya meskipun dia harus kehilangan semua, nanggung rasa sakitnya.

“Bahkan kalo emang takdirnya semua orang bakal ninggalin gue, gue gapapa.” Terakhir, ucap Nata bersama senyum tipisnya.

Adnan akhirnya melepas kontak matanya dengan langit. Menghentikan aksi menghitung sebaran bintang. Atensinya jatuh pada pipi gembil milik Nata. Tangannya terangkat, mengambil jemari kanannya, dingin...

“Lu gak bakal ngejalanin semuanya sendiri selama gue masih ada disini, Natㅡ” Nata dengar, hanya acuh. Batinnya tertawa remeh akan kalimat Adnan. Adnan pria normal, punya harta dan wanita pujaannya. Pada akhir cerita nanti mereka akan berpisah juga.

“ㅡtapi gue butuh waktu buat proses semuanya. Buat cari tau apa yang gue sebenernya mau dari dalam diri lu. Untuk saat ini, gue cuma cowok brengsek yang tiap malem datengin raga lu dalam mimpi gue buat dicumbu.”

Perasaan Adnan pada Nata layaknya taburan bintang di langit, banyak dan abstrak. Namun, jika berhasil menghubungkan satu dengan lainnya akan menggambarkan suatu rasi bintang lengkap bersama makna didalamnya.


`teuhaieyo.


Adnan bersama Nata tiba, melangkah bersisian menuju pintu utama sebuah restoran franchise. Menuju dekat, Adnan jalan lebih cepat membuka pintu terlebih dahulu; mempersilahkan Nata masuk layaknya pangeran kerajaan datang berkunjung. Sifat alami Adnan selalu bisa menggoyahkan hati siapapun.

“Adnan!” Panggil pemuda disana. Adnan mengangkat tangannya, membimbing Nata mendekat meja paling ujung.

Adnan menggeser sebuah kursi untuk Nata duduk lalu dirinya pamit memesan.

Lengkungan bibir menawan itu mengembang kala kedua pandang saling bertemu. Nata malu, mengetahui sejak dirinya datang diperhatikan seperti itu sedangkan yang duduk dihadapannya tak sungkan sama sekali menaruh minat pada sosok yang juga lelaki.

“Nakula, anak gizi.” Celetuknya tiba-tiba.

Canggung, Nata itu jarang berinteraksi dengan temannya, apalagi semenjak insiden orientasi seksualnya terungkap. Mereka jauh, Nata ditinggal menyendiri.

“Adinata. Saya anak kesma.” Balasnya lirih namun disambut dengan suara kekehan.

Nakula kagum, sejak tadi punya segudang pertanyaan tentang sosok manis di depannya. Bagaimana bisa seorang lelaki memiliki paras cantik layaknya perempuan.

Kulitnya seputih susu, Sadewa yakin teksturnya pasti selembut permadani bulu. Matanya, cantik lengkap hiasan bulu mata lentik. Bibirnya... Nakula gila tatkala Nata melakukan gestur membasahi belah merah muda kenyal itu. Terakhir, Nakula terpukau akan gerak-gerik tubuh Nata, tak terkecuali ketika Ia sedang menyampirkan rambut yang sedikit panjang ke belakang telinga.

Nata itu indah layaknya kumpulan bunga mekar di atas tanah gersang.

“Nata, sunggu tak sopan hadirmu mengusik ketenangan jiwaku.”

Nakula Aditya jatuh, terjerembab dalam sebuah keadaan. Cinta pandang pertama begitu orang-orang menamainya dan Nakula hanya punya satu prinsip apapun yang menarik perhatianku harus menjadi milikku.


`teuhaieyo.


Adnan Dika point of view

Aku melihatnya meskipun dibawah langit gelap bercahaya bulan. Tubuh itu bergerak lembut sesuai iringan musik, sedikit kaku karena aku tau dia paling enggan diajak menari.

Senyumnya, sebuah karya paling menawan yang pernah tercipta. Tak pernah sedetik pun aku tak membayangkannya. Adinata Dhamar, pemilik paras manis juga sahabat sedari kecil. Sosok polos dengan keceriaannya, menebar berbagai warna dalam hidup hitam putih ini.

Dia balik menatapku dengan tawa bahagianya. Kedua pasang manik kami saling berkomunikasi, Ia menyampaikan pesan bahwa dirinya baik-baik saja bersama dengan pria barunya.

Namun tak bisa dipungkiri rasa khawatir dalam diriku terus muncul tak terkendali.


Adnan berpaling ketika gerakan tari persembahan Nata untuk Asad bertambah liar. Ia tak sanggup memperhatikan lebih lama bagaimana Asad mulai berani menyentuh lekuk tubuh Nata. Selalu begini, dikerubungi rasa cemburu membuat Adnan muak.

“Adnan...” Suara lembut menyapa gendang telinganya. Adnan balik menyapa dengan senyum.

Adnan meletakkan gelas plastik berisi minuman asal, menarik pinggang ramping kekasihnya; Ayana menuju khalayak ramai yang tengah meliuk. Perempuan cantik itu tertawa, cantik Adnan selalu suka nadanya. Adnan membimbingnya dengan gerakan sederhana, diikuti Ayana terlihat malu-malu.

Musik berhenti, diganti dengan lagu berirama lembut. Kesan romantis hadir ditengah-tengah mereka. Gerakan liar penuh erotis berubah menjadi damai. Kekasih saling memeluk, berdansa kanan-kiri dibawah lampu temaram. Bulan pun seakan tersenyum merasakan hawa penuh kasih dari sana.

“Kamu cantik.” Bisik Adnan, jemarinya naik membelai rambut perempuan cantik yang telah menemaninya hampir 2 tahun.

Semburat merah muncul, jemari Adnan langsung mengambil kesempatan itu untuk mencubitnya gemas. Obsidian mereka bertemu, saling menatap dalam lama, hingga Ayana menutup mata cantiknya.

Basah, satu kata yang mampu mendeskripsikan ketika dua bibir menyatu. Adnan dapat menangkap suara debaran jantung milik Ayana. Kekasihnya terbuai, namun...

Seluruh perhatian Adnan selalu tertuju padanya. Obsidian Adnan menerawang jauh kearah dua pemuda yang juga tengah bercumbu diujung sana.

“Ayana, aku minta maaf.”


`teuhaieyo.


I was so straight untill I met you. Mine colored grey before you gave all that rainbow🌈

Sebuah perjalan Adinata Dhamar; seorang gay yang tengah berusaha mencari apa arti cinta sebenarnya bersama Adnan Dika; sahabat kecil yang hidupnya penuh dilema, serta bagaimana keajaiban bisa mempersatukan mereka.


End Of Story: 7 years later.

Pemuda itu tersenyum kecil, menatap pantulan bayangannya pada cermin. Sirat keresahan tergambar jelas diwajah manisnya. Berbagai pertanyaan serta keraguan mulai datang menyapa jalan benaknya.

Setelah 7 tahun masa penantiannya Junkyu akhirnya menyerah. Junkyu memang bodoh, malam itu dirinya menangisi kepergian Haruto hingga larut dan besoknya bangun disiang hari. Ya, Junkyu paham harusnya Ia bisa hidup dengan bebas, berkencan dengan siapapun namun hasratnya mengatakan Ia masih ingin menunggu.

Tepat hari ini rasa lelahnya telah berada diujung. Menunggu kepulangan seseorang tanpa kepastian membuatnya jengah. Ketika Ayahnya menawarkan sebuah lamaran, tanpa penolakan Junkyu mengatakan Ya, pertemukan kami.

Siapapun yang akan datang, tolong bantu Junkyu keluar dari bayang-bayang masa lalunya.

Sayup-sayup terdengar keramaian dari luar kamar. Tampaknya keluarga pelamar telah datang. Seketika Junkyu ragu akan keputusannya.

“Tuan Junkyu sudah ditunggu Tuan besar dan nyonya.” Junkyu acuh, membenahi kembali jas hitamnya. Lalu, sebelum keluar kamar beberapa kali menghembuskan nafas berat.

You can do this! At least coba dulu” Katanya untuk diri sendiri.

Junkyu melangkah keluar, perlahan menuruni tangga bak pangeran kerajaan yang muncul untuk menyapa warganya. Gugup; jari-jarinya mendadak lemas hingga harus berpegang pada pembatas tangga. Setiap langkah yang ia buat dipenuhi kalimat motivasi, takut-takut kecewa ketika sudah bertemu bakal calon suami.

Ketika si manis sampai diujung tangga, seluruh perhatian tertuju padanya. Setiap obrolan yang terjadi beralih senyap, yang ada di ruang tamu berdiri menyambut Junkyu. Junkyu menghampiri, masih menunduk malu-malu hingga keluarga sang calon gemas dibuatnya.

“Selamat datang, saya Kim Junkyu.” Sapa Junkyu.

“Watanabe Haruto.”

deg

Apa katanya? Siapa?

Junkyu mengangkat kepalanya perlahan. Takut, dirinya sangat takut sekarang. Suara itu... suara berat khas pemuda masa lalunya, hanya saja saat ini lebih berat. Junkyu menutup kedua matanya, enggan percaya pada keadaan, berharap ketika Ia membukanya bukan sosok itu yang ada. Mungkin Junkyu kelewat rindu sampai imajinasinya sejauh itu.

Pria seperempat abad itu tersenyum teduh. Ia mengangguk ketika kedua orang tua memutuskan pergi dari ruang tamu diam-diam. Mereka mengerti keadaannya, Haruto maupun Junkyu butuh waktu menyelesaikan urusan hati mereka setelah 7 tahun berpisah.

“Junkyu, kamu nggak lagi mimpi. Ini benar aku, Haruto.”

Junkyu berjengit tatkala syarafnya menangkap sinyal dari sebuah sentuhan. Hangat, tak ada yang berubah dari pria ini. Hanya saja, parasnya semakin tampan, rahangnya tegas, serta penampilannya terlampau dewasa. Kedua bola mata Junkyu bergetar, dalam tubuhnya muncul perasaan membuncah. Rindu, semua tentang Watanabe Haruto membuatnya rindu.

“Ha-bagaimana bisa?” Ucapnya terbata.

Haruto masih tetap pada senyuman tampannya. Junkyu... masih indah seperti masa SMA, bahkan lebih cantik. Pipi kesukaannya dijaga baik oleh pemiliknya. Terima kasih, aku tau kamu setia menunggu.

“Aku kembali seperti janjiku 7 tahun lalu. Orang pertama yang akan aku cari adalah kamu.” Tuturnya lirih.

Tangan Haruto bergerak, berpindah membelai tengkuk Junkyu. Kepalanya mendekat, mengikis jarak diantara mereka tanpa memutus kontak mata keduanya. Junkyu tegang, jantungnya bergerak tak beraturan memompa darah dua kali lebih cepat dari biasanya. Ketika hidung telah bertemu hidung reflek kelompak mata Junkyu menutup manik cantiknya bersamaan satu butir cairan bening turun bebas melewati pipi.

Keduanya bisa merasakan deru nafas masing-masing. Gendang telinganya juga menangkap bagaimana suara debaran seolah menyahuti satu sama lain. Dalam posisi berdiri, hanya berdua ditemani sunyi Haruto mendaratkan bibirnya untuk yang pertama kali diatas bibir semerah ceri milik Junkyu. Bibir yang telah lama diidam-idamkan.

Dengan satu kecupan mereka saling mengirim sejuta perasaan dan pesan yang tak tersampaikan.

Penantian lama penuh drama perihal strata kehidupan mampu mereka lewati bersama waktu. Watanabe Haruto akhirnya dipersatukan dengan Kim Junkyu, cinta pertamanya.

“Kim Junkyu, menikahlah denganku?”

“Aku tak ingin menjawab, karena kamu sudah tau pasti jawabannya. Aku milikmu seutuhnya.”

The End


` teuhaieyo


Pukul 9.30 a.m

“Haruto!” Teriakan terdengar nyaring bersamaan suara langkah kaki dipercepat menggema dalam ruangan bandara yang sedang sepi lenggang.

Geng Hyunsuk akhirnya datang, kali ini ditambah Jihoon dan Asahi.

Haruto berdiri dari duduknya, memutus acara ngobrol dengan kedua orang tuanya. Mereka terlebih dulu menyapa mama Haruto dan bertos ria dengan ayahnya, sudah seperti geng bahkan mereka memanggil ayahnya mas bro. Yah, kecuali Asahi yang baru pertama ikut dalam acara geng yang katanya gak jelas.

“Oh ini toh Asahi-Asahi mu.” Ujar ayah, karena setaunya Jaehyuk memang punya pacar namanya Asahi cuma belum tau parasnya.

“Iyalah, cakepkan! Bisa bisanya anda ngatain saya halu.” Jaehyuk mendengus. Ayah biasanya menggoda Jaehyuk cuma halu karena hanya bisa membual pasal Asahi tapi tak pernah dibawa unjuk seperti Hyunsuk yang mengenalkan Jihoon.

“Kamu kok mau sih sama bocah kayak Jaehyuk.” Asahi tersenyum malu-malu.

Ditengah kekacauan diantara mereka, saling melempar gurauan dan tawa Haruto hanya bisa diam. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi, mengedarkan pandangannya pada ruangan luas. Seperti tengah mencari sesuatu.

Hanya Jihoon yang sadar. Paham siapa yang tengah ditunggu-tunggu kehadirannya. “Tadi Junkyu gue chatㅡ”

Mendengar nama Junkyu disebut Haruto menoleh menghadap Jihoon.

“ㅡGue gatau gimana yang pasti doi belum jawab chat gue.”

Haruto mendadak sendu, Jihoon melihat perubahan raut pemuda yang lebih tinggi jadi sedih sendiri. Melihat Junkyu belum datang mungkin mereka berpisah secara tak baik. Keduanya saling membalas perasaan, namun terhalang oleh strata. Ketika yang satu akan berusaha keadaan malah semakin runyam. Entahlah, Jihoon bingung harus bagaimana hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka berdua.


Pukul 09.45 a.m

Suara pengumuman berkumandang, memanggil seluruh penumpang pesawat tujuan Kota Amsterdam. Haruto mengambil tas kopernya, menyampirkan sligbag juga.

Mendadak suasana jadi haru. Anak semata wajang ikhlas dilepas, sahabat mereka akan pergi jauh.

“Mama, Ayah, mas berangkat ya. Makasih udah jadi orang tua yang baik buat mas. Doain mas lancar kuliah disana.” Mama mana kuasa menahan tangisnya. Wanita yang dikenal dengan senyuman cantik itu begitu rapuh ketika melepas sang putra semata wayang. Pun ayah yang berusaha setegar mungkin, merentangkan lengannya untuk merengkuh sang anak dan istri bersama.

“Ayah bangga punya anak seperti mas. Ayah selalu doain mas yang terbaik. Maaf cuma ini yang ayah sama mama bisa usahakan buat kamu.”

“Kamu hati-hati ya disana, telpon mama atau ayah dalam keadaan apapun. Jangan lupa makan, istirahat. Ayah sama Mama sayang sama kamu.” Ungkap sang mama disela isakannya.

Setelah itu, Haruto balik menatap sahabatnya. Mereka semua sedih tanpa mengurangi rasa bangga pada Haruto. Satu persatu dari mereka saling memeluk Haruto, menyampaikan sepatah dua kata terakhir sebelum benar berpisah.

“Gue berangkat ya...” Semuanya mengangguk. Berdiri ditempat sedangkan Haruto bergerak menjauh.

Hingga punggung tegar itu perlahan menghilang.

Jikalau memang ini pilihanmu, aku menerima. Sampai jumpa lagi, aku berangkat.


`teuhaieyo.


Malam ini para anak akan menuju dewasa. Merayakan detik-detik terakhir masa SMA. Pesta ini sebagai langkah awal, pijakan pertama mereka keluar menantang dunia sesungguhnya. Suka, duka biarlah menjadi kenangan masa lalu. Tersimpan erat hingga akhirnya diceritakan kembali saat keadaan telah berubah menjadi lebih baik.

Tepat pukul 8 malam, lokasi perayaan kelulusan sudah nampak ramai. Kerlap kelip lampu turut menghiasi, menambah kesan meriah dalam ruangan. Makanan, minuman tertata rapih, cantik sesuai dengan tema yang diusung malam ini.

“Selamat malam, siswa Treasure!” Sapa pembawa acara menjadi pertanda susunan acara telah dimulai.

Riuh bincang-bincang serta candaan seketika berhenti kala seluruh atensi tertuju pada panggung besar ditengah mereka. Mereka semua memperhatikan berbagai sambutan serta wejangan dari ketua yayasan hingga perwakilan siswa. Dan acara pun dilanjutkan sesi ramah tamah diiringi persembaban musik dari band sekolah.

Cheers!” Sorak sorai mereka, gelas minuman diangkat bersama, selanjutnya diteguk cairan sirup warna warni dalam gelas.

Disanalah geng Hyunsuk, berdiri tepat dipojok ruangan memperhatikan gerak-gerik temannya dalam pesta. Tengah ngobrol sambil bercanda entah apa yang selalu membuat kebersamaan mereka begitu menyenangkan.

“Eh iya besok jadi jam 10?” Hyunsuk menyenggol lengan Haruto. Mengambil atensi pemuda yang jauh lebih tinggi darinya. Haruto sejak tadi diam, pandangannya terkunci pada satu tujuan; Junkyu, si manis disana sempurna mendamping Papanya.

Haruto membenahi posisi berdirinya, kali ini memperlihatkan lawan bicaranya, “Iya, lu semua jangan pada molor ye!” Kata Haruto memperingatkan.

Haruto sangat ingin diantar oleh sahabatnya, terlebih Junkyu jika hari ini dia berhasil mengambil hatinya kembali. Niat datang menghadiri perayaan kelulusan tak hanya mengucap tinggal pada almamaternya, juga menyelesaikan semua rasa penyesalan.


Langit semakin gelap tanda malam semakin larut. Namun, tak sama sekali menyurutkan semangat siswa yang datang meskipun baju yang dikenakan semakin lusuh atau make up hasil polesnya semakin luntur.

“Guys, bisa minta perhatiannya sebentar?” Lagi-lagi pembawa acara menginterupsi padahal sudah pada sesi bebas. Semua mata memperhatikan penuh sirat tanya.

“Ada yang mau nyumbang suara nih katanya buat confess ke seseorang.” Mendengar kata confess makin dibuat penasaran, semua dibuat bertanya siapa gerangan.

“Oke kita sambut aja pangeran sekolah kita. Prince Yoshi!

Wah gila! seketika semuanya berkerumun di depan panggung. Jarang-jarang pangeran dingin mereka menawarkan diri menjadi pusat perhatian. Lagi, katanya akan confess ke seseorang.

Junkyu, kah? Seolah nama pemuda manis satu itu telah tertanam jika bersangkutan dengan Yoshi. Siswa-siswi bersorak ketika Yoshi sampai diatas panggung, auranya tegasnya menguar, tak ada kesan gugup sama sekali. Sesekali mereka juga mengedarkan pandangan diantara lautan manusia yang datang, mencari keberadaan Junkyu.

“Ekhem, lagu ini saya persembahkan buat kamu yang diujung sana.” Kini banyak kepala ikut menoleh. Hampir berteriak karena mungkin tebakan mereka benar. Junkyu disana, bersama Mashi juga Asahi.

Junkyu terkekeh kecil, malah menimbulkan konklusi dipikiran seluruhnya. Faktanya, Junkyu menertawai cara klise yang Yoshi lakukan untuk mendapatkan pemuda kecil yang tengah mematung disampingnya. Memang klise, yang membuat ini konyol adalah Junkyu tidak tau bahwa Yoshi bisa tunduk begini dihadapan cintanya. Melakukan hal tak pernah terpikirkan dalam benak siapapun.

I know you're somewhere out there Somewhere far away I want you back, I want you back

-

At night, when the stars light up my room I sit by myself Talking to the moon Trying to get to you In hopes you're on the other side talking to me, too Or am I a fool who sits alone talking to the moon?

Deretan lirik usai, suasanya jadi sunyi. Entah mengapa seluruh perasaan yang Yoshi tuangkan dalam lagu yang dibawakan membuat seluruhnya sedih. Kiranya Yoshi akan menyanyikan lagu romantis, berbalik membawakan lagu dengan pesan penyesalan. Yoshi turun dari panggung, suara sepatu mahalnya menggema dalam ruangan, jalannya lurus, obsidiannya terpaku pada pria manisnya.

Wajahnya memerah, air mata menumpuk dipelupuk mata. Mashi; mungkin semua orang pikir lagu itu untuk orang lain, namun Ia paling tau bahwa Yoshi tengah berusah menariknya kembali dan itu berhasil meruntuhkan egonya. Sebelum tetesan air mata pertama jatuh, tubuh kecilnya lebih dahulu ditarik dalam rengkuhan hangat, erat seolah tak ingin lagi kehilangan sosok mungil tersayang.

Mashi membalasnya, juga menumpahkan seluruh rasa kesal, kecewa, haru, rindu, dicampur rata dengan bumbu kasih sayang melalui tangisan.

I'm sorry...” Hanya itu yang sanggup Yoshi katakan. Seluruh pidato panjang yang sudah Ia siapkan luntur begitu saja dalam otaknya.

Manusia disana tercengang dibuatnya. Masih tak percaya bahwa pemilik hati si pangeran dingin sebenarnya adalah sosok bukan siapa-siapa. Masih tak percaya bahwa pangeran yang mereka eluh-eluhkan begitu lemah dihadapan cintanya.

Junkyu tersenyum, tulus. Satu masalah hari ini selesai sudah. Tinggal dirinya, masih menunggu waktu hingga hatinya siap.

Apa bisa?


Haaahhh...

Beberapa kali desahan kasar dilancarkan si manis sembari maniknya tertuju pada langit gelap penuh sebaran bintang.

Si manis tengah menyendiri, menghiraukan hingar bingar pesta di dalam yang makin runyam akibat jajaran guru sudah pulang. Memilih keluar dengan beban, mencari angin segar ketimbang botol alkohol.

Srak

Junkyu; si manis terkesiap tatkala gendang telingan menangkap langkah seseorang mendekat. Tatapan sendunya berubah gemetar ketika bertemu dengan milik pria tinggi dihadapannya.

“Aku boleh duduk disini?” Tanyanya meminta izin.

Junkyu ragu, tujuannya menyendiri juga tengah menyiapkan hati untuk mengajak pria ini berbicara. Maksud Junkyu nanti biarkan Ia sendiri yang datang, buka lebih dulu dihampiri. Tapi, Ia tak punya waktu untuk menolak. Jadi Junkyu akhirnya mengangguk.

“Aku besok berangkat.” Tuturnya to the point.

Junkyu lagi-lagi mengehela napas, menunduk lalu mengusap wajahnya frustasi. Maksud kamu apa, Haruto?

“Aku mau lihat kamu di bandara, boleh?”

Senyuman miring tergambar pada bibir si manis. Tak habis pikir dengan kata-kata Haruto yang menurutnya nggak sopan, egois. Setelah apa yang terjadi daripada menjelaskan pria ini memilih bungkam.

“Bukannya kamu terlalu egois ya, Har? Aku minta penjelasan bukan hanya kalimat perpisahan.” Kali ini Junkyu berani menatap matanya. Menyampaikan betapa takut serta kecewanya.

Haruto mengangguk paham, “Sejujurnya aku juga takut hal kayak gini terjadi. Aku takut lihat ekspresi kamu yang kayak gini, bikin aku gak mau pergi dari kamu.”

Maaf, tapi aku memang takut kamu pergi...

Satu tetes air mata akhir lolos dari mata cantik Junkyu. Haruto dengan secepat kilat mengangkat tangannya, ingin mengusap namun ditahan.

Tidak... tolong jangan menangis.

“Kamu tau nggak sih sikap kamu yang kayak gitu malah bikin aku jadi orang bodoh hiks!” Tangisnya. Junkyu rapuh, Ia bingung harus bagaimana selain menangis. Seluruh tubuh bergetar dibuatnya. Lelah, tapi lega bisa ungkap kegundahan hatinya langsung dihadapan Haruto.

Haruto menggeser duduknya mendekat, mengambil raga yang tengah menangis dalam sebuah dekapan. Haruto tau apapun keputusannya, memberitahu Junkyu cepat atau lambat Ia harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Bodoh, jika sudah begini apapun hasilnya Haruto mau tak mau meninggalkan. Tak sempat memberikan kesan terindah pada pujaan hatinya.

“Aku takut, Har... aku takut kehilangan kamu hiks. Aku tuh udah terlanjur jatuh, aku jatuh cinta sama kamu dan aku pikir kamu punya rasa yang sama, tapi melihat aku nggak tau apa-apa tentang kamu...I'm a stranger to you.”

Dekapannya semakin erat seakan takut Junkyu melepaskan, Haruto menggeleng tak setuju. Kenyataan bahwa Haruto yang pertama kali menaruh hati pada si manis, jauh...jauh sebelum si manis mengenal dirinya.

“Enggak.. enggak, Kyu kamu bukan orang lain. Kamu spesial, kamu berharga, kamu adalah salah satu manusia di bumi yang ingin aku bahagiakan setelah orang tuaku. Tapi aku memang harus pergi melakukan ini semua.”

Dengan sangat terpaksa Junkyu melepaskan pelukannya. Ia menghapus sendiri sisa-sisa tangisnya. Diambil kedua tangan yang lebih besar, diremas, diusap penuh perhatian lalu dipertemukan kedua obsidian mereka.

“Jawab aku dengan jujur, sebenernya kamu melakukan ini buat siapa? Demi Tuhan kalau kamu melakukan ini karena omongan papa, gunjingan Yoshi, dan segala betuk insecure dalam diri kamu please stop. I want you because it's you, i don't care about your strata, where your family came from, or how much money inside your bank. I fall for you though we do nothing but at least we are together.” Ungkap Junkyu menjelaskan. Jelas Junkyu akhirnya paham dimana duduk perkaranya, apa yang sebenernya jadi penghambat hubungan mereka.

Haruto melepaskan genggaman tangan Junkyu. Memindahkan keduanya menangkup wajah si manis. Haruto semakin menatap matanya, intens. “Junkyu denger. Aku melakukan ini karena memang ini salah satu mimpiku. Papa kamu, Yoshi mereka semua nggak ada korelasinya. Meskipun mereka begitu baik sama aku, aku tetap akan ambil kesempatan ini. Aku ingin banggain ayah sama mama, berharap kedepannya punya pekerjaan bagus, kalian hidup dengan baik nggak kelaperan, nggak mikir dua kali buat beli sesuatuㅡ”

Seakan terhipnotis Junkyu sama sekali tak menyela, hanya diam mendengar seluruh lantunan kalimat yang diungkapkan dengan suara rendahnya.

“Aku akan kembali dan kamu orang pertama yang akan aku cari. Apapun keadaannya nanti aku akan terima. Entah kita akan berjodoh atau aku hanya sekedar berkunjung mengucapkan selamat untuk hidup baru kamu dengan sosok selain aku.” Lagi, Junkyu tak mampu membendung air matanya.

Junkyu percaya pada Haruto, tapi Junkyu tak percaya dengan hatinya. Karena Tuhan satu-satunya yang mampu membolak-balikkan isi hati manusia, karena hanya Tuhan yang tau dengan siapa hambanya akan berjodoh nantinya.

“Jadi, apa kamu mau nunggu aku pulang?”

“Aku nggak tau...”


`teuhaieyo.


Bersama alunan musik menenangkan mereka saling merengkuh. Mengerat membagi rasa kasih sayang tak terhingga. Satunya tengah dirundung tangis, enggan berhenti sedangkan yang lain memberikan tempat mengadu paling nyaman.

I fall for him.” Katanya parau; berusaha mengeluarkan segala keresahan dihati meskipun sesenggukan.

Tak ada tanggapan, namun belaian pada punggung yang tengah bergetar hebat tidak berhenti. Si pemuda tak masalah berada diposisi begini, bahkan tak berusaha menghentikan suara raungan pilunya. Terima kasih, seakan dunia tau hari ini si manis dalam rengkuhnya sedang butuh ruang pelampiasan, kafe yang mereka kunjungi sepi.

Menangislah sesuka hati, keluarkan semuanya.

“Aku bukannya kecewa, aku bangga banget sama dia. But, I don't want him to leave.”

No no no he won't leave you, Kyu. I may hate him tapi aku nggak mau menyangkal kalo dia juga punya rasa yang sama kekamu.”

Seketika tangisan itu berhenti, dekapannya dilepas. Junkyu; si manis yang hampir seluruh wajahnya memerah karena tangis tengah menatap lawan bicaranya, Yoshi dengan tatapan tajam.

Yoshi tersenyum, senyuman lembut yang hanya Ia perlihatkan pada sang terkasih juga Junkyu. Pemuda tampan itu segera mengusap air mata yang masih senantiasa mengalir.

“Kalau kita memang punya perasaan yang sama, kita sudah lama saling memiliki.” Tuturnya.

Yoshi menggeleng maklum, “Love needs time.”

“Berapa lama lagi aku harus nunggu?” Tegasnya sekali lagi. Junkyu sangat lelah, terus berharap pada sosok tak pasti. Bermain tarik ulur tanpa ujung.

Haruto membuatnya jatuh cinta akan segala pesonanya. Saat Junkyu berhasil terjebak, Haruto pula yang ragu akan perasaannya.

“Selama yang kamu bisa, Kyu. I hate to say, I believe him but what happen next it's all on you”.

Junkyu menunduk, mulai ragu akan semuanya. Yoshi memandang sendu, kembali mengulurkan telapak hangat mengusap punggung lebar Junkyu.

“Kalau kamu ragu, kamu bisa bicara berdua sama dia. Tanya apa alasannya, terlebih tanya apa hubungannya yang terjadi diantara kalian.”


“Ma, mas beli minum di kafe sebelah ya? Mau nitip nggak?” Pemuda Haruto itu tengah mengelap peluhnya. Selesai sudah pekerjaan hari ini. Haruto mengisi waktu liburnya untuk membantu kedua orang tua di toko kue, jarang-jarang Haruto melakukan ini.

“Ayah americano dong mas!” Teriak sang ayah yang baru keluar dari bagian dapur.

Haruto mengerlingkan bola matanya, “Mas nawarin mama kok ayah yang nitip sih.*

Mendengar keributan antara ayah dan anak tak sama sekali mengusik kegiatan wanita cantik yang dengan cekatan menghitung penghasilan hari ini.

Haruto melangkah keluar toko, berjalan beberapa langkah. Tepat 2 langkah sebelum sampai tubuhnya seolah dipaksa berhenti. Berdiri tegak menatap nanar dua pemuda dalam kafe.

Malam itu Haruto tak pernah melangkah lebih jauh, membiarkan seluruh kejadian yang Ia lihat sebagai sebuah jawaban. Haruto sekarang paham bahwa kepergiaannya adalah keputusan yang tepat. Pergi untuk dirinya, kedua orang tuanya, bukan untuk mengejar cintanya.


`teuhaieyo.


Kediaman Keluarga Kim.

Deru mesin motor berhenti ketika sampai di depan rumah megah. Pemiliknya celingukan, mencari posisi enak guna memarkir motor matic sederhana pemberian sang orang tua. Jalan depan rumah penuh mobil, ada 3 lebih tepatnya. Tak seperti biasa yang selalu lenggang ketika si pemuda mampir kesana.

Watanabe Haruto, si ganteng yang datang sesuai janji dengan si manis pemilik rumah. Berpakaian rapih khas pergi kondangan formal, rambutnya Ia tata dengan pomade lengkap poninya diangkat hingga dahi yang jarang terlihat, tak lupa menambahkan parfum milik sang ayah. Pas, siap menaklukan calon mertua.

Langkahnya pelan-pelan, meskipun beberapa kali mampir menurunkan sang pujaan hati namun percayalah hari ini baru pertama akan masuk hingga lebih dari sekedar pelataran. Deg degan? Pasti, Haruto tak pernah tau akan apa yang terjadi setelah ini.

“Cari siapa, mas?” Sapa leleaki 30 tahunan, menginterupsi kegiatan celingak-celinguk. Haruto ini bingung, rumah sebesar ini bagaimana kata permisinya.

Si pemuda tersenyum canggung, “Sa-saya temennya Junkyu...”

Paruh baya berseragam sekuriti dihadapannya mengamati sejenak. Bibirnya mendekat pada mikrofon yang memang terpasang pada telinganya, berbicara kecil pada seseorang disebrang.

“Haruto!” Belum selesai mendapat konfirmasi, pemilik rumah alias si manis muncul terlebih dahulu. Menyapa Haruto beserta lengkungan bibir cantiknya. Junkyu itu memang semanis madu, namun hari ini lebih manis daripada biasanya.

Si manis berlari mendekati pagar, malah jadi yang membukakan pagar.

“Yuk masuk, udah ditunggu sama papa mama!” Ajaknya.

Mendengar kata papa dan mama, darahnya berdesir lebih cepat. Perasaan aneh menyelimuti dirinya. Rasa percaya diri yang telah disiapkan setinggi awan seakan jatuh menyentuh tanah. Tolong, jadikan hari ini lancar.


Dentingan alat makan beradu nafas halus menjadi satu-satunya suara dalam ruangan. Tak ada canda tawa, eluhan, atau hanya sekedar basa basi seperti di rumahnya. Jelas, setiap keluarga pasti berbeda dalam menanggapi suatu kebiasaan. Sebagian menganggap meja makan adalah tempat untuk berbagi masakan, dilain tempat meja makan adalah arena untuk membangun percakapan.

Kalau boleh memilih, Haruto inginnya pulang. Rasanya tak sama sekali nyaman meskipun kursi yang sedang diduduki sepuluh kali lebih empuk daripada kasur di kamarnya. Auranya dingin, mengintimidasi meskipun belum ada satu kata yang keluar. Baru masuk, belum sempat mengucapkan halo om, tante saya Watanabe Haruto. sudah dipersilahkan duduk dan makanan dihidangkan. Lebih parahnya lagi, ternyata undangan makan hari ini bukan hanya ada orang tua Junkyu melainkan Yoshi pun datang.

Dua puluh menit berlalu, piring-piring kotor telah diangkat dari meja makan, digantikan dengan banyak potongan buah segar, kue, juga es krim untuk cuci mulutnya.

“Ekhem...” Semua kepala yang menunduk reflek terangkat. Seluruh mata fokus satu tujuan pada kepala rumah tangga diujung meja.

Haruto mendadak gemetar, dalam pikirannya tersemat kata-kata penenang entah itu berhasil atau tidak, yang pasti dirinya benci terjebak disini.

“Jadi nama kamu Watanabe Haruto?” Kata sang kepala keluarga, menjadikan itu sebagai kalimat pembuka disesi obrolan kali ini.

Haruto meletakkan sendoknya, segera berdiri lalu membungkuk hormat setara 90°. “Benar, Tuan saya Watanabe Haruto.” Lalu pemuda tinggi itu kembali duduk.

“Satu sekolah dengan anak saya?” Tanyanya lagi. Menurut Haruto lebih tepat seperti pertanyaan introgasi karena nadanya tak tersampir kelembutan. Lebih ke nada monoton semacam melakukan interview.

“Benar, Tuan. Saya salah satu murid beasiswa di sekolah yang Tuan pimpin.”

Kepala keluarga Kim berhenti sejenak, menyesap teh herbal yang telah tersedia di meja. Sembari menunggu pertanyaan selanjutnya, obsidian Haruto berpendar kesana-kemari. Junkyu yang terkenal ceria jadi seperti patung, Yoshi nampak fokus mendengarkan, dan sedikit melegakan saat matanya bertemu dengan Mama Kim yang tengah tersenyum. Cantik, sekarang Haruto tau darimana paras Junkyu berasal.

“Saya dengar kamu banyak bergaul dengan anak-anak gedung utama?”

Haruto terkesiap, segera fokus kembali pada alur percakapan yang tengah berjalan. Ia mengangguk setuju, satu satunya anak beasiswa yang punya banyak kenalan dengan anak gedung baru ya hanya dirinya.

Tuan Kim tersenyum miring, tepatnya senyum merendahkan. Dalam pandangnya Haruto hanya sosok pemuda biasa, nothing special both inside and outside. Masih tak percaya, bagaimana auranya memang dirasa bisa memikat banyak orang dari berbagai kalangan. Jika Haruto sedikit saja sombong, menunjukkan segala kegigihannya mungkin Tuan Kim bisa digoyahkan.

“Punya apa kamu sampai bisa mudah diterima dalam lingkup anak-anak gedung utama.”

“Jujur, saya belum punya apa-apa saat ini.” Jawabnya. Tuan Kim terbahak pun Yoshi tersenyum miring.

“Lihat Yosh teman kamu lucu sekali.” Dalam suara tawa menggelegar, hawa ruang makan semakin ditekan. Haruto tau sekarang, kedatangannya bukan hanya untuk makan, tapi menjadi ajang penilaian.

Seberapa pantas Haruto bagi keluarga ini.

Jika sesuai standar akan dieluh-eluhkan. Jika tidak, dipermalukan sebelum dipersilahkan angkat kaki.

Disinilah Haruto sekarang, menjadi kandidat pada daftar pemuda yang harus dicoret namanya.

“Yoshi ini anaknya pak menteriㅡ” Disesap lagi teh herbal yang tinggal sedikit. Setelahnya mengusap bibirnya dengan sapu tangan. Sangat hati-hati.

“ㅡkendati anaknya pak menteri tidak membuat dia malas-malasan, foya-foya. Gimana Yosh perusahaan kamu di Amerika?”

Yoshi menegakkan bahunya ketika namanya jadi ikut terseret, “Baik, om.. sedikit demi sedikit sudah berkembang.”

Lagi, fakta baru dari Yoshi yang memukul telak rasa percaya diri Haruto. Yoshi itu bukan hanya kaya, berkelas, intelektual, namun juga mapan. Lihat dandannya, sama berpakaian kemeja, tapi siapapun tau bahwa harganya berbeda jauh. Yoshi itu perfeksionis, nggak salah kemejanya saja luput dari kerutan, parfumnya wangi segar tak seperti miliknya sudah bercampur keringat dengan debu jalan.

Apakah Haruto akan tertekan? ya tingkat percaya dirinya memang jatuh pun bersama harga dirinya. Ingat, Haruto adalah Haruto pemuda penuh kegigihan. Dimulut bilangnya mundur, lain dihati inginnya mendapatkan segalanya termasuk Junkyu.

“Baiklah jika kamu belum punya apa-apa, saya masih maklum. Lantas kuliah setelah ini bagaimana? Kuliah dimana? Jangan bilang tidak melanjutkan kuliahㅡ”

“Papa udahㅡ” Junkyu baru angkat suara ketika perkataan papanya mulai melewati garis batas. Junkyu tau betul sifat papanya. Daripada dilanjut menimbulkan sakit hati lebih baik berhenti.

Namun, sebelum itu terjadi Junkyu malah dihadapkan dengan telapak tangan papanya. Dipaksa diam, dilarang melanjutkan lebih.

“ㅡJadi Haruto saya ini menjunjung tinggi pendidikan. Saya percaya harta bisa didapat dari pendidikan setinggi-tingginya. Ya itu tergantung, kalau institusinya biasa sajaㅡ”

“Tuan Kim yang terhormat, kedatangan saya kesini pun ingin memberi kabar jika saya sudah diterima pada salah satu universitas ternama di Belanda. Saya sadar jika keluarga saya sederhana, tapi orang tua saya juga ingin yang terbaik. Beasiswa yang saya dapat hasil dukungan dari orang tua.” Jelasnya.

Seketika ruangan jauh lebih sunyi. Seluruh pandangan tepat menatap pada Haruto, kecuali Yoshi yang memang sudah tau informasi ini. Sisanya terkejut, apalagi Junkyu.

“Har... ini kamu serius?” Ujar Junkyu memastikan. Entah mengapa tubuhnya tak memproduksi perasaan bangga, banyak rasa tak suka akan informasi mengejutkan dari pemuda disebelahnya.

Junkyu mungkin bukan siapa- siapa bagi Haruto. Tapi, Junkyu yakin setidaknya Haruto akan bercerita tentang suatu keputusan besar yang akan pria itu ambil.

“Ini temen-temen kamu tau?” Lanjutnya lagi dengan nada menuntut. Sedangkan Haruto tak sama sekali mengelak.

Bukan, bukan Haruto ingin menyembunyikan. Hanya saja sedang mencari waktu yang pas.

“Kamu nggak ngasih tau aku?” Lagi, kali ini matanya menatap nanar; tersirat ungkapan kekecewaan.

“Aku kesini niatnya juga mau kasih tau, Kyu. Maaf.”

Junkyu menggeleng, Ia tau pasti proses mengejar beasiswa. Rumit, penuh lika-liku, penuh kalimat mengeluh. Disini Junkyu merasa dirinya hanya orang bodoh, hanya sosok asing yang tak berhak apapun dalam kehidupan Haruto. Lantas apalah arti tiap kebersamaan?.

“Haruto, Belanda itu jauh. Kamu tuh mikir gak sih?!” Junkyu beranjak, menunjuk Haruto dengan teriakan kecewa. Ingin mengungkap segalanya namun hanya sampai pada ujung lidah.

Junkyu kira, menunggu sebentar lagi hubungan mereka bisa melanjut pada satu tingkat. Junkyu percaya Haruto bisa melangkahi keras kepalanya sang papa. Junkyu salah, dirinya terlalu geer, Haruto datang untuk pamit pergi. Menjelaskan secara detail bahwa kedekatan mereka bukan apa-apa, Haruto akan meninggalkan Junkyu jadi keluarga Kim tak perlu khawatir mengusir Haruto pergi.

“Kyu aku bisa jelasin, maksud aku ituㅡ”

“Aku kecewa sama kamu, selamat ya atas pencapaian kamu.” Junkyu pergi diikuti sang mama yang bingung ada apa sebenarnya.

Setelah itu, kepala keluarga Kim juga ikut beranjak. Entah kemana, yang pasti meninggalkan Haruto dan Yoshi berdua.

Tak lama kemudian, Yoshi ikut bangkit. Langkahnya mendekat sejenak kearah Haruto, memberikan tepukan penghantar semangat dibahu pemuda yang dulunya dijadikan pesuruh.

“Gue nggak tau niat dalam hati lu gimana. Tapi, Junkyu berharap banyak ke lu.”

Haruto pun ditinggal sendiri, jatuh dalam lubang penyesalan.


`teuhaieyo.