bertaut.


Di malam hujan deras Adnan datang, mengetuk pintu rumah itu dengan tak sabar. Dingin, Adnan dengan bodohnya menerjang rintihan langit hanya mengenakan kaus tipis beserta celana jeans selutut. Tubuhnya basah kuyup karena memilih pergi bersama motor kesayangannya.

Lagi, Adnan mengetuk pintu mencoba menarik perhatian pemiliknya didalam. Rumahnya nampak sepi tak berpenghuni, namun Adnan sudah biasa, memang begini adanya.

Ceklek

“Adnan?” Nata terkejut bukan main akan kedatangan Adnan juga karena penampilan berantakannya. Baru saja lewat 15 menit semenjak Ia membalas pesan Adnan dan pria itu sudah berdiri didepan pintu rumahnya. Nata menggeser tubuhnya, memberi Adnan akses masuk.

Saat ini keduanya telah berada dalam kamar Nata. Adnan tengah duduk dipinggiran ranjang lengkap dengan handuk serta hair dryer sedangkan Nata sibuk memilah pakaian kering yang cocok untuk Adnan. Canggung, satu kata yang mempu mendeskripsikan suasana kali ini. Tak seperti biasa, mereka bahkan baru pertama terlibat perasaan semacam ini pun jika mereka bertengkar selalu diutarakan dengan ungkapan, saling emosi, terakhir saling menenangkan satu sama lain.

Degup jantung Nata turut berhenti bersamaan suara berisik hair dryer berangsur menghilang. Nata bukannya sibuk, hanya saja tengah menghindar dari Adnan.

“Nata?” Panggil Adnan dengan suara baritonnya. Berat, rendah membuat bulu kuduk Nata seluruhnya berdiri.

Nata masih acuh, takut dinding kokoh yang telah Ia bangun luluh lantak begitu saja. Setelah mengetahui seluruh fakta yang ada, mendapati sahabat sejak kecilnya melihatnya dengan pandangan berbeda membuat semuanya semakin sulit. Nata bukannya tak sadar, namun Nata menyangkal. Keduanya memilih denial demi utuhnya sebuah ikatan pertemanan.

Nata bergeming ketika kedua lengan milik Adnan melingkar pinggang rampingnya posesif. Nafasnya tercekat, ujung kepala hingga kuku kaki seolah membeku. Adnan menyandarkan dagunya pada bahu Nata, nafas halus menerpa tengkuknya menghadirkan sensasi geli.

Cup

Adnan mengecup kilat kulit putih Nata, wangi buah-buahan manis merasuk indra penciumannya. Si manis menggeliat ingin melarikan diri dari rengkuhan Adnan. Terlambat, Adnan malah membalikkan tubuhnya, mendorong yang lebih kecil hingga menempel pintu lemari.

“Nan..” Lirihnya.

“Berhenti mengacuhkanku. Aku disini, kamu sendiri yang memintaku datang. Jangan lari lagi tidakㅡ larilah bersamaku. Genggam erat jemariku, seperti ini.” Adnan tersenyum, Nata tak sama sekali menolak dirinya bahkan ketika jemarinya ditautkan satu sama lain. Pas, seolah hadirnya Nata didunia memang untuk Adnan. Dikecup punggung tangan itu penuh cinta hingga pesannya mengalir sampai dijiwa.

Manik cantik itu berkilau bersamaan satu tetes air mata jatuh menuruni pipinya. Hatinya menghangat, jika ini mimpi tolong Nata tak ingin kembali. Rasa sakitnya sudah cukup, realita hampir membunuhnya.

“Izinkan aku untuk menghapus rasa sakitnya. Berusaha mengganti dengan kebahagiaan.” Nata mengangguk, sudah tak ada lagi alasan untuk mengelak. Adnan mengucapkannya penuh kejujuran dan keyakinan.

Detik kemudian bibir keduanya menyatu, kali ini tak ada unsur tidak sengaja, tak ada cinta sebelah pihak. Keduanya saling menginginkan satu sama lain.

Adnan takdir untuk Nata, begitu pula sebaliknya.


Hawa ruangan seketika meningkat. Ciuman penuh perasaan berubah menjadi dengan nafsu. Bibir yang sebelumnya hanya menempel satu sama lain saat ini menjadi lumatan kecil. Adnan meraup belah bibir bawah Nata, menyesap, menggigit penuh gemas hingga membengkak. Nata terbuai, jemarinya meremas bahu Adnan sebagai pelampiasan. Kedua pasang mata tertutup, saling menikmati permainan bibir.

Adnan menyudahi, menciptakan benang saliva diantara mereka. Nafasnya memburu, dadanya naik turun meraup banyak-banyak oksigen. Tak ingin berlama-lama Nata menyambar milik Adnan lagi, mengajaknya pada cumbuan liar. Gerakannya abstrak hingga saliva membasahi dagu. Adnan mengangkat tubuh Nata tanpa melepas bibir keduanya. Lalu, Ia membaringkan diatas kasur perlahan.

Tak tinggal diam, jemari Adnan menelusup membelai perut rata Nata. “Eugh..” Desahnya tertahan ketika Adnan tak sengaja menyentuh putingnya.

Nata pasrah, sentuhan Adnan pada tubuhnya penuh perasaan, hati-hati, seolah Nata adalah berlian yang harus Ia jaga. Tak ada paksaan, semuanya Ia lakukan dengan lembut.

“Hhmm..Shh..”

Nata mendesis ketika rasa perih bercambur geli menyerang permukaan kulitnya. Ia mendongak, memberikan seluruh akses bagi Adnan untuk mencumbu tengkuknya. Adnan menjilat, mengecup, serta menghisap kulit seputih susu hingga warnanya berubah keunguan. Sesekali pemuda tampan itu tersenyum, bangga akan hasilnya.

Nata miliknya seorang.

Adnan menjauhkan tubuhnya, mengamati setiap lekuk tubuh separuh telanjang Nata dari atas. Cantik, Nata itu sempurna walau dalam keadaan berantakan. Tatapan sendunya menggairahkan, suara desahannya meningkatkan libido Adnan hingga kepuncak terlebih jika si manis mendesahkan namanya.

Adnan meletakkan jemarinya diatas perut Nata. Bergerak tak tentu arah, menari bebas diatasnya. Selanjutnya, dengan perlahan Ia melepas jeans yang dikenakan Nata. Menariknya dengan gerakan sensual hingga tiada lagi kain yang mampu menghalangi Adnan.

Malu, Nata memilih melihat arah lain asal bukan raut penuh nafsu dominannya. Adnan terkekeh, kembali mengungkung tubuh si manis, mengecup bibirnya lagi sekilas.

“Ahh..”

Desahnya saat kedua benda tak bertulang saling bergesek. Geli seolah ribuan kupu-kupu terbang bergerombol di dalam perutnya. Perlahan Adnan membuka salah satu paha Nata, membuka sendiri akses untuk kepunyaannya.

“AKHH.. Adnahhn..”

Milik Adnan itu besar mengisi penuh lubang Nata. Adnan bergerak, maju mundur perlahan saling membiasakan satu sama lain. Sesekali Adnan menggeram akibat Nata menggenggam milik Adnan begitu erat.

“Hhmmm...” Adnan mendongak, sensasinya luar biasa, sakit, sesak, namun membuatnya melayang.

“Uuhhmm.. Ahhh.. Akh! Ahh...”

Gerakan mereka meliar, tumbukan yang diberikan semakin cepat. Nata pasrah ketika tubuhnya dihentak tanpa henti, hanya bisa mendesah menikmati. Keduanya dikuasahi nafsu birahi, seluruh tubuh penuh peluh membahasi.

“Adnahhnn..” Perut Nata melilit, kakinya bergerak gelisah.

“Adnan.. ahh...”

Lenguhan keduanya menandai akhir dari kegiatan panas di malam dingin berselimut hujan. Saling menghangatkan tubuh satu sama lain dalam sebuah penyatuan. Nata mengatur napasnya, pun Adnan. Sang dominan tersenyum, Ia mengecup dahi penuh keringat si manis dalam kungkungannya. Adnan jatuh disamping Nata, membawa tubuh si manis juga dalam rengkuhannya. Sekali lagi, Adnan mengecup bibir merekah Nata, menyatuhkan dahi mereka sambil merasakan helaan nafas masing-masing.

“Aku mencintaimu, sungguh.”

Nata mengangguk lemah, namun Adnan tau Nata memiliki rasa yang sama.

Adnan dan Nata bertaut dalam sebuah kisah romansa. Saling berjanji akan menghadapi dunia bersama.

The End


`teuhaieyo.