berpisah.


“Adnan!”

Suara lembut menyapa, Adnan selalu suka suara cantik wanitanya. Adnan mengepulkan asap nikotin terakhirnya ke atas, lalu dibuang putung rokok itu ke tanah dan diinjak hingga padam. Adnan menoleh, menyambut Ayana dengan sok sumringah, wajahnya tersirat kelelahan akibat banyak memendam emosi.

Lengan Adnan terbentang lebar meminta Ayana tuk masuk dalam rengkuhannya. Ayana tak bertanya lebih, tersenyum paham lalu berinsut dalam rengkuhan kekasihnya. Beberapa menit mereka berada pada posisi itu, saling menghangatkan ditengah angin malam dingin. Tak ada yang bersuara, Adnan meletakkan kepalanya pada bahu Ayana; menghirup aroma vanilla parfum kesukaannya.

Ayana paham, Adnan sedang kondisi tidak baik-baik saja. Beberapa putung rokok tercecer tepat dibawah mereka berdiri sudah menjelaskan semuanya. Wanita cantik itu turut bungkam sembari memberikan usapan menenangkan.

“Kamu ngerokok lagi? Kalo aku aduin ke Nata pasti diomelin.” Ujarnya. Bibir Adnan mau tak mau membentuk senyum ketika bayangan Nata memarahinya karena merokok. Nata punya sesak napas jadi Adnan sekuat tenaga menghilangkan kebiasaannya.

“Maaf...” Balasnya lirih. Adnan setres hingga tak menemukan pelampiasan selain batang nikotin.

Ayana melepaskan rengkuhan keduanya terlebih dahulu. Matanya bergerak, memindai raga Adnan dari ujung rambut hingga kuku kaki. Lelakinya sempurna dan akan selalu begitu. Ayana mengangkat tanganya, mengusap pipi hingga rahang tegas Adnan. Nyaman, Adnan terbuai.

Memori Ayana dibawah kembali pada dua tahun lalu. Ayana hanya seorang gadis biasa pengagum Adnan Dika. Gadis paling beruntung dalam antrian tak berujung. Adnan itu tak terdefinisi, kendati Ayana tau Adnan menerimanya tanpa dasar cinta namun Adnan begitu perhatian padanya. Ia kira seiring waktu berlalu rasa cinta akan tumbuh sendiri. Nyatanya Ayana salah, sejak awal Ayana tak punya hak atas Adnan, sejak awal Ayana kalah karena seluruh perasaan Adnan sudah diberikan habis pada Nata; sahabatnya sendiri. Adinata Dhamar itu poros kehidupan Adnan dan akan selamanya begitu.

“Ayana...aku cinta sama kamu.” Tuturnya tiba-tiba.

Ayana menatap mata kekasihnya, lantas hanya tersenyum sendu. Tak ada kesungguhan disana.

“Cinta kamu bukan untuk aku, Nan.”

Ayana mengangguk, meskipun dalam hatinya kecewa. “Aku tau...”

Adnan mengusap puncak kepala Ayana, membelai rambut panjang gadis yang telah bersamanya dua tahun belakangan. Lambat namun pasti tangannya telah sampai menangkup pipi tirusnya.

“Boleh aku cium kamu?” Pintanya.

Rasanya Ayana ingin mengangguk, memberi izin seperti biasa. Namun untuk hari ini, malam ini, detik ini Ayana dibuat ragu. Semua kebohongan ini harus berhenti sampai disini.

Sakit, ketika Ayana harus menolak permintaan Adnan.

“Cukup, Nan! Kamu butuh validasi sebanyak apa lagi?ㅡ”

Adnan menunduk seakan tertampar dengan kata validasi. Ia tau harusnya tak sampai sejauh ini, melibatkan perempuan terbaik hanya untuk memastikan perasaan yang menurutnya aneh, tabu, tidak mungkin.

Adnan punya perasaan lebih pada sahabatnya. Sejak awal perasaan yang tumbuh diantara mereka bukan sekedar tali persahabatan, namun mereka berdua saling menanam bibit cinta.

“ㅡsejak awal memang bukan aku kan? Tapi Nata.” Skak mat. Ayana memukulnya telak dengan fakta. Adnan memang memperlakukan Ayana dengan baik, tapi prioritas utamanya hanya Nata seorang.

“Ayㅡ”

“Berhenti bohongi diri kamu sendiri. Berhenti siksa diri kamu sendiri dan berhenti sakitin aku...” Adnan mematung, baru kali ini Ayana lemah dihadapannya. Ayana selama ini sakit, namun Adnan tutup mata.

“Maaf, Ay...” Hanya itu, satu kata maaf yang mampu dikatakan.

“Bukan salah kamu, aku tau keputusan ini pasti berat buat kamu. Pergi, kamu harus genggam Nata dan lepasin aku. Aku juga mau bebas cari kebahagiaanku sendiri. Jangan pernah takut untuk jadi berbeda, semua cinta itu normal karena dewi cinta itu nggak pandang bulu nyatuin hati umatnya.” Kalimat panjang penuh makna itu menjadi akhir dari hubungan Adnan dan Ayana.

Mereka berpisah, memilih untuk berjalan ke arah yang berbeda.


`teuhaieyo.